Ikan | Cerpen Abraham Zakky Zulhazmi

Ayahku memelihara ikan sapu-sapu di sebuah akuarium. Tidak terlalu jelas muasal ikan itu. Ayah tak pernah bercerita dr mana asal ikan sapu-sapu miliknya. Setahuku ayah tak memiliki hobi memancing. Ia pula bukan seseorang yg gemar memelihara binatang. Satu-satunya hewan peliharaan ayah yaitu ikan-sapu. Itupun jika patut disebut peliharaan.

Seingatku, ikan sapu-sapu itu ada di akuarium di pojok ruang keluarga semenjak gue kelas satu SMA. Tatkala itu rasanya tak seorang pun bertanya perihal ikan sapu-sapu ayah. Ia begitu saja menjadi belahan dr keluarga kami. Bertahun-tahun ia ada di sana. Bahkan sampai kini, saat gue mempunyai anak usia dua tahun.

Ikan sapu-sapu itu seolah tak mampu mati. Ia ada di sana & tak akan kemana-mana. Berjalan mondar-mandir menyapu beling akuarium. Setiap hari sepanjang waktu. Kadang gue berpikir, apa istimewanya ikan sapu-sapu ini? Kenapa ayah tak menentukan ikan hias lain untuk dipelihara?

Pertanyaanku itu terjawab pada suatu pagi. Pagi itu ayah terlihat gusar sekali. Ikan sapu-sapunya sudah dua hari tak bergerak sama sekali. Tapi ayah tahu ikan itu belum mati. Tiba-tiba ayah menghimpun kami sekeluarga di ruang tamu & memberikan satu hal penting.

Menurut ayah, ikan sapu-sapu itu sudah mengirim menunjukan. Sayangnya, menandakan itu yakni menunjukan buruk. Ayah bilang, kami sekeluarga mesti siap dgn segala kemungkinan yg terjadi. Kami diminta memperbanyak doa serta menjauhkan diri dr bersenang-bahagia.

Benar saja, sehari setelah kami berkumpul di ruang tamu, kios ayah di pasar terbakar. Belum pernah gue melihat kebakaran yg lebih jago dr itu. Seisi pasar mirip larut dlm kobar api. Aku tak terlalu peduli dgn desas desus ihwal kebakaran pasar itu. Aku hanya tahu kios ayah ludes. Apalagi isinya sebagian besar yaitu plastik & kertas yg memang gampang terbakar. Tiba-tiba gue ingat ikan sapu-sapu milik ayah.

  Egois | Cerpen Setta SS

Setelah insiden itu ikan sapu-sapu ayah kembali bergerak mirip biasa. Sejak saat itu gue tak lagi menilai ikan sapu-sapu ini ikan biasa. Apalagi ikan itu senantiasa mengirim arahan yg tepat ditafsirkan oleh ayahku (cuma ayahku). Misalnya, tatkala ikan itu mendadak begitu aktif bergerak. Ayah bilang akan ada tokoh besar yg amat dicintai rakyat meninggal. Sehari kemudian seorang guru bangsa mantan presiden meninggal di rumah sakit.

Ikan sapu-sapu ayah selalu mengirim menunjukan sebelum terjadi peristiwa-insiden besar & terus begitu hingga hari itu datang. Hari yg kelak begitu sulit kulupakan. Hari itu, gue mengajak anakku main ke rumah kakek neneknya, rumah masa kecilku. Semua berlangsung normal belaka. Anakku yg memang erat ayahku, kakeknya, bermain sepanjang hari di kebun belakang rumah. Mereka bermain sampai azan zuhur berkumandang dr musala samping rumah. Usai sembahyang & makan siang, seperti yg sudah-sudah, ayahku tidur siang.

Aku sedang duduk-duduk di teras rumah sambil membaca berita politik tatkala kudengar bunyi benda dipukul bertubi-tubi dr dlm rumah. Didorong rasa ingin tau gue mencari muasal bunyi itu. Alangkah terperanjatnya gue tatkala kulihat anakku sedang memukul ikan sapu-sapu ayah dgn gagang sapu. Entah bagaimana, ikan sapu-sapu itu telah terkapar di lantai.

“Ikan lele, ikan lele,” celoteh anakku. Aku ingat, dua hari lalu gue mengajak anakku ke pasar berbelanja ikan lele. Mungkin ia memperhatikan bagaimana pedagang lele mematikan lele satu persatu dgn palu.

Badanku mendadak cuek tatkala kulihat ayah sudah berdiri di depan pintu kamar dgn paras datar menyaksikan anakku menghabisi ikan sapu-sapu miliknya. Ayah bergumam: tak lama lagi akan ada kerusuhan besar di ibu kota sebab perbedaan pilihan politik.

  Senyum Karyamin | Cerpen Ahmad Tohari

Aku kehilangan kata. Tak tahu lagi harus bagaimana. (*)