close

Hati-Hati Ujub Diri ——> (Season 1)

 
 Assalamu’alaikum.. semangat pagi 🙂
Pagi yang elok, saking manisnya yang lagi bacapun terlihat manis hhihihihi .. (ciiyeeee tampaknya lagi senyam senyum sendiri nih ups..)
Udah ah, yuuks lanjut.. pembahasan pagi ini perihal Ujub diri.. topik ini terinsprasi dari salah satu status teman sekaligus kakak yang mampu di ajak diskusi perihal aneka macam hal. Nah, alasannya adalah statusnya sayapun tersinggung sendiri, Alhamdulillah ini ialah suatu isyarat dan hidayah supaya mengingatkan aku pribadi  saat berbuat sesuatu kebaikan, menasehati diri, biar tak senantiasa diungkit di sosial media yang kita miliki.

Ujub diri berdasarkan pengertian aku  yakni rasa berbangga diri, sombong, besar kepala, merasa diri lebih baik dari orang lain, merasa lebih kuat, cantik, pandai de el el.. 
Ujub diri ialah salah satu penyakit hati yang sungguh berbahaya, sadar tak sadar ujub diri bisa merasuki siapa saja, teladan sederhananya mirip ketika kita membagikan status di salah satu media sosial yang kita miliki. 
Nah, meskipun itu sebuah status yang berisi kebaikan namun di takutkan ada sesuatu yang memicu ujub diri. Ujub diri itu muncul alasannya adalah tidak dilandaskan dengan kehati-hatian diri, maka kita bisa saja akan merasa akil atau merasa hebat serta merasa jauh lebih baik dari orang yang sudah kita beri rekomendasi.

 Hmm… pembahasan mirip ini cukup berat yah, untuk lebih memperbesar wawasan kita, alasannya adalah sebuah pengetahuan bisa menjadi ilmu bila kita mencari referensi yang mendukung, supaya pembahasan pagi ini bukan cuma sekedar sebuah tulisan kusir.. 

Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam dia bersabda :
“Selagi seseorang membangga-banggakan dua lembah mantelnya dan  ia ujub kepada dirinya sendiri, datang-tiba Allah memutarbalikkan bumi akhirnya, sehingga ia terguncang-guncang di atas bumi hingga Hari Kiamat.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim).
Beliau juga bersabda,
“Tiga masalah yang menghancurkan, yaitu:  Kikir yang dituruti, nafsu yang diikuti dan ketaajuban seseorang kepada diri sendiri .” (Diriwayatkan Al-Bazzar dan Abu Nu’aim).
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :
“Kebiasaan itu terletak pada dua kasus, yakni : Ujub dan frustasi. Dua hal ini dipertemukan, alasannya kebahagiaan tidak akan bisa dicapai kecuali dengan mencari dan rajin. Orang yang putus asa tidak mau mencari. Sedangkan orang yang ujub mengira bahwa ia telah menerima apa yang dikehendakinya, sehingga beliau tidak mau berupaya lagi.”
Mutharrif Rahimahullah berkata, ” Aku lebih tidur malam lalu menyesal, ketimbang shalat malam hari lalu saya ujub.”
Ketahuilah ujub itu mampu bermetamorfosis takabur, alasannya adalah ujub ialah salah satu penyebab takabur, sehingga dari ujub inilah timbul takabur, lalu dari takabur muncul peristiwa yang banyak. Hal ini berlaku di hadapan insan.

Jika di hadapan Khaliq, maka ujub kepada aneka macam amal ketaatan merupakan hasil dari anggapannya bahwa ketaatannya telah andal, bahwa dengan dengan amalnya beliau menjadi pilihan Allah, sementara ia lupa bahwa nikmat yang diterimanya merupakan taufiq Allah, lalu beliau menjadi buta terhadap tragedi-peristiwa yang merusak amalnya. Orang yang tahu bencana ialah yang takut amalnya tidak diterima dan tidak merasa ujub.

Nah, coba tanyakan kepada diri kita sendiri apakah ada penyakit ujub dalam hati kita?? Jika iya, maka secepatnya mintalah bantuan dan obatnya dari Allah Ta’ala..
Berdoalah biar kita terhindar dari ujub diri.. dan banyak sekali penyakit hati seperti dengki, iri, hasat, angkuh, besar kepala, riya dan sebagainya.. Karena doa ialah senjata kita selaku seorang muslim.
Jika tidak merasa bahwa memiliki penyakit ujub ini, maka tetaplah meminta tunjangan semoga dihindarkan dari penyakit-penyakit hati yang sangat rentan terserang hati, sadar tidak sadar siapa pun  akan dijangkitinya, jika kita tidak waspada dalam melakukan banyak sekali hal.
Wallahua’lam..
Semoga bermanfaat..

Sumber bacaan :
Minhajul Qashidin : “Jalan Orang-orang yang Mendapat Petunjuk.” Oleh : Ibnu Qudamah. Halaman :  291