Insan Serakah

Manusia itu serakah. Pernyataan ini terang tak terpungkiri, dan sejak lama telah teridentifikasi. Keserakahan selaku bentuk sikap tidak pernah merasa cukup atas segala nikmat yang telah didapatkan. Keserakahan dalam diri manusia tidak akan pernah hilang, sampai beliau terbaring di sebelah maut.

Bila tidak ditopang oleh keyakinan yang teguh, sepanjang hidupnya insan akan dikuasai oleh nafsu yang pada akibatnya menjerumuskan diri terhadap nilai-nilai semu, menciptakan penderitaannya sendiri dan juga penderitaan bagi orang lain.

Serakah dilakukan demi kebahagiaan. Pandangan ini berlaku universal. Kekayaan selalu identik dengan kebahagiaan. Sastrawan Kurnia Jr pernah menuliskan bahwa orang zaman sekarang bahagia memakai eufemisme berhasil, padahal yang mereka maksud yaitu kaya raya.

Menjadi kaya yakni pencapaian yang pantas dan telah semestinya diposisikan sehabis sukses. Sukses ialah pencapaian seseorang sebagai gambaran gemilang pribadinya, sedangkan kaya itu ganjaran material bagi segenap prestasi.

Epicurus (341-270 SM) seorang materialis tulen yang memusuhi nasib serta keniscayaan, memandang bahwa kesenangan yaitu prinsip serta tujuan dari hidup bahagia. Kesenangan menurutnya berorientasi pada “asas dan akar segala sesuatu yang bagus ialah kesenangan perut, semua hal rohani serta nilai lebih tinggi dapat diasalkan kepadanya”. Ketenangan jiwa akan tercapai setelah kepuasan raga terpenuhi.

Namun, anehnya Epicurus tidak mengakui jalan yang diambil Lucullus, senator yang setelah era pensiun menimbun kekayaan besar dan menikmati hidup sarat kemewahan yang berlebih-lebihan.

Diksi serakah diperhalus oleh Adam Smith dengan padanan individualis. Smith berasumsi sifat individualis insan harus dipertahankan. Itulah yang justru akan memacu dirinya untuk merasa mesti maju dan menjadi pemenang dalam persaingan.

Individualis tidak sama dengan egois, meski keduanya sama-sama mementingkan diri sendiri. Implikasi egois tanpa memerhatikan orang lain, sedangka individualis memaksa memerhatikan kepentingan orang lain. Sebab Smith mewaspadai bahwa the road to hell is paved with good intensions.

Kelahiran mazhab Kyrene yang diresmikan Aristippus (435-355 SM) memperlihatkan ajaran hedonisme sebagai tujuan kehidupan etis, tujuan hidup yang paling mulia dari setiap manusia. Semua tindakan insan akan dianggap baik apabila tindakan tersebut mendatangkan kenikmatan yang berpangkal pada kesenangan.

  Tanggung Jawab Suami Istri Dalam Rumah Tangga

Manusia yang bijaksana ialah insan yang mencari kenikmatan sebesar-sebesarnya di dunia ini. Ironisnya, demi pencapaian itu, insan mesti rela melepaskan segala norma, sopan santun dan adab bahkan bila perlu agama yang membelenggu.

Hedonisme dapat dikatakan sebagai cikal paham materialisme yang merebak di Eropa pada periode 17-18 M. Hedonisme merupakan paham materialisme mekanistik, yang menilai kenikmatan egoistis sebagai tujuan tamat kehidupan insan. Paham seperti ini begitu sukar dibendung.

Bahkan Deklarasi Amerika Serikat (1776) mencantumkan tujuan meraih kebahagiaan yang sebesar-besarnya sebagai salah satu hak asasi insan, sejalan dengan pentingnya kehidupan dan keleluasaan.

Dalam buku klasik The Fable of the Bees (1714) Bernard de Mandellive menganggap sifat rakus insan yang senantiasa lebih mementingkan diri sendiri akan memberi efek sosial bagi penduduk . Inilah yang dikhawatirkan filsuf tersohor Plato, yang sangat mengecam kekayaan dan kemewahan.

Plato berpandangan setiap orang mampu hidup sejahtera secara merata, maka insan perlu dan berkewajiban menertibkan nafsu keserakahannya untuk memenuhi semua harapan yang melampaui kewajaran.

Sejalan dengan persepsi gurunya itu, Aristoteles menganggap bahwa keperluan manusia itu tidak terlalu banyak, namun keinginannyalah yang relatif tidak terbatas.

Kebutuhan dan keinginan yakni dua sisi yang berlawanan. Dan, dewasa ini industri modern bersusah payah sampai berhasil mengubah keinginan menjadi motif kebutuhan. Padahal kalau kita hendak merenungkan, cukup sebentar saja, keinginan itu yakni ketidakwajaran yang datang-datang menjadi urgen yang mesti segera dipuaskan.

Pandangan Plato serta muridnya itu pun disimpulkan budayawan Indonesia Radhar Panca Dahana (2015) melalui gagasan “ekonomi cukup”. Dimana seharusnya insan tidak lagi mengeksploitasi diri dan nafsunya sendiri, juga lingkungan sekitarnya, sekadar untuk menimbun pundi-pundi kekayaannya. Melainkan, dia harus mengeksplorasi peluangatau kemungkinan terbaiknya untuk menyanggupi kebutuhan manusia, sebatasnya saja.

  Kendaraan Nabi Dikala Isra Mi'raj

Ukuran keperluan manusia masih mampu diberi batas-batas. Namun, tidak begitu dengan harapan yang bersifat tidak terbatas. Walaupun pada alhasil, kepuasan maksimum mampu juga dicapai dengan hasil produksi yang terbatas.

Dengan demikian manusia harus mencukupkan diri dan nafsunya. Manusia mesti mampu mengikhlaskan kekayaan lebih untuk tidak diperolehnya, sekalipun beliau bisa meraihnya. Inilah yang hendak menjadi rezeki bagi orang lain. Ini sudah sebuah tindak sosial, proses langsung yang membuat pemerataan demi kemakmuran bareng .

Kesempatan menjangkau hidup yang bagus mampu dicicipi semua pihak dan kalangan. Meski sayangnya, defenisi cukup sungguh sangatlah abstrak, tidak ada pengukurnya.

Memperoleh ketenangan jiwa –dalam kondisi makmur– ialah kemungkinan ultim manusia selama hidupnya dan makna seluruh keberadaannya. Untuk kebahagiaan sedemikian itu, sesungguhnya kita tidak perlu mempunyai harta benda berlimpah-ruah. Karena batiniah (jiwa) insan itu sendiri sudah mampu memilih rasa cukup sampai pada batas ketentuannya. Semestinya kita berkaca pada ayat: Maka lezat Tuhan manakah yang kau dustakan? (QS. 55:13).

Para ulama menganalogikan perilaku insan identik dengan unggas. Dalam diri manusia berisikan empat unggas. Ayam mewakili hawa nafsu, bebek mewakili sifat rakus, merak mewakili sikap angkuh, dan gagak mewakili impian. Dari keempat analogi ini yang paling lebih banyak didominasi ialah angsa. Tak pelak, keserakahanlah yang mendominasi sepanjang jalan kehidupan tiap manusia.

Sebagaimana homo economicus, menjadi kodrat bagi manusia atas nama persaingan senantiasa berupaya menerima sebanyak-banyaknya dengan biaya sesedikit mungkin. Pendapat ini sudah menjadi spirit universal dan tidak ada daya tolak koreksinya. Terlebih saat ini, di era progresivitas melahirkan kompleksitas yang kian meruyak atas nama pertumbuhan, perkembangan dan pembangunan.

Tujuan manusia hidup di dunia bukanlah untuk berlomba mengumpulkan harta sampai melimpah ruah belaka. Dunia hanyalah sementara; ladang untuk menentukan opsi berbuat kebaikan. Marilah kita hidup dengan kesederhanaan. Hidup dengan sarat keikhlasan, kepasrahan dan rasa syukur, supaya hidup yang kita lalui terasa indah dan bertebar berkah.