Jika seorang wanita memaksakan diri untuk menikah dalam keadaan seperti ini, maka akad nikahnya tidak sah alias batil, walaupun beliau dinikahkan oleh wali hakim. Sebab hak kewaliannya bantu-membantu tetap berada di tangan wali wanita tersebut, tidak berpindah terhadap wali hakim. Makara wanita itu sama saja dengan menikah tanpa wali, maka nikahnya batil. Sabda Rasulullah SAW,”Tidak [sah] nikah kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad; Subulus Salam, III/117).
Namun adakalanya wali menolak menikahkan dengan alasan yang tidak syar’i, ialah alasan yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya calon suaminya bukan dari suku yang serupa, orang miskin, bukan sarjana, atau tampang tidak rupawan, dan sebagainya. Ini adalah alasan-argumentasi yang tidak ada dasarnya dalam persepsi syariah, maka tidak dianggap alasan syar’i. Jika wali tidak inginmenikahkan anak gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i mirip ini, maka wali tersebut disebut wali ‘adhol. Makna ‘adhol, kata Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, adalah membatasi seorang wanita untuk menikahkannya kalau perempuan itu sudah menuntut nikah. Perbuatan ini yakni haram dan pelakunya (wali) yakni orang fasik (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal. 116). Allah SWT berfirman :
فَلا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٢٣٢)
“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya[146], bila sudah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman terhadap Allah dan hari lalu di antara kau. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengenali.“ (QS Al-Baqarah : 232)
Jika wali tak maumenikahkan dalam keadaan mirip ini, maka hak kewaliannya berpindah kepada wali hakim (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/33). Hal ini menurut sabda Rasulullah SAW,”…jikalau mereka [wali] berselisih/berkelahi [tak maumenikahkan], maka penguasa (as-sulthan) yaitu wali bagi orang [wanita] yang tidak memiliki wali.” (Arab : …fa in isytajaruu fa as-sulthaanu waliyyu man laa waliyya lahaa) (HR. Al-Arba’ah, kecuali An-Nasa`i. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu ‘Awanah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, Subulus Salam, III/118).
Yang dimaksud dengan wali hakim, yaitu wali dari penguasa, yang dalam hadits di atas disebut dengan as-sulthan. Imam Ash-Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam II/118 menjelaskan, bahwa pemahaman as-sulthan dalam hadits tersebut, adalah orang yang memegang kekuasaan (penguasa), baik beliau zalim atau adil (Arab : man ilayhi al-amru, jaa`iran kaana aw ‘aadilan). Jadi, pemahaman as-sulthaan di sini dimengerti dalam pengertiannya secara lazim, adalah wali dari setiap penguasa, baik penguasa itu zalim atau adil. (Bukan cuma dari penguasa yang adil). Maka dari itu, penguasa ketika ini meskipun zalim, sebab tidak mengerjakan hukum-aturan Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yaitu sah menjadi wali hakim, selama tetap melakukan aturan-hukum syara’ dalam urusan akad nikah. Demikianlah pemahaman kami, wallahu a’lam.
Untuk menerima wali hakim, datanglah ke Kepala KUA Kecamatan tempat kandidat mempelai perempuan tinggal. Hal ini sebab di Indonesia sejak 14 Januari 1952 menurut Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1952, wali hakim dilakukan oleh Kepala KUA Kecamatan, yang dilaksanakan oleh para Naib yang melaksanakan pekerjaan pencatatan nikah dalam wilayah masing-masing. Peraturan ini berlaku untuk kawasan Jawa dan Madura. Sedang untuk luar Jawa dan Madura, diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1952 dan mulai berlaku mulai tanggal 1 Juli 1952 (Lihat HSA Alhamdani, Risalah Nikah, Jakarta : Pustaka Amani, 1989, hal. 91)
SYARAT PERNIKAHAN TANPA WALI DAN SAKSI
Wali dalam ijab kabul adalah yang menjadi pihak pertama dalam aqad nikah, sebab yang mempunyai wewenang menikahkan mempelai wanita, atau yang melakukan ijab. Sedang mempelai laki-laki akan menjadi pihak kedua, atau yang melaksanakan qabul. Wali ialah syarat sah pernikahan gadis, tanpa wali ijab kabul tidak sah, kecuali menurut mazhab Hanafi yang menyampaikan sah nikah tanpa wali.
Dalam sebuah hadist dibilang “Janda lebih berhak atas dirinya dan gadis hanya ayahnya yang menikahkannya” (H.R. Daru Quthni). Dalam hadist Ibnu Abbas “Tidak ada nikah sah tanpa wali” atau “Nikah tidak sah tanpa wali”. (H.R. AHmad dan Ashab Sunan). Urutan wali adalah sbb :
- Ayah
- Kakek (bapaknya bapak)
- Saudara pria sekandung
- Saudara laki-laki sebapak(lain ibu)
- Anak laki-lakinya saudara laki-laki kandung (keponakan)
- Anak laki-lakinya kerabat pria sebapak 7. Paman (kerabat pria bapak sekandung)
- Paman (kerabat pria bapak sebapak)
- Anak pria dari paman nomor 6 dalam urutan ini
- Anak laki-lakidari paman nomor 7 dalam urutan ini Kalau semua wali tidak ada maka walinya ialah pemerintah (dalam hal ini KUA).
Madzhab Maliki memperbolehkan wali “kafalah”, yaitu perwalian yang muncul karena seorang lelaki yang menanggung dan mendidik perempuan yang tidak memiliki orang bau tanah lagi, sehingga beliau seakan telah menjadi orang bau tanah perempuan tersebut.
Wali juga boleh diwakilkan, demikian juga pihak lelaki juga boleh mewakilan dalam melaksanakan akad nikah. Cara mewakilkan bisa dengan perkataan, misalnya wali menyampaikan terhadap wakilnya “aku mendelegasikan perwalian si fulanah terhadap kerabat dalam pernikahannya dengan si fulan”, atau juga mampu memakai tertulis dengan surat pewakilan. Surat pewakilan bersegel akan lebih baik secara aturan. Dalam mewakilan tidak disyaratkan menggunakan saksi.
Perlu dimengerti bahwa dalam aturan islam ada kaidah yang mengatakan “Semua transaksi yang boleh dijalankan sendiri, maka boleh diwakilkan terhadap orang lain, bila transaksi tersebut memang boleh diwakilkan”. Adapun wali A’dhal ialah wali yang menolak menikahkan anak gadisnya karena alasan tertentu. Bila argumentasi tersebut bersifat aniaya, contohnya dengan tanpa alasannya adalah tetapi wali menolak menikahkan maka perwaliannya diambil alih secara paksa oleh pemerintah, dan pemerintah yang menikahkan perempuan tersebut. Seorang non muslim tidak bisa menjadi wali atas muslimah, maka dicari wali yang muslim berdasarkan urutan di atas. Bila tidak ada maka pemerintah yang menggantikannya, dalam hal ini KUA.
Sebelum penulis mengemukakan syarat-syarat nikah tanpa wali dan saksi ini, apalagi dahulu penulis akan menyampaikan dua hal pokok. Pertama, bahwa nikah tanpa wali dan saksi biasa disebut segolongan ulama dengan ungkapan nikah mut’ah. Istilah ini menurut pendapat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa nikah tanpa wali dan saksi inilah yang disebut nikah mut’ah.
Sementara itu jumhur ulama mendefinisikan nikah mut’ah, yakni aqad nikah yang diputuskan dengan deadline tertentu diikuti dengan lafadh mut’ah, jika tenggat waktu yang sudah ditentukan itu habis maka talaq jatuh walau mungkin istri masih berat kepada suami. Ada pula aqad nikah yang tanpa syarat wali dan saksi, ialah dalam madzhab Al-Dhohiry. Makara kalau kita mengikuti usulan jumhur ulama maka mut’ah dengan nikah madzhab Al-Dhohiry ada perbedaan teknis, tujuan dan syarat-syaratnya. Oleh alasannya adalah itu pembahasan nanti akan terbagi menjadi dua, ialah nikah mut’ah dan nikah dalam madzhab Al-Dhohiry.
Hal kedua yang ingin penulis sampaikan adalah: untuk menemukan data dari persyaratan nikah ini, penulis juga melaksanakan interview dengan beberapa tokoh fiqih (kyai), mengingat sulitnya mendapatkan data dari kitab selain madzhab empat di Indonesia yang lebih banyak didominasi orangnya bermadzhab Syafi’i. Di dalam kitab Nail Al-Authar, ditemui beberapa syarat berikut :
- Aqad nikah diselenggarakan dengan shighot mut’ah.
- Ditentukan masanya, misalnya sebulan, dua bulan dan seterusnya.
- Perempuan harus seorang janda, sedang bagi perempuan yang masih gadis maka wajib ada wali.
- Dalam kondisi jauh dari lingkungan keluarga (istri), misalnya pergi ke kawasan lain dalam rangkaian bisnis, bertugas selaku prajurit dan sebagainya.
- Adanya kegundahan untuk berbuat zina alasannya adalah alasannya adalah pada nomor 4, atau alasannya istri tidak dapat memenuhi keharusan sebagai istri sebab haidl yang tidak terorganisir dan sebagainya.
- Tidak saling mewarisi, dan ada mas kawin (mahar).
- Melakukan i’lan atau keteranganminimal kepada 40 orang di kawasan dia tinggal maupun di kawasan lain.
Demikian hasil dari kitab Nail Al-Authar jilid 9, bab nikah mut’ah.Dalam KITAB Bidayat Al-Mujtahid, ditemui satu syarat lain, yaitu hendaknya dimeriahkan paling tidak dengan semacam kesenian tambur (terbangan-Indonesia).
Kesimpulannya, bahwa kriteria nikah mut’ah terpencar-pencar di pelbagai kitab yang hanya merupakan lintasan pendapat atau sanggahan dari pengarang sebuah kitab. Syarat-syarat tersebut adalah:
- Aqad diselenggarakan dengan shighot mut’ah
- Ditentukan masanya
- Ada mas kawin (mahar)
- Tidak saling mewarisi
- Dalam kondisi darurat
- Aqad diselenggarakan dengan hingar bingar
- Adanya kekhawatiran berbuat zina
- Harus melaksanakan i’lan (pemberitahuan) kepada orang paling sedikit 40 orang, baik di kawasan tinggal mereka ataupaun di kawasan lain
- Perempuan (istri) berstatus janda (telah pernah menikah). Sedang mengenai rukun-rukunnya yaitu mempelai laki-laki dan memperlai wanita.
Itulah syarat dan rukun nikah mut’ah. Mengenai syarat dan rukun nikah dalam madzhab Al-Dhodiry tidak harus janda, aqad dengan shighot nikah/zawaj, saling mewarisi sebagaimana lazimnya, tidak diputuskan dengan abad, tidak bergantung dengan kondisi darurat, tidak harus dimeriahkan, tidak dalam kegundahan berbuat zina, tidak harus berstatus janda, ada mahar (mas kawin). Rukun-rukunnya sama mirip diatas. Demikian dalam kitab Al-Muhalla karangan pengikut Al-Dhohiry, Ibnu Hazm. Wallahu a’lam.