Bagaimana hukum melamar perempuan yg sudah dilamar oleh orang lain & bagaimana pula status akad nikah yg terjadi kalau lamaran tersebut diterima, sah atau tidak?
Imam Abu Hanifah, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, seluruhnya sepakat bahwa melamar wanita yg sudah dilamar oleh orang lain hukumnya haram. Hal itu didasarkan pada hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لاَ يَخْطُبَ الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ ، حَتَّى يَتْرُكَ الْخَاطِبُ قَبْلَهُ ، أَوْ يَأْذَنَ لَهُ الْخَاطِبُ
“Janganlah seorang laki-laki melamar di atas lamaran saudaranya, hingga pelamar sebelumnya itu meninggalkan lamarannya atau ia mengizinkannya” (HR. Bukhari)
لاَ يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ بَعْضٍ
“Janganlah sebagian ananda melamar di atas lamaran sebagian yang lain” (HR. Muslim)
لاَ يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلاَّ أَنْ يَأْذَنَ لَهُ
“Jangan melamar di atas lamaran saudaranya, kecuali ia mengizinkannya” (HR. Muslim)
لاَ يَخْطُبْ أَحَدُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ حَتَّى يَنْكِحَ أَوْ يَتْرُكَ
“Janganlah salah seorang di antara kalian melamar di atas lamaran saudaranya, hingga ia menikahi atau meninggalkan lamaran tersebut” (HR. An Nasa’i)
Bagaimana jikalau melamar perempuan yg sudah dilamar orang lain itu berbuah ijab kabul padahal lamaran sebelumnya belum dicabut atau belum batal, apakah pernikahan seperti itu sah?
Imam yg empat berbeda pertimbangan ihwal sah atau tidaknya pernikahan pelamar kedua.
Imam Malik berpendapat bahwa pernikahannya batal. Demikian pula pertimbangan Imam Ahmad dlm satu riwayat. Alasannya, kalau lamaran atau khitbah haram, maka akadnya lebih haram lagi.
Sedangkan berdasarkan Imam Syafi’i & Imam Abu Hanifah, nikahnya sah. Demikian pula pertimbangan Imam Ahmad dlm satu riwayat yg lain. Menurut mereka, yg diharamkan ialah sesuatu yg mendahului kesepakatan yakni lamaran atau khitbah.
Ibnu Taimiyah memastikan wacana haramnya melamar wanita yg sudah dilamar ini dlm fatwanya. “Tidak ada pertengkaran di antara para imam mazhab bahwa orang yg melamar di atas lamaran saudaranya telah bermaksiat pada Allah & Rasul-Nya. Jika ia terus menerus berada dlm kemaksiatan padahal ia tahu, maka hal itu menodai agama & sikap wala’-nya terhadap kaum muslimin.”
Syaikh Wahbah Az Zuhaili pula memastikan adanya ijma’ ulama dlm duduk perkara melamar wanita yg sudah dilamar.
“Ulama’ telah berijma’ akan haramnya khitbah orang kedua setelah terjadinya khitbah orang pertama, bila khitbah pertama memang telah dgn terang diterima serta orang pertama tak memberi izin & tak membatalkan khitbahnya,” tulis dia dlm Fiqih Islam wa Adillatuhu. “Jika dlm kondisi ini orang kedua tetap mengkhitbah & menikahi wanita tersebut, maka menurut ijma’ ulama’, ia sudah bermaksiat.”
Bagaimana kalau lamaran pertama masih dlm proses dimusyawarahkan & belum jelas apakah diterima oleh wali perempuan atau ditolak, bolehkah melamar wanita tersebut? Syaikh Wahbah Az Zuhaili menjelaskan, pertimbangan yg paling benar yakni tak diharamkan untuk melaksanakan khitbah dlm kondisi demikian. Namun berdasarkan mazhab Hanafi, makruh hukumnya khitbah kedua alasannya adalah keumuman hadits-hadits di atas.
Sedangkan jumhur ulama memperbolehkan dgn alasan alasannya Fatimah binti Qais pernah dikhitbah oleh tiga orang yakni Muawiyah, Abu Jahm bin Hudzafah & Usamah bin Zaid. Hal itu terjadi tatkala Fatimah binti Qais dicerai oleh Abu Amr bin Hafsh bin Mughirah & masa iddahnya telah akhir.
Fatimah binti Qais lantas menghadap Rasulullah untuk minta penyelesaian. Beliau pun menunjukkan penyelesaian, “Abu Jahm tak pernah meletakkan tongkatnya dr bahunya, Muawiyah adalah orang miskin yg tidak memiliki duit. Menikahlah kau-sekalian dgn Usamah bin Zaid.”
“Ini memperlihatkan bolehnya melamar wanita yg sudah dilamar orang lain dgn catatan wanita itu belum menerima lamaran tersebut & pelamar kedua belum mengenali adanya lamaran dr orang pertama,” lanjut Syaikh Wahbah. Wallahu a’lam bish shawab. [Muchlisin BK/Wargamasyarakat]