Interaksi Sosial Anak Berkebutuhan Khusus

Interaksi Sosial Anak Berkebutuhan Khusus 
Pendahuluan
Masalah kelainan kemajuan yang terjadi di dalam diri anak-anak bangsa ini, yang perkembangannya mengalami hambatan, gangguan, keterlambatan atau mempunyai aspek-faktor resiko sehingga untuk mencapai kemajuan maksimal diharapkan penanganan atau intervensi khusus dan kalangan inilah yang kemudian diketahui sebagai anak berkebutuhan khusus. Pendidikan ialah kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya, oleh alasannya itu negara mempunyai keharusan untuk menunjukkan pelayanan pendidikan bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang mempunyai perbedaan dalam kesanggupan. Adapun beberapa kebijakan pemerintah dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 bahwa negara menunjukkan jaminan sepenuhnya terhadap anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 tahun 2009 ihwal pendidikan inklusif bagi penerima ajar yang memiliki kelainan dan mempunyai potensi kecerdasan atau talenta istimewa. Anak-anak autis dalam aktifitasnya di sekolah ada saja teriakan-teriakan yang histeris dan tindakan-tindakan yang tidak masuk akal dan mungkin jarang terjadi pada anak normal pasti maka kemudian terdapat kesan yang berlawanan-beda dalam memperhatikan dan memahami proses interaksi belum dewasa autis di sekolah ini. Hal ini lalu diperparah oleh realita bahwa bawah umur autis mendapatkan ilmu dengan sungguh kurang dari proses belajarnya disekolah dan pengarahan sistem pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan terutama, disamping itu kesanggupan-kemampuan mereka mirip kesanggupan interaksinya yang terus–menerus kurang mengalami kenaikan, kondisi suasana sekolah yang tidak kondusif, serta fasilitas mencar ilmu mengajar maupun kemudahan bermain yang tidak diubahsuaikan dengan kebutuhan anak autis sehingga sejauh mana konsistensi sekolah ini menerapkan proses pendidikan inklusif yang diatur sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan.
Kerangka Dasar Teori
Interaksi Sosial
Menurut Burhan Bungin (2008 : 55) bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial, sedangkan bentuk khususnya ialah acara-acara sosial, sedangkan interaksi sosial mirip yang dikemukakan oleh Bonner (Ahmadi, 1990 : 54), interaksi sosial yaitu sebuah kekerabatan antara dua orang atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu lainnya atau sebaliknya.
Syarat-syarat Interaksi Sosial
Syarat terjadinya interaksi sosial adalah adanya kontak sosial (social contact) dan adanya komunikasi (communication). Kontak intinya ialah agresi dari individu atau kelompok dan mempunyai makna bagi pelakunya yang lalu ditangkap oleh individu atau kalangan lain yang secara fisik, kontak sosial terjadi jika adanya korelasi fisikal, selaku gejala sosial bukan cuma kekerabatan badaniah, alasannya hubungan sosial terjadi tidak secara menyentuh seseorang, tetapi orang dapat berafiliasi dengan orang lain tanpa harus menyentuhnya. Sedangkan komunikasi yaitu proses dengan mana simbol lisan dan non lisan diantarkan, diterima, dan diberi arti. Selain itu adapula Bimo Walgito (2000 : 75) yang mengemukakan bahwa, komunikasi ialah proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti baik berwujud info-isu, ajaran-ajaran, wawasan, ataupun yang lain-lain dari penyampai atau komunikator kepada peserta atau komunikan. Everett M. Rogers (Cangara, 2009 : 20) komunikasi ialah proses di mana sebuah inspirasi dialihkan dari sumber terhadap satu akseptor atau lebih, dengan maksud untuk mengganti tingkah laku mereka. Setelah itu penguraian definisi ini dikembangkan oleh Evereet M. Rogers bersama D. Lawrence Kincaid (Cangara, 2009 : 20), sehingga mengeluarkan pernyataan yang gres, bahwa komunikasi yakni suatu proses di mana dua orang atau lebih membentuk atau melaksanakan pertukaran info dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.
Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Bentuk-bentuk interaksi sosial mampu berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan kontradiksi atau perselisihan (conflict). Menurut Soerjono Soekanto, kerja sama adalah suatu perjuangan bersama untuk meraih satu atau beberapa tujuan tertentu secara tolong-menolong, namun adapula yang mengemukakan bahwa kolaborasi ialah jika orang menyadari bahwa mereka memiliki kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi ialah fakta-fakta penting dalam kerja sama yang berkhasiat. Sedangkan kontravensi berdasarkan Soerjono Soekanto ialah sebuah bentuk proses sosial yang berada diantara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Kontravensi ditandai adanya gejala-tanda-tanda mirip ketidakpastian perihal diri seseorang atau suatu rencana, perasaan tidak suka yang disembunyikan dan lain-lainnya terhadap kepribadian seseorang. Adapun beberapa bentuk kontrvensi, salah satunya ialah kontravensi yang sederhana mirip menyangkal pernyataan orang lain di depan lazim, pertikaian atau konflik ialah suatu proses sosial di mana individu atau kalangan berusaha untuk menyanggupi maksudnya dengan jalan menantang pihak musuh yang dibarengi dengan bahaya atau kekerasan.
Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Heward dan Orlansky (1992:8) yang dimaksud dengan anak berkebutuhan khusus yakni belum dewasa yang mempunyai atribut fisik atau kesanggupan mencar ilmu yang berlawanan dari anak normal, baik diatas atau dibawah, yang tanpa senantiasa memperlihatkan pada ketidakmampuan fisik, mental, atau emosi, sehingga membutuhkan acara individual dalam pendidikan khusus. Selanjutnya Heward dan Orlansky membagi anak berkebutuhan khusus menjadi delapan kategori, adalah: retardasi mental, kesusahan mencar ilmu, gangguan emosi, gangguan komunikasi (bahasa dan pengucapan), tunarungu (gangguan telinga), tunanetra (gangguan pandangan), tunadaksa (gangguan fisik atau gangguan kesehatan yang lain), tunaganda (mempunyai lebih dari satu gangguan atau ketunaan yang cukup berat). Kemudian berdasarkan Direktorat Pendidikan Luar Biasa (Magunsong, 2010), mengemukakan bahwa anak berkebutuhan khusus sebagai anak yang dalam proses perkembangan atau perkembangannya mengalami kelainan atau penyimpangan (fisik, mental, intelektual, sosial, emosional), sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Penyimpangan yang dimaksud tergolong tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, lamban berguru, berbakat, tunalaras, ADHD, dan autisme.
Anak Autis
Menurut Baron dan Cohen (1985) autis adalah sebuah keadaan perihal seseorang semenjak lahir ataupun dikala periode balita yang menciptakan dirinya tidak dapat membentuk korelasi sosial atau komunikasi yang normal selain itu juga mengalami kesulitan untuk mengerti bahwa sesuatu mampu dilihat dari sudut pandang orang lain. Akibatnya anak-anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktifitas dan minat yang obsesif serta susah membuatkan kemampuan berinteraksi dan bergaul, sedangkan menurut Sugiarto dan kawan-kawan (2004) mengemukakan bahwa autis ialah kondisi anak yang mengalami gangguan korelasi sosial yang terjadi sejak lahir atau periode pertumbuhan sehingga menyebabkannya terisolasi dari kehidupan insan. Kemudian menurut Wing dan Gould (Wolfberg, 1999), ada tiga jenis interaksi sosial yang mencirikan anak autistic spectrum disorder yakni ; Aloof (bersikap menjauh atau menyendiri), Passive (bersikap pasif), Active and Odd (bersikap aktif namun abnormal).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan tata cara kualitatif dengan jenis observasi bersifat deskriptif. Metode penelitian kualitatif berasal dari paradigma interpretif yang mengacu pada kontruktivis dan kritis, yang mana penelitian ini bertujuan menerangkan fenomena dengan sedalam-dalamnya, observasi tidak mengutamakan besarnya populasi atau sampling, bila data yang terkumpul sudah mendalam dan mampu menerangkan fenomena yang diteliti maka tidak butuhmencari sampling yang lain, sebab yang ditekankan adalah masalah kedalaman (kualitas) data bukan kuantitas data.
Hasil Penelitian
1. Komunikasi anak berkebutuhan khusus (anak penyandang autis) di SDN 016/016 Inklusif Samarinda.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan maka apabila kondisi belum dewasa tersebut sedang stabil, proses interaksi atau komunikasi anak–anak penyandang autis mampu berlangsung dengan berupa cara komunikasi yang khas mirip berkomunikasi dengan membuat sebuah goresan pena untuk menyampaikan sesuatu yang ingin disampaikannya, berkomunikasi dengan mengucapkan kata ”kau” jika hendak memberikan sesuatu yang mengenai dirinya, sehingga dikala mengucapkan sesuatu yang diinginkannya dia akan berkata “kau ingin….”, Berkomunikasi dengan mengulang kaka-kata yang sudah diucapkan seseorang kepadanya, sehingga apabila seseorang berkata “hai Do”, kemudian ia akan menjawab dengan berkata “hai Do”, Berkomunikasi dengan terus bertanya akan sesuatu yang diucapkan seseorang kepadanya, maka saat seseorang berkata “Ald apa kau memiliki botol minuman?”, kemudian dia akan menjawab dengan berkata “Apa itu dan buat apa?”, Berkomunikasi cuma untuk membicarakan sesuatu yang disukai. akan tetapi kalau kondisi mereka sedang tidak stabil mampu membuat guru-gurunya kurang bisa mengerti perkataan mereka, terlebih guru-guru disini kebanyakan berasal dari pendidikan guru yang biasa, sedangkan guru yang berpendidikan khusus sesuai dengan bawah umur ini hanya sedikit dan pada umumnya guru berjenis kelamin wanita yang bertugas menanggulangi belum dewasa autis di sekolah ini sedangkan guru-guru yang berjenis kelamin pria masih sedikit. Selain itu sistem pengajaran dan pendidikan yang diberikan terhadap anak autis ternyata sama dengan yang diberikan terhadap anak reguler
2. Kerja sama anak berkebutuhan khusus (anak penyandang autis) di Sekolah Dasar Negeri 016/016 Inklusif Samarinda.
Hasil observasi memberikan bahwa ada sebuah kolaborasi yang terjalin diantara 2 orang anak autis, dengan kesamaan kegemaran yang dimiliki oleh 2 orang penyandang autis tersebut bisa membuat keduanya terlibat melakukan suatu aktivitas yang mereka senangi, dari keakraban korelasi mereka mengakibatkan sebuah ikatan pertemanan sehingga jika salah satu tidak hadir di sekolah, akan ada seseorang yang merasa kehilangan teman bermain. Sehingga mereka kurang berkenan menjalin relasi dengan orang yang tidak memiliki hobi yang serupa dengan mereka.
3. Kontravensi anak berkebutuhan khusus (anak penyandang autis) di SDN 016/016 Inklusif Samarinda.
Hasil observasi memperlihatkan adanya terjadi suatu perdebatan antara seorang siswa dengan salah satu penyandang autis yang menyangkal dan tidak mau jikalau dia disebut selaku anak penyandang autis, disini salah seorang penyandang autis merasa bahwa beliau merasa sama seperti sahabat-temannya yang normal, dan merasa dirinya tidak memiliki gangguan apapun mirip yang dituduhkan oleh temannya tersebut.
4. Pertikaian (pertentangan) anak berkebuthan khusus (anak penyandang autis) di SDN 016/016 Inklusif Samarinda
Hasil penelitian memperlihatkan adanya pertentangan yang dialami seorang penyandang autis dengan belum dewasa dari kelas reguler yang sudah menganggu dan berbuat suatu tindakan yang tidak pantas, yang menyebabkan ia takut untuk keluar dari kelas atau pergi kekantin, disamping itu adapula pertentangan yang disebabkan oleh seorang anak autis yang memiliki rasa takut terhadap suatu gambar yang menurutnya seram, sehingga apabila ada seseorang yang memberikan gambar tersebut kepadanya, menjadikannya murka kemudian berteriak histeris dan melemparkan benda-benda yang berada disekitarnya atau melakukan tindakan bernafsu lainnya, adapula pertentangan diantara 2 orang anak yang mana salah satunya merupakan anak autis yang tidak menggemari dengan suasana yang ribut, maka saat ada seorang temannya yang berteriak-teriak, beliau sangat marah dan memukul temannya tersebut. Meningkatnya pertentangan di sekolah ini karena adanya peraturan pihak sekolah yang melarang keberadaan orang tua untuk mengawasi dan mendampingi anaknya di sekolah.
Kesimpulan
1. Interaksi atau proses komunikasi
Melakukan komunikasi hanya dengan seseorang yang diharapkan atas dasar adanya suatu kepentingan tertentu, gaya bicara yang khas seperti mengulangi suatu kata yang telah dikatakan sesorang kepadanya, kemudian ada contoh Berkomunikasi yang asing seperti membalikkan pengucapan kata yang seharusnya ditunjukkan untuk dirinya sendiri dengan mengucapkan kata ”kamu” kalau hendak menyampaikan sesuatu yang tentang dirinya dan salah satu faktor yang menghipnotis terjalinnya komunikasi adalah topik obrolan yang disenangi. Kesulitan komunikasi terjadi bukan cuma alasannya adanya kekurangan fisik atau mental yang diderita oleh anak autis semata tetapi pihak sekolah beserta guru yang bertugas mengajar kurang menunjukkan perhatian dan kurang melaksanakan pendekatan untuk menjalin relasi yang erat, selain itu guru-guru yang mengajar banyak yang tidak berkompeten sehingga kurang mampu mengerti sifat, kondisi, dan lain-yang lain. Serta metode pengajaran dan pendidikan yang tidak cocok dengan keadaan anak penyandang autis yang semestinya mendapat pendidikan yang tepat untuk mengatasi dan menolong mereka. Selain itu di sekolah ini terdapat lebih banyak tenaga pengajar yang berjenis kelamin wanita dari pada tenaga pengajar berjenis kelamin pria yang sangat sedikit dalam bertugas menanggulangi bawah umur autis padahal pada umumnya bawah umur ini bersikap hiperaktif sehingga sukar untuk diatur dan dikendalikan.
2. Pertikaian (konflik)
Pertikaian (konflik) disekolah ini yang berupa perkelahian antara seorang penyandang autis yang memukul temannya alasannya adalah tidak menyukai situasi keributan yang sudah ditimbulkan oleh temannya tersebut, kemudian ada seorang anak penyandang autis yang mendapat perlakuan jahil dan berangasan dari seorang anak normal, yang menjadikannya takut dan syok. Adapula seorang anak autis yang mampu adu dan bertindak agresif terhadap siapapun yang memberikan suatu bentuk uang kertas bergambar seseorang yang tidak disukainya. Sekolah ini menunjukkan perhatian yang kurang dalam pengawasan dan mengendalikan anak-anak yang suka mengusik anak autis. Apalagi penerapan peraturan sekolah yang tidak memperbolehkan orang bau tanah berada untuk memantau anak-anaknya kian menciptakan belum dewasa penyandang autis tidak terkontrol, serta kurangnya pengalaman yang dimiliki oleh guru-guru mengakibatkan belum dewasa belum mampu keluar dari panik-ketakutannya yang mereka rasa mengancam.
Saran
1. Sebaiknya pihak sekolah lebih secara umum dikuasai melaksanakan penyaringan tenaga pengajar yang berjenis kelamin pria untuk bisa mengendalikan bawah umur autis yang lebih banyak bersifat hiperaktif dan kemampuan tenaga pengajar yang disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 pasal 21 ayat (1) bahwa pelaksaan proses pembelajaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) harus mengamati jumlah optimal penerima bimbing per kelas dan beban mengajar optimal per latih, rasio maksimal buku teks pengajaran setiap akseptor latih, dan rasio optimal jumlah penerima ajar setiap pendidik. Selain itu Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun Pasal 28 ayat (1) bahwa, pendidik mesti mempunyai kualifikasi akademik, dan kompeten sebagai distributor pembelajaran, sehat jasmani, dan rohani serta mempunyai kemamapuan untuk mewujudkan tujuan pendidkan nasional, kemudian pada ayat (2) bahwa kualifikasi akademik yang dimaksud ialah tingkat pendidkan minimal yang mesti dipenuhi oleh seorang pendidik yang dibuktikan dengan ijazah dan sertifikat keterampilan yang berkaitan sesuai ketentuan perundang-usul, berikutnya pada ayat (3) bahwa kompetensi selaku biro pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar dan menegah serta pendidkan usia dini yang mencakup kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial, berikutnya ayat (4) bahwa seseorang yang tidak memiliki ijazah dan sertifikat keterampilan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) namun memiliki keterampilan khusus yang diakui dan dibutuhkan mampu diangkat menjadi pendidik setelah melalui uji kelayakan dan kesetaraan, dan kemudian pada ayat (5) bahwa kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat 1 samapai dengan ayat 4 dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 41 ayat (1) bahwa setiap satuan pendidikan yang melakukan pendidikan inklusif harus mempunyai tenaga pendidikan yang berkompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi akseptor latih dengan keperluan khusus.
2. Sebaiknya pihak sekolah dengan teliti mengendalikan planning pelaksanaan pembelajaran yang disesuaikan dengan belum dewasa penyandang autis seperti yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 pasal 41 ayat (2) bahwa kriteria penyelenggaraan pembelajaran pendidikan inklusif dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri, lalu Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 19 ayat (1) bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan secara interaktif, inspiratif, menggembirakan, menantang, memotivasi peserta bimbing untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreatifitas dan kemandirian sesuai dengan talenta, minat, dan pertumbuhan fisik serta psikologis penerima didik.
3. Sebaiknya pihak sekolah menyelenggarakan sebuah tim yang bertugas secara terus-menerus mengendalikan aktifitas bawah umur penyandang autis dan memberi penyadaran kepada belum dewasa wajar wacana rasa toleransi terhadap saudaranya yang memiliki kekurangan fisik dan mental. Selanjutnya perihal peraturan sekolah yang melarang para orang renta mereka berada dan menanti anak-anaknya disekolah, mungkin sebaiknya peraturan tersebut di ubah menjadi peraturan yang memberi ijin terhadap para orang renta untuk dapat menanti dan mengawasi anak-anaknya di sekolah dengan hanya memperbolehkan para orang renta berada di suatu tempat yang di sediakan khusus untuk para orang bau tanah yang ingin menunggu anaknya.

Abstrak
Dunia pendidikan semakin bermacam-macam dengan segala problem-persoalan yang kompleks dalam penyelenggaraan pinjaman anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menawarkan fasilitas dan menjamin aksesibilitas bagi anak, utamanya dalam menjamin kemajuan dan perkembangannya baik fisik, mental, spritual, maupun sosial secara maksimal dan terarah. Begitu pula dengan persoalan-masalah yang dihadapi oleh beberapa anak berkebutuhan khusus yang mengalami kesusahan berinteraksi sosial di lingkungannya, utamanya anak penyandang autis. Keterbatasan kemampuan anak-anak penyandang autis dalam proses berinteraksi sosial baik dalam proses komunikasi, kolaborasi, kontravensi, dan pertentangan dengan orang-orang di sekitarnya. Banyak para abdnegara pemerintah merumuskan bentuk-betuk kebijakan dalam penyelesaian kesenjangan ini. Salah satunya dengan adanya kebijakan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah formal. Akan tetapi pada pelaksaannya tidak berlangsung secara efektif yang kemudian mampu berakibat terjadinya peningkatan ketidakmampuan belum dewasa tersebut dalam berinteraksi, berkembang dan pendidikan yang mereka terima sungguh tidak maksimal. Sehingga dalam hal ini penulis sungguh kepincut untuk mampu meneliti proses interaksi sosial anak penyandang autis, yang objeknya adalah siswa penyandang autis di SDN 016/016 Inklusif Samarinda
Kata Kunci : Interaksi Sosial, Pendidikan, Anak Dengan Kebutuhan Khusus, Autis
Daftar Pustaka
Abu Ahmadi, 1990. Psikologi Sosial. Semarang.
Baron – Cohen, S. Leslie, A. M. dan Frith U. 1985. Does The Autistic Chid Have A “Theory Of Mind?”. Cognition, Ibid.
Bimo Walgito, 2000. Psikologi Sosial Suatu Pengantar, Andi,Yogyakarta.
Burhan Bungin, 2008. Sosiologi Komunikasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Hafied Cangara, 2008. Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.­­­
Heward W. dan Orlansky M. 1992. Exceptional Children (4th ed). New York: Macmillan.
Rachmat Kriyantono, 2010. Teknik Riset Komunikasi, PT. Kencana, Jakarta.
Soejorno Soekanto, 1996, 2002, 2005. Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Grafindo Persada, Jakarta.
Sugiarto, S, Prambahan, D.S., dan Pratitis, N.T. 2004. Pengaruh Social Story Terhadap Kemampuan Berinteraksi Sosial pada Anak Autis. Anima.
Wolfberg, Pamela J.1999. Play imajination in children with autisme. Teachers College, Columbia University, New York and London.