Hidup mengajarkan padanya, seberuntung-beruntungnya orang beruntung, masih lebih beruntung penipu yg mujur. Namun, ia pula tahu, penipu yg baik tak cuma mengandalkan keberuntungan, tapi pula mesti pandai mempergunakan setiap kesempatan.
Kini ia sedang berada di puncak keberuntungannya sebagai penipu. Ia tersenyum menatap parasnya di cermin. Jangankan orang lain, dirinya sendiri sering merasa tertipu setiap melihat parasnya sendiri. Barangkali gue memang ditakdirkan menjadi penipu yg baik, batinnya. Lalu ia teringat sebuah cerita yg pernah didongengkan ibunya semasa kanak-kanak.
Penduduk kampung di pinggir hutan itu kagettatkala mendengar teriak ketakutan seorang anak yg berjumpa harimau. Belakangan penduduk kampung itu memang khawatir sebab seekor harimau terlihat berkeliaran. Dengan membawa bermacam senjata, mereka secepatnya berlarian hendak menyelamatkan. Tak jauh dr hutan, mereka menyaksikan anak yg berteriak minta tolong itu. Tak ada harimau, sebab anak itu memang hanya memperdaya seluruh penduduk. Ia memang dikenal anak nakal yg suka iseng & membohongi.
“Bukan anak badung, Bu,” komentarnya.
“Dengar dahulu ibu selesai bercerita!” kata ibunya, lalu melanjutkan.
Beberapa hari kemudian, penduduk mendengar kembali teriakan anak itu minta tolong, “Ada harimauuuuu… Ada harimauuuu….” Tapi penduduk tak peduli. Menganggap itu hanya tipuan lagi. “Kau tahu,” kata ibunya, “anak itu kemudian mati dimangsa macan. Sekali kamu mendustai, orang tak akan memercayaimu lagi,” ibunya menuntaskan dongeng. Lama ia termangu merenungkan kisah itu. Ia ngeri membayangkan badan bocah itu dicabik-cabik harimau.
Ia pastinya tahu, kenapa ibu menceritakan kisah itu padanya menjelang tidur. Beberapa kali ibunya kehilangan uang di dompet & ia selalu menjawab tak tahu setiap kali ditanya. Ibunya menanamkan kejujuran dgn dongeng itu. Namun, persoalannya bukan ‘sekali kamu membohongi, orang tak akan memercayaimu lagi’, seperti kata ibunya, namun ‘sekali orang tahu kamu menipu, orang tak akan memercayaimu lagi’. Ia percaya bocah itu akan selamat jika berhasil membuat orang lain tak tahu bahwa ia sudah menipu. Penipu yg baik tak akan pernah membiarkan orang lain menyadari bahwa mereka sudah tertipu! Sejak itu, setiap kali ditanya soal uang di dompet yg hilang, ia selalu berupaya biar ibunya tak pernah tahu bahwa ia sudah menipunya; & itu menjadikannya bahagia.
Ada lagi yg terus diingat. Ia sedang bermain di halaman, tatkala timbul dua orang lelaki. Ibu tampak gugup & secepatnya menutup pintu kamar, dimana ayahnya sedang tidur. Dari percakapan yg diam-membisu didengarnya, ia tahu ayah terlilit utang. Dua laki-laki itu tiba menagih, & ibu bilang suaminya sedang ke luar kota. “Datanglah dua atau tiga hari lagi,” kata ibunya. Kedua lelaki itu jengkel, memaki-maki, lalu pergi. Itu membuatnya percaya: kadang kala kau mesti berbohong untuk menyelamatkan kondisi. Banyak orang terselamatkan hidupnya oleh kebohongan. Ia tersenyum mengingat itu semua.
Telepon genggam di meja berbunyi, tetapi ia membiarkan. Bukan saat yg baik untuk menerima telepon dr siapa pun. Ia mesti terlihat sibuk & tak bisa dihubungi ketika ini. Ada kejadian bertahun lalu yg pula terus diingatnya. Ia masih muda dikala itu.
Seorang perempuan datang minta sumbangan. Ia terlihat sopan, mengenakan kerudung, membuat semua orang yg melihatnya menjadi belas kasihan. Perempuan itu menyodorkan map warna hijau kucel, & menerangkan bahwa ia pengelola yayasan suatu panti asuhan. Ia sering mendengar penipuan versi begini. Tapi ia tetap memperlihatkan segepok duit, sebab ia pula ingin mendustai wanita itu. “Terima kasih,” kata wanita itu, lalu menggumamkan doa yg panjang; terlihat bahagia karena percaya sudah berhasil mendustai. Padahal, ia pula menipunya dgn memberi uang artifisial. Menipu seorang penipu selalu menjadi kepuasan tersendiri. “Permisi, Pak. Semoga Bapak senantiasa diberi keselamatan oleh Tuhan.” Ia tersenyum mendengar ucapan perempuan itu. Menipu memang lebih meyakinkan jikalau membawa-bawa agama & Tuhan. Ia ingat seorang koleganya pernah berkata, “Banyak yg memakai agama bukan cuma untuk mendustai kita, tetapi Tuhan pun mereka tipu juga.” Sebulan kemudian koleganya itu tertangkap alasannya korupsi pengadaan kitab suci di Departemen Agama.
Pernah pula ia tersangkut masalah seorang kolega yg didakwa menipu pengadaan beras miskin. Dengan sigap & dgn banyak sekali cara ia membantah terlibat penipuan itu. Ia lolos, sementara koleganya dihukum 12 tahun sebab mengakui semua yg didakwakan. Itu pelajaran yg tak akan pernah ia lupakan: jangan pernah jujur dikala bermasalah dgn aturan.
Sejak itu ia lebih hati-hati. Martabat & nama baik amat penting bagi penipu. Tentu saja, sering kali ia merasa letih dgn hidupnya yg sarat tipu tipu daya. Kebohongan ialah labirin. Kau mampu kehilangan arah di dalamnya. Kebohongan demi kebohongan mampu membuatmu bingung, & kamu tak mampu keluar dr kebohongan-kebohonganmu. Tapi ia selalu meyakini, tak semua kebohongan itu jahat. Ia tahu, banyak hal baik di dunia ini dimulai dr kebohongan.
Inilah kisah yg ia suka. Pasukan iblis yg bengis mengepung Kota Urzru. Kota itu diketahui selaku benteng terakhir orang-orang beriman. Perang yg buas berlangsung begitu panjang, sampai kemudian kota itu jatuh. Malam pertama tatkala kota orang-orang beriman itu ditaklukkan, seluruh yg masih hidup dikumpulkan. Pasukan iblis menginterogasi mereka satu per satu, “Apakah ananda percaya Tuhan?” Siapa yg tetap berkeras percaya, eksklusif disiksa dgn cara yg paling mengerikan. Belum lagi matahari terbit, mayit sudah menggunung, lebih tinggi dr menara rumah ibadah di kota itu. Yang terakhir masih hidup adalah seorang laki-laki yg diketahui paling taat ibadahnya. Ia gemetar menyaksikan jenazah bergelimpangan, basi amis darah yg memualkan. Ia merasa mesti menyelamatkan diri. Ia percaya pada Tuhan. Tapi ia menentukan berbohong tatkala pasukan iblis itu bertanya padanya.
“Apakah ananda percaya Tuhan?”
“Tidak. Saya tak percaya Tuhan.”
Dan pasukan iblis membiarkannya hidup. Meninggalkannya sendirian di kota itu. Bertahun-tahun kemudian Kota Urzru bagai berdiri dr kubur. Orang yg telah membohongi iblis itu berhasil membangun kembali kota. Ia kemudian dikenal selaku orang paling gemar memberi. Ia menyantuni semua orang miskin yg datang kepadanya. Tak ada satu pun anak telantar di kota itu. Orang itu berhasil menciptakan Kota Urzru menjadi kota termakmur pada zamannya. Andai orang tersebut tak membohongi iblis-iblis itu, Kota Urzru pasti tak akan pernah selamat.
Kisah itu selalu menghiburnya bila ia diganggu perasaan bersalah. Bahkan seorang penipu pun memerlukan hal-hal yg mampu menenteramkannya. Ia yakin, persoalannya bukan berbohong atau tak berbohong, namun untuk apa ananda berbohong. Ia tersenyum, memandangi cermin di kamarnya yg sejuk dgn perabot-perabot mahal; guci-guci antik masa XI & beberapa arca kuno yg ia beli dr seorang penyelundup, koleksi lukisan masterpiece dari para pelukis ternama. Ia tahu itu lukisan artifisial. Tapi apa yg tak imitasi di ruangan ini? Di cermin ia melihat wajah seorang yg capek, tapi senantiasa ingin terlihat necis.
Tiba-tiba ia tak cuma melihat parasnya. Seperti gerombolan hantu, puluhan wajah timbul dlm cermin. Wajah anak-istrinya yg tampak gembira dgn keberhasilan hidupnya, meski selama ini ia selalu mendustai mereka. Lalu muncul wajah guru-gurunya semasa sekolah, yg berkali-kali ia tipu setiap cobaan. Wajah orangtuanya. Lalu puluhan wajah yg ia kenal & tak ia kenal, menatapnya dgn sinis, mencemooh, ada yg pucat & menatapnya dgn pandangan kosong. Wajah-wajah itu tak bertubuh. Seolah topeng terbang-layang & berdesakan mengepung. Ia menyaksikan parasnya yg pucat di tengah kepungan wajah-wajah itu. Ia menggigil. Ia ingin merusak cermin itu. Tapi mendadak di cermin itu muncul wajah seorang wanita yg menjadikannya berdebar. Ia mengenal wanita itu lima tahun kemudian, tatkala mendatangi suatu kota kecil. Lebih muda 15 tahun dr istrinya. Kini ia mesti lebih hati-hati jikalau ingin bertemu perempuan itu. Tiba-tiba ia merasa takut & cemas. Saat itulah pintu diketuk. Ia secepatnya berusaha menenangkan diri begitu melihat istrinya masuk.
“Lho kok belum siap? Sudah ditunggu lho….”
Ia memandangi istrinya yg sudah terlihat begitu rapi.
“Sebentar,” jawabnya pelan.
“Jangan lama-lama berdandannya!”
Ketika istrinya menutup pintu, ia lega. Seperti perasaan seorang anak kepergok ketika hendak berbuat salah. Ia tak boleh mengecewakan istrinya. Selama ini ia percaya, setiap penipu memiliki hari keberuntungan. Dan ini ialah hari keberuntungan bagi seorang penipu mirip dirinya. Tak usah terlalu nervous. Saat ini ia merasa berada di puncak kariernya sebagai penipu. Kesempatan baik tak pernah datang dua kali bagi seorang penipu. Sukses membohongi satu orang itu biasa. Berhasil menipu jutaan orang tentulah prestasi luar biasa. Di luar sana, para penipu lain pasti iri kepadanya.
Ia mempesona napas dalam-dalam. Ia secepatnya mengenakan jas & kembali mematut diri di depan cermin. Gagah. Penipu yg baik tahu kapan saat terbaik untuk mendustai, batinnya, seakan ingin menipu bayangan dirinya di cermin. Ini hari yg tak akan ia lupakan. Mungkin kelak ia akan menulis memoar bagaimana ia sampai di puncak karier mirip ini. Tentu ia akan menulis hal-hal sebaliknya di memoar itu. Dengan perasaan mantap ia melangkah keluar kamar.
Puluhan orang yg sudah menunggu seketika bertepuk tangan menyaksikan kemunculannya. Orang-orang pribadi menjabat tangannya.
“Selamat, Pak Presiden….” (*)