Interelasi Nilai Jawa Dan Islam Dalam Bidang Sastra

I. PENDAHULUAN 
Keberadaan karya sastra dalam perspektif kebudayaan secara eksklusif atau tidak langsung telah melahirkan aneka macam kemungkinan yang mampu diinterprestasi sebagai kekayaan semesta. Setiap manusia berhak menggali, menguasai dan menghayati ragam dimensi yang tersembunyi di balik ruang dan waktu, kata-kata, metafora dan makna keindahannya. Baik dalam keterkaitannya dengan dimensi kedalaman maupun yang se-konteks dengan pergantian dan pergeseran sosial, politik ataupun ideologi. Dengan demikian, jejak-jejak kesusastraan dalam peta sejarah peradaban umat manusia tak mampu diingkari kebergunaannya.
Dalam dustur kebudayaan pula, kesusastraan mampu ditaruh posisi strategisnya sebagai salah satu media reflektif menelisik kembali aneka tabir kehidupan yang bersifat kasatmata maupun absurd. Karena itu, kesusastraan dapat disebut selaku setrukturasi dari pengalaman insan yang berafiliasi dengan berbagai konflik dalam realitas sosial maupun personal.[1]
Islam (sebagai Din) dalam integritasnya dengan kesusastraan, bahkan juga sudah menunjuk dirinya dengan tegas selaku ide sentral. Hubungan antara sastra dan Islam menjadi ideologis sifatnya.[2] Al-Qur’an selaku kitab suci diyakini oleh kaum muslim sebagai karya sastra tertinggi yang tanpa keraguan akan kebenaran isi atau pemikiran didalamnya. Al-Qur’an memecahkan semua rekor keindahan sastra arab yang pernah diciptakan insan. Setiap baris mempunyai dan menyanggupi norma-norma sastrawi yang ada, bahkan sangat jauh melampauinya. Dari apa yang terdapat dan terkandung di dalam Al-Qur’an tersebut maka tak ayal bila Al-Qur’an sungguh mempengaruhi budaya dan sejumlah besar kesusastraan umat muslim.[3]
Cukup pentingnya kesusastraan dalam sisi kebudayaan insan tersebut mampu ditemui pada kehidupan masyarakat jawa. Sastra dalam penduduk jawa mempunyai peranan cukup penting dalam pembangunan peradaban. Hal ini mampu dilihat dari banyaknya karya sastra baik mulut maupun tulisan yang menyertai sejarah perjalanan peradaban masyarakat jawa. Bahkan bagi pendukung kesusastraan jawa pada jaman kerajaan-kerajaan jawa antik di tempat pedalaman, sastra ditempatkan lebih tinggi dibanding posisi agama yang ditempatkan dalam urutan nomor dua. Sastra menjadi media yang dianggap penting dalam mengajarkan dan mempertahankan nilai-nilai jawa (kejawen) yang sempat dipengaruhi oleh nilai-nilai atau ajaran animisme-dinamisme, Hindu dan Budha. Sastra pula tak jarang dipakai untuk memperkokoh kekuasaan dan kedudukan politik para raja.
Bagaimanakah interaksi antara islam dengan nilai jawa yang sebelum kedatangannya dapat dinilai sungguh bertentangan dengan nilai dan tata aturan pedoman agama islam? 
II. PEMBAHASAN
Peta Jejak Kebudayaan Jawa Kuno 
Budaya Jawa sudah berkembang sejak kala prasejarah. Sebagaimana suku-suku sederhana lainya, budaya jawa bertumpu pada religi animisme-dinamisme. Dasar pemikiran dari ideologi animisme-dinamisme adalah bahwa dunia ini juga dihuni oleh roh-roh halus tergolong roh nenek moyang dan juga kekuatan-kekuatan mistik. Dalam religi animisme-dinamisme ini orang percaya mampu mengadakan kekerabatan pribadi untuk meminta pemberian atau menguasai roh untuk kepentingan duniawi dan rohani dengan melaksanakan upacara dan pembacaan mantra-mantra.
Kepercayaan animisme-dinamisme sebagai bentuk religi jawa menyebabkan masyarakat terlatih dan menguasi mantra-mantra hingga banyak pula yang lalu dikumpulkan dan ditulis menjadi buku-buku primbon sesudah masyarakat jawa bisa memanfaatkan gubahan-gubahan karakter india jadi huruf jawa.[4]
Sebelum masuknya pengaruh budaya India (Hindu-Budha), penduduk nusantara sudah memakai bahasa daerah lokal mirip jawa antik dan melayu kuno. Bahasa ini disebut juga dengan bahasa Melayu Austronesia yang digunakan sebagai bahasa pergaulan oleh sebagian besar penduduk Indo. Berdasarkan penelitian H. Kern atas basic vocabulary bahasa-bahasa yang dipakai oleh masyarakat penghuni kepulauan nusantara, dapat disimpulkan bahwa bahasa tersebut tergolong rumpun bahasa melayu Polinesia, sebuah rumpun bahasa yang memiliki kawasan persebaran dari kepulauan Austronesia dan Polinesia. Dengan datangnya dampak budaya India, maka dipergunakan bahasa dari India, terutama bahasa Sanskerta dan bahasa Pali. Walaupun demikian, tidak mempunyai arti bahwa bahasa nusantara menjadi tersisih dan punah. Bahasa Jawa Kuno dan Melayu antik tetap digunakan, bahkan nantinya diperkaya dengan ungkapan-perumpamaan bahasa sanskerta.
Dalam bidang huruf, kalau semula masyarakatnusantara “buta aksara”, dengan hadirnya dampak dari India, masyarakatNusantara menjadi melek aksara dengan dikenalnya Aksara Pallawa dan Aksara Nagari (atau disebut juga Siddham).
Tidak puas cuma memakai aksara gila, karenanya pada empu Nusantara membuat karakter gres yang disebut abjad Kawi (ada juga yang menyebutkan huruf Jawa Kuno).[5]
Sastra Jawa pada Masa Hindu-Budha 
Pada abad Hindu Budha, para raja memiliki hak-hak istimewa dalam pelatihan kesenian. Dari awal abad itu hingga dengan permulaan Majapahit, kesusastraan berbentuk kekawin, dimana kekawin tersebut cuma dihasilkan oleh raja-raja istana dam rumit. Contoh kekawin yang terkenal pada era itu adalah:
– Ramayana – Kresnaya
– Arjunawiwaha – Gatotkacasraya
– Smaradahana – Sutasoma
– Bharatayudha – Arjunawijaya
Karya-karya kekawin yang agaknya dibentuk diluar istana raja, baru muncul pada periode Majapahit final, misalnya : Kekawin Kanjurakana.
Keterkaitan raja dengan karya-karya sastra tersebut mampu dimengerti dari ada tidaknya ungkapan penghormatan dan penghargaan terhadap raja yang tertulis di dalam karya-karya itu sendiri. Peranan istana raja dalam training seni suara dan tari pun tersirat dari kutipan karyua-karya sastra sejaman yang menceritakan betapa penyanyi dan penari yang bagus diberi kado-kado berbentukkain, cincin atau gelang oleh raja. Keunggulan putri-putri raja, bahkan raja sendiri dalam berolah seni diceritakan dalam beberapa karya sastra kala Hindu Budha, baik yang berbentukkekawin berbahasa Jawa kuno maupun yang berupa kidung berbahasa Jawa pertengahan. Salah satu contohnya yakni Hayam Wuruk dalam Negara Kertagama.
Namun juga terdapat siratan dari karya-karya sastra itu bahwa para pekerja yang mengabdi di istana raja itu bisa direkrut dari pedesaan, dan membawa serta iman-doktrin kerakyatannya. Misalnya kutipan kekawin Bharatayuddha (VI. 2-3) perihal perempuan-wanita di dalam istana Hastina yang mencuri-curi mengambil bunga menu bagi Ganesha, dimasukkan ke dalam sanggulnya selaku semacam azimat cinta. Kepercayaan mengenai daya magis dari hal-hal yang terkait dengan Ganesha lebih tepat dipaparkan dalam kitab-kitab prosa produk luar ke rotan, seperti Tantu Panggelaran dan Korawasrama yang diciptakan sekitar final kerajaan Majapahit. Benda-benda lambang Ganesha yang yang dibuat dari tumbuh-tanaman harum tertentu, maupun dari logam dan kerikil, merupakan tempat mujarab untuk meminta sesuatu. Kitab-kitab untuk itu juga memaparkan kesanggupan-kesanggupan khas yang kuasa Gana (Ganesha) untuk menebak dan mengutarakan realita yang tersembunyi. Penggambaran sifat yang demikian dari dewa berkepala gajah itu sungguh berlainan dengan yang ada pada kekawin-kekawin produk keraton. Misalnya, kekawin Samaradahana yang memang memperlihatkan dongeng panjang lebar tentang kelahiran dan pertempuran yang kuasa berkepala gajah itu melawan musuh-lawan dewa, menggambarkan Ganesha selaku tokoh yang bersifat wira, gagah berani dan menggemparkan.
Dari uraian tersebut memberikan bahwa pengembangan seni di dalam lingkungan keraton lebih dipadu oleh aba-aba untuk mengembangkan kaidah-kaidah, baik spiritual, budbahasa, maupun estetik. Sedangkan seni di lingkungan luar keraton lebih diarahkan oleh kemanfaatan melalui jalur spiritual dan magis. Misalnya, yakin bahwa yang kuasa Ganesha itu mampu mengentaskan atau menuntaskan penderitaan orang yang terkena tulah. Dalam perjalanan waktu yang panjang di abad Hindu Budha itu, ialah dari abad VII hingga kurun XVI. Kiranya dari waktu ke waktu terdapat kekerabatan saling melihat antara pihak keraton dengan pihak luar keraton, untuk kemudian saling mengambil. Peranan raja selaku pemimpin kerajaan pastinya cukup besar untuk membuahkan kualitas seni yang meningkat dan perangkat kaidah yang kian berpengaruh.[6]
Interelasi Nilai Islam dan Jawa 
Istilah interelasi secara sederhana disini diartikan selaku islam dijawakan sedangkan Jawa diislamkan.[7] Keterkaitan antara agama islam dengan karya sastra Jawa yaitu keterkaitan yang bersifat imperatif watak atau mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru, sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk memperlihatkan sarana aneka macam petunjuk atau nasehat yang secara substansial ialah isyarat atau rekomendasi yang bersumber ketimbang pedoman islam. Hal ini dikarenakan para pujangga tersebut beragama islam, dan tentunya mutu keislaman pujangga pada dikala itu yakni masa 18-19 pengetahuan islam belum banyak seperti dikala ini sehingga dalam memberikan petunjuk atau saran para pujangga melengkapi dari kekurangannya tentang pengetahuan keislaman dengan mengambil hal-hal yang dianggap baik dan tidak berlawanan dengan aliran islam. Juga semua karya-karya sastra Jawa baru yang sering digunakan para pujangga keraton Surakarta (Sri Mangkunegara IV, R. Ngb. Ranggawarsita dan Susuhunan Pakubuwono IV) menggunakan puisi (tembang / sekar macapat) dalam menyusun karya-karya sastranya. Dan puisi Jawa gres ini jelas bermentrum islam, maksudnya munculnya tembang atau sekar macapat ini berbarengan dengan munculnya islam di pulau Jawa, yakni sehabis jauhnya kerajaan Hindu Majapahit.[8]
Walaupun demikian, warna islam tampaksekali dalam substansinya, adalah:
1. Unsur ketauhidan (upaya mendekatkan diri terhadap Tuhan Yang Maha Esa)
2. Unsur kebajikan (upaya menunjukkan petunjuk atau anjuran terhadap siapapun)
Contoh karya-karya sastra pujangga yang memakai puisi jawa gres :
1. Karya-karya sastra Sri Mangkunegara IV (serat-serat piwulang)
  • Serat warganya (1784), memakai tembang dandanggula, berisi 10 bait.
  • Serat wirawiyata, memakai tembang sinom (42 bait) dan tembang pangkur (14 bait),
  • Serat sriyatna, menggunakan tembang dhandanggula (15 bait),
  • Serat nayakawara, menggunakan tembang pangkur (21 bait) dan tembang pangkur (12 bait), 
  • Serat paliatma (1793), menggunakan tembang mijil (11 bait) dan tembang pucung (11 bait),
  • Serta seloka tama (1799), memakai tembang mijil (31 bait),
  • Serat dharmalaksita (1807), menggunakan tembang dhandanggula (12 bait), tembang kinanthi (18 bait) dan tembang mijil (8 bait),
  • Tembang triparma, memakai tembang dhandanggula (7 bait) dan tembang kinanthi (7 bait),
  • Serat wedhatama, menggunakan tembang pucung (15 bait), gambuh (25 bait), pangkur (14 bait) dan sinom (18 bait).
  Pendidikan Islam Di Jawa Pada Kurun Kolonial
2. Karya-karya sastra R. Ngb. Ranggawarsita (tak-populer) :
  • Serat katalida, menggunakan tembang sinom (2 bait)
  • Serat sabjati, menggunakan tembang megathruh (19 bait)
  • Serat sandhatama, memakai tembang gambuh (22 bait)
  • Serat wedharaga, menggunakan tembang gambuh (38 bait)
3. Karya sastra Susuhunan Pakubuwana IV :
  • Sastra wulangeh, yang memakai tembang-tembang dhandanggula (18 bait), kinanthi (16 bait), gambuh (17 bait), pangkur (17 bait), maskumambang (34 bait), megatruh (17 bait), druma (12 bait), wirangrong (27 bait), pucung (23 bait), asmaradhana (28 bait), sinom (33 bait) dan girisa (12 bait).[9]
Sedangkan corak yang mendominasi karya-karya sastra Jawa gres diantaranya dilema jihad, persoalan ketauhidan dan duduk perkara akhlak / sikap yang baik.
1. Masalah Jihad, dalam serat wirawiyata (Mangkunegara IV) dengan implementasi, bagi setiap umat islam, sifat dan perilaku mirip yang dimiliki tentara sungguh diperlukan dalam menghadapi abad globalisasi dan membentuk manusia Indonesia dari era milenium baru, yang akan melahirkan generasi yang tangguh dan memiliki kesanggupan daya saing tinggi.
2. Mendekatkan diri pada Tuhan, dalam sera naya kawara, dengan implementasi, mendekatkan diri terhadap Tuhan, kalau senantiasa mendekatkan diri terhadap-Nya tentu akan diberikan isyarat -Nya.
3. Memiliki adab yang bagus, dalam serat selokatama, dengan implementasi, setiap muslim hendaknya memiliki perilaku akhlakul karimah, karena dengan sikap tersebut seseorang akan terhindar dari sikap yang jahat.
Pada zaman kemerdekaan karya-karya Jawa islami suit didapatkan, ini dikarenakan bahwa pada umumnya pembuat puisi masih enggan menciptakan puisi yang islami. Kebanyakan mereka membuat karya-karya sastra yang nJawani dari pada islami. Selain itu, puisi Jawa yang islami belum dianggap ngetren, sehingga kebanyakan mereka menyukai puisi yang nJawani.[10]
Perkembangan Sastra Pada Masa Kerajaan Demak, Mataram dan Pajang 
1. Pada kurun Kerajaan Demak
Pada era keemasan kerajaan Demak, banyak kitab yang ditulis. Kebanyakan kitab yang ditulis sebab dampak agama Islam, diantaranya : het boek van bonang, een javaans geschrift uit de 16 eeuw, suluk sukarsa. Serat nitisruti, serta nitipraja, serat sewaka, serat menak, serat regganis, serat manikmaya, serat ambiya dan serat kandha.[11]
2. Pada era Kerajaan Mataram
Pada abad kerajaan Islam, kesusasteraan Jawa berkembang dengan pesat. Sultan Agung selaku raja pada era itu menuliskan kitab sastra gendhing yang sama dengan kitab filsafat yang memuat filsafat Jawa kebanyakan. Selain itu ada pula kitab yang diilhami dari kisah Ramayana, ialah : nitisruti, niti, sastra dan astabrata.[12]
3. Pada masa Kerajaan Pajang
Selama pemerintahan raja Adiwijaya dari Pajang. Kesusasteraan dan kesenian keraton yang telah maju peradabannya di Demak dan Jepara lambat laun dikenal di pedalaman Jawa Tengah. Pada paruh kedua abad ke-16 pangeran Karang Gayam menulis sajak moralistic Jawa nitisruti. Dalam cerita tutur sastra Jawa mendapat julukan “Pujangga PaJang”. Dari cerita tutur mengenai nitisruti dan pengarangnya pangeran Karang Gayam, boleh diambil kesimpulan bahwa pada zaman kesultanan Pajang kesusasteraan Jawa juga dihayati dan dihidupkan di Jawa Tengah bab selatan.[13]
III. KESIMPULAN 
Dari uraian yang sudah disampaikan mampu disimpulkan bahwa, antara karya sastra pada abad Hindu Budha dengan karya sastra hasil interelasi Jawa dan Islam terdapat suatu perbedaan, ialah : karya sastra pada era Hindu Budha lebih banyak menceritakan tentang iktikad kepada yang kuasa-tuhan. Sedangkan setelah terjadi interelasi karya sastra yang dibuat sudah terpengaruh dengan komponen Islam yakni bagian ketauhidan dan bagian kebijakan yang salah satu maksudnya sebagai jalan dakwah Islam.
IV. PENUTUP
Demikian yang mampu pemakalah sampaikan, penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata tepat. Sehingga pemakalah mengharap kritik dan usulan yang bersifat membangun dari para pembaca, demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini menawarkan faedah dan menambah pengetahuan kita. Amiin.
DAFTAR PUSTAKA
  • Hamdi Salad, Agama Seni ; Refleksi Teologis dalam Ruang Estetik, Yogyakarta : Semesta, 2000. Ismail Raji’ Al-Faruqi, Seni Tauhid; Esensi dan Ekspresi Estetika Islam, Yogyakarta : Bentang, 1986.
  • Prof. Dr. Simuh, Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa, Makalah Seminar Pengaruh Islam Terhadap Budaya Jawa, 2000.
  • Tim Penyusun Master, Sejarah SMU Kelas 1, Solo : Cempaka Putih, 2003.
  • Edi Sedyawati, Budaya Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
  • M. Hariwijaya, Islam Kejawen, Yogyakarta : Gelombang Pasang, 2006.
  • Hj. De Graaf dan Th. G. Th Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Jakarta : PT. Pustaka Grafiti Press, 1974.
  Dogma, Ritual, Dan Pandangan Hidup Orang Jawa