Polemik tahunan kembali beredar di detik-detik menuju pergeseran tahun gres 2018 Masehi. Muara polemik yakni aliran hukum yang simpang-siur antara kubu yang mengharamkan dengan yang mengijinkan perayaan tahun gres Masehi. Sebagai pertimbangan sebelum memilih pedoman aturan, perlu diurai tiga ‘benang kusut’ yang sepertinya menjadi penyebab pro-kontra anutan.
Benang kusut pertama ialah perkumpulan kata ‘Masehi’ dengan Yesus, sehingga tahun Masehi dipandang sebagai tahun Kristen. Apalagi didukung bukti historis bahwa kelahiran Yesus dijadikan landasan penetapan tahun 1 Masehi, yang pertama kali dirayakan pada 1 Januari 45 SM. Asosiasi ini identik dengan perkumpulan pohon cemara selaku pohon natal.
Implikasinya, dikala asosiasi Yesus melekat pada kata ‘Masehi’, maka fatwa aturan yang dikeluarkan yaitu haram merayakan tahun gres Masehi, karena dinilai tasyabbuh (ibarat) agama lain. Sebaliknya, jikalau perkumpulan tersebut dihilangkan sebagaimana kasus pohon cemara bukanlah pohon natal, meskipun dipakai sebagai pohon natal, maka pemikiran hukum yang dikeluarkan adalah boleh merayakan tahun baru Masehi.
Persoalannya sederhana, perhitungan tahun hanya ada dua versi. Pertama, Kalender Matahari yang didasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi). Kedua, Kalender Bulan yang didasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi (revolusi bulan). Kalender Matahari dianut Tahun Masehi, sedangkan Kalender Bulan dianut Tahun Hijriah.
Namun, Kalender Matahari dan Bulan tidak bisa diklaim selaku ‘milik langsung’ suatu agama, entah Nasrani maupun Islam. Keduanya yakni Kalender ‘milik bersama’, alasannya adalah digunakan sebagai kriteria penanggalan di seluruh dunia, mirip Penanggalan Tionghoa dan Saka.
Secara implisit, Surat Yunus [10]: 5 membenarkan dua versi Kalender di atas. Ayat lain yang mendukung adalah Surat al-Kahfi [18]: 25 perihal kisah Ashhabul Kahfi yang tertidur selama 300 tahun menurut Kalender Matahari, atau 309 tahun menurut Kalender Bulan; alasannya adalah selisih antara Kalender Matahari dengan Kalender Bulan adalah 9 tahun untuk setiap 300 tahun.
Ringkasnya, penyematan kata ‘Masehi’ pada Kalender Matahari, bukan berarti tahun Masehi sama dengan tahun Nasrani, sehingga tidak secara otomatis menjadikannya dihukumi haram, hanya gara-gara didasarkan penamaan non-Islami. Seandainya penggagasnya dahulu adalah Muslim, pasti Kalender Matahari tidak akan disebut Tahun Masehi, mampu jadi Tahun Aljabar.
Benang kusut kedua, contoh pikir idealis versus realistis. Pola berpikir idealis mengandaikan kehidupan khayali di tengah kehidupan kongkret. Pola pikir idealis menuntut umat manusia sebersih malaikat. Implikasinya, pola pikir idealis tidak mau menerima realita berupa problem antara dua hal negatif. Misalnya, bila ada pasien yang mesti menentukan antara amputasi ataukah penyakitnya menjalar ke seluruh badan, maka acuan pikir idealis akan menuntut dokter semoga menyembuhkan penyakit tersebut tanpa amputasi.
Sama halnya ketika melihat fenomena peringatan tahun gres yang hampir tidak mampu dibendung, maka pola pikir idealis akan mengeluarkan aliran haram terhadap aktivitas apa pun yang menyangkut tahun gres Masehi, sekalipun berupa aktivitas dzikir dan doa bareng . Alasannya jelas, tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dinilai bid’ah dhalalah atau inovasi agama yang tersesat.
Sebaliknya, contoh pikir kongkret berupaya memperoleh alternatif terbaik di antara keadaan yang serba negatif. Apakah membiarkan umat Islam merayakan tahun gres Masehi di daerah-kawasan umum yang memiliki potensi terjadi kemaksiatan, setidaknya berbentukikhtilath (percampuran musuh jenis non-mahram), ataukah menyediakan kegiatan-acara yang berguna, seperti dzikir dan doa bersama di masjid, mushalla atau sekolah?
Tentu alternatif kedua lebih baik daripada alternatif pertama. Oleh karena itu, aliran yang berasal dari teladan pikir kongkret yakni mengizinkan peringatan tahun gres Masehi, asalkan tidak diisi kemaksiatan. Misalnya, pertimbangan Abu al-Hasan al-Maqdisi yang dikutip dalam al-Hawi karya Imam al-Suyuthi.
Tampaknya, acuan pikir kongkret lebih berhubungan dengan redaksi yang digunakan oleh Rasulullah SAW dalam menanggapi kemunkaran, yaitu “fal-yughayyirhu” yang memiliki arti “maka ubahlah.” Artinya, penanganan kemungkaran tidak melulu lewat prosedur larangan (nahi munkar); dapat juga melalui prosedur perubahan (transformasi). Inilah yang diteladankan Walisongo saat mengganti dongeng wayang yang lazimnya didasarkan epos Ramayana dan Mahabarata yang bersifat politeisme, menjadi kisah-dongeng Islami yang bersifat monoteisme (tauhid), mirip Kalimasada.
Jadi, daripada melarang Muslim merayakan tahun gres Masehi, tetapi realitanya niscaya banyak yang ikut merayakannya; lebih baik menyediakan aktivitas-acara yang terpuji di malam tahun baru Masehi, seperti mengadakan dzikir dan doa bersama.
Benang kusut ketiga yakni pemberlakuan aturan itu bersifat kaku ataukah luwes? Bagi ulama yang memandang bahwa hukum harus diberlakukan secara kaku, tanpa memedulikan suasana dan keadaan, maka hanya ada satu aturan untuk satu perkara. Misalnya, hanya ada satu hukum terkait ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru, yakni haram tanpa terkecuali.
Sebaliknya, bagi ulama yang menatap bahwa aturan harus diberlakukan secara luwes, sesuai situasi dan keadaan, maka banyak hukum untuk satu perkara. Misalnya, banyak aturan terkait ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru. Bagi pihak yang berkepentingan, mirip pejabat yang mengayomi warga non-Muslim, maka hukum mengucapkannya yakni boleh (mubah). Demikian halnya seorang Muslim boleh mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru terhadap tetangganya yang beragama Katolik, semata-mata demi memperkuat hubungan harmonis antartetangga. Contoh ulama yang membolehkan yakni Yusuf al-Qaradhawi, Musthafa al-Zarqa, Ali Jumah dan Quraish Shihab.