close

Ibu Jenderal | Cerpen Arie MP Tamba

Jalan di depan warung itu sedang diaspal.

Setiap hari terjadi macet. Di jalan itu berlaku buka-tutup sepanjang lima kilometer. Kota kecil itu menjadi lebih riuh dr lazimnya . Bila antrean bergerak dr sebelah kiri, maka antrean di sebelah kanan menanti, mengular, sampai tak kelihatan ekornya.

Lalu, bila para penjaga memberi tanda dgn mengibarkan bendera dr kejauhan, artinya antrean di sebelah kanan boleh jalan; sedangkan antrean di sebelah kiri giliran menanti.

Begitulah sepanjang hari, ganti-berubah, dr pagi, siang, sore, sampai malam.

Pada siang hari, tatkala mobil-kendaraan beroda empat bergerak, banyak yg menggerutu sebab abu-bubuk beterbangan & bunyi mesin menderu bising. Anak-anak sekolah yg saban hari memakai jalan itu, kerap kali menepi di antara kendaraan beroda empat-kendaraan beroda empat yg mencoba lebih singkat di antara antrean. Anak-anak itu menutup verbal & mata, menghindari bubuk, sementara klakson menyalak ke telinga.

Di antara terik matahari, abu bergulung-gulung di udara. Para pekerja terus bergerak. Ada yg mengangkat pasir. Ada yg menggali gundukan tanah. Ada yg memecah watu. Ada yg menggulingkan tong aspal dr truk. Ada yg menuangkan aspal ke jalan yg baru diratakan. Ada yg memperbaiki posisi topi seraya mengisap rokok & mengepulkan asap dr lisan.

Semua melakukan pekerjaan tak habis-habisnya. Seraya sesekali istirahat di warung Ibu Jenderal.

Kecuali Ibu Jenderal, sudah dua ahad penduduk jalan itu terusik saat meninggalkan rumah pagi hari & kembali sore hari. Ibu-ibu yg rajin menyapu rumah & melap barang pecah-belah putus asa sebab bubuk. Bila penduduk tak ragu menggerutu, Ibu Jenderal justru sering tersenyum. Hingga, sebagian tetangga seperti baru mengetahui Ibu Jenderal.

Tapi penduduk segera mengetahui, kenapa tampang Ibu Jenderal selalu berseri-seri. Pastilah sebab warungnya yg biasa cuma dikunjungi beberapa pembeli itu, kini ramai dihadiri pelanggan setiap pagi, siang, & malam.

Uang Ibu Jenderal pastilah bertambah banyak. Hasil keuntungan memasarkan kopi, teh cantik, pisang goreng, singkong goreng, nasi campur, & sesekali bihun goreng. Ibu Jenderal pastilah sudah punya ongkos, untuk menjenguk anaknya di rantau. Bukankah itu yg diangankan Ibu Jenderal beberapa tahun terakhir?

Para pekerja merasa tertolong oleh Ibu Jenderal. Mereka terhindar dr kerepotan berbelanja makanan ke sentra kota kecamatan di utara. Sementara, mereka terjebak di selatan melakukan pengaspalan yg harus segera dirampungkan.

  Ulat Terakhir di Kamar Nenek | Cerpen A Warits Rovi

Para pekerja ditugaskan bekerja cepat oleh kepala kawasan. Konon seorang jenderal & rombongannya akan meresmikan suatu sekolah unggulan di kecamatan sebelah. Mereka pulang akan melalui jalan itu.

“Tapi, kenapa ia dipanggil Ibu Jenderal,” begitulah seorang pekerja suatu tatkala memulai perbincangan di antara teman-temannya.

“Aku nggak tahu. Ada penduduk yg membisikkan, dr dahulu ibu itu memang ingin anaknya jadi jenderal.”

“Dari dulu?”

“Ya, dr dahulu, semenjak sekolah lanjutan di sini.”

“Ke mana anaknya? Mati?”

Hush. Merantau. Ke luar pulau.”

“Sudah tiga puluh tahun belum pernah pulang.”

“Anak tunggal?”

“Iya.”

“Sekolah militer memang usang. Apalagi jikalau mau jadi jenderal….”

“Tahu darimana kau?”

Yah, dengar-dengar.”

“Gila, bagaimana jika anaknya pulang, namun ibunya sudah meninggal?”

“Kita bisa lihat sendiri. Setiap pagi Ibu Jenderal sehat.”

“Tapi sendirian.”

“Kasihan.”

“Ada yg bilang, anaknya bahu-membahu cuma jadi… copet!”

Hussh. Jangan fitnah!”

Lha, tetangganya yg bilang.”

“Benar-benar kasihan….”

“Kok kasihan?”

“Kalau benar copet? Bisa jadi tak akan pulang sebab malu? Penantian Ibu Jenderal sia-sia.”

“Kalau benar jenderal?”

“Kenapa tak pulang?”

“Sudah kubilang, kalau mau jadi jenderal itu bisa puluhan tahun.”

Ibu Jenderal tak tahu sudah jadi perbincangan para pelanggannya. Ibu Jenderal hanya merasa gembira, bahwa angan-angannya menjenguk anaknya ke rantau akan kesampaian.

Ibu Jenderal menggeleng-gelengkan kepala. Tersenyum gembira memandang bubuk-bubuk beterbangan di depan warung. Kalau tak ada pengaspalan, bagaimana ia mendapatkan extra uang?

Berapa umurnya kini? Ibu Jenderal tak pernah menimbang-nimbang. Sejak lama ia merasa bau tanah, & sungguh berat berdiri pagi. Ingin rasanya bersantai di pembaringan. Tapi, terutama seminggu ini, ia merasa sayang melepaskan rejeki dr pekerja. Bagaimana mungkin ia memubazirkan rejeki, yg bisa dipakai menjenguk anaknya?

Dan dua hari ini, bila pekerja sesekali menanyakan anaknya dengan-cara pribadi, Ibu Jenderal pun mulai menjawab lebih terbuka.

“Makara, kapan anak ibu pulang?”

“Bisa saja besok.”

“Maaf, jika tak pulang?”

Hush.”

Nggak apa-apa. Saya sudah akan menyusulnya kok.”

“Bagaimana ceritanya, kok ibu bisa bercita-cita punya anak jenderal?”

Ibu Jenderal tak pribadi menjawab. Tatapannya menerawang ke masa kemudian. Mengenangkan kejadian puluhan tahun lewat. Tatkala suatu hari, di depan warungnya itu, jalanan masih berlubang-lubang.

  Kota Mati dan Pembunuhnya

“Bagaimana, Ibu, kalau boleh tahu?”

Perlahan tapi niscaya, Ibu Jenderal pun bercerita. Runut. Hati-hati. Kuatir bila ada yg tak tersampaikan. Dan nampaknya, kisahnya sudah berulang-ulang disusun di benak, hingga tanpa kendala melafalkannya.

Suatu kali, katanya, puluhan tahun berselang, ia masih berdua bersama anak tunggalnya itu. Mereka hidup dr warung. Meski tak berlebihan, ia bisa menyekolahkan sang anak.

Pada suatu siang, jalanan di depan warung diramaikan belum dewasa sekolah. Mereka mengacung-acungkan bendera sambil bernyanyi-nyanyi. Anak-anak sekolah itu dibawa gurunya menyambut rombongan pejabat. Mobil si pejabat berkaca tertutup. Bergoyang-goyang. Di jalan berlubang-lubang.

“Pak Jenderal lewat! Pak Jenderal lewat!” begitu teriakan riuh anak-anak sekolah itu.

Ibu Jenderal kagum. Untuk pertama kali ia melihat seseorang dapat menggerakkan sekian banyak anak sekolah menyambut di jalanan, tatkala orang itu lewat. Padahal, tak sekalipun orang itu menunjukkan wajah.

“Pak Jenderal lewat! Pak Jenderal lewat!” begitu suara anak-anak itu mengelu-elukan di bawah terik siang.

Mobil si pejabat berkaca tertutup. Bergoyang-goyang. Di jalan berlubang-lubang.

“Pak Jenderal orang mahir, ia pemimpin kita,” kata seorang tetangga beberapa hari kemudian, tatkala Ibu Jenderal mencari tahu siapa yg melalui jalanan mereka.

Mendengar tanggapan itu, entah kenapa Ibu Jenderal tiba-tiba mendapatkan pencerahan. Dadanya berdebar. Napasnya memburu. Wajahnya memerah. Matanya menyala. Senyumnya mekar. Dan pikirannya bergelora oleh citra: bahwa ia hadir ke dunia ini, adalah untuk menjadi ibu seorang jenderal!

Ibu Jenderal. Ibu Jenderal.

Ia tinggalkan si tetangga yg terbengong-melongo menyaksikan parasnya yg berbinar.

Dan semenjak itu, santerlah di antara tetangga, kasak-kusuk perihal angan-angan si ibu yg ingin jadi ibu seorang jenderal. Dan nyaris dlm setiap pertemuan dgn siapa saja, si ibu pun tak malu mengungkapkan isi hatinya.

Sebagian tetangga tak keberatan. Sebab siapa pun bebas mengangankan apa saja dlm hidupnya. Tapi sebagian tertawa sopan & menggeleng-gelengkan kepala. Mereka menganggap hal itu hanya impian kosong. Sebagian lagi mengernyitkan dahi. Lalu kadang-kadang menatap si ibu dgn sosot mata menyelidik. Mereka curiga, si ibu mulai melantur.

Tapi kenyataannya, si ibu tak melantur. Ia justru sungguh-sungguh mengusahakan anaknya sukses jadi jenderal. Dimulai dgn memberangkatkan anaknya melanjutkan sekolah ke luar pulau, begitu sang anak lulus dr sekolah lanjutan atas.

  Sepotong Tulang dengan Daging Kering yang Menempel Disisinya | Cerpen Supartika

Ibu Jenderal harus mengeluarkan banyak biaya. Segala perhiasannya semenjak muda, raib ke toko emas. Sebagaimana anaknya itu, bertahun-tahun kemudian, lenyap tanpa surat.

Pada awal perantauannya, sang anak bersungguh-sungguh berkirim surat. Selanjutnya, tahun demi tahun berlalu, hanya kabar angin yg terdengar, terbawa para tetangga yg pulang dr luar pulau.

“Apa kata mereka, Bu?”

“Ada yg bilang, anak saya sudah jadi jenderal.”

“Wah. Apalagi yg ditunggu? Kunjungi saja, Bu.”

“Tegur, kenapa tak berkabar!”

“Ya, jenderal sekalipun, pasti takut sama ibunya!”

“Itu sih, film Nagabonar!”

“Tapi ada yg bilang, anak saya jadi raja… copet!”

“Itu pula Nagabonar.!”

Para pekerja saling tatap. Dan kemudian saling melengos.

“Panggilan Ibu Jenderal, bahwasanya usikan!” lanjut Ibu Jenderal. Tatapannya menerawang, ke arah debu-abu beterbangan di depan warung.

Sementara, para pekerja satu demi satu meninggalkan warung. Kembali bekerja. Menuntaskan peran yg nyaris selesai.

Ibu Jenderal pula kembali melakukan pekerjaan . Lebih bergairahdr umumnya. Setelah banyak bercerita pada pekerja itu, ia merasa beban di pundaknya lebih ringan.

Terlintas dlm angannya, sesudah pengaspalan jalan selesai, seandainya rombongan anaknya yg jenderal itu pulang, ia akan melalui jalanan licin. Tak ada lagi jalanan berlubang, seperti puluhan tahun lewat.

Dan dua ahad kemudian, Ibu Jenderal tersentak dr lamunannya, tatkala melihat & mendengar anak-anak sekolah berjejalan di depan warungnya. Mereka mengibar-ngibarkan bendera & bernyanyi-nyanyi di bawah matahari sore.

“Pak Jenderal lewat! Pak Jenderal lewat!” begitu teriakan ramai belum dewasa sekolah itu.

Pemandangan puluhan tahun lewat, seperti berlangsung baru saja & berulang kembali di hadapan Ibu Jenderal. Ia melangkah penasaran ke depan warungnya. Dan menyaksikan mobil si pejabat itu berkaca tertutup, melaju kencang di jalan mulus gres diaspal.

“Pak Jenderal lewat! Pak Jenderal lewat!” begitu teriakan ramai anak-anak sekolah itu terdengar sayup.

Dari dlm kendaraan beroda empat yg membawanya, sang jenderal memandang ke luar. Melalui beling temaram itu, ia seperti mengetahui kota kecil yg dilaluinya. Pikirnya, ia bisa saja pernah tinggal di pinggir jalan itu, di belakang bawah umur sekolah itu, atau di warung itu…. (*)