Foto: TNI menggelandang, mengikat, dan menginterogasi pelaku pemberontakan PKI Madiun 1948. (gahetna.nl). |
Pemberontakan ini diawali dengan jatuhnya kabinet RI yang pada waktu itu dipimpin oleh Amir Sjarifuddin alasannya adalah kabinetnya tidak menerima pemberian lagi semenjak disepakatinya Perjanjian Renville. Lalu dibentuklah kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri, namun Amir beserta kalangan-kalangan sayap kiri lainnya tidak oke dengan pergeseran kabinet tersebut.
Dalam sidang Politbiro PKI pada tanggal 13-14 Agustus 1948, Musso, seorang tokoh komunis Indonesia yang lama tinggal di Uni Soviet (kini Rusia) ini menjelasan wacana “pekerjaan dan kesalahan partai dalam dasar organisasi dan politik” dan menunjukkan gagasan yang disebutnya “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Musso menghendaki satu partai kelas buruh dengan menggunakan nama yang bersejarah, adalah PKI. Untuk itu mesti dijalankan fusi tiga partai yang beraliran Marxsisme-Leninisme: PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). PKI hasil fusi ini akan memimpin revolusi proletariat untuk mendirikan suatu pemerintahan yang disebut “Komite Front Nasional”.
Selanjutnya, Musso menggelar rapat raksasa di Yogya. Di sini ia melontarkan pentingnya kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan koordinasi internasional, utamanya dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda. Untuk mengembangkan gagasannya, Musso beserta Amir dan kelompok-kalangan kiri yang lain berencana untuk menguasai daerah-daerah yang dianggap strategis di Jawa Tengah dan Jawa Timur, adalah Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Penguasaan itu dilakukan dengan agitasi, demonstrasi, dan aksi-aksi pengacauan lainnya.
Rencana itu diawali dengan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh di kota Surakarta, serta mengadudomba kesatuan-kesatuan TNI lokal, termasuk kesatuan Siliwangi yang ada di sana.
Mengetahui hal itu, pemerintah eksklusif menyuruh kesatuan-kesatuan Tentara Nasional Indonesia yang tidak terlibat adudomba untuk memulihkan keselamatan di Surakarta dan sekitarnya. Operasi ini dipimpin oleh kolonel Gatot Subroto.
Untuk memulihkan keselamatan secara menyeluruh di Madiun, pemerintah bertindak cepat. Provinsi Jawa Timur dijadikan tempat istimewa, berikutnya Kolonel Sungkono diangkat selaku gubernur militer. Operasi penumpasan dimulai pada tanggal 20 September 1948 dipimpin oleh Kolonel A. H. Nasution.
Sementara sebagian besar pasukan TNI di Jawa Timur berkonsentrasi menghadapi Belanda, namun dengan menggunakan 2 brigade dari cadangan Divisi 3 Siliwangi serta kesatuan-kesatuan yang lain yang mendukung Republik, semua kekuatan pembetontak kesannya dapat dimusnahkan.
Salah satu operasi penumpasan ini ialah pengejaran Musso yang melarikan diri ke Sumoroto, sebelah barat Ponorogo. Dalam kejadian itu, Musso sukses ditembak mati. Sedangkan Amir Sjarifuddin dan tokoh-tokoh kiri lainnya berhasil ditangkap dan dijatuhi eksekusi mati. Amir sendiri tertangkap di tempat Grobogan, Jawa Tengah. Sedangkan sisa-sisa pemberontak yang tidak tertangkap melarikan diri ke arah Kediri, Jawa Timur.