Hukuman yang Pantas bagi Plagiator | Cerpen Sam Edy Yuswanto

Menurut kalian, kira-kira hukuman seperti apa yg patut bagi plagiator? Blacklist semua media cetak & online? Ah, itu eksekusi yg terlalu ringan. Terlalu biasa & tak cukup menjadikannya jera. Tangkap saja & masukkan ia ke penjara mirip para koruptor! Aku tersenyum lebar tatkala ide yg menurutku brilian ini menggema lantang di ruang benak.

Namun, senyumku seketika memudar dikala menyadari bahwa di negeri terkasih & tercinta ini perlu waktu yg sungguh panjang & berbelit untuk menangkap seorang koruptor yg tertangkap tangan menggasak uang rakyat & menjebloskannya ke dlm jeruji besi. Belum lagi, penjara bagi para koruptor tak lantas membuatnya jera. Karena di dlm penjara pun mereka masih bisa hidup bergelimang kemewahan, menikmati gerlap duniawi. Mungkin, ya, mungkin hanya lubang kubur yg kelak mampu membuat mereka jera sebenar-benarnya jera.

Enak saja. Jangan sampai orang yg telah memplagiasi tulisanku hidup enak-enakan di dlm penjara! batinku meradang tak terima. Hingga beberapa menit ke depan, nyatanya gue masih belum memperoleh sebuah ide yg cerlang perihal eksekusi apa yg pantas dikalungkan di leher plagiator. Saat kepalaku terasa makin pening balasan tak kunjung memperoleh inspirasi atau penyelesaian untuk menghukum penulis yg telah kurang asuh memalsukan tulisanku, tiba-tiba ada seseorang mengetuk pintu kamar kosku.

*****

Bima, tetangga kos, mahasiswa semester tiga di universitas yg berbeda denganku & baru dua bulan menekuni dunia kepenulisan, eksklusif masuk begitu gue membuka pintu.

“Suntuk banget wajahmu Bram, ada dilema?”

“Iya nih, gue lagi kesal banget sama penulis yg telah memalsukan cerpenku,” pada Bima, gue meluapkan kekesalanku.

  Burung-burung Mbah Sinting | Cerpen Ang Ariandi

Raut Bima terlihat terkejut mendengar ceritaku.

“Hah? Tulisanmu diplagiat? Siapa yg telah melakukannya, Bram?” gurat kejut terpoles di wajah sawo matang Bram.

“Leo Kembara, tampaknya ia cerpenis anyar, gue coba search namanya di Facebook, Twitter, & Instagram, tak kutemukan namanya. Mungkin ia pakai nama pena, Bim.”

“Mm, iya, tampaknya gue gres dengar nama itu. Ngomong-ngomong, cerpen yg judulnya apa yg diplagiat?”

“Judulnya Penantian, pernah dimuat koran setempat. Leo menjiplaknya lingkaran-lingkaran, hanya mengganti nama-nama tokoh & judulnya saja. Sialnya, cerpen yg diganti judul menjadi Jalan Pulang itu diangkut koran Kosmos minggu ini! Gila! Koran nasional incaran para cerpenis di negeri ini yg honornya mencapai satu juta, Bim!” gue menggeram emosi.

“Wah, mujur sekali Leo, ya?”

“Hei, beruntung gimana maksudmu?” jujur saja, gue kurang suka dgn ucapan Bima. Intonasinya terkesan membela si plagiator & seolah tak berempati denganku.

“Eh, maksudku, ya mujur saja bisa tembus Kosmos, sayangnya cerpen tersebut hasil plagiat, ya?”

Lantas, gue pun berdiskusi dgn Bima, perihal apa yg mesti gue lakukan. Aku pun meminta pertimbangan Bima, kira-kira eksekusi apa yg patut bagi plagiator. Namun hingga hampir satu jam, kami tak kunjung mendapatkan hukuman apa yg tepat bagi Leo. Terlebih, identitasnya hingga ketika ini belum kunjung terungkap.

“Satu-satunya jalan gue mesti segera melaporkan ke redaksi Kosmos, semoga Leo di-blacklist secepatnya & honornya tak dicairkan.”

Bima menatapku dgn kerutan di dahinya.

“Sepertinya ananda ada ilham lain?” tanyaku.

“Kalau menurutku sih, lebih baik ditunggu sepekan dululah, Bram. Sampai kita memperoleh identitas siapa sebenarnya Leo.”

Mulanya gue sungguh tak baiklah dgn anjuran Bima. Tapi sesudah kupikir-pikir, ada benarnya pula mencari tahu apalagi dahulu siapa sebetulnya Leo Kembara. Siapa tahu nanti gue mendapatkan ilham lain yg lebih cocok untuk menghukumnya.

*****

Konsentrasi mengetikku ambyar saat men­dengar suara dering ponsel yg kurasa begitu abnormal. Aku melirik ponselku yg tergeletak di samping laptop dgn kondisi nonaktif sebab sedang dicas. Hei, jangan-jangan ponsel Bima ketinggalan?

  Ibumu | Cerpen Andri Lestari

Dering itu masih terdengar. Pandanganku lekas menyapu seputar kamar & kemudian berhenti di atas samping bantal guling. Tebakanku benar. Ponsel Bima ketinggalan. Aku berhenti dr acara mengetik cerpen terbaruku. Lantas secepatnya meraih ponsel milik Bima. Dering itu berhenti tatkala gue gres memegang ponselnya. Baru saja gue bersiap & bermaksud mengembalikan ponsel Bima ke kamarnya, sebuah notifikasi pesan WhatsApp masuk. Mulanya gue tak berniat membuka pesan yg entah dr siapa itu. Kalian tentu tahu kan, membuka ponsel milik orang itu langkah-langkah yg tak sopan?

Namun, entah kenapa ada energi begitu besar lengan berkuasa yg memaksa tanganku untuk membukanya. Bim, gaji Kosmosnya sudah cair? Traktir, dong! Hei, pastinya gue eksklusif kaget tak kepalang saat membaca pesan dr Tias, yg kuyakini selaku kekasih Bima. Karena sementara waktu kemudian Bima pernah cerita perihal kekasih barunya itu.

Merasa ada yg tak beres dgn isi pesan tersebut, gue pun secepatnya membaca pesan-pesan Tias sebelumnya. Aku pribadi syok bukan main & impulsif membanting ponsel Bima. Kurang bimbing! Bagaimana bisa dia, sahabat yg lahir di kota yg sama denganku, tega berbuat sejahat ini padaku, teman yg selama ini sudah menolong mengajarinya perihal cara menulis yg jujur?

Ternyata, Leo Kembara ialah nama pena Bima. Oh, patut barusan Bima minta gue semoga mengulur waktu seminggu sebelum melaporkan Leo ke redaksi Kosmos. Pasti, ya, niscaya biar honor Kosmos bisa dicairkan dahulu. Karena, sebagaimana kata teman-temanku yg pernah diangkut di sana, tak hingga sepekan honor sudah masuk ke rekening.

Saat gue masih menggeleng-geleng antara percaya & tidak, tiba-datang pintu kamar kosku diketuk seiring suara orang yg sungguh kukenali.

  Desa Nasi Basi | Cerpen Afika Awwaliyah Rozzaq

“Bram, ponselku ketinggalan,” dr suaranya, ada nada cemas yg tak bisa disembunyikan.

Aku memandangi pintu sambil menggeram. Sementara tangan kananku terkepal spontan. Aku sudah siapkan bogem mentah yg akan kulayangkan ke wajah Bima dikala gue membuka pintu kos ini. Aku rasa, ya, gue rasa ini eksekusi yg cukup patut bagi plagiator tengik macam ia. (*)