Impianku (Bagian II) | Cerpen Etik Nurhalimah


(HABIS)

“Tuan, kalau ada kiriman barang atas namaku tolong terima & simpan dahulu ya. Nanti jam istirahat, gue akan turun untuk mengambilnya,” ucapku pada satpam apartemen.

“Oh iya, Nona. Kalau boleh tahu, bentuk paketan apa itu?” tanya lelaki paruh baya itu.

“Hanya berbentukbuku kok. Dan tak perlu mengeluarkan uang.”

“Oke, kalau begitu.”

“Terima kasih, Tuan. Ini ada sedikit kudapan untuk nanti sore,” seraya kusodorkan bungkusan kecil berisi biskuit & kopi.

“Wah, terima kasih, Nona.”

“Sama-sama, Tuan,” balasku, sambil berlalu untuk naik ke apartemen.

Ini bukan sogokan, hanya tanda terima kasih. Satpam itu kerap membantuku menyelamatkan buku-buku & modul sekolah, yg dikirim pihak pengajar untukku.

Ujian di ambang mata. Lagi-lagi gue masih bingung, bagaimana harus menerima izin supaya bisa libur dua kali di bulan ini. Karena, bahu-membahu tuan cuma memberikan jatah satu kali libur dlm sebulan.

Terpaksa kali ini gue harus meminta tunjangan agensi. Beliau baik sekali, memperlakukanku mirip anaknya sendiri. Bahkan, di tengah penentangan yg dikerjakan oleh Tuan atas niatku bersekolah, beliau memberi dukungan seratus persen.

“Kuliahlah! Karena cuma dgn ilmu & pendidikan kau-sekalian mampu mengganti dunia. Maka ubahlah duniamu menjadi indah & penuh warna,” tutur petugas agensi memberi semangat.

Sebenarnya bukan tanpa alasan ia baik padaku. Dahulu, ketika kali pertama gue menginjakkan kaki di Formosa, nasibku kurang mujur. Di dlm job kerja yg kutanda tangani tatkala di PJTKI, tugasku mempertahankan nenek. Ternyata, gue dipekerjakan di pabrik. Harus membersihkan area pabrik yg luasnya seperti lapangan bola, serta berketinggian tingkat lima.

Belum lagi harus mengolah makanan untuk tujuh belas orang setiap hari. Tidak ada seorang TKW pun yg betah bekerja di sana terlalu lama. Satu sampai dua bulan pasti mereka kabur. Tetapi gue bisa bertahan hampir dua tahunan.

  Matinya Seorang Peladang | Cerpen Sunlie Thomas Alexander

Oleh karena itulah agensi mengagumi kesabaranku. Hingga akhirnya tatkala gue sudah tak besar lengan berkuasa lagi, ia menjemput & mempekerjakanku di sini. Bagiku, mimpi jelek itu sudah terlewati. Di mana gue terpasung dlm kesunyian, stress dlm tahanan, serta tertindas dlm penjajahan.

Pagi cerah, matahari menyapa ramah. Sisa-sisa embun masih melekat di keindahan daun-daun & kelopak bunga. Hari ini adalah hari liburku, sekaligus pelaksanaan cobaan semester akhir. Seperti biasa, sebelum berangkat, apalagi dulu kubersihkan rumah, berbelanja koran pagi untuk nenek, sekaligus mengajaknya berolahraga sebentar di lantai bawah. Setelah itu, menyiapkan sarapan untuk nenek.

“Kamu nanti berangkat jam berapa, Ami?” tanya nenek.

“Jam delapan, Nek. Setelah beres semuanya, gue mau bersiap-siap,” jawabku yg tengah menyiapkan obat pagi untuk nenek.

“Kalau libur hati-hati ya. Apalagi di tengah kerumunan orang banyak, ananda harus senantiasa jeli & teliti. Jangan cuma bermain HP! Hingga tak tahu apa yg terjadi.”

“Iya, Nek. Aku pasti berhati-hati. Terima kasih atas peringatannya.”

Akhir-tamat ini memang marak terjadi tindak kriminalitas justru di kawasan-kawasan biasa . Mulai dr pembunuhan kepada anak balita, penyerangan membabi buta kepada petugas stasiun, hingga banyak tertangkapnya orang yg membawa senjata tajam dikala bepergian. Sehingga menciptakan pemerintah Taiwan makin ketat melakukan pemeriksaan.

*****

Suasana tegang & mendebarkan. Lembaran soal ujian ada di depan mata. Berbekal niat & mengucap bismilah, satu per satu soal kukerjakan. Harapanku satu, mendapat nilai memuaskan yg akan kupersembahkan pada bapak-emak.

“Ami, selesai kuliah mau ke mana?” seloroh Dewi di tengah obrolan bareng kami.

“Kita makan ke toko Indo saja ya. Soalnya kalau di rumah gue tak pernah makan menu itu,” jawabku sarat semangat.

  Azan Terakhir | Cerpen Ahmad Faisal

“Oke. Si nona ternyata kalau di rumah kelaparan ya, he … he … he …,” ejek Dewi menggoda.

Kami pun pergi ke area toko Indo untuk merasakan masakan nusantara. Kebetulan matahari mulai condong meninggi serta perut kecilku sudah kelaparan. Pada dikala inilah gue bisa merasakan hidangan kuliner.

Kembali gue sendiri bareng malam, langit jernih yg mengumbar bintang-bintang. Remang-remang lampu menghiasi pinggir-pinggir jalan. Kusandarkan tubuh lelahku di bangku bus bernomor 215 yg akan membawaku pulang ke daerah kerja.

Sesegera mungkin inginku menuju kantung tidur dgn menjinjing enaknya cita rasa nasi Padang yg kunikmati di toko Indo tadi ke alam mimpi. Agar besok pagi gue tak perlu kelaparan. Karena cuma disiapkan selembar roti tawar tipis & segelas air putih, menu sarapan pagi saban hari.

Kutekan bel pintu rumah karena nenek tak pernah membiarkanku menjinjing kunci kalau bepergian. Aku bercedak terkejut . Saat mengetahui anak bungsu neneklah yg membukakan pintu untukku.

“Cece, apa kabar?” sapaku, dgn menyajikan senyum ramah terbalut letih.

“Kabar baik, Ami. Sudah pulang liburannya?” tanyanya berbasa-kedaluwarsa.

Perasaanku tak nyaman. Kenapa semua anak nenek berkumpul di rumah? Sebenarnya apa yg terjadi? Mungkinkah ada keterkaitannya dgn uang nenek yg ia bilang hilang tempo hari kemudian? Belum sempat kuletakkan tas punggung berisis buku & alat lainnya.

Tiba-tiba Cece memanggilku untuk duduk di ruang tamu. Seketika itu pula perasaan was-was menyelimuti. Jangan-jangan mereka akan memulangkanku ke Indonesia sekarang juga? Belum sirna rasa penasaranku, Cece dgn cepat membuka percakapan.

“Ami, atas nama nenek saya minta maaf, dikarenakan telah berburuk sangka padamu. Sebenarnya kalau saya pribadi percaya benar, ananda tak mencuri duit itu,” terangnya, “lantaran ananda sudah usang bekerja di sini, serta merawat nenek dgn baik-baik.”

  Pengertian Cerpen Menurut Para Jago Dan Acuan Penjelasan

Aku termenung, resah. Kenapa Cece berkata mirip itu? Ia tahu dr mana bila bukan gue yg mengambil uang itu. Belum hilang sejuta tanya dlm hati, Cece langsung menjelaskan; jika tadi nenek sempat tak lezat badan. Tensi darahnya meraih 185.

Dengan cepat Tuan Shu menelepon anak-anak nenek yg lain semoga turut serta mengantar ke rumah sakit. Setelah mium obat dr dokter, tensinya kembali wajar . Hingga tak perlu menjalani rawat inap & diperbolehkan pulang.

Berhubung kamar nenek sempit, sedangkan anaknya berjumlah empat orang tiba semua, terpaksa bantal-bantal yg berada di samping kanan-kiri nenek tidur, ditumpuk menjadi satu. Tatkala itulah tumpukan duit itu didapatkan di bawah bantal oleh anak kedua nenek yg kupanggil Er Keke.

Aku pun terharu mendengar cerita itu, tak sadar telaga ini berkaca-kaca. Kemudian buliran bening itu jatuh. Bahagia. Kebenaran akan tetap terlihat , walaupun harus mengalah beberapa ketika. Serta sebuah perjuangan & kesabaran niscaya akan berbuah cantik. Terima kasih, Tuhan, jadinya Kau jawab semua doaku.

Dengan langkah gontai gue menuju kamar nenek. Ia tengah tergolek lemah di daerah tidur. Matanya yg sayu mengingatkanku pada sosok emak. Wanita yg selama ini sangat kurindukan.

Taiwan, 27 Mei, 2017
ETTY DIALLOVA (NAMA ASLI ETIK NURHALIMAH) adalah seorang buruh migran Indonesia (BMI) yg tinggal di Taiwan. Di tengah kesibukannya sebagai BMI, Etty pula aktif sebagai jurnalis untuk media BMI di Taiwan & rajin menulis cerpen. Hidup & melakukan pekerjaan di negeri orang, justru mendorong Etty untuk mengembangkan ilmunya. Ia kuliah di Universitas Terbuka. Cerpen “Impianku” berhasil menjadi pemenang ketiga Bilik Sastra VOI Award 2017 yg diadakan oleh RRI Siaran Luar Negeri.