Para ulama setuju bahwa wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap dirinya atau anaknya, maka mereka boleh berbuka. Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
وأنه يجوز للحبلى والمرضع الإفطار وقد ذهب إلى ذلك العترة والفقهاء إذا خافت المرضعة على الرضيع والحامل على الجنين وقالوا إنها تفطر حتماً قال أبو طالب: ولا خلاف في الجواز.
“Dan bahwasannya diperbolehkan bagi perempuan hamil dan menyusui untuk berbuka puasa. Telah berpendapat ihwal hal tersebut ‘itrah (ahlul-bait) dan fuqahaa’, adalah apabila perempuan yang menyusui cemas dengan anak yang disusuinya dan perempuan yang hamil khawatir dengan anak yang dikandungnya/janin. Mereka berkata: ‘Sesungguhnya ia wajib untuk berbuka’. Abu Thaalib berkata: ‘Dan tidak ada perbedaan pertimbangan wacana kebolehannya” [Nailul-Authaar, 4/230].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى وَضَعَ شَطْرَ الصَّلَاةِ أَوْ نِصْفَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمَ عَنْ الْمُسَافِرِ وَعَنْ الْمُرْضِعِ أَوْ الْحُبْلَى
“Sesungguhnya Allah ta’ala sudah menggugurkan setengah shalat dan puasa bagi seorang musafir; serta wanita yang menyusui dan perempuan yang hamil” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2408, At-Tirmidziy no. 715, An-Nasaa’iy 4/190, Ahmad 4/347 & 5/29, ‘Abd bin Humaid no. 430, Ibnu Maajah no. 1667 & 2042 & 2043 & 3299, ‘Abdullah bin Ahmad dalam tambahannya atas Musnad Ahmad 4/347, dan Ibnu Khuzaimah no. 2044; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud 2/71].
عن بن جريج عن عطاء قال : تفطر الحامل والمرضع في رمضان إذا خافتا على أولادهما في الصيف، قال : وفي الشتاء إذا خافتا على أولادهما.
Dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’, ia berkata : “Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadlaan jika cemas kepada anaknya, baik di isu terkini panas ataupun di demam isu masbodoh” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 4/217 no. 7557; shahih].
Akan tetapi lalu mereka bertikai pertimbangan wacana konsekuensi bagi perempuan hamil dan menyusui tersebut sehabis berbuka, apakah dia mesti mengqadla’, mengeluarkan uang fidyah, mengqadla’ dan mengeluarkan uang fidyah, atau bahkan tidak ada kewajiban mengqadla’ maupun mengeluarkan uang fidyah.
Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ * أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kau berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kau biar kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kau ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu beliau berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lainnya. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jikalau mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (adalah): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati menjalankan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jikalau kau mengenali” [QS. Al-Baqarah : 183-184].
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ عَنْ عَطَاءٍ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ وَعَلَى الَّذِينَ يُطَوَّقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ هُوَ الشَّيْخُ الْكَبِيرُ وَالْمَرْأَةُ الْكَبِيرَةُ لَا يَسْتَطِيعَانِ أَنْ يَصُومَا فَيُطْعِمَانِ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq: Telah mengkhabarkan terhadap kami Rauh: Telah menceritakan kepada kami Zakariyyaa bin Ishaaq: Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Diinaar, dari ‘Athaa’ (bahwa) ia mendengar Ibnu ‘Abbaas membaca: ‘wa ‘alalladziina yuthawwaquunahu fidyatun tha’aamu miskiina (Dan bagi orang-orang yang dibebani puasa, mengeluarkan uang fidyah yaitu : memberi makan seorang miskin)’. Ibnu ‘Abbaas berkata: “Ayat ini tidak mansuukh (hukumnya), yaitu laki-laki bau tanah bau tanah atau perempuan tua tua dimana keduanya sudah tidak bisa lagi berpuasa, maka keduanya wajib memberi makan seorang miskin selaku ganti untuk setiap harinya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4505].
Jumhur ulama sudah mengkritik perkataan Ibnu ‘Abbaas, bahwa yang benar dalam dilema ini ayat tersebut mansuukh. Mereka berargumen dengan riwayat :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا بَكْرُ بْنُ مُضَرَ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ يَزِيدَ مَوْلَى سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ عَنْ سَلَمَةَ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ كَانَ مَنْ أَرَادَ أَنْ يُفْطِرَ وَيَفْتَدِيَ حَتَّى نَزَلَتْ الْآيَةُ الَّتِي بَعْدَهَا فَنَسَخَتْهَا
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan terhadap kami Bakr bin Mudlar, dari ‘Amru bin Al-Haarits, dari Bukair bin ‘Abdillah, dari Yaziid maulaa Salamah bin Al-Akwa’, dari Salamah, ia berkata: “Ketika turun ayat: ‘Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jikalau mereka tidak berpuasa) mengeluarkan uang fidyah, (ialah): memberi makan seorang miskin’, barangsiapa yang ingin berbuka maka hendaklah membayarkan fidyah hingga lalu turunlah ayat setelahnya yang meniadakan (aturan)-nya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4507].
حَدَّثَنَا عَيَّاشٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَرَأَ فِدْيَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ قَالَ هِيَ مَنْسُوخَةٌ
Telah menceritakan terhadap kami ‘Ayyaasy: Telah menceritakan terhadap kami ‘Abdul-A’laa: Telah menceritakan terhadap kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, bahwasannya beliau membaca ayat: fidyatun tha’aamu masaakiin (‘membayar fidyah, adalah: memberi makan seorang miskin’), lalu berkata: ‘Ayat ini mansuukh (hukumnya)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1949 & 4506].
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ أخبرني أبو أحمد يعني الحافظ أنبأ الحسين بن محمد بن عفير ثنا علي يعني بن الربيع الأنصاري ثنا عبد الله بن نمير عن الأعمش ثنا عمرو بن مرة ثنا عبد الرحمن بن أبي ليلى ثنا أصحاب محمد صلى الله عليه وسلم قالوا أحيل الصوم على ثلاثة أحوال قدم الناس المدينة ولا عهد لهم بالصيام فكانوا يصومون ثلاثة أيام من كل شهر حتى نزل شهر رمضان فاستكثروا ذلك وشق عليهم فكان من أطعم مسكينا كل يوم ترك الصيام ممن يطيقه رخص لهم في ذلك ونسخه وإن تصوموا خير لكم إن كنت تعلمون قال فأمروا بالصيام
Telah mengkhabarkan terhadap kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh: Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Ahmad – ialah Al-Haafidh – : Telah memberitakan terhadap kami Al-Husain bin Muhammad bin ‘Ufair: Telah menceritakan kepadaku ‘Aliy – yakni Ibnur-Rabii’ Al-Anshaariy: Telah menceritakan terhadap kami ‘Abdullah bin Numair, dari Al-A’masy: Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Murrah: Telah menceritakan terhadap kami ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa: Telah menceritakan terhadap kami para shahabat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mereka berkata : Syari’at puasa telah mengalami tiga kali pergantian. Orang-orang dikala tiba pertama kali di Madiinah tidak diwajibkan terhadap mereka berpuasa. Lalu, mereka berpuasa tiga hari dalam setiap bulannya, sampai turunlah (kewajiban puasa di) bulan Ramadlaan. Mereka menilai kewajiban itu terlalu banyak dan menyusahkan mereka. Maka, orang-orang yang memberi makan orang miskin diperbolehkan meninggalkan puasa, bagi yang merasa berat menjalankannya sebagai satu dispensasi bagi mereka atas hal itu. Dan lalu (rukhshah) itu dihapus dengan ayat: ‘Dan berpuasa lebih baik bagimu bila kau mengenali’. Maka mereka pun ditugaskan (diwajibkan) untuk berpuasa” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 4/220].
Oleh sebab itu, Ibnu Hajar rahimahulah sampai berkata :
هذا مذهب ابن عباس وخالفه الأكثر
“Ini ialah madzhab Ibnu ‘Abbaas, sedangkan pada umumnya ulama telah menyelisihinya” [Fathul-Baariy, 8/180].
Akan namun ada riwayat shahih dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa bahwa ia juga membaca ayat sebagaimana qira’at jumhur.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ بْنِ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ قَالَ أَنْبَأَنَا وَرْقَاءُ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ فِي قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ يُطِيقُونَهُ يُكَلَّفُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ وَاحِدٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا طَعَامُ مِسْكِينٍ آخَرَ لَيْسَتْ بِمَنْسُوخَةٍ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ لَا يُرَخَّصُ فِي هَذَا إِلَّا لِلَّذِي لَا يُطِيقُ الصِّيَامَ أَوْ مَرِيضٍ لَا يُشْفَى
Telah mengkhabarkan terhadap kami Muhammad bin Ismaa’iil bin Ibraahiim, dia berkata : Telah menceritakan terhadap kami Yaziid, beliau berkata : Telah menyiarkan terhadap kami Warqaa’, dari ‘Amru bin Diinaar, dari ‘Athaa’, dari Ibnu ‘Abbaas wacana firman-Nya ‘azza wa jalla : ‘Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (adalah) : memberi makan seorang miskin’. Ia (Ibnu ‘Abbaas) berkata : “Makna yuthiiquunahu ialah yukallafunahu (dibebani puasa); untuk membayar fidyah, memberi makan satu orang miskin. ‘Barangsiapa yang dengan kerelaan melaksanakan kebajikan’; adalah memberi makan orang miskin lainnya, tidaklah dihapus. ‘Maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu’ ; yakni, tidak diberikan dispensasi dalam hal ini kecuali bagi orang yang tidak bisa berpuasa atau sakit yang tidak dibutuhkan sembuhnya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 2317; shahih – lihat : Shahih Sunan An-Nasaa’iy 2/144].
Riwayat di atas juga menunjukkan keterangan pada kita bahwa antara qira’at yuthawwaquunahu (yang dianggap sebagai qira’at syaadzah) dan yuthiiquunahu menurut Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tidak berlawanan maknanya.
Kemudian perhatikan riwayat berikut :
أخبرنا إبراهيم بن مرزوق قال ثنا روح قال ثنا سعيد بن أبي عروبة عن قتادة عن عزرة عن سعيد بن جبير عن بن عباس رضى الله تعالى عنهما قال رخص للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة في ذلك وهما يطيقان الصوم أن يفطرا إن شاءا أو يطعما كل يوم مسكينا ولا قضاء عليهما ثم نسخ ذلك في هذه الآية فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وثبت للشيخ الكبير والعجوز الكبيرة إذا كانا لا يطيقان الصوم والحبلى والمرضع إذا خافتا أفطرتا وأطعمتا كل يوم مسكينا
Telah mengkhabarkan terhadap kami Ibraahiim bin Marzuuq, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Rauh, beliau berkata : Telah menceritakan terhadap kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, dari Qataadah, dari ‘Azrah, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ta’ala ‘anhumaa, dia berkata: “Diberikan dispensasi (rukhshah) bagi laki-laki dan perempuan yang telah renta/lanjut usia atas hal itu meskipun mereka bisa berpuasa, untuk berbuka kalau menghendakinya atau memberi makan orang miskin setiap hari, tanpa perlu mengqadlanya. Kemudian hal itu di-nasakh dengan ayat: ‘Barangsiapa di antara kau hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah beliau berpuasa di bulan itu’ (QS. Al-Baqarah: 185). Akan namun aturan itu tetap (tsabt) (masih berlaku) bagi pria dan wanita yang sudah renta/lanjut usia bila mereka tidak mampu berpuasa, serta bagi wanita hamil dan menyusui bila mereka khawatir (atas dirinya atau anaknya); untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Jaaruud no. 381; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/18].
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا أَبَانُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ أَنَّ عِكْرِمَةَ حَدَّثَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أُثْبِتَتْ لِلْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil: Telah menceritakan kepada kami Abaan: Telah menceritakan kepada kami Qataadah: Bahwasannya ‘Ikrimah sudah menceritakan kepadanya: Bahwasannya Ibnu ‘Abbaas berkata: “(Hukum itu) ditetapkan bagi perempuan hamil dan menyusui” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2317; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud 2/48].
Terdapat faedah yang sangat berguna dalam riwayat di atas. Pada riwayat di atas, Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa menerangkan makna mansuukh yang dia katakan pada riwayat lainnya (HR. Al-Bukhaariy no. 4505), adalah mansuukh sebagian hukumnya. Oleh karena itu, ini tidak bertentangan dengan pendapat jumhur. Sebab, salaf ketika memutlakkan kata mansuukh, yakni mansuukh aturan secara keseluruhan. Adapun yang dimaksud Ibnu ‘Abbaas dalam riwayat-riwayat di atas adalah mansuukh sebagian hukumnya yang memiliki arti takhshiish.
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata dikala menerangkan atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa :
فحاصل الأمر أن النسخ ثابت في حق الصحيح المقيم بإيجاب الصيام عليه، بقوله: فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وأما الشيخ الفاني [الهرم] الذي لا يستطيع الصيام فله أن يفطر ولا قضاء عليه، لأنه ليست له حال يصير إليها يتمكن فيها من القضاء، ……. ومما يلتحق بهذا المعنى: الحامل والمرضع، إذا خافتا على أنفسهما أو ولديهما……
“Maka kesimpulannya ialah, nasakh itu tetap berlaku bagi orang sehat yang bermukim (tidak melakukan perjalanan) dengan kewajiban berpuasa baginya melalui ayat: ‘Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri kawasan tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa’. Sedangkan orang yang lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk berpuasa, maka boleh baginya berbuka tanpa perlu mengqadlanya, karena ia tidak akan lagi mengalami keadaan yang memungkinkannya untuk mengqadla’ puasa yang ditinggalkannya itu…… Termasuk dalam pengertian ini yaitu perempuan hamil dan menyusui bila mereka cemas akan dirinya dan anaknya…..” [Tafsir Ibni Katsiir, 1/500-501].
Bersamaan dengan pengetahuan Ibnu ‘Abbaas atas adanya nasakh ayat, maka dapat dikenali bahwa takhshiish terhadap orang-orang yang lanjut usia yang tidak bisa lagi berpuasa serta perempuan hamil dan menyusui; bukan berasal dari ijtihadnya semata. Jika para ulama setuju mendapatkan takhshiish untuk orang-orang lanjut usia, maka tidak ada halangan untuk mendapatkan takhshiish tersebut untuk wanita hamil dan menyusui.
Dan ternyata dalam hal ini, Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa tidaklah sendiri. Ibnu ‘Umar menyepakatinya sebagaimana terlihat dalam riwayat berikut :
حدثنا هناد قال، حدثنا عبدة، عن سعيد، عن نافع، عن علي بن ثابت، عن نافع، عن ابن عمر، مثل قول ابن عباس في الحامل والمرضع
Telah menceritakan terhadap kami Hanaad, ia berkata: Telah menceritakan terhadap kami ‘Abdah, dari Sa’iid, dari Naafi’, dari ‘Aliy bin Tsaabit, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar – sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbaas dalam persoalan wanita hamil dan menyusui [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Tafsir-nya 3/428; dishahihkan oleh Ahmad Syaakir dan Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/20].
حدثنا أبو صالح الأصبهاني ثنا أبو مسعود ثنا الحجاج ثنا حماد عن أيوب عن نافع عن ابن عمر أن امرأته سألته وهي حبلى ، فقال أفطري وأطعمي عن كل يوم مسكينا ولا تقضي
Telah menceritakan kepada kami Abu Shaalih Al-Ashbahaaniy: Telah menceritakan terhadap kami Abu Mas’uud: Telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj: Telah menceritakan kepada kami Hammaad, dari Ayyuub, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar: Bahwasannya anak perempuannya pernah bertanya kepadanya (ihwal keharusan puasa) yang pada saat itu ia dalam keadaan hamil. Maka Ibnu ‘Umar menjawab: “Berbukalah dan berilah makan satu orang miskin sebagai ganti setiap harinya dan jangan kau mengqadla” [Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni 3/198 no. 2388; sanadnya jayyid sebagaimana dikatakan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 4/20].
Perlu kita ingat bersama, Ibnu ‘Umar juga ialah salah satu shahabat yang mengatakan mansukh-nya aturan atas ayat: ‘Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jikalau mereka tidak berpuasa) membayar fidyah…..dst.’ (HR. Al-Bukhaariy no. 1949 & 4506). Oleh alasannya adalah itu, posisinya di sini persis sebagaimana Ibnu ‘Abbaas dalam hal pemahaman dan praktek.
Maka, riwayat Ibnu ‘Abbas – yang didukung Ibnu ‘Umar – radliyallaahu ‘anhum dihukumi marfu’ yang merupakan penafsiran mengenai turunnya suatu ayat Al-Qur’an, sehingga mampu diamalkan konsekuensi hukumnya.
Telah diketahui juga bahwa Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa diketahui sebagai salah seorang shahabat yang sungguh besar semangat itttiba’-nya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sebailknya, tidak dimengerti satu pun shahabat yang menyelisihi mereka berdua dalam urusan ini, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Qudaamah :
ولا مخالف لهما في الصحابة
“Tidak ada shahabat yang menyelisihi mereka berdua (Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar)” [Al-Mughniy fil-Fiqh 3/140 – lewat perantaraan At-Tarjiih, hal. 60].
Inilah pendapat yang raajih yang diambil Sa’iid bin Jubair, Ishaaq bin Rahawaih, Al-Qaasim bin Muhammad, dan sekelompok ulama lainnya. Al-Albaaniy, ‘Aliy Al-Halabiy, Saliim Al-Hilaaliy, Muhammad Bazmuul, dan Abu Maalik Kamaal ialah di antara ulama kekinian yang diketahui (Penulis) sebaris dengan mereka.
Walaupun begitu, tidak sepatutnya bagi perempuan yang mengandung dan menyusui untuk bermudah-mudah dalam duduk perkara ini. Khususnya, mereka yang tidak merasa berat untuk berpuasa; hendaknya beliau tetap (mencoba) berpuasa. Orang yang mampu mengerjakan puasa adalah lebih baik daripada yang tidak melakukannya, alasannya adalah dia sudah melaksanakan asal kewajiban yang ditugaskan syari’at. Hal ini sesuai dengan keumuman firman Allah ta’ala :
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu bila kamu mengenali” [QS. Al-Baqarah : 184]. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Inilah sedikit wacana Hukum Puasa Ramadhan Bagi Ibu Hamil dan Menyusui yang mampu disampaikan. Segala kekurangan hanyalah milik makhluk-Nya, alasannya adalah segala kesempurnaan kembali pada Allah semata.
Bahan bacaan : Shahiih Fiqhis-Sunnah oleh Abu Maalik Kamaal bin As-Sayyid, 2/125-127, Maktabah At-Taufiqiyyah; Irwaaul-Ghaliil oleh Al-Albaaniy 4/17-25 no. 912, Al-Maktab Al-Islaamiy, Cet. 1/1399; Jaami’ Ahkaamin-Nisaa’ oleh Mushthafaa bin Al-‘Adawiy, 2/394-402, Daarus-Sunnah, Cet. 1/1415; At-Tarjiih fii Masaailish-Shaum waz-Zakaah oleh Muhammad bin ‘Umar Bazmuul hal. 55-64, Daarul-Hijrah, Cet. 1/1415; Hukum-Hukum Wanita Hamil (terjemahan) oleh Yahyaa bin ‘Abdirrahmaan Al-Khathiib, hal. 40-58, Al-Izzah, Cet. 1/1424; dan yang lainnya].
Sebagai materi perbandingan dan pengayaan pengetahuan tentang khilaf ulama pada bahasan ini, baca pula:http://theo-sonatha.blogspot.com/aturan-islam/puasa/3085-pertengkaran-ulama-tentang-puasa-wanita-hamil-dan-menyusui.html. [bubuk al-jauzaa’ – 6 Ramadlaan 1431]. -silakan baca artikel lanjutannya di sini untuk membaca bahasan apakah Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu ‘Umar mencabut fatwanya dalam pembayaran fidyah.
[1] Ia yaitu ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid (wafat : 149/150/151 H) – seorangyang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai keistimewaan; tetapi banyak melakukan tadliis dan irsaal [At-Taqriib, hal. 624 no. 4221].
[2] ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai banyak keutamaan (w. 114 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 677 no. 4623].
[3] ‘An’anah Ibnu Juraij dari ‘Athaa’ – dan beliau seorang mudallis – tidak memudlaratkannya. Ibnu Abi Khaitsamah membawakan satu riwayat shahih dari Ibnu Juraij, bahwa dia (Ibnu Juraij berkata) :
إذا قلت قال عطاء فأنا سمعته منه وإن لم أقل سمعت
“Apabila saya berkata : Telah berkata ‘Atha’ , maka artinya aku telah mendengarnya walau aku tidak mengatakan : Aku sudah mendengar” [Tahdziibut-Tahdziib, 2/617 – biografi ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziz bin Juraij Al-Umawiy].
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah pun kemudian memperlihatkan penegasan :
وهذه فائدة هامة جدا ، تدلنا على أن عنعنة ابن جريج عن عطاء في حكم السماع
“Ini satu manfaat yang sungguh besar, yang memperlihatkan pada kita bahwa ‘an’anah Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dihukumi penyimakan (sama’)” [Irwaaul-Ghaliil, 4/244].
[4] Ia adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Hamdawaih bin Nu’aim bin Al-Hakam Adl-Dlabbiy An-Naisaabuuriy Al-Haafidh Abu ‘Abdillah Al-Haakim, penulis kitab Al-Mustadrak; seorang imam, tsiqah, lagi haafidh di jamannya [lihat selengkapnya di : Syuyuukh Al-Imaam Al-Baihaqiy no. 141].
[5] Ia ialah Abu Ahmad ‘Abdullah bin ‘Adiy bin ‘Abdillah bin Muhammad bin Mubaarak bin Al-Qaththaan Al-Jurjaaniy Al-Haafidh, lebih terkenal dengan nama Ibnu ‘Adiy, penulis kitab Al-Kaamil fidl-Dlu’afaa’; seorang imam, haafidh, naaqid, lagi tsiqah (w. 365 H) [lihat : Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 16/154-156 no. 111].
[6] Al-Husain bin Muhammad bin Muhammad bn ‘Ufair bin Muhammad bin Sahl bin Abi Khatsmah Al-Anshaariy Abu ‘Abdillah; seorang yang tsiqah, sebagaimana dibilang oleh Ad-Daaruquthniy (219-315 H) [Taariikh Baghdaad 8/662-664 dan Mushbaahul-Ariid 1/378 no. 7901].
[7] ‘Aliy bin Ar-Rabii’ Al-Anshaariy, belum saya ketemukan biografinya.
[8] ‘Abdullah bin Numair Al-Hamdaaniy Abu Hisyaam Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah shaahibul-hadiits dari golongan Ahlus-Sunnah (w. 199 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 553 no. 3692]
[9] Ia yaitu Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aalim terhadap qira’aat (w. 147/148 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 414 no. 2630].
[10]‘Amru bin Murrah bin ‘Abdillah bin Thaariq bin Al-Haarits Al-Jumaliy Al-Muraadi Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid (w. 118 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 745 no. 5147].
[11] ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa Al-Anshaariy Al-Ausiy; seorang yang tsiqah (w. 83 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 597 no. 4019].
[12] Muhammad bin Ismaa’iil bin Ibraahiim bin Al-Mughiirah Abu ‘Abdillah Al-Bukhaariy, pemilik kitab Ash-Shahiih; seorang imam di bidang hadits di jamannya.
[13] Yaziid bin Haaruun bin Zaadzaan As-Sulamiy; seorang perawi tsiqah, mutqin, lagi ‘aabid (w. 206 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1084 no. 7842].
[14] Warqaa’ bin ‘Umar bin Kulaib Al-Yasykuriy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Tahriirut-Taqriib, 4/58-59 no. 7403].
[15] ‘Amru bin Diinaar Al-Makkiy Abu Muhammad Al-Atsram; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 126 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 734 no. 5059].
[16] Ibraahiim bin Marzuuq bin Diinaar Al-Umawiy; seorang yang tsiqah, namun kadang melakukan kekeliruan (w. 270 H) [lihat biografi selengkapnya dalam Tahdziibul-Kamaal 2/197-198 no. 242 dan Tahdziibut-Tahdziib 1/163 no. 290].
[17] Rauh bin ‘Ubaadah bin Al-‘Alaa’ bin Hassaan Al-Qaisiy; seorang yang tsiqah faadlil, mempunyai banyak goresan pena (w. 205 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 329 no. 1973].
[18] Sa’iid bin Abi ‘Aruubah; seorang yang tsiqah haafidh, lagi memiliki banyak tulisan. Akan namun beliau mengalami percampuran dalam hapalan (ikhtilaath) (w. 156/157 H). Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 384 no. 2378].
[19] Qataadah bin Di’aamah bin Qataadah As-Saduusiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, tetapi banyak melakukan tadliis. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem hal. 798 no. 5553, Ta’riifu Ahlit-Taqdis hal. 102 no. 92, Al-Mudallisiin lil-‘Iraaqiy hal. 79-80 no. 49, dan Riwaayaatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy hal. 483-484].
[20] ‘Azrah bin ‘Abdirrahmaan bin Zuraarah Al-Khuzaa’iy; seorang yang tsiqah. Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 676 no. 4608].
[21] Sa’iid bin Jubair bin Hisyaam Al-Asadiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih (w. 95 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 374-375 no. 2291].
[22] Muusaa bin Ismaa’iil Al-Minqariy Abu Salamah At-Tabuudzakiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 223 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 977 no. 6992].
[23] Abaan bin Yaziid Al-‘Aththaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 977 no. 6992].
[24] ‘Ikrimah Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy maulaa Ibni ‘Abbaas; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aalim (w. 107 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 687-688 no. 4707].
[25] Hanaad bin As-Sariy bin Mush’ab bin Abi Bakr At-Tamiimiy Ad-Daarimiy; seorang yang tsiqah (w. 243 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1025 no. 7370].
[26] ‘Abdah bin Sulaimaan Al-Kilaabiy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 187 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 635 no. 4297].
[27] Ia ialah Sa’iid bin Abi ‘Aruubah.
[28] Ia yaitu Naafi’ bin Maalik bin Abi ‘Aamir At-Taimiy Abu Suhail Al-Madaniy; seorang yang tsiqah (w. setelah tahun 140-an). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 996 no. 7131].
[29] ‘Aliy bin Tsaabit bin ‘Amru bin Akhthab Al-Bashriy Al-Anshaariy; seorang yang tsiqah [Al-Jarh wat-Ta’diil, 6/177 no. 968].
[30] Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 996 no. 7136].
[31] Ia adalah ‘Abdurrahmaan bin Sa’iid bin Haaruun Abu Mas’uud Al-Ashbahaaniy; seorang yang tsiqah sebagaimana dikatakan oleh Ad-Daaruquthniy (w. 324 H) [Taraajimu Rijaali Ad-Daaruquthniy, hal. 56 no. 94].
[32]Ia adalah Ahmad bin Al-Furaat bin Khaalid Adl-Dlabbiy Abu Mas’uud Ar-Raaziy Al-Haafidh (w. 258 H) [Taqriibut-Tahdziib, hal. 96 no. 88].
[33] Hajjaaj bin Al-Minhaal Al-Anmaathiy Abu Muhammad As-Sulamiy; seorang yang tsiqah lagi faadlil (w. 216 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 224 no. 1146].
[34] Hammaad bin Salamah bin Diinaar Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid, berganti hapalannya di tamat hayatnya (w. 167). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 268-269 no. 1507].
[35] Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah (w. 131 H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 158 no. 610].