Sudah empat tahun Tarno bekerja sebagai guru tak tetap di sebuah sekolah negeri. Selama itu pula perjaka tersebut hidup dgn gajinya yg kecil untuk melengkapi kebutuhan pokok keluarganya. Memang untuk urusan menikah, Tarno baru melaluinya selama dua tahun terakhir. Namun, ia sudah letih hidup dlm kekurangan karena gajinya yg tak mencukupi. Bisa dibayangkan, selama sebulan, ia cuma digaji tiga ratus ribu rupiah dgn keperluan pokok yg banyak. Padahal, pekerjaannya sama beratnya seperti guru-guru lainnya yg sudah tetap di sekolah. Ia mesti berangkat pagi, pulang sore, merekap nilai, & merangkap menjadi guru bantu forum tutorial mencar ilmu di luar sekolah.
Memang mau tak ingin Tarno mesti bekerja perhiasan di luar. Selain menjadi guru, Tarno pula melakukan pekerjaan sebagai pembimbing forum belajar. Dari pekerjaan itu, Tarno memperoleh honor yg tidak mengecewakan untuk menutupi kebutuhan primer. Tujuh ratus ribu setiap bulan. Sayangnya, gajinya itu belum cukup juga. Akhirnya ia & istrinya membuka usaha kecil-kecilan, yaitu berdagang dengan-cara online. Hasil jualan dengan-cara online itu lumayan menambah penghasilannya. Namun, usaha jualan yg dilakukan Tarno & istrinya ini tak bisa dijagakan setiap bulannya alasannya tak tetap. Makanya, bila sekarang Tarno terlihat bau tanah lebih lima tahun dibandingkan dengan usiannya, hal itu yakni wajar. Tarno sudah bersusah payah bagaikan kuda.
Hidup yg berliku dihadapi oleh Tarno selaku guru honor & pedagang serabutan di dunia maya. Rasanya, apabila mengingat semua itu, Tarno bosan & ingin mengakhirinya. Sialnya, ia tak tahu cara menuntaskan hidupnya yg begitu-begitu saja. Tarno hanya bisa menjalaninya dgn berharap kalau suatu ketika hidupnya akan berubah. Begitulah. Dan, seakan apa yg dibutuhkan oleh Tarno didengar Tuhan, beberapa hari kemudian dirinya mendapati kabar kalau dlm dua hari lagi pemerintah akan membuka lowongan pegawai negeri sipil. Pemerintah memutuskan pula akan menerima kuota pegawai yg banyak. Mendengar itu lekas membuat Tarno—dan beberapa rekan guru honor yang lain—senang.
“Ini bukan hoax kan?” Tanya Tarno. “Nanti hoax kayak yg sudah-sudah.”
“Tidak kok, ini benar! Saya mampu beritanya dr koran ini,” rekannya itu memperlihatkan bukti gosip di koran perihal tes rekrutmen pegawai negeri. “Peluang ini harus kita manfaatkan. Aku bosan memiliki gaji rendah.”
Tarno melirik ke arah temannya yg mengeluh tersebut. Tarno pula di dlm hati mengamini apa yg dikatakan temannya. Tarno sungguh-sungguh sudah jenuh menjadi buruh dgn bayaran kecil. Ia ingin memperoleh jenjang karier & gaji yg lebih baik. Ia ingin menjadi salah satu pegawai negeri tetap dgn bayaran tinggi. Tarno pun balasannya ikut terobsesi dgn harapan hidup lebih baik selaku pegawai negeri. Tarno menjadi sungguh antusias dikala menyambut registrasi tes pegawai negeri itu. Sampai-sampai, demi memotivasi diri, ia menjinjing pulang kliping koran itu & menempelkannya di dinding rumahnya.
Istrinya yg menyaksikan gelagat Tarno menjadi penasaran. Wanita itu mendekat ke arah suaminya yg gres pulang. Istrinya lekas sibuk membaca kliping koran tersebut. Hingga kemudian wanita itu sedikit terlonjak alasannya mendapatkan kabar baik itu.
“Kamu mesti mencobanya, Mas!” Tandas istrinya. “Kamu mesti diterima biar hidup kita berganti lebih baik.”
“Betul, Dek!” Jawab Tarno optimis. “Aku mesti diterima. Aku sudah jenuh miskin.”
Dua hari kemudian setelah menempelkan kliping koran di dinding, pemerintah lekas mengabarkan rekrutmen pegawai negeri tersebut. Melalui perwakilannya—yang Tarno lihat di televisi—pemerintah membuka pendaftaran bagi ribuan pegawai untuk diangkat sebagai PNS. Tarno pun tanpa menunda waktu cepat menghimpun standar & mendaftar dgn semangat. Namun, tatkala ia tahu ternyata saingannya terlalu banyak—bahkan hingga ribuan—Tarno mulai ragu. Tarno pesimistis dgn peluang dirinya: Apakah bisa diterima selaku pegawai atau tidak?
Malam harinya setelah mengenali saingannya yg banyak, Tarno sulit tidur. Siang harinya sepulang kerja pun ia mengalami kegelisahan yg sama. Istrinya sendiri sempat menanyakan: Mengapa ia menjadi pelamun & tak menghabiskan makanannya? Tarno menjawab dgn gelengan kepala & senyum. Demikian pula kini, saat malam datang, tatkala sebelum tidur tadi istrinya kembali mencoba membahas perihal registrasi tes pe gawai negeri itu. Tarno pun kemudian menyentak sedikit ketus istrinya. Tarno melaksanakan itu—apabila bisa jujur kepada istrinya—karena ingin menyingkir dari pembicaraan tentang tes CPNS tersebut. Tarno stress.
“Bagaimana, Mas? Kamu sudah mendaftar untuk cobaan CPNS?” Tanya istrinya pada Tarno dikala ingin berangkat tidur. “Semoga ananda bisa diterima ya, Mas?”
“Oh…” Tarno tergeregap sebab lamunannya. “Iya, Dek, doakan gue ya.”
“Iya, Mas. Aku selalu mendoakanmu, Mas,” kata istrinya. “Dan anak kita ini…”
Tiba-tiba, istrinya tersenyum manis. Istrinya pula mengusap perutnya yg terlihat datar seperti hari-hari biasa. Tarno mengernyitkan keningnya. Tarno mencoba mencari jawaban atas konteks antara ‘doa’ & ‘anak’ yg dikatakan istrinya. Tarno menyaksikan dengan-cara bolak-balik & seksama antara perut & senyum istrinya. Sementara istrinya masih tersenyum senang di samping Tarno. Memang, istrinya sungguh senang ketika pagi tadi mendapatkan jawaban atas mual-mual & hilangnya selera makannya dua hari terakhir. Dari hasil uji klinis yg dikerjakan menggunakan tes kehamilan, perempuan itu dinyatakan positif mengandung.
“Aku hamil, Mas,” lanjut istrinya. “Kau akan menjadi seorang ayah.”
Tarno tentu senang mendengarnya. Apalagi, Tarno & istrinya sudah menanti dua tahun kehamilan itu. Dan alasannya kehamilan istrinya ini, Tarno sejenak bisa melupakan masalahnya. Tarno pun lekas mencium kening & perut istrinya. Sejalan itu pula Tarno menggumam di dlm hati kalau dirinya akan menjadi ayah. Hanya kebahagiaan itu mendadak hilang tatkala istrinya kembali membuka pembicaraan tentang tes CPNS tersebut.
“Semoga dgn datangnya bayi ini, dapat menjadi berkah untuk kita, Mas,” ucap istrinya lembut.
Tarno termenung mendengarkan kalimat istrinya. Di dlm kepala Tarno sedang berkecamuk sesuatu. Hati Tarno gelisah. Terlebih lagi, ketika melihat wajah istrinya yg sungguh berharap ia bisa diterima sebagai pegawai.
“Kalau ananda nanti dapat diterima sebagai pegawai, ongkos persalinan & hidup anak kita pasti lebih mudah, Mas.”
Tarno hanya bisa menelan ludah getir mendengar semuanya.
Beban yg dinikmati Tarno kian menumpuk. Kepalanya bahkan terasa berat memikir seluruhnya. Hari-hari yg Tarno lalui kesannya dihabiskan untuk terdiam. Memang selain bengong, Tarno pula berupaya melaksanakan latihan soal ujian masuk. Namun, Tarno tak bisa memecahkan soal-soal itu. Bagi Tarno, soal-soal itu malah menawarkan beban lain—berupa tekanan yg membuatnya kian frustasi. Tarno mengalah. Hanya, tatkala mengingat istri & anaknya, menciptakan Tarno tak bisa begitu saja meninggalkan problem ini. Sampai kemudian Tarno berpikir pendek untuk mendatangi orang pandai yg dipercayai mempunyai ilmu mistik.
Karena tak bisa lagi mengharapkan pada kemampuannya sendiri, Tarno nekat mendatangi orang pintar. Lalu di sana ia dianjurkan untuk melakukan beberapa ritual khusus. Salah satunya ialah mengambil tali pengikat kafan miliki seorang mayat yg gres saja mati.
“Kau mesti mengambil dgn mengeduk makamnya memakai tanganmu. Ambillah tali pengikatnya. Ambil pula sejumput tanahnya. Lalu, tanah itu tebarkan di depan rumahmu. Nanti akan ada yg datang memperlihatkan jawaban atas masalahmu!”
“Apakah tak ada syarat yang lain? Aku rasa itu terlalu sulit untukku,” Tarno mencoba.
“Tidak ada! Ini pilihanmu! Tapi ingat, kamu mesti melakukannya sebelum pagi. Kalau tidak, kau akan terkena kutukan.”
Orang pintar itu menerangkan ada risiko dr apa yg diperbuatnya. Selain bisa dihajar habis-habisan oleh warga bila ketahuan, Tarno pula bisa menemukan kutukan kalau gagal menjalankan niatnya. Karena sebelum menjalankan ritual itu, ia mesti membaca sebuah mantra khusus biar semua yg diperolehnya mempunyai khasiat abnormal.
Selama sepekan Tarno menunggu kabar dr salah satu tetangganya yg meninggal. Dan waktu pagi hari menemukan kabar murung itu—yang pula menjadi kabar keberuntungannya—malam harinya Tarno lekas mendatangi kuburan. Tarno pun—sekitar pukul 11.30 malam, lekas mengendap ke makam si mayat. Tarno cepat melakukan apa yg disyaratkan oleh orang pandai tersebut.
Tarno mulai menggali kuburan itu dgn kedua tanganya. Dengan cepat & sigap Tarno bisa menggali tanah kuburan yg masih basah & gembur tersebut. Sebelum tengah malam bahkan Tarno bisa mengambil salah satu tali pengikat kavannya. Namun, bukannya tak ada problem, tatkala ingin menguburkan ulang mayat itu, tiba segerombol anjing yg menyerang Tarno. Anjing-anjing itu berusaha merebut tali pengikat kafan. Dan sama seperti dlm suatu dongeng pendek berjudul Anjing-Anjing Menyerang Kuburan karya Kuntowijoyo, Tarno bertarung dgn anjing-anjing itu.
Tarno terus berupaya melindungi tali kafan itu. Ia tak mengalah untuk melawan. Ia bahkan tak memedulikan tangannya yg koyak & luka-luka alasannya adalah gigitan anjing. Di dlm kepalanya, Tarno bertekad ingin memperoleh kemudahan semoga dapat lulus cpns.
Istrinya sempat curiga dgn luka-luka yg diderita oleh Tarno. Namun, Tarno selalu berkelit tatkala ditanya perihal luka itu. Tarno mengatakan kalau dirinya diserang hewan liar dikala pulang sekolah. Istrinya percaya. Hanya apa yg diharapkan Tarno tentang fasilitas dr jimat itu belum tampak juga. Bahkan, tatkala harian ujian makin akrab. Mimpi yg dijanjikan oleh orang pintar itu belum pula tiba. Hingga risikonya Tarno menemukan keterangan dr info kalau orang pintar itu ditangkap polisi. Orang pandai itu dianggap sudah penipu banyak orang. Dan Tarno yg menjadi salah satu dr korbannya hanya terpekur menyesali uang dua juta serta waktunya yg terbuang. Padahal cobaan masuk tinggal menanti jam lagi. (*)