Pengaruh Bahasa Pertama Terhadap Kemampuan Bahasa Indonesia Lisan Dan Tulis Anak-Anak Minangkabau
Dwibahasa (bilingualism) terdapat nyaris di seluruh dunia, dalam semua kelas sosial dan semua golongan umur (Grosjean, 1982 dalam Oller dan mitra-mitra, 2002). Kebanyakan anak-anak di dunia belajar untuk bicara dua bahasa dan hanya sekitar 1/4 saja dari bawah umur yang punya kanal untuk berinteraksi dengan lingkungan dwibahasa yang tidak menjadi dwibahasa (Pearson 2007).
Masyarakat Sumatera Barat, sebagaimana biasanya masyarakat bahasa lain di Indonesia, yaitu penduduk dwibahasa (bilingual community), paling tidak bilingual pasif. Mereka mampu berbahasa Minang(kabau) dan juga Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Anak-anak Minangkabau pada umumnya juga adalah dwibahasa. Status bahasa Indonesia selaku bahasa nasional, terusan belum dewasa terhadap literasi, serta penggunaan bahasa dalam keluarga dan lingkungan ialah aspek yang paling mungkin menimbulkan mereka menjadi dwibahasa (Pearson 2007). Bagi belum dewasa yang bahasa pertamanya (L1) ialah bahasa ibu mereka, yakni bahasa Minang, bahasa Indonesia ialah bahasa ke dua (L2). Mereka umumnya diperkenalkan pada bahasa Indonsia di sekolah, pada usia antara 5-7 tahun, baik sebagai bahasa pengantar pendidikan maupun selaku suatu mata pelajaran. Bagi bawah umur Minang yang bahasa pertamanya yakni bahasa Indonesia, bahasa Minang ialah bahasa ke dua mereka. Mereka biasanya diperkenalkan pada bahasa Indonesia oleh orangtua mereka (pengasuh) dan belajar mengatakan dalam bahasa Minang dari lingkungan sehari-hari di rumah dari anggota keluarga luas dan lingkungan seperti sobat dan tetangga.
Oleh karena belum dewasa Minang berada dalam komunitas masyarakat yang berbahasa Minang, diperkirakan anak-anak Minangkabau yang bahasa pertamanya bahasa Indonesia, setidaknya paham dengan bahasa Minang. Lingkungan linguistik yang kaya dan bersifat mendukung akan mendorong perkembangan bahasa anak.
Selama ini, observasi-penelitian wacana bawah umur yang dwibahasa ini , terutama di Amerika (Hakuta, 1986, dalam Hoff dan McCardle, 2006) terpusat pada pertanyaan-pertanyaan apakah dwibahasa ini menjinjing pengaruh buruk atau baik kepada luaran linguistik dan kognitif anak (Hoff dan McCardle, 2006). Untuk bawah umur yang bilingual, mirip bawah umur Minangkabau, pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan adalah yang berkaitan dengan hakikat (nature) dari pengalaman mencar ilmu bahasa bawah umur yang hidup dalam lingkungan yang bilingual, proses perkembangan literasi dan bahasa anak-anak yang hidup dengan dua atau lebih bahasa, dan kaitan antara program-acara pendidikan dengan luaran akademik anak-anak yang diperkenalkan lebih dari satu bahasa.
Penelitian ini beranjak dari fenomona kedwibahasaan dimana anak-anak Minangkabau sudah menjadi dwibahasa sejak dari usia masih sungguh muda, yaitu usia 5-7 tahun, bahkan mungkin lebih permulaan lagi, yakni usia sekolah. Artinya, bawah umur Minangkabau sudah mengenal bahasa ke dua selama periode kritis pemerolehan bahasa pertama, yakni sebelum usia 6-7 tahun (Clark 2000). Mereka kemungkinan besar juga telah menjadi pengguna bahasa yang kompeten alasannya anak pada usia antara 2 hingga 6 tahun memperoleh atau mencar ilmu bahasa dengan sangat cepat. (Cole & Cole, 1993; Curtiss, 1977; Goldin-Meadow, 1982; Lindfors, 1991; McLaughlin, 1984; Newport, 1991).
Fenomena anak Minang yang dwibahasa menarik untuk dikaji, Secara linguistik, bahasa Minang dan Bahasa Indonsia, yang dasarnya yakni bahasa Melayu, mempunyai kesamaan dalam aneka macam faktor, utamanya dalam fonologi dan leksikon. Hal ini kemungkinan besar menjadikan belum dewasa Minangkabau mudah dan cepat mencar ilmu bahasa Indonesia. Bahkan sering kita dapatkan bawah umur yang sehari-hari memakai bahasa Minang cuma menukar suara bahasa Minang ke dalam bahasa Indonesia ketika mereka beralih ke bahasa Indonesia. Kata-kata Minang yang berakhiran vokal /o/ umumnya mereka ganti dengan vokal /a/ tanpa menyaksikan apakah itu benar atau salah.
Para jago bahasa sudah usang meyakini adanya pengaruh bahasa pertama terhadap bahasa kedua. Hal ini dinamTransfer bahasa atau language transfer ( see Gass and Selingker 2001) diketahui juga dengan istilah interferensi bahasa L1 (language interference). Setiap orang cendrung mentransfer bentuk dan makna serta distribusi dari bentuk dan makna yang ada dalam L1 dan budaya mereka kedalam bahasa dan budaya asing (L2) (Lado, 1957). Hal ini mampu dilihat dengan melakukan penelitian dengan membandingkan bahasa orisinil (native language) atau L1 dengan bahasa yang dipelajari atau L2, untuk menentukan persamaan dan perbedaan antara kedua bahasa tersebut (Gass and Selingker 2001). Salah satu asumsi dasar dalam pendekatan perbandingan bahasa ini, adalah bahwa sumber kesalahan utama dalam kemampuan bahasa reseptif dan/atau produktif seseorang adalah bahasa aslinya (Lado, 1957).
Pemerolehan bahasa Minang selaku bahasa ke dua anak umumnya diperoleh dari lingkungan mirip orangtua, kerabat, sanak famili, ingkungan daerah tinggal sobat-sobat di rumah dan di sekolah. Dalam pada umumnya masalah pemerolehan bahasa, bawah umur mengikuti sobat-temannya sendiri (Labov,1991:304). Ini terjadi karena bawah umur mempelajari bahasa mengikuti teladan-teladan yang telah ada secara alamiah dalam anggapan mereka (Chomsky 1975).
Interferensi bahasa Minang tampak jelas pada bahasa Indonesia sehari-hari belum dewasa Minangkabau. Interferensi fonologis diantaranya terdapat pada pengucapan suara tengah depan /e/ pada suku kata pertama bahasa Indonesia seperti kata terung, kerudung, berjualan, dan sebagainya yang semestinya diucapkan sebagai / /, yaitu e pepet. Interferensi leksikal tampak dalam penggunaan kata ‘mentimun’ untuk kata ‘ketimun’, ‘gapuk’ untuk ‘gemuk’, ‘tungkuik’ untuk ‘tudung saji’, ‘lobak’ untuk ‘kol’ , ‘ibuk-ibuk’ untuk ‘ibu-ibu’ dan ‘disitu’ untuk ‘disana’.
Perkembangan dalam proses pemerolehan bahasa pertama anak juga terkait dengan perubahan dalam orientasi sosial anak. Pengucapan anak-anak usia 12 tahun di Meilton Keynes New Town, USA (Kerswill dan Williams 2000: 9395), misalnya, berbeda dengan pengucapan oleh bawah umur usia 4 tahun. Anak-anak yang berumur 4 tahun memiliki pengucapan yang dipengaruhi oleh orangtua/penjaga mereka, sedangkan pengucapan anak-anak yang berusia 8 hingga dengan 12 tahun dipengaruhi oleh pengucapan yang menjadi ciri khas New Town dan tidak begitu dipengaruhi oleh pengucapan orangtua/penjaga mereka.
Pertanyaan yang sering diajukan oleh para guru dan peneliti bidang pendidikan yang berkaitan dengan dampak bahasa yaitu : ‘seberapa jauh efek bahasa orisinil (native language) seseorang mampu menciptakan pemerolehan bahasa ke duanya menjadi mudah ataupun sukar? (lihat Odlin 2003). Banyak penelitian final-selesai ini yang menawarkan bahwa banyak cara dimana kesamaan dan perbedaan antar bahasa dapat mempengaruhi pemerolehan tatabahasa, kosakata dan pengucapan (Odlin, 2003).
Kemungkinan, bahasa Indonesia anak-anak Minang makin mendekati bentuk yang kriteria sejalan dengan bertambahnya umur mereka. Hal ini perlu untuk dibuktikan secara empiris. Diperkirakan, proses pemerolehan Bahasa Indonesia selaku bahasa kedua belum dewasa Minang yang normal tidak akan mengalami kesulitan yang bermakna alasannya kesamaan fonologis dan leksikal antara kedua bahasa ini.
Pada penduduk yang dwibahasa, sering orang mendidik anak mereka dalam bahasa yang mereka pikir akan menguntungkan bawah umur mereka di lalu hari. Adakalanya bahasa orisinil mereka tidak memainkan tugas yang signifikan baik secara ekonomi, politik, pendidikan dan potensi kerja dalam penduduk mereka. Status bahasa sebuah kelompok masyarakat dalam masyarakatnya akan memilih kesusksesan seseorang penutur bahasa (Cummins, 1981, 1996). Alasan penyeleksian BI bagi sebagian generasi muda perkotaan di Sumatera Bara yaitu untuk kepentingan pendidikan/akademis dan komunikasi (Marnita dan Oktavianus, 2008). Ini mungkin berhubungan dengan pendapat para hebat yang mengatakan bahwa penggunaan bahasa pertama sebagai bahasa pengajaran di sekolah selama mungkin dan memakai pendekatan yang baru dalam pengajaran dan pembelajaran yaitu bagian dari aspek-faktor yang mensugesti kesuksesan akademis anak (Clark, 2000).
Kemampuan bahasa anak dapat dilihat dari dua aspek, ialah kesanggupan reseptif (receptive skills) dan kemampuan produktif (productive skills). Kemampuan membaca dan mendengar termasuk dalam klasifikasi pertama sedangkan kesanggupan menulis dan mambaca tergolong dalam klasifikasi ke dua. Kemampuan produktif Bahasa Indonesia bawah umur Minang dalam kaitannya dengan bahasa pertama mereka mempesona dan perlu untuk dikaji.
Apakah penyeleksian Bahasa Indonesia selaku bahasa pertama memang menjinjing pengaruh yang signifikan kepada kesanggupan receptive dan produktif anak-anak dalam Bahsa Indonesia di sekolah? Oleh sebab itu, observasi ini dilaksanakan uuntuk melihat apakah bahasa pertama bawah umur Minangkabau menentukan tingkat kemampuan mengatakan dan menulis mereka dalam bahasa Indonesia. Maksudnya, apakah belum dewasa yang bahasa pertamanya bahasa Indonesia memiliki kesanggupan bahasa Indonesia ekspresi atau tulis lebih baik daripada belum dewasa yang bahasa pertamanya bahasa Minang atau sebaliknya.
Bab 2. Metode Penelitian
Penelitian ini ialah observasi deskriptif sinkronis untuk menyaksikan sikap berbahasa orang Minangkabau pada masa waktu sekarang dan menjelaskan fenomena tersebut dari tinjauan ilmu terkait secara deskriptif, sebagaimana adanya di lapangan. Secara khusus, observasi ini menyaksikan hubungan bahasa pertama anak dengan kemampuan atau tampilan bahasa lisan dan tulis anak-anak Minang dalam Bahasa Indonesia. Penelitian ini juga menjajal melihat faktor-faktor sosiolinguistis yang mungkin ikut mensugesti kemampuan bahasa Indonesia anak-anak Minang.
Metode penelitian yang diterapkan adalah metode observasi kwantitatif.Informasi tentang latar belakang kebahasaan anak, latar belakang pendidikan dan sosial orangtua serta sikap bahasa dalam aneka macam domain dikumpulkan dengan menggunakan angket (questionnaires) yang dicross-chek dengan wawancara mendalam berdasarkan pertanyaan pada angket.
Proses pengumpulan data lewat tiga tahapan utama, adalah: 1) persiapan; 2) pengumpulan data, dan 3) pengolahan serta analisis data. Tahap antisipasi mencakup aktivitas berbentukpenentuan terhadap metode dan teknik pemilihan subyek penelitian, penyusunan angket dan teknik penyebaran angket, metode dan teknik pengumpulan data.
2.1 Metode penyeleksian sample observasi
Subyek observasi ialah bawah umur Minangkabau yang kedua orangtua mereka yaitu orang Minangkabau asli. Usia mereka berkisar dari 12 sampai dengan 15 tahun, ialah usia yang telah melewati abad kritis (Lenneberg, 1967). Sampel penelitian yaitu siswa-siswa kelas Sekolah Menengah Pertama yang gres saja naik ke kelas 2, dan siswa SMA yang juga gres naik ke kelas 2. Sampel observasi mencakup siswa laki-laki dan siswa perempuan.
Sebagaimana penelitian sosiolinguistik, lokasi penelitian yakni sebuah kota, ialah kota Padang, yang ialah sebuah komunitas bahasa. Komunitas kota Padang yaitu komunitas yang dwibahasa, dimana rata-rata masyarakatnya bisa berbicara dalam bahasa Minang dana Bahasa Indonesia.
Sample penelitian adalah 95 orang siswa dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Padang, SMP Negeri 8 Padang dan Sekolah Menengan Atas Negeri 1 Padang. Sekolah tersebut semuanya ialah sekolah percontohan dan sekolah terbaik di tingkatnya masing-masing di kota Padang dan Sumatera Barat. Diasumsikan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah ini telah dilaksanakan sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan oleh Pemerintah. Artinya, faktor-aspek berupa materi bimbing dan metode pengajaran pada sekolah ini sudah memenuhi standard an kurikulum nasional.
Dengan demikian, subyek observasi dipilih menurut kesamaan dalam faktor-aspek: 1) etnis; 2) jangka waktu pengenalan atau mencar ilmu BI secara formal; 3) input pengajaran BI secara formal; 4) abad kritis pemerolehan L1; 5) kurun kritis pembelajaran L2.
Sampel diseleksi dari siswa 2 kelas siswa SMA 1, 1 kelas siswa SMPN 1 dan 1 kelas siswa SMPN 8. Semua siswa dalam kelas diminta untuk mengisi angket sebelum mengikuti wawancara, tes tulis dan tes verbal. Hasil balasan siswa pada angket kemudian dicermati untuk menyaksikan siswa yang menyanggupi criteria sebagai subyek observasi. Jumlah siswa yang menyanggupi kritera dan menjadi subyek observasi ialah 95 orang.
2.2 Metode pengumpulan data
Data kebahasaan anak diambil lewat dua cara, yaitu lewat angket dan wawancara mendalam. Angket berisi 10 pertanyaan tentang bahasa pertama anak, perilaku berbahasa anak di rumah dengan orangtua, anggota keluarga lainnya, dengan sobat di rumah dan di sekolah serta isu perihal latar belakang pendidikan, pekerjaan dan negeri asal dan lingkungan sosial orangtua. Wawancara mendalam dilaksanakan untuk mendapatkan data yang lebih akurat wacana info yang ditanyakan pada angket. Dalam wawancara, perilaku bahasa anak dan sikap bahasa dengan musuh jenis di sekolah juga ditanyakan
Data mengenai kemampuan BI lisan dan tulis dikumpulkan dengan mengadakan tes menandakan gambar selama lebih kurang 10 menit untuk masing-masing tugas. Dalam tes mulut juga diajukan pertanyaan yang berkenaan dengan wawasan belum dewasa kepada benda-benda lokal seperti tudung, sampan, kayu kelapa, dan benda-benda lain yang ada pada gambar.
2. 3. Metode analisis data
Data sosiolinguistis ialah jawaban anak-anak pada angket dan rekaman wawancara wacana perilaku dan perilaku bahasa serta latar belakang sosial, ekonomi dan pendidikan orang-bau tanah mereka. Data kesanggupan Bahasa Indonesia bawah umur Minangkabau yakni hasil tes BI ekspresi dan tulis anak-anak.
2.3.1 Metode Analisis data bahasa tulis
Pengukuran atau evaluasi terhadap kemampuan berbahasa tulis siswa dalam bahasa Indonesia dikerjakan dengan mengukur kemampuan mereka dalam mendeskripsikan sebuah gambar. Kompetensi dalam menciptakan deskripsi ini diukur dengan alat ukur yang dirancang oleh Omaggio (1983), yang mengukur 4 aspek kompetensi adalah : 1) kosa kata dan tata bahasa; 2) gaya bahasa; 3) susunan/organisasi tulis; 4) isi (lihat lampiran 3: Alat ukur kemampuan menulis )
2.3.2 Metode Analisis data bahasa verbal
Kompetensi BI ekspresi diukur dengan menggunakan alat ukur yang disesuaikan dari Scoring Guideliness for Speaking Performance Test yang dirancang oleh Savigno (1983), yang mengukur 6 aspek kompetensi, yaitu: 1) pengucapan; 2) kepasihan; 3) wawasan sosial budaya; 4) tatabahasa; 5) kosakata; 6) peran. Masing-masing pengukuran untuk setiap kompetesi bergerak dalam rentang 1 sampai 5. Ada tidaknya relasi antara tingkat kemampuan berbahasa Indonesia anak secara verbal maupun tulis dengan bahasa pertama mereka diuji dengan paired T-test, dengan menggunakan acara SPSS. Hubungan antara setiap bagian bahasa yang diukur dengan kesanggupan tulis dan verbal diuji dengan analisi korelasi.
3. Tujuan dan manfaat observasi
Penelitian ini ialah suatu penelitian permulaan yang mencoba untuk menyaksikan lebih dalam ihwal relasi bahasa pertama bawah umur Minangkabau dengan kesanggupan Bahasa Indonesia mulut dan tulis mereka. Adapun pertanyaa-pertanyaan dasar yang mendasari penelitian ini adalah:
1. Apakah ada efek bahasa pertama belum dewasa Minangkabau terhadap kesanggupan produktif Bahasa Indonesia mereka dalam bahasa tulis dan lisan?
2. Aspek-aspek kompetensi Bahasa Indonesia tulis atau lisan manakah yang mungkin dipengaruhi oleh bahasa pertama?
3. Apakah aspek-aspek linguistik dan sosiolinguistik yang mungkin mensugesti kesanggupan Bahasa Indonesia tulis dan lisan bawah umur Minangkabau?
Hasil observasi ini diharapkan akan berfaedah bagi guru-guru sekolah yang siswanya terlibat dalam penelitian ini, dan siswa-siswa SMP dan Sekolah Menengan Atas di kota Padang umumnya, orangtua, pengasuh, dan keluarga dalam hal penggunaan bahasa di rumah dengan anak. Penelitian ini dapat menjadi tumpuan bagi orangtua, keluarga, penduduk dan juga guru-guru serta pengambil kebijaksaanan dalam dunia pendidikan dan budaya di Sumatera Barat untuk memikirkan tindakan antisipatif dalam melestarikan bahasa dan budaya lokal serta dalam memperkuat identitas budaya masyarakat Minang.
4. Tinjauan Pustaka
Dalam bagian ini beberapa rancangan dasar dalam fenomena pemerolehan bahasa anak, teori-teori pemerolehan bahasa pertama dan bahasa kedua serta interferensi atau efek bahasa. Disini juga diterangkan beberapa kajian terakhir tentang topik-topik terkait permerolehan bahasa anak.
4. 1. Bahasa pertama
Istilah ‘bahasa pertama ‘first language’ dipakai berlawanan-beda. Menurut Bloomfield (1933), bahasa yang pertama dipelajari seseorang dalam mengatakan adalah bahasa aslinya (native language). Dalam hal ini, dia adalah penutur orisinil (native speaker) dari bahasa itu. Gass dan Selingker ( 2001) menerangkan bahwa native language yaitu ungkapan yang digunakan untuk bahasa yang pertama yang dipelajari anak. Istilah ini juga dikenal selaku bahasa utama (primary language), bahasa ibu (mother tongue) dan bahasa pertama (first language).
Berdasarkan fungsinya, bahasa pertama juga digunaan untuk mengacu pada bahasa yang paling banyak atau sering digunakan seseorang. Istilah bahasa pertama juga digunakan untuk merujuk pada tingkat penguasaan sesorang terhadap bahasa. Istilah bahasa ibu (mother tongue atau mother language) dipakai juga untuk bahasa yang dipelajari seseorang di rumah (terutama dari orangtua mereka). Berdasarkan defenisi ini, maka bawah umur yang dibesarkan dalam keluarga yang dwibahasa (bilingual) memiliki lebih dari dua bahasa ibu.
Dalam observasi ini, perumpamaan bahasa pertama didefenisikan selaku bahasa yang banyak dipakai dirumah oleh seorang anak dengan orangtuanya dan yang diajarkan oleh orangtuanya dikala beliau masih kanan-kanak atau saat beliau sudah bisa berbicara.
4.2 Proses pemerolehan bahasa pertama
Perhatian kepada bagaimana anak memperoleh bahasa dimulai pada kala ke 7 Masehi saat Psammeticus, seorang Firoun (Pharaoh) Mesir, percaya bahwa bahasa dibawa anak dari lahir. Sekitar 8 ratus tahun lalu, ialah pada era ke 15 Masehi, pertimbangan ini pun diyakini kebenarannya oleh raja Scotlandia, King James V, yang melaksanakan eksperimen seperti yang dijalankan oleh Pemtiucus. Kata pertama yang diucapkan oleh anak yang ia pisahkan dari dampak bahasa mana pun yaitu bahasa Hebrew.
Ada tiga pendekatan teoritis utama yang dipakai para mahir bahasa dalam menjelaskan fenomena pemerolehan bahasa anak mirip yang diuraikan oleh Fabiz (2002) dalam reviewnya perihal teori-teori Krashen tentang pemerolehan (L2), adalah 1) teori kognitif; 2) teori palsu dan penguatan; 3) teori alamiah (native)
1.Teori Kognitif
Pendekatan kognitif dikemukakan pertama kalinya oleh Jean Piaget (1896-1980) yang mengatakan bahwa kemajuan kognitif anak meliputi pergeseran dalam proses mental (cognitive) dan kemampuan (ability). Pada mulanya seorang anak mulai menyadari adanya suatu desain seperti ukuran benda yang berlawanan-beda dan lalu ia akan menemukan kata-kata dan acuan-pola bahasa untuk menyampaikan desain tersebut. Anak akan menyampaikan pandangan baru-inspirasi yang sederhana terlebih dulu sebelum ilham-pandangan baru yang lebih komplek. Namun begitu, teori Peaget ini ada kelemahannya alasannya adalah tidak mampu menjelaskan kenapa anak belajar bahasa lebih permulaan dari berguru hal-hal yang lainnya.
2. Teori Imitasi dan Penguatan yang positif (Imitation and Positive Reinforcement)
Pendapat ini merupakan pandangan para penganut teori tingkah laris (behaviourist) yang popular pada tahun 40an hingga 50an. Menurut teori ini, anak-anak berguru bahasa dengan cara memalsukan atau menjiplak dan apa yang mereka dengar dari orang sampaumur. Penguatan dan perbaikan kepada kesalahan yang mereka buat dalam berbahasa juga memainkan tugas yang penting dalam proses pemerolehan bahasa mereka.
Teori ini kemudian dipertanyakan oleh para hebat bahasa yang lain. Menurut mereka ialah tidak mungkin keseluruhan dari proses pemerolehan bahasa anak didapat melalui imitasi atau menyontek. Banyak kalimat yang diucapkan anak yang salah secara tata bahasa yang tidak dia perdapat dari memalsukan dari orang sampaumur
3.Teori Natif (Nativist Theory)
Teori natif ini bermula dari pendapat Noam Chomsky (dalam Baker 2001) yang menyampaikan bahwa manusia mempunyai ‘inbuilt cognitive readiness for language’ atau kesiapan kognitif kepada bahasa. Anak dilengkapi semenjak lahir dengan ‘language-acquisition devices (LAD)’ ialah komponen-komponen yang mengandung pengetahuan bawaan ihwal hukum-hukum dalam bahasa. Menurut Chomsky, LAD yakni bagian-komponen absurd yang memfasilitasi atau menghamabat anak memperoleh bahasa
Pendapat ini kemudian diperluas Chomsky menjadi sebuah teori yang dikenal dengan Universal Grammar, yang menyatakan bahwa pada otak semua manusia telah ada sejak lahir seperangkat prinsip (innate principles) dan parameter-parameter yang mampu disesuaikan (adjustable parameters) yang memungkinkan belum dewasa menangkap struktur bahasa ibunya (mother tongue) sesudah diperkenalkan pada bahasa itu, dan memungkinkan mereka bisa menguasai bahasa ibunya pada usia 3 tahun.
Dalam proses pemerolehan bahasa diketahui suatu masa yang dinamakan critical period atau masa kritis (Lenneberg, 1967). Masa kritis ini yakni kala dimana anak harus dikenalkan pada satu bahasa yang diekspos kepadanya. Masa kritis ini berakhir kira-kira pada selesai periode kanak-kanak ialah usia 12 tahun atau mungkin juga era puber. Lenneberg mengatakan bahwa jika sampai pada usia ini anak tidak diperkenalkan pada satu bahasa pun, maka ia tidak akan pernah belajar bahasa secara wajar dan fungsional.
Banyak hebat, mirip Grimshaw (1998) yang beropini bahwa hipotesis ini susah untuk dibuktikan. Menurut mereka, ada aspek-aspek lain yang mempengaruhi proses pemerolehan bahasa anak dan orang remaja secara berlawanan. Mereka beropini bahwa anak-anak berguru bahasa tanpa usaha; kecepatannya dalam memperoleh bahasa kemungkinan disebabkan oleh karena lingkungannya yang disiapkan sedemikian rupa untuk memberinya potensi sesering dan seoptima. Hal ini berlawanan dengan orang sampaumur yang belajar bahasa dimana pada tahap permulaan belajar bahasa, orang dewasa mempunyai potensi yang cantik untuk mempelajari kosakata dan tata bahasa tetapi pengucapannya tidak akan pernah menyamai penutur orisinil (Grimshaw, 1998).
4.3. Pemerolehan Bahasa Kedua
Bahasa kedua (L2) yakni bahasa yang dipelajari sehabis bahasa pertama (Gass dan Selingker 2007). Batasan pemerolehan bahasa kedua sangat bersifat arbiter atau suka-suka (Gass dan Selingker, 2001). Sebagaimana yang dikutip Gass dan Selingker (2001). Menurut Foster-Cohen (1999, p. 7-8), pemerolehan bahasa kedua yakni: ‘acquisition by individuals young enough to be within the critical period, but yet with a first language already learned”, atau, ‘successive acquisition of two languages in childhood (MacLaughlin, 1978. P 99).
Menurut Gass dan Selingker (2001: 5), anak mampu menemukan dua bahasa secara simultan di masa kanak-kanak, dan meskipun sulit memilih dengan sempurna titik permulaan dan titik final masa pemerolehan bahasa kedua anak, diperkirakan era itu berkisar antara usia 5 sampai 9 tahun, ketika bahasa utama atau pertama telah mantap (settled) dan sebelum adanya efek apapun selama era kritis pemerolehan bahasa anak.
Pada buku yang lain, Selingker, Swain dan Dumas (1975) menekankan bahwa hipotesis interlanguage (inter-bahasa) yang pada awalnya diformulasikan untuk pemerolehan bahasa kedua orang dewasa dapat diperluas meliputi pemerolehan bahasa kedua yang bersifat nonsimultan oleh belum dewasa (Gass dan Selingker 2001). Selingker dan kawan-kawan pertanda bahwa seni manajemen yang digunakan dalam transfer bahasa, penyederhaan dan kesimpulan yang berlebihan kepada hukum-aturan bahasa sasaran mensugesti kesanggupan bahasa kedua belum dewasa yang berusia antara 7 sampai 8 tahun.
Gass dan Selingker (2001) menjelaskan dengan rinci bahwa Pemerolehan Bahasa Ke Dua (Second Language Learning) berbeda dengan Pembelajaran Bahasa Asing (FLN). SLA ialah mencar ilmu bahasa ke dua yang bukan bahasa asli di masyarakat penutur bahasa yang dipelajari itu, sementara FLN adalah pembelajaran bahasa yang bukan bahasa asli penduduk setempat dalam lingkungan penduduk itu sendiri. .
Namun, tidak ada dari defenisi Gass dan Selingker ini yang cocok untuk menerangkan pemerolehan Bahasa Indonesia selaku bahasa ke dua oleh anak-anak Minangkabau alasannya Bahasa Indonesia tidak mewakili bahasa penduduk manapun, meskipun bahasa Indonesia diubahsuaikan dari bahasa Melayu.
Dalam sejarah pengkajian pemerolehan bahasa kedua, terdapat beragam persepsi atau pendekatan serta tata cara yang dikemukakan para ahli dibidang ini. Diantara versi-versi dan teori tersebut adalah: 1) teori atau versi akulturasi (acculturation theory); 2) teori nativisasi (nativization theory); 3) teori fasilitas (accommodation theory).
Model akulturasi (Schumann, 1978 dalam Ellis 1985) didefenisikan sebagai integrasi dari pembelajar bahasa kedua ke dalam budaya penduduk bahasa tersebut. Akulturasi, dan juga pemerolehan bahasa kedua, dipengaruhi oleh variabel-variabel sosial dan juga psikologis. Kedua ungkapan ini juga disebut dengan jarak sosial dan jarak psikologis, yaitu yang menentukan kwantitas dan kwalitas kontak dengan masyarakat bahasa yang dipelajari. Jarak sosial ialah hasil dari sejumlah aspek yang menghipnotis seseorang yang belajar bahasa kedua selaku seorang anggota dari suatu masyarakat sosial yang berafiliasi dengan golongan penduduk bahasa yang dipelajarinya. Sementara jarak psikologis adalah hasil dari banyak sekali aspek yang berhubungan dengan si pembelajar bahasa secara indifidual (Ellis 1985:252).
Variabel sosial menentukan apa keadaan yang baik atau yang jelek dalam pembelajaran bahasa. Menurut Ellis (1985), variabel-variabel yang menghipnotis tersebut ialah: Persamaan secara politik, ekonomi dan budaya antara bahasa target dengan bahasa kedua (L2).; 2) Asimilasi, pemertahan; 3) Keterlibatan; 4) Keseragaman; 5) Kesamaan; 6) Sikap ; 7) Lama tinggal. Variabel psikologis yang memilih pemerolehan dan pembelajaran L2 secara maksimal adalah sebagai berikut (Ellis 1985:252): 1) Kekagetan bahasa; 2) Kekagetan budaya;3) Motivasi; 4) Batasan-batas-batas ego.
Model nativisasi ialah suatu versi yang dikembangkan oleh Anderson dari akulturasi model yang dibentuk oleh Schumann. Model ini lebih difokuskan pada aspek-faktor kognitif proses pembelajaran bahasa kedua (Ellis 1985). Anderson (dalam Ellis 1985) menekankan pentingnya asimilasi dalam pembelajaran L2. Hal ini terjadi ketika pembelajar L2 berupaya mencari kesamaan dari input yang beliau peroleh dalam L2 dengan sistim bahasanya sendiri (tergolong dengan pengetahuannnya wacana dunia/alam, pengetahuannya tentang bahasa pertamanya) dan kemudian mencocokkkannya dengan apa yang disebut oleh Anderson selaku ‘internal norm’. Hal ini terjadi pada permulaan-awal perolehan bahasa kedua dan juga bahasa pertama dan pada era pidginisasi.
Denativization yakni perumpamaan yang digunakan oleh Anderson untuk mengacu pada fenomena fasilitas dalam pembelajaran L2. Seseorang yang belajar L2 akan menyesuaikan sistim bahasanya, inter-bahasanya, terhadap input yang diterimanya dalam L2. Artinya, dalam berguru L2, seseorang menggunakan ‘inferencing strategy’ untuk membentuk inter-bahasanya biar sesuai dengan perangkat bahasa yang ia pelajari (L2). Seorang pembelajar bahasa akan melaksanakan adaptasi dari sistim bahasanya kepada sistim bahasa yang dipelajarinya (l2), atau ‘ekternal norm’. Denativization biasanya terjadi pada tahap akhir proses pemblajaran L2 dan L1 (Ellis 1985), dan juga ialah bagian dari depiginisasi. Melalui kedua fenomean ‘internal norm’ dan ‘external norm’ ini Anderson berupaya memperlihatkan bagaimana sistim interbahasa pada tahap awal dan pada tahap selesai berlawanan.
Teori kemudahan dikemukakan oleh Giles dan kawan-kawannya. Teori ini mengkaji dalam hal apa bahasa antar grup menggunakan eko (echo) sosial dan aspek-aspek psikologi dalam komunikasi antar kelompok. Giles (dalam Ellis Ellis 1985:256) terpesona dengan hubungan antara golongan sosial pembelajar bahasa (the ingroup) dengan kelompok sosial bahasa yang dipelajari.
Menurut Ellis (1985), profisiensi L2 seseorang diputuskan oleh motivasi yang sungguh dipengaruhi oleh bagaimana pembelajar menyaksikan diri mereka sendiri dari sisi identitas budaya. Hal ini, berdasarkan Giles (Ellis 1985: 257) ditentukan oleh beberapa variabel. Motivasi yang tinggi dan tingkat penguasaan yang cantik dalam L2 dapat diraih bila seorang pembelajar bahasa memiliki pengidentifikasian yang rendah terhadap kelompoknya, memiliki perbandingan yang faktual atau netral terhadap kalangan lain, mempunyai persepsi yang rendah kepada vitalitas budaya dan bahasa kelompoknya, mempunyai persepsi batas-batas-batasan kelompoknya yang lunak, dan status kelompoknya memuaskan.
Sebaliknya, kemampuan (proficiency) seorang dalam pemerolehan L2 akan tergantung cuma pada intelijensia (inteligency) dan kemampuannya (aptitude) oleh alasannya motivasinya muncul kalau pengidentifikasian kelompoknya kuat, perbandingan terhadap golongan lain besar lengan berkuasa, perbandingan antara kelompoknya dengan golongan lain negatif, persepsinya kepada vitalitas budaya dan bahasanya lemah, dan status kelompoknya tidak memuaskan (Ellis 1985). Namun Giles juga menyampaikan bahwa tingkat kemampuan yang dapat diraih seorang pembelajar bahasa juga tergantung pada output kebahasaannya.
Dalam konteks pembelajaran bahasa Indonesia di Minang, perlu dilihat variabel-variabel sosial dan fisikologis manakah yang mungkin berperan mengenang Bahasa Indonesia tidak mewakili bahasa etnik manapun di Indonesia.
4.4 Pengaruh bahasa (language transfer)
Sejauh ini belum ada satu defenisi biasa wacana apa yang dimaksud dengan language transfer (Jarvis 2000). Hal ini lebih disebabkan oleh alasannya kata transfer dipakai dengan lebih kurang 10 makna (Dechert & Raupach, pp. x–xii dalam Jarvis, 2000).
Menurut Gass dan Selinker (2001), transfer bahasa adalah suatu ungkapan yang mencakup keseluruhan tingkah laris, proses and hambatan, adalah ‘ best thought of as a cover term for a whole class of behaviours, processes, and constraints”(p.208). Oleh sebab setiap observasi akan menemui imbas L1 yang berbeda-beda kepada L2, maka peneliti mesti terperinci tentang pengaruh L1 yang mereka teliti (Jarvis 2000).
Salah satu debat yang berkepanjangan diantara para mahir bahasa yaitu apakah transfer bahasa harus dipandang sebagai sebuah proses efek/interferensi antara L1 dan L2 (Odlin 1989) ataukah harus dipandang selaku penghalang atau penghambat (Shachter, 1992, lihat juga Selinker, 1992. P 209). Seperti yang dikutip dari Jarvis (2000), ada juga jago (cf.Corder,1983; Krashen,1983;Meisel,1983b; Newmark& Reibel, 1968) yang berpendapat bahwa transfer bahasa bukanlah proses dan bukan juga penghambat, melainkan sebuah strategi yang digunakan oleh pembelajar bahasa untuk mengisi ketidak tahuannnya kepada bahasa L2.
Pandangan lain, seperti yang dikemukakan oleh Jarvis (1998), Pavlenko (1997); cf. Kellerman (1995) dan Slobin (1993) mengatakan bahwa efek L1 mungkin timbul selaku hasil inert outcome dari sistim konsep yang serupa-sama ada yang mendasari kedua bahasa (Jarvis, 2000). Menurut Odlin (1989), setiap persepsi ini memiliki keunggulan dan oleh hasilnya mesti dimasukkan dalam defenisi yang pas untuk efek L1.
Jarvis (2000) mengatakan bahwa mungkin yang paling memuaskan yaitu sebuah working defenition atau defenisi kerja yang mampu diterima secara umum, dan netral perihal dampak L1. Yaitu suatu defenisi yang mampu membertindak selaku suatu heuristik untuk observasi di bidang ini. Salah satu defenisi kerja yang sering dirujuk yaitu defenisi yang dikemukakan oleh Odlin (1989), yaitu “Transfer is the influence resulting from similarities and differences between the sasaran language and any other language that has been previously (and perhaps imperfectly) acquired” (p. 27).
Oleh alasannya defenisi tersebut diatas juga hanya bersifat heuristik maka Odlin menawarkan beberapa batasan yang terperinci perihal bagaimana dampak L1 seharusnya dievaluasi. Pertama, efek dari L1 sangat anggun untuk diamati lewat perbandingan kemampuan bahasa pertama anak, tidak hanya lewat perbandingan secara deskriptif kedua bahasa yang digunakan anak (pp. 32–35, 42). Artinya, pengaruh L1 mampu diindentifikasi jikalau pembelajar dengan latar belakang L1 yang berbeda membuktikan perilaku yang berlawanan ketika mereka sama-sama memakai L2. Odlin juga menyatakan bahwa oleh karena kekomplekan hakikat bahasa yang digunakan setiap orang yang juga kompleks, maka imbas L1 lazimnya muncul sebagai kecendrungan-kecendrungan dan kemungkinan-kemungkinan umum, bukan dalam bentuk contoh-contoh yang berlainan-beda (invariant patterns)( p. 42).
Pengaruh L1 dapat diidentifikasi dengan menggunakan kemungkingkan-kemungkinan secara statistik. Selinker (1983, 1992), meyakini bahwa efek L1 dapat diidentifikasi kalau didapatkan paralel frekwensi antara L1 dan tingkah laku pembelajar (1992, p. 200). Dalam penelitiannnya, Selinker mendefenisikan secara operasional trasfer bahasa sebagai suatu proses yang timbul apabila kedatangan contoh L1 dalam perilaku dalam L2 ialah siksifikan secara statistik (1992, p. 201).
Baik Selinker maupu Odlin (dalam Jarvis 2000) menekankan pentingnya uji statistik untuk memilih kemunculan ataupun ketidakmunculan dampak L1. Kedua mereka mempunyai penguatan berbeda dalam jenis analisis yang mereka gunakan. Odlin (1989) menyarankan bahwa pengaruh L1 akan dapat diindentifikasi dengan baik lewat perbandingan kesanggupan bahasa antara penutur yang mempunyai, paling tidak dua bahasa, bahasa pertama atau bahasa ibu yang berbeda (p. 32; cf. Ard & Homburg, 1992). Sementara itu Selingker menekankan perbandingan perilaku L1 dan interbahasa (IL) pembelajar. Dapat disimpulkan, bahwa Odlin membandingkan IL-IL, sementara Selinker menitikberatkan pada perbandingan antara L1-IL (1992, pp. 200–209).
Dalam observasi ini, defenisi transfer bahasa yang dipakai ialah defenisi yang dikemukakan oleh Odlin (1992), yaitu “transfer bahasa adalah imbas yang dihasilkan dari kesamaan dan perbedaan atara bahasa target (bahasa yang dipelajari) dengan bahasa lain yang pernah diperoleh atau dipelajari, mungkin secara tidak tepat, sebelumnya. Sementara defenisi operasional diadopsi dari defenisi Selingker dengan menekankan pada observasi L1-IL. Namun begitu, kesamaan linguistik antara bahasa Minang dengan bahasa Melayu (bahasa Indonesia) menjinjing warna lainnya terhadap penelitian dalam bidang pengaruh bahasa atau language transfer pada bawah umur.
4.5 Kajian-kajian terkini ihwal pemerolehan bahasa
Penelitian tentang pemerolehan bahasa anak, baik bahasa pertama, dan bahasa kedua, memperlihatkan berbagai aspek yang ikut berperan dalam proses pemerolehan bahasa tersebut. Penelitian-penelitian yang sudah dikerjakan oleh para ahli bahasa yang terkenal sebelum ini, seperti Labov, 1964; 1966; Weinrech, Labov dan Herzon,1968; dan Deser, 1989; 1991 menawarkan bahwa dalam pemerolehan bahasa pertama, anak sangat dipengaruhi oleh sobat-temannya sendiri dibandingkan oleh orangtuanya.
Hasil observasi Payne (1991, dalam Stanford 2008), menawarkan bahwa bawah umur dari keluarga migran di Philadelphia lebih dipengaruhi oleh teman-teman mereka dalam hal pemerolehan bunyi-suara tertentu yang menjadi karakteristik kawasan tersebut meskipun orangtua mereka menunjukkan input yang optimal. Begitu juga halnya dengan hasil observasi Kerswill dan William (2000, dalam Stanford 2000), yang menunjukan imbas dari teman terhadap pemerolehan bunyi (ou). Namun observasi modern oleh Stanford (2008), menunjukkan bahwa pengetahuan lingustik anak-anak di Sui (baratdaya China) tidak dipengaruhi oleh orangtua atau teman, melainkan oleh klan (clan).
Zampini (1994) yang mengkaji tugas tranfer bahasa, bahasa Inggris, dan task formality dalam pemerolehan suara letup /b d g/ dan fariannya fonem desis /¢ ¤ ƒ/ dalam bahasa Spanyol, sebagai bahasa ke dua. Hasil observasi kepada dua kelompok pelajar Inggris yang mencar ilmu bahasa Spanyol memperlihatkan bahwa transfer dari bahasa Inggris berperan sekali dalam memilih kesuksesan pemerolehan suara getar berdesis (voiced spirants ) /¢ ¤ ƒ/ dalam bahasa Spanyol. Umumnya mereka tidak bisa mengucapkannya. Hal ini mengarah pada penurunan dalam pengucapan yang benar dalam peran membaca teks secara formal.
Spada dan Lightbown (1999) mengkaji bagaimana interaksi antara kemajuan kesiapan pelajar dengan instruksi yang diberikan dalam pemerolehan bahasa ke dua (L2), yakni bahasa Inggris. Parvaneh Tavakoli dan Pauline Foster (2008), meneliti bagaimana imbas dari struktur narasi dan kompleksitas narasi terhadap performa para pembelajar bahasa ke dua. Mereka meneliti 60 orang yang mencar ilmu bahasa Inggris di Teheran dan 40 orang di London, yang diminta untuk menceritakan kembali cerita kartun dari gambar yang diperlihatkan. Hasil observasi mengambarkan bahwa pelajar dari London lebih banyak menggunakan kalimat komplek dan kosakata yang yang beragam. Namun, tidak ada perbedaan antara keduanya dalam faktor lain. Sementara Pearson (2007) meneliti perihal pemerolehan bahasa dalam penduduk dwibahasa. Menurutnya, input adalah aspek yang paling menentukan apakah bahasa yang minoritas akan dipelajari atau tidak. Namun, status bahasa dan sikap bahasa juga berperan. Apabila keluarga bersifat proaktif dan memakai bahasa minoritas dalam aktifitas sehari, maka anak akan belajar bahasa tersebut.
5.Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini telah menawarkan klarifikasi yang terkait dengan 1) sikap bahasa belum dewasa Minang di kota Padang; 2) dampak bahasa pertama anak kepada kesanggupan BI tulis dan mulut mereka; 3) relasi antara masing-masing faktor bahasa dengan kesanggupan BI; dan 4) hubungan faktor sosiolinguistik dengan kesanggupan bahasa Indonesia anak.
5.1 Perilaku bahasa bawah umur Minang di Kota Padang
Dari hasil analisis terhadap tanggapan anak pada angket dan wawancara perihal sikap bahasa anak, di mampu citra bahwa pilihan bahasa pertama anak oleh para orangtua dipengaruhi oleh pendidikan dan pekerjaan orangtua serta lingkungan daerah tinggal. Kedua, sikap berbahasa anak di rumah berlainan dengan perlaku mereka di lingkungan tetangga, sekolah dan umum. Ketiga, perilaku belum dewasa berlainan menurut gender dan usia. Berikut adalah penjelasan dari masing-masing penemuan tersebut.
5.1.1. Latar belakang pendidikan dan status sosial keluarga
. Latar belakang pendidikan orang bau tanah anak dengan bahasa pertama BM beragam, mulai dari pendidkan sekolah menengah hingga dengan sarjana (S1). Pekerjaan orang renta mereka berkisar dari penjualdi pasar dan di warung hingga pada pegawai negeri dan pegawai swasta di perusahan swasta. Tempat tinggal mereka biasanya merupakan daerah kawasan tinggal yang latar belakang sosial dan pendidikan penghuninya yang sangat heterogen.
Anak-anak denga bahasa pertamanya BI biasanya ialah belum dewasa yang tingkat pendidikan orangtuanya sekurang-kurangnyaSarjana (S1) dan pekerjaan mereka umumnya dosen, dokter, pegawai bank, staf direksi perusahaan seperti PT Semen Indarung dan PT Igasar. Tempat tinggal mereka lazimnya di perumahan yang penghuninya relatif homogen dari faktor pendidikan, pekerjaan dan income.
5.1.2 Penggunaan bahasa oleh anak-anak Minangkabau
Perilaku berbahasa bawah umur Minangkabau berlainan-beda tergantung pada bahasa pertamanya, ranah penggunaan, konteks pemakaian, usia, dan jenis kelamin.
a. Penggunaan bahasa di ranah keluarga/rumah
Anak-anak yang bahasa pertamanya BM memakai BM selaku bahasa sehari-hari dengan orangtua mereka, kakak, adik serta anggota keluarga yang lain mirip nenek, kakek, Om dan Tante. Anak-anak yang bahasa pertamanya BI memakai BI dengan orangtua mereka, abang/adik, Om dan Tante, tetapi memakai BM dengan nenek atau kakek yang tidak mampu mengatakan dalam BI.
b. Penggunaan bahasa di lingkungan/tetangga
Anak-anak yang bahasa pertama mereka yakni BM menggunakan bahasa menurut pada siapa lawan bicara. Mereka menggunakan BM dengan belum dewasa yang memakai BM sehari-hari di rumah, dan memakai BI dengan bawah umur yang menggunakan BI di rumahnya.
Perilaku berbahasa anak-anak di lingkungan kawasan tinggal juga berbeda; belum dewasa dengan bahasa pertama BI memakai BI dengan sobat-sahabat pria maupun teman-sahabat wanita, orang dewasa dan orang tua yang mereka kenal. Anak-anak denga bahasa pertama BM memakai BM dengan semua orang sampaumur di lingkungannnya, dan tn-sahabat yagn berebahsa BM sehari-harinya, namun memakai BI dengan anak-anak dengan bahasa pertama BI.
Terdapat sikap yang berbeda antara anak laki-laki dengan anak wanita; anak-anak wanita menggunakan BI secara konsisten dengan sobat laki-laki dan wanita sementara anak pria memakai BI hanya dengan sobat perempuan yang bahasa pertamanya yaitu BI. Dengan sesama sahabat laki-laki, mereka selalu memakai BM meskipun sobat laki-laki itu di rumah menggunakan BI.
c. Penggunaaan bahasa di sekolah
Penggunaan bahasa oleh anak-anak wanita di sekolah tergantung pada konteks, adalah lawan bicara, topik, waktu dan daerah. Anak yang bahasa pertamanya BM, menggunakan BI dengan teman-sahabat perempuan yang belum diketahui atau yang belum bersahabat namun menggunakan BM dengan sobat-teman yang telah sungguh dekat. Anak-anak wanita yang bahasa pertamanya BI menggunakan BI dengan semua sahabat wanita dan pria baik belum kenal maupun sudah kenal dan akrab. Mereka beralih ke BM kalau sedang bercanda atau marah.
Penggunaan bahasa oleh anak laki-laki tergantung pada musuh bicara; mereka condong memakai BI dengan sobat wanita untuk memperlihatkan kesopanan (politeness) dan respek (respect). Mereka menggunakan BM dengan teman pria untuk menyingkir dari jarak sosial (social distance) dan menjalin kedekatan (closeness).
Perilaku berbahasa anak di sekolah sepertinya juga dipengaruhi oleh usia dan lingkungan sekolah. Anak-anak SMP1, condong menggunakan BI di sekolah ketimbang siswa Sekolah Menengah Pertama 8. Barangkali hal ini dipengaruhi oleh lokasi dan juga prestise dan image sekolah masing-masing.
d. Penggunaan bahasa di daerah lazim
Perilaku anak-anak di tempat biasa berlainan tergantung pada lawan bicara dan daerah. Anak-anak perempuan dengan bahasa pertama BI memakai BI berbicara dengan wanita dan pria di tempat umum mirip pramusaji toko di pasar-pasar swalayan tanpa memikirkan apakah pramusaji toko itu menggunakan BI atau BM. Sebaliknya, anak-anak pria memakai BM pada kontak pertama dengan pramusaji toko dan pindah ke BI bila pramusaji toko memakai BI. Anak-anak pria memakai BM jikalau mengatakan dengan orang sampaumur di tempat biasa , namun anak perempuan melihat pada siapa musuh bicaranya. Namun, semua anak-anak mengaku memakai BM jikalau berbicara pada pedagang di warung-warung dan pasar-pasar tradisional dan sopir angkutan biasa .
5.1.2 Sikap bahasa anak-anak
Sikap bahasa anak-anak perempuan dengan laki-laki berlainan. Anak-anak wanita memandang memandang BI sebagai bahasa yang lebih halus dan sopan sementara bawah umur pria memiliki pandangan positif kepada BM dan BI. Sikap bahasa orangtua ikut menghipnotis terbentuknya perilaku bahasa anak.
5.3 Pengaruh Bahasa Pertama kepada Kemampuan Bahasa Indonesia Lisan dan Tulisan di Sekolah
Analisis untuk mengetahui apakah penggunaan bahasa pertama di rumah menghipnotis bahasa lisan di sekolah dijalankan dengan menggunakan analisis regresi. Dalam pengolahan data, kalau seorang responden memakai bahasa Minang diberi nilai 1 dan bila memakai bahasa Indonesia diberi nilai 2.
Tabel 3a. Pengaruh Penggunaan Bahasa Pertama dengan Kemampuan Bahasa Indonesia Lisan di Sekolah
Tabel 3b. Koefisien Korelasi Penggunaan Bahasa Pertama dengan Kemampuan Bahasa Indonesia Lisan di Sekolah
Hasil pengujian regresi menunjukkan bahwa penggunaan bahasa pertama di rumah mensugesti secara signifikan dan positif terhadap bahasa Indonesia mulut di sekolah. Seperti yang mampu dilihat pada Tabel 3a dan 3b, ialah tingkat signifikansi yang dihasilkan yaitu 0,030. Hal ini memiliki arti toleransi kesalahan dapat diterima pada tingkat 3,0% atau dengan tingkat iman 90%, kebenaran hasil analisis dapat diterima. Karena pengaruhnya kasatmata. Artinya, anak yang lebih banyak memakai bahasa Indonesia di rumah sebagai bahasa pertama cendrung untuk mempunyai kemampuan bahasa mulut Indonesia yang lebih baik.
Tabel 4a. Pengaruh Penggunaan Bahasa Pertama dengan Kemampuan Bahasa Indonesia Tulisan di Sekolah
Tabel 4b. Koefisien Korelasi Penggunaan Bahasa Pertama dengan Kemampuan Bahasa Indonesia Tulisan di Sekolah
Hasil pengujian regresi menawarkan bahwa penggunaan bahasa pertama di rumah mempengaruhi secara signifikan dan positif kepada bahasa Indonesia tulisan di sekolah. Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 4a dan 4b, adalah tingkat signifikansi yang dihasilkan adalah 0,057. Hal ini memiliki arti toleransi kesalahan mampu diterima pada tingkat 5,7% atau dengan tingkat doktrin 90%, kebenaran hasil analisis mampu diterima. Karena pengaruhnya kasatmata, mempunyai arti kalau seorang anak lebih banyak memakai bahasa Indonesia di rumah sebagai bahasa pertama maka cendrung untuk mempunyai kemampuan bahasa verbal Indonesia yang lebih baik.
Berdasarkan Tabel 5a berikut ini dapat disimpulkan bahwa kesanggupan penggunaan bahasa pertama di rumah dalam menerangkan kesanggupan bahasa Indonesia mulut di sekolah yaitu sebesar 4,5%. Artinya, sebanyak 95,5% aspek lain yang mensugesti kemampuan bahasa Indonesia mulut seorang anak di sekolah tidak teridentifikasi dalam penelitian ini.
Tabel 5a. Pengaruh Penggunaan Bahasa Pertama terhadap Kemampuan Bahasa Lisan
Tabel 5b. Pengaruh Penggunaan Bahasa Pertama kepada Kemampuan Bahasa Tulisan
Demikian juga halnya dengan Tabel 5b yang memberikan bahwa kemampuan penggunaan bahasa pertama di rumah dalam menjelaskan kemampuan bahasa Indonesia tulisan di sekolah yakni sebesar 5,8%. Dengan kata lain, 94,2% merupakan variabel lain yang tidak terientifikasi dalam penelitian ini. Dengan demikian, faktor-aspek lain tersebut disampaikan melalui analisis deskriptif.
Kemampuan Bahasa tulis belum dewasa berdasarkan bahasa pertama mampu dilihat pada grafik berikut:
Grafik 1: Kemampuan BI tulis anak menurut bahasa pertama
Grafik 1 diatas memperlihatkan bahwa bahasa pertama anak menawarkan imbas yang berlawanan pada kesanggupan BI tulis belum dewasa. Pada grafik terlihat bahwa bawah umur dengan bahasa pertama BM memiliki gaya bahasa dan susunan goresan pena yang lebih baik daripada bawah umur yang bahasa pertamanya bahasa Indonesia. Grafik juga memperlihatkan bahwa anak-anak dengan bahasa pertama BI memiliki kesanggupan yang cendrung lebih tinggi pada tatabahasa dan isi tulisan. Namun, secara keseluruhan, belum dewasa dengan bahasa pertama BM memiliki kesanggupan rata-rata yang lebih tinggi dalam hal menulis (deskripsi) dalam bahasa.
Kemampuan menyusun kalimat bawah umur dengan bahasa pertama BI berada pada level block to communication (43.1%) dan significant errors (49.0). Artinya, susunan kalimat mereka masih kacau atau kurang tepat. Sementara anak-anak dengan bahasa pertama BM menawarkan kesanggupan yang mayoritas berada pada level significant errors (52.3%). Artinya, mereka masih melaksanakan kesalahan dalam susunan kalimat, namun ada usaha kearah susunan yang lebih bervariasi.
Begitu juga halnya dalam hal susunan tulisan; bawah umur dengan bahasa pertama BI memiliki kesanggupan lebih rendah dibanding belum dewasa dengan bahasa pertama BM. Sebanyak 19% dari anak-anak dengan bahasa pertama BM masih susah menyusun tulisan mereka biar bisa diikuti dengan baik, dan 21 % dari mereka masih lemah dalam mengembangkan kalimat topik, kalimat penutup walau tampak ada usaha mereka untuk menyusun goresan pena mereka lebih baik.
Grafik 2 berikut ini menggambarkan bahwa bahasa pertama menunjukkan efek kasatmata terhadap kesanggupan BI verbal belum dewasa. Hal ini terlihat pada semua komponen kebahasaan verbal yang diuji dalam tes menulis dskripsi.
Grafik 2: Kemampuan BI mulut berdasarkan bahasa pertama
Kemampuan BI verbal anak-anak dengan bahasa pertama BI lebih baik dibandingkan dengan belum dewasa dengan bahasa pertama BM. Perbedaan yang tampak konkret yakni pada aspek pengucapan, kefasihan dan kesanggupan mengekspresikan pengetahuan budaya lokal. Sementara kemampuan kedua kalangan anak nyaris sama dalam hal tatabahasa dan kosakata.
Dari tabel frekwensi terlihat bahwa 75% dari belum dewasa yang bahasa pertamanya BM memiliki pengucapan yang diwarnai oleh aksen BM. Hal ini berlainan dengan belum dewasa yang bahasa pertamanya BI dimana hanya 43.1%. dari mereka yang pengucapannya diwarnai BM, sekitar 54.9% dari mereka memiliki pengucapan yang hampir tidak dipengaruhi BM. Artinya, interferensi fonologis BM terhadap BI Lisan anak-anak yang bahasa pertamanya BM lebih besar.
Tingkat kefasihan belum dewasa yang bahasa pertamanya BM berada pada level significant errors (52%), yang bermakna bahwa kecepatan berbicara mereka wajar dan berusaha menuntaskan ujaran. Sementara bawah umur yang bahasa pertamanya BI yang berada pada level ini ialah (24%).
Dalam hal kemampuan mengekspresikan budaya setempat dalam bahasa Indonesia, tampak bahwa belum dewasa yang bahasa pertamanya BM mempunyai wawasan budaya cukup baik tetapi lemah dalam mendeskripsikannya dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya, bawah umur yang bahasa pertamanya BI lebih mampu menyikapi pertanyaaan yang berhubungan dengan budaya dalam bahasa Indonesia patokan.
5.2 Hubungan antara kesanggupan BI dengan masing-masing bagian bahasa
Analsis korelasi memperlihatkan adanya hubungan yang kuat antara masing-masing aspek yang diukur pada bahasa lisan dengan kemampuan BI lisan anak. Hubungan komponen bahasa lisan dengan kemampuan bahasa lisan anak-anak yang bahasa pertamanya BI sangat kuat. Hubungan kemampuan lisan dengan masing-masing komponen bahasa adalah sebagai berikut : dengan pengucapan .516; dengan kefasihan .705; dengan budaya .671; dengan tata bahasa .723; dengan kosa kata .779; dan dengan tugas .809 (Semua hubungan kuat karena p > .50.) Hubungan komponen bahasa tulis dengan kemampuan BI tulis juga sangat kuat; dengan Style .860; dengan susunan .835; dengan isi .877; dan tata bahasa .822. (( p > .50)
Hubungan antara kesanggupan BI tulis dan ekspresi belum dewasa yang bahasa pertamanya Bahasa Minang juga kuat, yakni dengan: pengucapan .659; kefasihan .664; budaya .610, tatabahasa .815; kosakata .874; dan tugas .801 Sementara untuk unsur tulis, kekerabatan yang besar lengan berkuasa ini tampak pada masing-masing unsur : tatabahasa .902; style/gaya bahasa .917; susunan tulis .832; dan isi tulis .863.
5.3 Faktor-aspek sosiolinguistik yang menghipnotis kemampuan BI verbal dan tulis bawah umur Minang
Meskipun perilaku berbahasa belum dewasa Minang berlawanan berdasarkan gender, tetapi hasil uji statistik mengambarkan bahwa sikap tersebut tidak besar lengan berkuasa kepada kesanggupan BI ekspresi dan tulisan anak. Dari analisis hasil uji statistik diatas, tidak bisa diterangkan apakah ada kekerabatan pribadi antara sikap berbahasa anak laki-laki dan anak wanita dengan kemampuan bahasa Indonesia ekspresi dan tulis mereka. Diperlukan sebuah penelitian lebih mendalam untuk mampu menyaksikan korelasi ini dan mendapatkan faktor-faktor lain yang mungkin berkontribusi terhadap fenomena ini.
Dari hasil uji perbandingan berganda, dipereoleh hasil bahwa kemampuan BI mulut dan tulis belum dewasa Minangkabau tidak berlainan menurut usia. Fenomena ini mungkin mampu dijelaskan dari sudut abad pemerolehan L1 dan L2 (Gass dan Selingker); disini bawah umur yang diteliti telah melalui masa kritis pemerolehan bahasa pertama mereka dan sama-sama sudah mengenal atau mempelajarai bahasa kedua mereka. Meskipun sikap bahasa bawah umur berlainan berdasarkan gender dan usia, dari hasil penelitian ini belum mampu dijelaskan apakah ada hubungan yang kasatmata antara perilaku bahasa dengan kemampuan bahasa Indonesia anak. Diperlukan sebuah observasi yang khusus untuk menyaksikan korelasi antara perilaku bahasa dan kemampuan bahasa Indonesia anak.
6. Kesimpulan.
Dari hasil uji statistik kepada data-data yang dikumpulkan di lapangan terlihat bahwa bahasa pertama menghipnotis bahasa tulisan belum dewasa Minang dalam hal gaya bahasa (style) dan susunan kalimat (syntax). Sementara bahasa verbal tidak dipengaruhi oleh bahasa pertama anak-anak. Perilaku berbahasa anak yang berlainan menurut gender tidak mempengaruhi kesanggupan Bahasa Indonesia verbal dan tulis anak-anak. Perbedaan dalam hal usia juga tidak menentukan kesanggupan anak dalam BI tulis dan mulut. Namun, tidak mampu ditelusuri dalam penelitian ini apakah sikap bahasa anak besar lengan berkuasa kepada kemampuan BI mulut dan tulis mereka.