instrumen pencegahan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup menurut Pasal 14 UU PPLH 2009 berisikan : a. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), b. tata ruang, c. baku kualitas lingkungan hidup, d. persyaratan baku kerusakan lingkungan hidup, e. amdal, f. UKL-UPL, g. perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, i. peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, j. budget berbasis lingkungan hidup, k. analisis risiko lingkungan hidup, l. audit lingkungan hidup; dan m. instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau pertumbuhan ilmu pengetahuan.
Analisis
Instrumen yang sudah diterangkan dalam pasal tersebut diatas yakni telah cukup lengkap untuk melindungi lingkungan hidup dari pencemaran dan kerusakan, tetapi dalam penerapannya justru beberapa instrument tidak diperhatikan sama sekali, misalnya instrument perizinan, kadangkala pejabat yang berwenang dalam memberikan izin sama sekali tidak mengamati aspek resiko lingkungan, dan menunjukkan izin pengelolaan tersebut dengan sangat gampang hanya demi pemasukan daerah. Alhasil tidak sedikit sungai- sungai di Indonesia yang mengalami kerusakan lingkungan sebab diakibatkan hal tersebut. Instrumen Amdal, banyak perusahaan di Indonesia yang masih tidak mempunyai dokumen amdal, sehingga kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh minimnya pengananggulangan akhir pun terjadi.
Contoh Kasus
40 Pabrik di Cilegon belum memiliki Amdal, hal tersebut pertanda bahwa penerapan undang-undang ini belum efektif alasannya adalah masih banyak pihak- pihak yang belum mengetahui atau masih mengabaikan berlakunya Undang- undang ini. Hal tersebut ialah urusan yang besar, karena berhubungan dengan kelangsungan fungsi dari lingkungan hidup yang jika diabaikan akan menyebabkan kerugian yang dialami oleh insan itu sendiri.
1. KLHS
KLHS merupakan instrument aturan baru dalam sistem aturan lingkungan di Indonesia. KLHS gres dikelola dalam UU PPLH 2009. Menurut PAsal 1 angka 10 UUPPLH 2009, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkesinambungan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan sebuah wilayah dan/atau kebijakan, planning dan/atau program.
Dengan demikian KLHS selaku upaya untuk mencari terobosan dan memutuskan bahwa pada tahap awal penyusunan kebijakan, rencana dan/atau acara prinsip-prinsip pembangunan berkesinambungan sudah diperhitungkan. Makna strategis mengandung arti perbuatan atau aktivitas sejak awal proses pengambilan keputusan yang berakibat signifikan terhadap hasil tamat yang mau diraih. Dalam konteks KLHS perbuatan dimaksud ialah suatu proses kajian yang mampu menjamin dipertimbangkannya hal-hal prioritas dari aspek pembangunan berkelanjutan dalam proses pengambilan keputusan pada kebijakan, planning dan/atau acara sejak dini. Secara prinsip bergotong-royong KLHS ialah suatu self assessment untuk menyaksikan sejauh mana Kebijakan, Rencana dan/atau Program (KRP) yang direkomendasikan oleh pemerintah dan/atau pemerintah kawasan sudah memikirkan prinsip pembangunan berkesinambungan, baik untuk kepentingan ekonomi, dan social, selain lingkungan hidup. Dengan KLHS ini pula diharapkan KRP yang dihasilkan dan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menjadi lebih baik.
KLHS dibutuhkan sebagai sebuah instrument/tools dalam rangka self assessment untuk melihat sejauh mana Kebijakan, Rencana dan/atau Program (KRP) yang dianjurkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah telah menimbang-nimbang prinsip pembangunan berkesinambungan. Dengan KLHS ini pula diharapkan KRP yang dihasilkan dan ditetapkan oleh pemerintah dan pemerintah kawasan menjadi lebih baik.
KLHS dikerjakan dengan tahapan sebagai berikut:
-
Pengkajian efek Kebijakan, Rencana, dan/atau Program terhadap kondisi lingkungan hidup di sebuah wilayah;
-
Perumusan alternatif penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program; dan
-
Rekomendasi perbaikan untuk pengambilan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program yang mengintegrasikan prinsip pembangunan berkesinambungan. Tahapan mirip ini dilaksanakan baik untuk acara penyusunan rencana maupun evaluasi.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) bertujuan untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkesinambungan sudah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan. KLHS dipakai untuk mempersiapkan dan menganalisa kebijakan, rencana dan/atau program agar dampak dan/atau risiko lingkungan yang tidak diperlukan dapat diminimalkan, sedangkan dalam penilaian kebijakan, planning dan/atau acara, KLHS dipakai untuk mengidentifikasi dan menawarkan alternatif penyempurnaan kebijakan, rencana dan/atau program yang menimbulkan efek dan/atau risiko negatif kepada lingkungan.
KLHS bermanfaat untuk memfasilitasi dan menjadi media proses belajar bersama antara pelaku pembangunan, dimana seluruh pihak yang terkait penyusunan dan penilaian kebijakan, planning dan/atau acara mampu secara aktif mendiskusikan seberapa jauh substansi kebijakan, planning dan/atau acara yang dirumuskan telah menimbang-nimbang prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Melalui proses KLHS, dibutuhkan pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan dan penilaian kebijakan, rencana dan/atau program dapat mengenali dan mengetahui pentingnya menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam setiap penyusunan dan evaluasi kebijakan, planning dan/atau acara.
Ada beberapa prinsip dalam KLHS :
Prinsip 1: Penilaian Diri (Self Assessment)
Makna prinsip ini yakni perilaku dan kesadaran yang timbul dari diri pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses penyusunan dan/atau evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau program supaya lebih mengamati prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan memikirkan prinsip-prinsip tersebut dalam setiap keputusannya.Prinsip ini beranggapan bahwa setiap pengambil keputusan mempunyai tingkat kesadaran dan kepedulian atas lingkungan. KLHS menjadi media atau katalis agat kesadaran dan kepedulian tersebut terefleksikan dalam proses dan terformulasikan dalam produk pengambilan keputusan untuk setiap kebijakan, recana, dan/atau acara.
Prinsip 2: Penyempurnaan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program
Prinsip ini menekankan pada upaya penyempurnaan pengambilan keputusan suatu kebijakan, rencana, dan/atau acara. Berdasarkan prinsip ini, KLHS tidak dimaksudkan untuk menghalangi proses penyusunan rencana kebijakan, planning, dan/atau program. Prinsip ini berpendapat bahwa penyusunan rencana kebijakan, planning, dan/atau program di Indonesia selama ini belum mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan secara optimal.
Prinsip 3: Peningkatan Kapasitas dan Pembelajaran Sosial
Prinsip ini menekankan bahwa intergrasi KLHS dalam perencanaan kebijakan, planning, dan/atau program menjadi media untuk belajar bareng khususnya perihal gosip-isu pembangunan berkesinambungan, baik bagi penduduk biasa maupun para birokrat dan pengambil keputusan. Dengan prinsip ini, pelaksanaan KLHS memungkinkan seluruh pemangku kepentingan yang terlibat dalam perencanaan kebijakan, rencana, dan/atau program untuk mengembangkan kapasitasnya mengapresiasi lingkungan hidup dalam keputusannya. Melalui KLHS diharapkan masyarakat, birokrat, dan pengambil keputusan lebih cerdas dan kritis dalam menentukan keputusan pembangunan biar berkelanjutan.
Prinsip 4: Memberi Pengaruh pada Pengambilan Keputusan
Prinsip ini menekankan bahwa KLHS memberikan efek kasatmata pada pengambilan keputusan. Dengan prinsip ini, KLHS akan mempunyai makna apabila pada risikonya dapat menghipnotis pengambilan keputusan, terutama untuk menentukan atau menetapkan kebijakan, rencana, dan/atau acara yang lebih menjamin pembangunan yang berkelanjutan.
Prinsip 5: Akuntabel
Prinsip ini menekankan bahwa KLHS mesti diselenggarakan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Prinsip akuntabel KLHS sejalan dengan prinsip tata pemerintahan yang bagus (good governance). KLHS tidak ditujukan untuk menjawab tuntutan para pihak. Dengan prinsip ini, pelaksanaan KLHS dapat lebih menjamin akuntabilitas perumusan kebijakan, planning, dan/atau program bagi seluruh pihak.
Prinsip 6: Partisipatif
Sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 wacana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, prinsip ini menekankan bahwa KLHS mesti dilakukan secara terbuka dan melibatkan masyarakat dan pemangku kepentingan yang lain yang terkait dengan kebijakan, planning, dan/atau acara. Dengan prinsi ini dibutuhkan proses dan produk kebijakan, planning, dan/atau program semakin mendapatkan legitimasi atau akidah publik.
KLHS menurut Pasal 16 UUPPLH 2009 memuat hal-hal sebagai berikut :
-
Kapasitas daya dukung dan daya tamping lingkungan hidup;
-
Perkiraan mengenai efek resiko lingkungan hidup;
-
Kinerja layanan/jasa ekosistem;
-
Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
-
Tingkaat kerentaan dan kapasitas adaptasi kepada pergantian iklim;
-
Tingkat ketahanan dan potensi keaneka ragamaan hayati.
KLHS tidaklah sama dengan AMDAL, perbedaan fundamental antara KLHS dengan AMDAL bahwa KLHS ialah instrument untuk mengintegrasikan aspek lingkungan pada tahapan permulaan pengambilan keputusan ihwal kebijakan, planning, dan program. Sementara Amdal ialah studi efek dari sebuah aktivitas (proyek) kepada lingkungan. KLHS berada di arah kebijakan, rencana, program atau hulu, sedangkan Amdal di aras proyek atau hilir dari proses pembangunan.
2. Tata Ruang
Penegasan tata ruang sebagai instrument pencegahan, pencemaran, dan atau kerusakan lingkungan hidup terdapat dalam Pasal 14 huruf b UUPPLH 2009. Tata ruang berfungsi untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, terutama dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan.
Keterkaitan tata ruang dengan pengelolaan lingkungan hidup semakin tegas dalam PP No. 27 Tahun 2012 perihal Izin Lingkungan. Dalam PP ini ditegaskan bahwa dalam penetapan lokasi rencana usaha harus sesuai dengan rencana tata ruang. Jika tidak, maka dokumen lingkungan dan perizinan tidak akan dinilai dan diterbitkan.
3. Izin Lingkungan
Izin Lingkungan ialah instrument hukum admnistrasi yang diberikan oleh pejabat berwenang. Izin lingkungan berfungsi untuk mengendalikan tindakan nyata individu dan dunia perjuangan agar tidak menghancurkan atau mencemar lingkungan. Sebagai bentuk pengaturan langsung, izin lingkungan mempunyai fungsi untuk membina, mengarahkan, dan menertibkan aktivitas individu atau tubuh aturan biar tidak mencamari serta menghancurkan lingkungan. Fungsi utama dari izin lingkungan yakni bersifat prefentif yakni pencegahan pencemaran yang tercermin dari keharusan-keharusan dicantumkan dalam perizinan lingkungan. Sedangkan fungsi represifnya untuk menanggulangi pencemaran dan perusakan yang diwujudkan dalam bentuk pencabutan izin.
Secara yuridis formal defenisi izin lingkungan ada dalam Pasal 1 angka 35 UUPPLH 2009 bahw : “izin yang diberikan terhadap setiap orang yang melaksanakan usaha dan/atau acara yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka pemberian dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk menemukan izin perjuangan dan/atau aktivitas”
Dari pemahaman tersebut maka izin lingkungan tidak diharapkan untuk semua jenis perjuangan dan/atau kegiatan, melainkan hanya diwajibkan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL (Upaya Pemantauan Lingkungan dan Upaya Pengelolaan Lingkungan). Hal ini selerasa dengan fungsi izin lingkungan untuk menertibkan perjuangan dan/atau kegiatan yang memiliki imbas terhadap lingkungan hidup. Ketentuan ini merupakan hal baru yang jauh lebih progresif dari dua undang-undang lingkungan hidup terdahulu.
Selain Izin Lingkungan, diketahui juga dengan Izin pinjaman dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH): diterbitkan selaku tolok ukur izin lingkungan dalam rangka pertolongan dan pengelolaan lingkungan hidup. Makara sebelum diterbitkan Izin Lingkungan maka diterbitkan terlebih dulu PPLH.
Izin PPLH diterbitkan pada tahap operasional, Izin PPLH, antara lain:
-
pembuangan air limbah ke air atau sumber air;
-
pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah
-
penyimpanan sementara limbah B3;
-
pengumpulan limbah B3;
-
pemanfaatan limbah B3;
-
pengolahan limbah B3;
-
penimbunan limbah B3;
-
pembuangan air limbah ke maritim;
-
dumping ke media lingkungan;
-
pembuangan air limbah dengan cara reinjeksi; dan
-
emisi; dan/atau
-
pengintroduksian organisme hasil rekayasa genetika ke lingkungan.
Penerbitan Izin Lingkungan
Kewenangan penerbitan Izin Lingkungan :
-
Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan surat keputusan kelayakan lingkungannya dan rekomendasi UKL-UPLnya
-
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota mampu menyuruh keputusan kelayakan lingkungan atau nasehat UKL-UPL kepada pejabat yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
Izin Lingkungan diperoleh lewat tahapan kegiatan yang mencakup:
-
penyusunan Amdal dan UKL-UPL;
-
penilaian Amdal dan investigasi UKL-UPL; dan
-
permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan.
Permohonan Izin Lingkungan :
ž Permohonan Izin Lingkungan diajukan secara tertulis terhadap Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
ž Permohonan Izin Lingkungan disampaikan berbarengan dengan pengajuan penilaian Andal dan RKL-RPL atau pemeriksaan UKL- UPL.
ž Permohonan izin lingkungan, mesti dilengkapi dengan:
1. dokumen Amdal atau formulir UKL-UPL;
2. dokumen pendirian Usaha dan/atau Kegiatan;
3. dan profil Usaha dan/atau Kegiatan.
Jangka Waktu Penerbitan Izin Lingkungan, sejak kriteria permintaan izin dinyatakan lengkap :
ž izin lingkungan: paling lama 100 hari (evaluasi 75, pengumuman 15 hari, SKKL 10 hari)
ž Waktu tidak tergolong waktu untuk melengkapi data, atau informasi yang masih dianggap kurang oleh pejabat yang berwenang
Pengumumam Izin Lingkungan :
ž Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengumumkan terhadap masyarakat terhadap permintaan dan keputusan izin lingkungan.
ž Pengumuman terhadap penduduk disampaikan lewat Multi media dan Papan pengumuman di lokasi perjuangan dan/atau aktivitas
Masa berlaku Izin Lingkungan Izin lingkungan kelayakan mengikuti masa berlaku izin usaha
Muatan Izin Lingkungan :
1. Persyaratan merujuk SKKLH lain jumlah dan jenis Izin PPLH
2. Kewajiban penanggung jawab perjuangan dan/atau aktivitas merujuk SKKLH:
¡ Rencana kelola lingkungan hidup merujuk pada kepuetusan kelayakan perjuangan dan/atau kegiatan
¡ Rencana patau lingkungan hidup merusuk pada keputusan kelayakan lingkungan.
¡ Kewajiban lain yang ditentukan Menteri, gubernur atau bupati/walikota
3. Rekomendasi untuk menemukan izin atau menaati PUU instansi terkait
4. Masa berlaku izin lingkungan
Muatan Izin lingkungan PPLH:
1. Persyaratan teknis yang lebih rinci:
¡ indeks atau parameter lingkungan kuantitatif dan kualitatif dengan merujuk
¡ Sertifikat kompetensi yang harus diperoleh
¡ Persyaratan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang
2. Kewajiban kelola dan pantau lingkungan untuk menjamin tercapainya PPLH
3. abad berlaku izin PPLH
Integritas Izin Lingkungan dan Izin PPPLH :
ž Izin PPLH diterbitkan berdasarkan persyaratan yang tercantum dalam Izin Lingkungan
ž Pelanggaran izin lingkungan maupun izin PPLH mampu menimbulkan pencabutan izin usaha atas saran Menteri LH
Penolakan Izin Lingkungan :
ž Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan bila tidak dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL
ž Dalam hal izin lingkungan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penanggung jawab perjuangan dan/atau acara tidak dapat mengajukan izin usaha dan/atau kegiatan.
Pembatalan Izin Lingkungan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib membatalkan izin lingkungan jika:
1. tolok ukur yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat aturan, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau isu;
2. Penanggung jawab usaha/kegiatan tidak melakukan standar dan kewajiban dalam izin lingkungan sehingga terjadi pencemaran dan perusakan lingkungan
Perubahan Izin Lingkungan, Izin lingkungan wajib diubah apabila:
1. Terjadi pergantian kepemilikan perjuangan dan/atau acara
2. perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup;
3. pergeseran yang berpengaruh kepada lingkungan hidup yang memenuhi tolok ukur:
a. perubahan dalam penggunaan alat-alat bikinan yang berpengaruh terhadap lingkungan hidup;
b. penambahan kapasitas produksi;
c. perubahan spesifikasi teknik yang memengaruhi lingkungan;
d. pergeseran sarana Usaha dan/atau Kegiatan;
e. ekspansi lahan dan bangunan Usaha dan/atau Kegiatan;
f. pergantian waktu atau durasi operasi Usaha dan/atau Kegiatan;
g. Usaha dan/atau Kegiatan di dalam daerah yang belum tercakup di dalam Izin Lingkungan;
h. terjadinya pergeseran kebijakan pemerintah yang ditujukan dalam rangka kenaikan santunan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan/atau
i. terjadi perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar akibat kejadian alam atau alasannya adalah akhir lain, sebelum dan pada waktu Usaha dan/atau Kegiatan yang bersangkutan dikerjakan;
4. Terdapat pergantian imbas dan/atau risiko kepada lingkungan hidup berdasarkan hasil kajian analisis risiko lingkungan hidup dan/atau audit lingkungan hidup yang diwajibkan; dan/atau
5. Tidak dilaksanakannya rencana Usaha dan/atau Kegiatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun semenjak diterbitkannya Izin Lingkungan.
Kewajiban Pemegang Izin Lingkungan :
1. menaati kriteria dan keharusan yang diangkut dalam Izin Lingkungan dan izin pertolongan dan pengelolaan lingkungan hidup;
2. menciptakan dan menyampaikan laporan pelaksanaan kepada kriteria dan kewajiban dalam Izin Lingkungan terhadap Menteri, gubernur, atau bupati/walikota; dan
3. menawarkan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-seruan
4. Amdal dan UKL-UPL
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yaitu kajian mengenai dampak besar dan penting sebuah usaha dan/atau acara yang dijadwalkan pada lingkungan hidup yang diharapkan bagi proses pengambilan keputusan perihal penyelenggaraan usaha dan/atau aktivitas di Indonesia. AMDAL ini dibentuk dikala perencanaan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan dampak terhadap lingkungan hidup di sekitarnya. Yang dimaksud lingkungan hidup di sini adalah aspek Abiotik, Biotik, dan Kultural.
Amdal bermula dari Amerika Serikat, tahun 1969. Dikenal dengan nama Environmental Impact Assesment (EIA), lalu The National Enviromental Policy Act of 1969 (NEPA 1969) diperkenalkan sebagai sebuah instrumen untuk mengatur pengaruh segala jenis aktivitas yang bisa menghancurkan kelestarian lingkungan. Instrumen tersebut dalam bentuk peraturan. Dalam perkembangan selanjutnya, peraturan ini diadopsi oleh banyak negara.
Tahun 1982, Indonesia mengeluarkan undang-undang (UU) lingkungan hidup. UU ini dikontrol lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1986, yang lalu diganti PP Nomor 51 Tahun 1993, dan terakhir diganti lagi dalam PP Nomor 27 Tahun 1999.
Defenisi Amdal dalam peraturan perundang-usul di Indonesia tertuang dalam PP No. 27/ 1999 : Amdal yakni kajian tentang imbas besar dan penting sebuah perjuangan dan atau acara yang dijadwalkan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.
Selai itu dalam UU No. 32/2009 Tentang PPLH. Dalam penjelasannya, Amdal ialah salah satu alat bagi pengambil keputusan untuk memikirkan balasan yang mungkin ditimbulkan oleh suatu rencana usaha dan atau acara terhadap L.H guna mempersiapkan langkah untuk menanggulangi imbas negatif dan menyebarkan pengaruh faktual.
Dengan demikian tidak semua rencana kegiatan wajib Amdal, kecuali yang memiliki pengaruh lingkungan. Hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 22 (1) UU PPLH 2009 “bahwa setiap perjuangan dan/atau kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan hidup wajib mempunyai amdal”. Ketentuan Umum PP Amdal, Dampak besar dan penting yakni perubahan lingkungan hidup yang sungguh fundamental yang diakibatkan oleh sebuah usaha dan/atau acara; Pasal 22 Ayat (2) menjelaskan, dampak penting dimaksud ditentukan menurut kriteria:
a. besarnya jumlah penduduk yang mau terkena efek planning usaha dan/atau aktivitas;
b. luas daerah penyebaran pengaruh;
c. intensitas dan lamanya efek berlangsung;
d. banyaknya unsur lingkungan hidup lain yang hendak terkena dampak;
e. sifat kumulatif efek;
f. berbalik atau tidak berbaliknya imbas; dan/atau
g. patokan lain sesuai dengan kemajuan ilmu wawasan dan teknologi.
Kriteria usaha dan/atau aktivitas yang berdamapk penting yang wajib dilengkapi dengan Amdal menurut Pasal 23 (1) UUPPLH 2009 terdiri atas :
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;
c. proses dan acara yang secara memiliki potensi mampu mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang balasannya mampu mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan acara yang kesannya akan menghipnotis pelestarian tempat konservasi sumber daya alam dan/atau derma cagar budaya;
f. introduksi jenis berkembang-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. pengerjaan dan penggunaan bahan hayati dan nonhayati;
h. acara yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mensugesti pertahanan negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai kesempatanbesar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
Kegunaan Amdal
Kegunaan Amdal :
– Bahan bagi perencanaan pembangunan wilayah
– Membantu proses pengambilan keputusan ihwal kelayakan lingkungan hidup dari planning perjuangan dan/atau aktivitas
– Memberi masukan untuk penyusunan disain rinci teknis dari rencana usaha dan/atau kegiatan
– Memberi masukan untuk penyusunan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
– Memberi info bagi masyarakat atas pengaruh yang ditimbulkan dari sebuah rencana perjuangan dan atau acara
– memperlihatkan alternatif penyelesaian minimalisasi pengaruh negative
– digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberi ijin perjuangan dan/atau kegiatan
Agar pelaksanaan AMDAL berlangsung efektif dan dapat mencapai sasaran yang dibutuhkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan pemerintah ihwal AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib memikirkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin perjuangan/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan perihal penyelenggaraan/bantuan ijin usaha dan/atau aktivitas.
Dokumen AMDAL berisikan :
-
Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL)
-
Dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL)
-
Dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL)
-
Dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL)
Tiga dokumen (ANDAL, RKL dan RPL) diajukan bantu-membantu untuk dinilai oleh Komisi Penilai AMDAL. Hasil evaluasi inilah yang menentukan apakah rencana perjuangan dan/atau acara tersebut pantas secara lingkungan atau tidak dan apakah perlu diusulkan untuk diberi ijin atau tidak.
Prosedur Amdal berisikan :
– Proses penapisan (screening) wajib AMDAL
– Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat
– Penyusunan dan evaluasi KA-ANDAL (scoping)
– Penyusunan dan evaluasi ANDAL, RKL, dan RPL Proses penapisan atau kerap juga disebut proses seleksi acara wajib AMDAL, adalah menentukan apakah sebuah rencana kegiatan wajib menyusun AMDAL atau tidak.
Proses pengumuman dan konsultasi masyarakat. Berdasarkan Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor 08/2000, pemrakarsa wajib memberitahukan rencana kegiatannya selama waktu yang diputuskan dalam peraturan tersebut, menyikapi masukan yang diberikan, dan kemudian melaksanakan konsultasi kepada masyarakat terlebih dulu sebelum menyusun KA-ANDAL.
Proses penyusunan KA-ANDAL. Penyusunan KA-ANDAL ialah proses untuk memilih lingkup masalah yang mau dikaji dalam studi ANDAL (proses pelingkupan).
Proses penilaian KA-ANDAL. Setelah selesai disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen KA-ANDAL kepada Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, usang waktu optimal untuk evaluasi KA-ANDAL ialah 75 hari di luar waktu yang dibutuhkan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Proses penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL dilakukan dengan mengacu pada KA-ANDAL yang telah disepakati (hasil penilaian Komisi AMDAL).
Proses evaluasi ANDAL, RKL, dan RPL. Setelah simpulan disusun, pemrakarsa mengajukan dokumen ANDAL, RKL dan RPL terhadap Komisi Penilai AMDAL untuk dinilai. Berdasarkan peraturan, usang waktu maksimal untuk penilaian ANDAL, RKL dan RPL yaitu 75 hari di luar waktu yang diperlukan oleh penyusun untuk memperbaiki/menyempurnakan kembali dokumennya.
Dokumen AMDAL mesti disusun oleh pemrakarsa sebuah rencana perjuangan dan/atau acara. Dalam penyusunan studi AMDAL, pemrakarsa mampu meminta jasa konsultan untuk menyusunkan dokumen AMDAL. Penyusun dokumen AMDAL harus sudah memiliki sertifikat Penyusun AMDAL dan hebat di bidangnya. Ketentuan patokan minimal cakupan materi penyusunan AMDAL diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal Nomor 09/2000.
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses AMDAL yakni Komisi Penilai AMDAL, pemrakarsa, dan masyarakat yang berkepentingan.
· Komisi Penilai AMDAL ialah komisi yang bertugas menganggap dokumen AMDAL. Di tingkat sentra berkedudukan di Kementerian Lingkungan Hidup, di tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengurus lingkungan hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/lnstansi pengelola lingkungan hidup Kabupaten/Kota.
· Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi Penilai ini. Tata kerja dan komposisi keanggotaan Komisi Penilai AMDAL ini dikontrol dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup, sementara anggota-anggota Komisi Penilai AMDAL di propinsi dan kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
· Pemrakarsa yakni orang atau badan aturan yang bertanggungjawab atas suatu planning perjuangan dan/atau kegiatan yang hendak dijalankan.
· Masyarakat yang berkepentingan yakni masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL menurut alasan-argumentasi antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana perjuangan dan/atau aktivitas, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau aspek dampak nilai-nilai atau norma yang dipercaya.
· Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL mampu dibedakan menjadi masyarakat terkena efek, dan penduduk pemerhati.
UKL dan UPL
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) yakni upaya yang dikerjakan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup oleh penanggung jawab dan atau aktivitas yang tidak wajib melakukan AMDAL (Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 86 tahun 2002 ihwal Pedoman Pelaksanaan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup).
Kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL tetap harus melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan. Kewajiban UKL-UPL diberlakukan bagi aktivitas yang tidak diwajibkan menyusun AMDAL dan efek aktivitas mudah diatur dengan teknologi yang tersedia.
UKL-UPL merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup untuk pengambilan keputusan dan dasar untuk mempublikasikan ijin melakukan usaha dan atau kegiatan.
Proses dan prosedur UKL-UPL tidak dijalankan mirip AMDAL tetapi dengan menggunakan formulir isian yang berisi :
– Identitas pemrakarsa
– Rencana Usaha dan/atau kegiatan
– Dampak Lingkungan yang akan terjadi
– Program pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup
– Tanda tangan dan cap
Formulir Isian diajukan pemrakarsa acara terhadap :
– Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota untuk kegiatan yang berlokasi pada satu wilayah kabupaten/kota
– Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Propinsi untuk kegiatan yang berlokasi lebih dari satu Kabupaten/Kota
– Instansi yang bertanggungjawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup dan pengendalian efek lingkungan untuk acara yang berlokasi lebih dari satu propinsi atau lintas batas negara.
Kaitan antara AMDAL dengan UKL/UPL
Rencana kegiatan yang telah ditetapkan wajib menyusun AMDAL tidak lagi diwajibkan menyusun UKL-UPL (lihat penapisan Keputusan Menteri LH 17/2001). UKL-UPL dikenakan bagi acara yang sudah dimengerti teknologi dalam pengelolaan limbahnya.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Wajib
Bagi kegiatan yang telah berjalan dan belum memiliki dokumen pengelolaan lingkungan hidup (RKL-RPL) sehingga dalam operasionalnya menyalahi peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup, maka acara tersebut tidak mampu dikenakan kewajiban AMDAL, untuk kasus seperti ini aktivitas tersebut dikenakan Audit Lingkungan Hidup Wajib sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 30 tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Audit Lingkungan yang Diwajibkan. Audit Lingkungan Wajib merupakan dokumen lingkungan yang sifatnya spesifik, dimana keharusan yang satu secara otomatis menghapuskan keharusan yang lain kecuali terdapat keadaan-kondisi khusus yang hukum dan kebijakannya ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kegiatan dan/atau usaha yang telah berlangsung yang kemudian diwajibkan menyusun Audit Lingkungan tidak memerlukan AMDAL baru.
AMDAL dan Audit Lingkungan Hidup Sukarela
Kegiatan yang telah memiliki AMDAL dan dalam operasionalnya mengharapkan untuk memajukan ketaatan dalam pengelolaan lingkungan hidup mampu melaksanakan audit lingkungan secara sukarela yang merupakan alat pengelolaan dan pemantauan yang bersifat internal. Pelaksanaan Audit Lingkungan tersebut dapat mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 tahun 1994 wacana Panduan lazim pelaksanaan Audit Lingkungan.
Penerapan perangkat pengelolaan lingkungan sukarela bagi kegiatan-kegiatan yang wajib AMDAL tidak secara otomatis membebaskan pemrakarsa dari kewajiban penyusunan dokumen AMDAL. Walau demikian dokumen-dokumen sukarela ini sangat didorong untuk disusun oleh pemrakarsa sebab sifatnya akan sangat membantu efektifitas pelaksanaan pengelolaan lingkungan sekaligus mampu “memperbaiki” ketidaksempurnaan yang ada dalam dokumen AMDAL. Dokumen lingkungan yang bersifat sukarela ini sangat bermacam-macam dan sungguh memiliki kegunaan bagi pemrakarsa, tergolong dalam melancarkan hubungan perdagangan dengan luar negeri. Dokumen-dokumen tersebut antara lain adalah Audit Lingkungan Sukarela, dokumen-dokumen yang diatur dalam ISO 14000, dokumen-dokumen yang dipromosikan penyusunannya oleh asosiasi-asosiasi industri/bisnis, dan yang lain.
5. Baku Mutu Lingkungan dan Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan
Baku kualitas lingkungan ialah batas kadar yang diperkenankan bagi zat atau materi pencemar terdapat di lingkungan dengan tidak mengakibatkan gangguan terhadap makhluk hidup, tanaman atau benda yang lain. Menurut pengertian secara pokok, baku kualitas yaitu peraturan pemerintah yang mesti dilakukan yang berisi spesifikasi dari jumlah materi pencemar yang boleh dibuang atau jumlah kandungan yang boleh berada dalam media ambien. Secara objektif, baku mutu merupakan sasaran ke arah mana suatu pengelolaan lingkungan ditujukan. Kriteria baku kualitas ialah kompilasi atau hasil dari sebuah pembuatan data ilmiah yang akan dipakai untuk menentukan apakah suatu kualitas air atau udara yang ada dapat digunakan sesuai objektif penggunaan tertentu.
Untuk menangkal terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh banyak sekali kegiatan industri dan kegiatan insan, maka dibutuhkan pengendalian terhadap pencemaran lingkungan dengan memutuskan baku kualitas lingkungan.
Pada ketika ini, pencemaran kepada lingkungan berlangsung di mana-mana dengan laju yang sangat cepat. Sekarang ini beban pencemaran dalam lingkungan telah makin berat dengan masuknya limbah industri dari berbagai bahan kimia tergolong logam berat.
Pencemaran lingkungan mampu dikategorikan menjadi:
1. Pencemaran air;
2. Pencemaran udara
3. Pencemaran tanah
Baku mutu untuk mencegah berlimpahnya limbah sehingga menjadikan baku mutu lingkungan tidak memenuhi syarat penghidupan bagi insan.
Kemampuan lingkungan sering diistilahkan dengan daya dukung lingkungan, daya toleransi dan daya tenggang, atau istilah asingnya disebut carrying capacity.Sehubungan dengan kerikil kualitas lingkungan, ada istilah nilai ambang batas yang merupakan batasan daya dukung, daya tenggang dan daya toleransi atau kesanggupan lingkungan. Nilai ambang batas tertinggi atau paling rendah dari kandungan zat-zat, makhluk hidup atau bagian-bagian lain dalam setiap interaksi yang berkenaan dengan lingkungan terutama yang mempengaruhi mutu lingkungan. Makara jikalau terjadi keadaan lingkungan yang telah melebihi nilai ambang batas (batas maksimum dan minimum) yang sudah ditetapkan menurut baku mutu lingkungan maka mampu dibilang bahwa lingkungan tersebut telah tercemar.
Adanya peraturan perundangan (nasional maupun kawasan) yang mengendalikan baku kualitas serta peruntukan lingkungan memungkinkan pengendalian pencemaran lebih efektif sebab toleransi dan atau eksistensi bagian pencemar dalam media (maupun limbah) mampu diputuskan apakah masih dalam batas toleransi di bawah nilai ambang batas (NAB) atau telah melampaui.
Baku kualitas lingkungan mampu meliputi mutu lingkungan hidup (baku kualitas ambient) dan kualitas buangan atau limbah (baku mutu effluent). Menurut Pasal 20 ayat 2 UUPPLH 2009 baku kualitas lingkungan dibedakan atas baku kualitas air, baku mutu limbah, baku kualitas air maritim, baku kualitas udara ambient, baku kualitas emisi, baku kualitas gangguan, dan baku kualitas lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi.
Kriteria baku kerusakan lingkungan menurut Pasal 21 ayat (2) UU PPLH 2009 mencakup Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, meliputi standar baku kerusakan ekosistem dan persyaratan baku kerusakan balasan pergantian iklim. Dalam ayat 3 Kriteria baku kerusakan ekosistem mencakup:
a. patokan baku kerusakan tanah untuk bikinan biomassa;
b. patokan baku kerusakan terumbu karang;
c. patokan baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan;
d. standar baku kerusakan mangrove;
e. standar baku kerusakan padang lamun;
f. kriteria baku kerusakan gambut;
g. standar baku kerusakan karst; dan/atau
h. persyaratan baku kerusakan ekosistem yang lain sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kriteria baku kerusakan akibat pergantian iklim menurut ayat (4) didasarkan pada paramater antara lain: a. peningkatan temperatur; b. peningkatan wajah air bahari; c. angin kencang; dan/atau d. kekeringan.
Adapun langkah-langkah penyusunan baku mutu lingkungan:
1. Identifikasi dari penggunaan sumber daya atau media ambien yang mesti dilindungi (objektif sumber daya tersebut tercapai).
2. Merumuskan formulasi dari kriteria dengan menggunakan kumpulan dan pembuatan dari banyak sekali isu ilmiah.
3. Merumuskan baku kualitas ambien dari hasil penyusunan tolok ukur.
4. Merumuskan baku mutu limbah yang boleh dilepas ke dalam lingkungan yang hendak menghasilkan kondisi mutu baku mutu ambien yang telah ditetapkan.
5. Membentuk acara pemantauan dan penyempurnaan untuk menilai apakah objektif yang telah ditetapkan tercapai.
6. Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup
Banyaknya problem lingkungan hidup yang terjadi tamat-selesai ini seperti; banjir, kerusakan hutan, pencermaran air maritim/darat, pengikisan tanah/lahan, dan abrasi pantai, tidak terlepas dari adanya asumsi bahwa sumber daya (air, udara, maritim, hutan beserta kekayaan di dalamnya, dan lain-lain) yaitu milik bareng . Tidak ada satu pun hukum yang membatasi pemanfaatan sumber milik bersama itu, sehingga terjadilah eksploitasi yang berlebihan. Setiap pemanfaat menggunakannya semaksimal mungkin dengan asumsi bahwa orang lain akan mempergunakan sumber tersebut bila tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Penggunaan instrumen ekonomi sepatutnya mampu secepatnya diterapkan alasannya dari satu segi instrumen tersebut mampu menghipnotis estimasi harga namun juga akan menunjukkan suatu keputusan perilaku bisnis/perjuangan yang lebih memprioritaskan konservasi sumber daya dan pemulihan lingkungan hidup. Pemanfaatan instrumen ekonomi tersebut mampu dikerjakan dengan beberapa cara.
1. mendorong pelanggan biar tidak memboroskan penggunaan sumberdaya alam, contohnya air atau energi. Bila pelanggan bertambah banyak memakai sumber daya tersebut, maka ongkos yang harus dibayar konsumen diperhitungkan berkembangsecara progresif.
2. melaksanakan retribusi limbah/emisi bagi suatu aktivitas yang mengeluarkan limbah cair atau gas ke media lingkungan. Jumlah dan mutu limbah/emisi ini diukur, dan retribusi/pungutan dikenakan berdasarkan ketetapan yang telah disusun, sehingga pelaku bisnis/perjuangan akan suilt mengelak dari konsekuensi tanggung jawabnya untuk ikut berperan aktif mempertahankan kelestarian lingkungan hidup.
3. melaksanakan defosit-refund, yakni berbelanja sisa produk seperti materi-bahan anorganik/plastik dari pelanggan untuk didaur ulang kembali.
4. mengharuskan suatu aktivitas usaha untuk menyerahkan dana kinerja lingkungan selaku penjamin bahwa pelaku acara/usaha akan melakukan reklamasi/konservasi lingkungan hidup akhir dari aktivitas/usaha yang mereka kerjakan, baik secara langsung maupun tidak eksklusif. Misalnya, kepada acara usaha penyimpanan materi bakar/gas, kegiatan penambangan, usaha pengambilan air permukaan atau air dalam tanah, dan sebagainya. Hal ini akan sangat efektif dalam melakukan pengendalian kerusakan lingkungan hidup. Di Thamland metode ini banyak diterapkan/digunakan sebagai jaminan untuk pengendalian limbah beracun dan berbahaya.
Dalam revisi terakhir yang diajukan pakar lingkungan kita Sundari Rangkuti, bahwa instrumen kebijaksanan lingkungan ditetapkan oleh Pemerintah lewat banyak sekali fasilitas yang bersifat pencegahan atau stidak-tidaknya pemulihan sampai pada tahap norma mutu lingkungan/ Kebijaksanaan lingkungan dibarengi tindak lanjut pengarahan dengan cara begaimana penetapan tujuan mampu diraih melalui pilihan optimal terhadap aneka macam jenis instrumen akal lingkungan yang diselarakan dengan akad internasional yang meliputi sebagai berikuti: baku mutu lingkungan, AMDAL, izin lingkungan, instrumen ekonomik dan audit lingkungan. Instrumen ekonomik sudah dituangkan di dalam principle 16 Dekrasi Rio dan penerapannya dijalankan melalui pajak atau pungutan pencemaran (pollution charge) seperti misalnya: “ air pollution fee”, : water pollution fee”, dan lain-lain.
Prinsip terakhir perihal internalisasi biaya lingkungan dan prosedur insentif yakni suatu prinsip yang pada pada dasarnya untuk menekankan dari sebuah kondisi , dimana penggunaan sumber daya alam (resourse use) sekarang merupakan kecenderungan atau reaksi dari dorongan pasar (market force and opportunity). Prinsip ini yang coba dikembangkan di dalam pasal 42-43 UU No.32 Tahun 2009 perihal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Selama ini kepentingan yang tidak terwakili dalam pengambilan keputusan dalam menentukan harga pasar diabaikan dan mengakibatkan efek merugikan bagi mereka. Dampak yang dimaksud dengan istilah ekseternalitas, karena kepentingan-kepentingan kalangan yang dirugikan ialah komponen ekternal (yang tidak masuk hitungan) dalam proses pembentukan harga pasar.
Masyarakat yang menjadi korban dari pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup tidak mempunyai sebuah mekanisme untuk memaksa golongan untuk mengeluarkan uang kerugian bagi kerusakan yang ditimbulkan tersebuut, kecuali pengadilan atau mekanisme resolusi pertentangan yang lain menentuhkan. Oleh alasannya itu sumber daya alam (SDA) yang lazimnya “ open acces” harus diberi harga/nilai yang mencukupi.
Ini makna yang terkandung di dalam pasal 42 ayat (1) UU No.32 Tahun 2009 ihwal PPLH, bahwa” dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup , Pemerintah dan pemerintah daerah wajib berbagi dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup,”. Hal ini sebab selama ini lingkungan tidak diberi nilai/harga, maka dalam perkembanganya manusia atau badan aturan (khususnya yang berorintasi profit) banyak memakai SDA secara berlebihan (over use), dan condong membabat habis tanpa berpikir balasan bagi generasi yang hendak tiba. Tentu yang tersisa hanya derita dan tragedi yang mesti ditanggung baik harga, benda dan nyawa. Untuk itu usaha memberi sebuah biaya lingkungan yang ada pada pasal 42-43 UU No.32 Tahun 2009 wacana PPLH, ini selaku langka permulaan untuk mereformasi dari UU sebelumnya ialah UU No. 23 Tahun 1997 tentang PLH. Gagasan yang terkandung dalam pasal tersebut, selaku penjawantaan dari prinsip biaya lingkungan dan sosial yang terintegrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan yang berkiatan dengan penggunaan SDA , sehingga pada jadinya terjadi internalisasi “eksertenalitas” dalam arti ekserternalitas harus menjadi bab dari pengambilan keputusan. Dengan memanfatakn instrument yang ada di UU tersebut berupa: pengaturan (larangan dan sanksi), charge, fees, leasing, perijinan, prosedur property right dan lain-lain.
Usaha yang telah pernah berupa prosedur-mekanisme yang lain seperti program Peningkatan perjuangan dalam kontek program kali bersih (Proper Prokasih) yang diterapkan di Indonesia. Menurut Mas Agus Santoso, prosedur yang dipakai dalm Proper Prokasih merupakan mekanisme insentif yang terkait dengan prinsip pembangunan berlanjutan ini, Karena pada dasarnya Proper Prokasih dan sejenisnya dimaksudkan untuk mengubah perilaku dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat lewat publikasi kinerja industry secara periodek.
Kedepan instrumen lingkungan hidup ini, fasilitas paling cepat dalam upaya pengendalian pencemaran, sehingga Pemerintah secepatnya menciptakan Peraturan Pemerintah mirip yang telah diamanahkan dalam pasal 43 ayat (4) UU No.32 Tahun 2009.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup baru saja disahkan. Banyak hal yang diatur dalam Undang-Undang yang gres ini, salah satu diantaranya yakni ihwal instrumen ekonomi dalam pengelolaan Lingkungan Hidup. Subyek ini ialah sesuatu yang gres, pada undang-undang LH yang lama subyek ini belum dikontrol. Selama ini subyek instrumen ekonomi nyaris belum pernah di tangani. Kaprikornus nyaris belum banyak orang yang mengetahui apa lingkup instrumen ekonomi dalam pengelolaan hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 32/2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, instrumen ekonomi terdiri dari:
1. Instrumen perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi mencakup:
2. Neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup;
3. Penyusunan produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto yang mencakup penyusutan sumber daya alam dan kerusakan lingkungan hidup;
4. Mekanisme kompensasi/imbal jasa lingkungan hidup antar daerah;
5. Internalisasi biaya lingkungan hidup.
Instrumen pendanaan lingkungan hidup meliputi:
1. Dana jaminan pemulihan lingkungan hidup;
2. Dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup;
3. Dana amanah/perlindungan untuk konservasi.
Insentif dan/atau disinsentif lingkungan hidup antara lain diterapkan dalam bentuk:
1. Pengadaan barang dan jasa yang ramah lingkungan hidup;
2. Penerapan pajak, retribusi, dan subsidi lingkungan hidup;
3. Pengembangan sistem forum keuangan dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup;
4. Pengembangan tata cara jual beli izin pembuangan limbah dan/atau emisi;
5. Pengembangan metode pembayaran jasa lingkungan hidup;
6. Pengembangan asuransi lingkungan hidup;
7. Pengembangan metode label ramah lingkungan hidup;
8. Sistem penghargaan kinerja di bidang santunan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Substansi Undang-Undang ini masih sungguh lazim. Karena itu Undang-undang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Substansi instrumen ekonomi ini, memuat beberapa terobosan baru dalam upaya pengendalian lingkungan hidup. Masalahnya yakni seberapa jauh substansi ini mampu dilakukan secara operasional. Ambillah acuan substansi instrumen pendanaan lingkungan. Point ini membuka kemungkinan sumber-sumber pendanaan bagi pengelolaan dan bantuan lingkungan. ada keharusan dari aneka macam pihak untuk menyediakan dana bagi pengelolaan lingkungan yang lebih baik.
Instrumen ekonomi yaitu amanat undang-undang, karena itu tidak ada argumentasi untuk tidak melaksanakannya. Setiap orang yaitu subyek dari undang-undang ini, karena itu yakni kewajiban semua orang untuk melaksanakannya. Substansi instrumen ekonomi, sekaligus merupakan peluang bagi usaha. Dengan undang-undang itu, akan dikembangkan usaha-usaha untuk memfasilitasi pelaksanaan instrumen ekonomi. Peluang usaha ini tentu akan memerlukan tenaga kerja yang cukup baik untuk pelaksanaannya.
Masalah lingkungan tidak simpulan dengan memberlakukan Undang-Undang dan kesepakatan untuk melaksanakannya. sebuah Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bab dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya memutuskan tujuan yang akan dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan mampu diraih semoga ditaati masyarakat.
7. Peraturan Perundang-Undangan Berbasis Lingkungan Hidup
Setiap penyusunan peraturan perundang-ajakan pada tingkat nasional dan kawasan wajib memperhatikan tunjangan fungsi LH dan prinsip sumbangan dan pengelolaan LH sesuai dengan ketentuan yang dikontrol dalam UU ini.
8. Anggaran Berbasis Lingkungan
Dalam Pasal 45 dan 46 UU PPLH, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta pemerintah tempat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib mengalokasikan budget yang mencukupi untuk membiayai:
a. kegiatan santunan dan pengelolaan lingkungan hidup; dan
b. acara pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup.
Pemerintah wajib mengalokasikan budget dana alokasi khusus lingkungan hidup yang memadai untuk diberikan terhadap tempat yang mempunyai kinerja pemberian dan pengelolaan lingkungan hidup yang bagus.
Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dalam rangka pemulihan kondisi lingkungan hidup yang kualitasnya sudah mengalami pencemaran dan/atau kerusakan pada ketika undang-undang ini ditetapkan, Pemerintah dan pemerintah kawasan wajib mengalokasikan budget untuk pemulihan lingkungan hidup.
9. Analisis Resiko Lingkungan Hidup
Analiss resiko lingkungan merupakan acara untuk mengkaji asumsi kemungkinan terjadinya konsekuensi terhadap manusia atau lingkungan. Dimana resiko tersebut terbagi menjadi dua, ialah Risiko yang terjadi terhadap insan disebut sebagai risiko kesehatan, sedangkan risiko yang terjadi terhadap lingkungan disebut sebagai risiko ekologi. Ekologi merupakan cabang dari ilmu biologi, dimana Ekologi ialah salah satu komponen dalam tata cara pengelolaan lingkungan hidup yang harus ditinjau bareng dengan unsur lain untuk mendapatkan keputusan yang seimbang. Jd dalam hal ini, Ekologilah yang menjadi titik sentra perhatian.
Analisis Resiko Lingkungan (ARl) yakni proses prediksi kemungkinan efek negatif yang terjadi terhadap lingkungan selaku akhir dari acara tertentu. Analisis resiko lingkungan (ARI) dikontrol dalam UU No. 32 Tahun 2009. Dengan melakukam Analisis resiko lingkunngan (ARL) diperlukan piihak administrasi akan lebih mudah untuk melaksanakan pengelolaan lingkungannya dan akan sungguh berguna dalam audit lingkungan. Penerapan dari ARI ini sendiri didedikasikan kepada industri-industri yang banyak menggunakan bahan-bahan kimia yag beracun.
Dalam hal yang berkaitan dengan faktor sosial, terdapat tiga macam risiko ekologis yang dimnuculkan dari hal tersebut, yakni :
1. Risiko fisik-ekologis (physical-ecological risk), yaitu aneka risiko kerusakan fisik pada manusia dan lingkungannya;
2. Risiko mental (mental risk), yaitu aneka risiko kerusakan mental akhir perlakuan jelek pada tatanan psikis;
3. Risiko sosial (social risk), yakni aneka risiko yang menggiring pada rusaknya bangunan dan lingkungan sosial (eco-social).
Tiga macam resiko yng dirtimbulkan diatas, mampu menimblkan sebuah kondisi yang tidak baik, dimana resiko tersebut mampu enimbulkan kondisi yang berupa cemas, ancaman, paranoia,. Keadaan mirip ini tidak dapat dibiarkan terus-menerus, untuk itu diperlukan adanya upaya analisis lingkungan untuk menncegah atau menghemat kerusakan lingkungan yang memang wajib kita jaga eksistensi dan keberlangsungannya untuk penerus bangsa selanjutnya adapun tahapan tahapannya ialah :
1. Tentukan batas-batas studi atau analisis
2. Tentukan area yang ingin diperdalam dan berita yang ingin di mampu
3. Lakukan uji dampak lingkungan berdasarkan info data dan pengkategorian data yang sudah dikumpulkan
4. Evaluasi gosip yang diperoleh dari uji data, dengan melaksanakan uji faktor dan dampak lingkungan lingkungan. Indentifikasi dari acara pada masa lalu, kala sekarang dan masa yang hendak tiba mempunyai potensi memiliki imbas negatif kepada lingkungan.
Ada 4 langkah dalam memilih faktor dan pengaruh lingkungan, yakni :
1. Identifikasi secara menyeluruh aktifitas dari sebuah kegiatan dengan memakai diagra alir atau table
2. Identifikasi aspek lingkungan dari aktivitas yang dijalankan sebanyak-banyaknya
3. Identifikasi efek yang ditimbulkan menurut aspek-aspek yang sudah dibuat
4. Evaluasi efek yang signifikan.
10. Audit Lingkungan Hidup
Audit Lingkungan ialah suatu alat manajemen yang mencakup penilaian secara sistematik, terdokumentasi, periodik dan obyektif ihwal bagaimana sebuah kinerja organisasi sistem administrasi dan perlengkapan dengan tujuan menfasilitasi kendali manajemen kepada pelaksanaan upaya pengendalian pengaruh lingkungan dan pengkajian pemanfaatan kebijakan perjuangan atau aktivitas terhadap peraturan perundang usul ihwal pengelolaan lingkungan.
Fungsi Audit Lingkungan
a. Upaya kenaikan pentaatan terhadap peraturan : misal baku kualitas lingkungan
b. Dokumen suatu perjuangan pelaksanaan :
• SOP (Prosedur Standar Operasi);
· Pengelolaan dan Pemanfaatan Lingkungan
· Tanggap Darurat
c. Jaminan menyingkir dari kerusakan lingkungan
d. Realisasi dan keabsahan prakiraan imbas dalam dokumen AMDAL.
e. Perbaikan penggunaan sumberdaya (penghematan bahan, minimasi limbah, kenali proses daur hidup).
Manfaat Audit Lingkungan
a. Mengidentifikasi resiko lingkungan
b. Menjadi dasar pelaksanaan kebijakan pengelolaan lingkungan
c. Menghindari kerugian finansial (penutupan usaha, pembatasan usaha, publikasi pencemaran nama)
d. Mencegah tekanan hukuman hukum
e. Membuktikan pelaksanaan pengelolaan lingkungan dalam proses peradila
f. Menyediakan gosip
S. Maronie
sebagai bahan kuliah Hukum Lingkungan