close

Imam Masjid | Cerpen Ade Ubaidil



Dua hari kemarin seorang marbut masjid, Mang Badrun, selesai membagikan surat permintaan ke beberapa warga Kampung Cibelenger. Tidak sembarang orang yg memperoleh undangan khusus itu. Memang benar yg menulis undangannya Mang Badrun, tetapi nama-nama yg tertera dlm permintaan diperoleh dr seorang tetua yg sangat disegani. Ia cuma diminta mengetikkan nama darinya, lalu mencetak & berbagi undangannya sebelum malam ini tiba.


Bakda isya satu per satu warga berdatangan ke masjid. Tidak mendapatkan usul khusus bukan berarti mereka tak boleh hadir. Kau akan tahu apa pentingnya permintaan itu sehabis kalimat ini.

Haji Masykur sang saudagar datang paling awal di antara peserta undangan lainnya. Baju gamis & kain sarung yg dikenakannya tampak glamor di mata warga. Ia diketahui akil mengaji & khatam permasalahan tajwid serta makhorijul huruf. Karpet berwarna hijau merah telah lebih dahulu digelar di teras. Haji Masykur duduk di sisi pintu paling kanan. Terlihat olehnya dr arah pintu gerbang, Ustaz Rasyid melangkah masuk disertai dua orang santrinya. Berpostur tinggi tegap dgn kopiah putih & serban di kepala menegaskan ia selaku pendiri salah satu pesantren di kampung tersebut.

“Assalamu’alaikum…,” sahutnya ramah sembari melepaskan sandalnya. Salah satu santrinya gegas merapikan sandal sang guru. Belum ia duduk, sebagian warga menyalami tangannya. Anak & kemenakan mereka banyak yg mengaji kitab kuning di pesantren Ustaz Rasyid.

Penerima usul selanjutnya datang menenteng kendaraan beroda empat. Seorang sopir memar kirnya di pelataran masjid. Lalu ia mem bukakan pintu belakang. Seorang pria berwajah ganteng, dgn setelan jas hitam & sepatu mengilap, keluar dr dlm mobil. Ia Haji Salim, putra dr almarhum Kiai Shidiq, alim besar di kampung Cibelenger yg wafat sebulan kemudian.

Ia menebarkan senyum. Tangannya merapikan sedikit letak kopiah hitam di kepala, kemudian berlangsung ke teras masjid. Dibanding dua akseptor ajakan yg sudah hadir, ia berpakaian paling berlainan. Haji Salim pewaris tunggal kekayaan abahnya, empat puluh persen dana pembangunan masjid disumbang oleh Kiai Shidiq. Tak heran banyak warga yg biasa memohon pertolongan uang padanya. Selain itu, ia diketahui mempunyai suara merdu dikala melantunkan ayat suci Quran.

Dalam surat usul, tertulis musyawarah dimulai jam delapan malam. Tiga kandidat imam masjid Kampung Cibelenger sudah duduk bersebelahan. Mereka bercengkerama alakadarnya sembari menanti tetua kampung tiba. Sorot mata warga tak lepas dr tiga orang di hadapannya.

  Arwana | Cerpen Harris Effendi Thahar

Setelahnya, mereka saling berbisik & menduga. Gelar imam masjid di kampung Cibelenger ialah sebuah gengsi. Bukan soal dibayar atau tidak, tetapi ini soal harga diri. Belum tepat ilmu agamanya bila belum mengimami salat di masjid Cibelenger. Itu yg ada di benak para warganya. Kampung lain cukup menaruh hormat pada kampung seribu santri ini—begitu julukannya.

Lima menit berselang & Pak Kiai Djasim tiba. Bukan dr luar gerbang, namun dr dlm masjid yg remang. Rupanya sejak isya tadi ia tak pulang, tetapi melaksanakan iktikaf & berzikir sambil menunggu seluruhnya berkumpul.

Tiga calon imam yg duduk akrab pintu masjid lekas berdiri. Mereka menjabat tangan Kiai Djasim & menciumi punggung tangannya. Begitu pula para warga, mereka saling berebut ke depan. Pak Kiai tersenyum, lalu mengangguk & meminta semua kembali duduk. Ia membuka musyawarah malam itu dgn mengajak warga membaca surah al-Fatihah tolong-menolong.

“Hatur nuhun atas kesediaan saudara sekalian untuk hadir pada malam ini,” ia mulai ke pokok pembahasan, “kule percaya, ningali kekompakan warga mengketen, insya Allah kampung Cibelenger bakal baik-baik saos. ” Dialek bahasa jawa bebasannya terdengar kental di telinga warga.

Mang Badrun menjinjing teko & beberapa cangkir berisi teh hangat. Ia mohon izin untuk menaruhnya di hadapan tetua & para undangan. Pak Kiai memper silakan lalu mulai kembali mengatakan, “mungkin warga sekalian sudah tahu apa tujuan musyawarah malam ini. Selebaran sudah dipasang di tembok masjid & tiga orang yg dipanggil telah hadir….” Mang Badrun kali ini menenteng teko untuk warga. Ia meletakkannya di tengah orang-orang yg duduk melingkar. Setelah itu ia mundur kembali & duduk di paling belakang.

Tetua memaparkan kalau pemilihan imam masjid sudah umum dijalankan di Kampung Cibelenger semenjak dahulu. Ini adalah budpekerti serta tradisi bebuyutan demi menjaga kualitas seorang pemimpin dlm mendirikan ibadah salat. “Kebetulan, saya yg dituakan & mendapat amanah berat ini dr kiai-kiai yg sudah lebih dahulu pergi. Semoga saudara sekalian mampu mendapatkannya dgn berbesar hati,” katanya tawaduk. Warga mengangguk tergolong tiga orang di kanan-kirinya.

Hari semakin malam. Kiai Djasim tak ingin mengulur waktu terlalu usang. “Punten, saya akan segera meminta pada saudara-saudara di depan ini untuk memberikan kesanggupan membaca Alqurannya apalagi dahulu. Baru setelahnya akan sedikit membahas mengenai wawasan soal ilmu fikih & yang lain.” Kiai Djasim saat itu juga terkenang masa-masa tatkala ia dulu di posisi mereka. Ia murid dr Kiai Shidiq & saat di minta mengaji di depan warga tubuhnya bergetar & keringat tak henti-hentinya mengalir. Waktu terus berjalan. Tak terasa sekarang ia ada pada posisi selaku tetua kampung.

  Cerpen: Memimpikan Yang Kuasa

Ustaz Rasyid dgn amat yakin mengajukan diri lebih dulu. Dalam hatinya barangkali menganggap ini yaitu hal gampang. Karena hampir setiap hari ia menguruk santri-santrinya mengaji. Sudah banyak tempat ia kunjungi untuk berguru agama sewaktu muda dulu. Selesai dr satu mubalig lanjut ke ulama yg lain. Dari mahir qiraah ke jago fikih yg lain.

“Katuran Pak Ustaz….”

Ustaz Rasyid duduk bersila menghadap Kiai Djasim. Tatkala dipersilakan & mata mereka bertemu, mendadak tubuhnya bergetar. Dadanya bergemuruh & matanya tak kuasa menatap lama ke wajah Pak Kiai.

“A‘udzzz…, bbill.. ahh..,” Ustaz Rasyid tergeragap. Lidahnya tiba-tiba kelu. Ia tak paham apa yg terjadi. Suara bisik-bisik warga yg keheranan terdengar kian riuh. Namun bukan itu yg menjadikannya cemas. Justru bayangan di kepalanya yg sangat mengusik. Wajah-wajah santri yg pernah ia usir, singgah di tempurung kepalanya. Bahkan yg pernah ia sabet karena tak lekas mengerti pelajaran pun meraung-raung malam itu. Tak usang badannya limbung. Dua santrinya lekas mendekat & menyanggah tubuhnya. Warga membantu & menenteng ia pulang kembali ke rumahnya.

“Astagfirullah….” Kiai Djasim diperlihatkan oleh Allah apa yg membuat Ustaz Rasyid mengalami hal itu. Tapi masih ada dua orang lagi. Ia lekas meminta satu dr mereka untuk menghadap ke arahnya.

“Baca basmallah lebih dahulu. Mohon izin & ridho pada Allah. Mulailah kapan pun saudara siap,” ucapnya teduh sarat usulan.

“Baik, Pak Kiai,” jawab Haji Masykur lekas. Belum ia mulai membaca ayat basmallah, mulutnya hanya megap-megap mirip ikan mujair dlm air. Ia menjajal berteriak hingga tenggorokannya sakit, namun nihil. Suaranya tetap hilang detik itu juga. Sama halnya Ustaz Rasyid, ia pun tak paham apa yg tengah terjadi. Tak kuasa menahan malu ia gegas bangun & berlari pulang ke rumahnya. Kepalanya dibayang-bayangi wajah orang-orang yg sering ia hina tatkala tak sanggup membeli barang dagangannya. Ia membuka lebar mulutnya berupaya menjerit, tetapi tak ada getar bunyi yg keluar.

Lagi-lagi Kiai Djasim diinginkan tahu apa yg menimpanya. Ia beristigfar tiada henti. Masih ada satu orang di sebelahnya. Barangkali ia yg bakal jadi imam masjid penggantinya kelak. Belum diminta duduk menghadap Pak Kiai, Haji Salim inisiatif. Ia bergeser mengambil posisi duduk di depan Kiai. Tatkala Kiai Djasim memberi arahan untuk mengawali, Haji Salim dika getkan oleh kedatangan almarhum abahnya yg duduk bersebelahan dgn Kiai Djasim.

  3033 | Cerpen Martin Aleida

Wajah Haji Salim sekonyong-konyong pucat. Matanya melotot tak percaya. Bibirnya pelan sekali menyebut nama Tuhan, & berhasil. Ia tak bisu & gelagapan mendadak. Namun, badannya seolah membatu. Ia tak bisa bergeser sedikit pun. Mendiang abahnya menegur Haji Salim. Warga galau dgn kejadian malam itu. Mereka tak melihat kehadiran Kiai Shidiq, tetapi Kiai Djasim merasakan kedatangan gurunya itu. Dengan kepala merunduk ia tetap membisu & menyimak apa yg ingin disampaikan Kiai Shidiq pada anak semata wayangnya itu.

“Bertobatlah, Salim. Allah tak menggemari hambaNya yg menyantap duit riba. Bantulah kerabat & tetanggamu dgn hati yg lapang dada. Demi Allah gue tak pernah mengajarkanmu berlaku culas & arogan. Sesungguhnya Allah maha pengampun.” Haji Salim menangkap air tampang abahnya yg murka. Ia pun menangis tersedu-sedu. “Maafkan, saya, Bah. Mohon ampun….” Setelahnya Haji Salim menjerit-jerit tak jelas. Sopirnya sergap membawa majikannya ke mobil. Ia tancap gas meninggalkan warga tanpa permisi. Bahkan teko & gelas-gelas ia biarkan tergeletak sehabis tertendang olehnya.

Kedua mata Kiai Djasim berkaca-kaca. Hatinya menahan tangis menghadapi realita ini. Sedangkan warga tak bisa berbuat apa-apa. Mereka terlampau syok dihadapkan dgn peristiwa gila yg datang nyaris serentak. Mang Badrun melihatnya biasa saja. Lelaki separuh baya itu hanya tahu satu hal yg harus dilakukannya; mengorganisir masjid. Segera ia merapikan kembali teko & gelas-gelas yg berantakan. Ia mengelap airnya yg tumpah membasahi lantai masjid.

Sosok almarhum Kiai Shidiq masih berada di sebelah Kiai Djasim. Sebelum pergi ia menitipkan suatu pesan, “Jaga Badrun biar tak jauh-jauh dr pengimaman. Dulu, ia pula pernah mengaji padaku.” Kiai Djasim mengangguk takzim. Seketika ia teringat, dulu saat mengaji di rumah Kiai Shidiq, Badrun kecil selalu bersembunyi di atas pohon mangga & menyimak orang-orang yg sedang mengaji.

Cilegon, 03 Mei 2018

Ade Ubaidil, pengarang asal Cilegon. Terpilih selaku salah satu penulis Emerging Ubud Writers and Readers Festival 2017. Buku terbarunya berjudul, “Surat yg Berbicara tentang Masa Lalu” (Basabasi, 2017). Arsip tulisannya bisa dilihat di: www.quadraterz.com.