Kampung Melayu Pulo tentulah bukan satu-satunya kampung di Jakarta yg dipenuhi haji & pemabuk sekaligus. Tapi sangat mungkin cuma di sinilah dua pemuda mabuk & seorang haji bisa duduk di balai-balai yg sama dlm sebuah majelis taklim. Sesungguhnya kata ini tak tepat menggambarkan kesibukan yg sebetulnya. Sebab, meski sesekali Sang Haji memberikan khotbah & membicarakan hikmah, majelis itu lebih sering menjadi ajang bincang santai wacana banyak hal, daerah orang bertukar kata & canda hingga larut malam. Tapi, hingga tamat kisah ini nanti, kesibukan itu akan tetap disebut demikian semata-mata demi memudahkan penceritaan.
Siapa saja yg sempat berjalan menyusuri kampung kami pada suatu siang yg cerah akan secepatnya mafhum permukiman ini benar-benar dipenuhi haji. Begitu menyelesaikan langkahnya yg pertama, kemungkinan besar ia akan berjumpa seorang haji yg sedang duduk di teras rumahnya, disusul dgn haji yg sedang berdiri membetulkan gulungan sarungnya pada langkah kedua, & haji yg sedang berjalan sambil membuka peci putih & menggaruk-garuk kepalanya pada langkah ketiga. Jika sedang beruntung, pada langkahnya yg keempat atau kelima, ia akan memergoki seorang haji sedang mencubit pinggul wanita pedagang gado-gado di dekat tikungan.
Menjelang senja, para haji itu akan terlihat berjalan––baik sendiri-sendiri maupun berombongan––menuju Musala Assalam untuk salat Magrib berjamaah. Seusai salat & berdoa barang lima atau sepuluh menit, mereka akan pulang ke rumah masing-masing. Salah seorang dr mereka dipanggil dgn istilah Haji Syiah. Setelah salat Isya & makan malam, para haji itu akan menguap berkali-kali sebelum akhirnya jatuh tertidur & mendengkur dlm balutan sarungnya. Kecuali Haji Syiah.
Haji Syiah akan duduk di balai-balai di teras rumahnya, menyambut tamu-tamu yg hampir setiap malam bertandang meramaikan majelis taklimnya, termasuk Faruk & Ketel, sepasang sahabat yg selalu datang dlm kondisi mabuk. Haji Syiah tak pernah membeda-bedakan tamunya, yg mabuk & yg sadar diperlakukan serupa: kopi hitam sama dituangkan, keripik singkong & kacang kulit sama diangsurkan, rokok kretek sama disodorkan. Alhasil, majelis taklim yg dihadiri belasan anak muda itu selalu berjalan hangat.
Demikianlah, isu bergabungnya Faruk & Ketel dlm majelis taklim di rumah Haji Syiah dgn lekas tersiar ke banyak indera pendengaran di kampung ini, tergolong ke pendengaran Haji Jamil, seorang haji yg paling disegani. Tak mencampakkan tempo, sehari sesudah mendengar info itu, Haji Jamil sudah menegur Haji Syiah. Bakda salat Magrib & menuntaskan doa di Musala Assalam, di hadapan jamaah musala, ia angkat bicara.
“Kagak pantes, Ji, orang mabok ente kumpulin di rumah ente.”
“Ane bukan ngumpulin orang mabok, tetapi ane kagak bakalan nolak siape aje yg bertamu ke tempat tinggal ane. Orang mabok pula ane terime. Mabok tuh urusan die sama Allah, yg penting kagak ganggu tetangge. Kalau maboknye brengsek, jangan kate di pekarangan rumah ane, di mane aje di pojok kampung ini bakalan ane hajar!” jawab Haji Syiah sambil menghunus tinjunya yg sebesar kepalan tangan anak kecil. Sama sekali tak menakutkan.
Meski sudah dibekap, lisan Haji Sakur tetap meletupkan bunyi tawa tertahan. Demikian pula verbal Haji Sahrudin, lisan Haji Rozak, & verbal sekian haji lainnya. Haji Munip yg paling parah, belum sempat membekap mulut, suara tawanya sudah terlepas begitu saja. Siapa yg tak mau tertawa melihat Haji Syiah sesumbar hendak menghajar pemuda mabuk?
Sudah masyhur dongeng Haji Syiah pernah terjatuh gara-gara diterpa angin dr sebuah sepeda motor belibis yg melaju kencang. Saat itu ia sedang berdiri di pinggir jalan di depan rumahnya tatkala sepeda motor belibis yg dikemudikan seorang cukup umur cecunguk melaju kencang. Angin yg ditimbulkan dr kencangnya laju sepeda motor itu membuat tubuh tipis Haji Syiah terputar 180 derajat, kehilangan keseimbangan, & jatuh terduduk menghadap rumahnya. Haji Syiah cepat berdiri. Lalu, sambil tangan kirinya berkacak pinggang & tangan kanannya menghunus tinju ke arah mana sepeda motor tadi melesat, Haji Syiah berteriak, “Bagus ente kagak nyerempet ane. Kalau sampe nyerempet, ane lipet ente jadi tiga!”
Mau melipat tubuh pengendara sepeda motor cecunguk jadi tiga? Diterpa anginnya saja jatuh terduduk, terlebih diserempet. Begitu kira-kira yg ada dlm fikiran ketua RT. Maka ia segera mengerahkan warga membuat polisi tidur dr adonan pasir & semen, supaya peristiwa serupa tak terulang. Itulah kisah yg mampu menjelaskan kenapa ada polisi tidur melintang sempurna di depan rumah Haji Syiah hingga sekarang. Entah siapa yg pertama kali mengarang riwayat itu. Tentu saja tak seorang pun memercayai insiden itu sungguh-sungguh pernah terjadi, bagaimana pun kurusnya Haji Syiah. Namun yg terperinci, kisah itu tersebar & sudah menggaungkan gelak tawa ke seluruh kampung.
Maka tidak aneh bila malam itu Haji Sakur, Haji Sahrudin, Haji Rozak, & Haji Munip (dia yg paling parah) gagal menahan tawa menyaksikan Haji Syiah menghunus tinju & mengancam hendak menghajar orang. Mereka teringat kisah Haji Syiah jatuh terduduk.
SELAMA lebih dr setahun Haji Syiah menerima Faruk & Ketel di rumahnya, tak ada warga kampung ini yg imannya berkurang. Kehidupan berjalan mirip biasa, tak ada yg kurang, tak ada yg lebih. Dengan kata lain, selain Haji Jamil, tak ada warga yg menganggap tindakan Haji Syiah itu tak layak. Justru, warga merasa bahagia. Sebab, semenjak bergabung dlm majelis taklim Haji Syiah, Faruk & Ketel tak pernah lagi membuat onar di kampung dikala mereka mabuk.
Sebelumnya, di antara sekian banyak pemabuk di kampung ini, Faruk & Ketel yg dikenal paling kerap membuat kasus. Mereka tersohor sebagai peminum yg pantang pulang sebelum tumbang. Hampir setiap malam mereka berbelanja miras curah di Pisangan Lama, di belakang Stasiun Jatinegara. Konon, berdua mereka biasa menghabiskan sepuluh liter setiap malamnya. Pada satu liter pertama, mereka masih mengatakan dgn “ane” & “ente”, mirip biasa. Pada liter kedua, mereka mengobrol dgn bahasa Indonesia yg baik & benar, dgn menggunakan “saya”dan “anda”. Pada liter ketiga, mereka berdebat luar biasa dlm bahasa Inggris, meski hanya setan & mereka berdua sendiri yg paham artinya. Pada liter keempat & seterusnya, mereka mulai berteriak-teriak keliling kampung.
Saat berteriak-teriak di tengah malam buta itulah, Haji Syiah yg sedang duduk sendirian di teras rumahnya, keluar menyongsong mereka. Ia menggulung sarungnya tinggi-tinggi, kemejanya yg tak dikancingkan memperlihatkan tonjolan tulang iga. Ia tak sempat menggunakan peci putihnya, menciptakan kepalanya yg hanya ditumbuhi sejumput uban itu berkilap-kilap ditimpa cahaya bulan.
“Ente berani besuare sekali lagi, ane putusin tenggorokan ente!”seru Haji Syiah.
Ia memasang kuda-kuda siap menyerang, kedua lutut kakinya agak ditekuk, tangan kanannya menadah seperti orang meminta sesuatu, tangan kirinya seperti hendak menopang kepala belahan belakang. Tak ada orang yg pernah mendengar Haji Syiah pandai bermain silat. Tapi, bahwa konon ia menguasai ilmu pedang ghoib, amalan yg sanggup merobohkan lawan dr jarak jauh, sempat sekian lama setengah diandalkan penduduk kampung kami––meski tak terang siapa yg pertama kali merawikan kabar ini. Namun, keyakinan yg hanya setengah itu pun rontok sama sekali saat kisah olok-olok perihal Haji Syiah jatuh terduduk akhir diterpa angin dr sebuah sepeda motor bebek yg melaju kencang, tersiar ke seantero kampung.
Meski begitu, melihat Haji Syiah dlm posisi siap menyerang dibarengi ancaman hendak memutus tenggorokan mereka, Faruk & Ketel segera bereaksi. Mereka mengambil posisi siap tarung. Tapi, entah karena dampak alkohol atau karena berguru pada guru silat yg salah, kuda-kuda mereka terlihat ajaib: kedua belah kaki dipentangkan lebar-lebar, kedua tangan diacungkan lurus ke depan.
Urusan kuda-kuda boleh menggelikan, tetapi keadaan saat itu tetap saja menegangkan. Dalam kondisi mabuk berat, bukankah sangat mungkin seseorang akan melaksanakan hal-hal yg tak terduga? Benar saja! Faruk terlihat mulai meraba belakang pinggangnya, seperti mencari-cari sesuatu. Sebilah pisau? Sementara sahabatnya, Ketel, tetap dlm posisi semula. Tampaknya ia sedang berupaya keras mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Haji Syiah makin waspada.
Tak mau ambil risiko, Haji Syiah mulai mengeluarkan ilmu pedang ghoib, mulutnya komat-kamit melafalkan doa. Diyakini, sehabis doa itu dibaca tiga kali, lawan akan ambruk & bertekuk lutut cuma dgn meniup mukanya. Maka, tak mencampakkan waktu, sesudah selesai membacanya tiga kali, Haji Syiah eksklusif meniup ke arah wajah kedua begundal itu dgn keras. Saat itulah gigi artifisial Haji Syiah terlepas dr mulutnya. Gigi itu melayang & jatuh di bersahabat kaki musuh-lawannya. Hening sejenak, malam seperti ikut menahan napas.
Faruk & Ketel saling berpandangan. Tiba-tiba kedua pria mabuk itu tertawa hingga terbungkuk-bungkuk. Mereka terpingkal-pingkal sambil memegangi perut mereka. Faruk & Ketel terus tertawa, makin lama makin tergelak, & perut mereka menjadi kaku. Akhirnya, masih sambil terpingkal, mereka terjatuh dgn lutut tertekuk di hadapan Haji Syiah.
Faruk & Ketel menciumi tangan Haji Syiah. Dengan sulit payah mereka berusaha meminta ampun, baru setengah kata berhasil diucapkan, yg setengahnya lagi tertelan oleh tawa mereka, air mata mereka berlinangan. Untunglah, sesudah Haji Syiah mengusap kepala mereka, tawa kedua pemabuk itu reda. Dan mereka terhindar dr kram perut yg mampu membahayakan jiwa.
Sejak peristiwa itu, Faruk & Ketel insyaf, tak pernah lagi membuat onar di kampung, meski masih tetap menghabiskan sepuluh liter miras curah setiap malamnya. Dan mereka menjadi anggota majelis taklim Haji Syiah yg paling setia. Bahkan, kedua pemabuk itu menjadi murid––bila bisa disebut demikian––kesayangan Haji Syiah.
Pasangan biang kerok Faruk & Ketel yg berhenti membuat onar & menjadi murid kesayangan Haji Syiah yakni fakta. Tapi, cerita wacana urut-urutan insiden yg menjadi musabab berubahnya kedua pengacau itu––khususnya pada serpihan kuda-kuda yg ganjil & gigi artifisial yg terlepas––tak bisa dibuktikan kebenarannya mengenang kisah itu dirangkai menurut penuturan Ucup Bodong, pedagang kue pancong yg pada malam terjadinya kejadian itu gres saja menutup warungnya. Ia mengaku mengintip seluruh insiden itu dr balik warungnya. Faruk & Ketel sendiri memilih bungkam setiap kali ditanya soal itu. Sementara pada Haji Syiah, pasti tak ada orang yg hingga hati meminta kejelasan.
HAJI Syiah berusia enam puluhan tahun. Nama aslinya Rohili. Ia diundang Haji Syiah bukan karena menganut mazhab ini. Tata cara ibadahnya tak pernah terlihat berlawanan dr warga kampung yang lain. Kemungkinan terbesar, itu gara-gara ia memasang poster bergambar Ayatullah Khomeini di dinding ruang tamunya, bersebelahan dgn foto Habib Ali Kwitang. Konon, tatkala ia baru pulang haji sekitar dua puluh tahun yg lalu, Haji Jamil berkunjung ke rumahnya. Pada kesempatan itulah Haji Jamil menasihati & merekomendasikan Haji Syiah menurunkan poster Sang Ayatullah.
“Ngapain ente pasang tu gambar? Die kan Syiah, beda ame kite,” itu yg dibilang Haji Jamil sambil menunjuk poster Ayatullah Khomeini.
“Kagak ape-ape beda, ane demen aje ngeliat romannye,” Haji Syiah menjawab dgn tenang.
Maka sangat mungkin dr lisan Haji Jamillah panggilan Haji Syiah pertama kali berembus. Kemudian julukan itu menyebar ke seluruh penduduk kampung, dr verbal warga yg satu ke pendengaran warga yg lain. Meski tak ada orang yg berani memanggil “Haji Syiah” di hadapannya, tapi Sang Haji bukannya tak tahu di belakang dirinya orang-orang memanggil dgn cara demikian. Dan ia tak merasa keberatan.
Haji Syiah hanya hidup berdua dgn Nyak Mun, istrinya. Berdua, sudah lebih dr empat puluh tahun mereka dgn sabar & ikhlas mengarungi lautan sepi kehidupan. Pada lima hingga sepuluh tahun pertama perkawinannya, mereka––terutama Haji Syiah––masih berharap datangnya seorang anak (ia memimpikan anak lelaki) yg akan meramaikan suasana rumah. Namun, pada tahun-tahun berikutnya, perlahan mereka mengubur mimpi itu, makin lama makin dalam. Entah pada tahun perkawinan yg ke berapa, alhasil mereka menerima kenyataan selaku pasangan suami-istri yg tak dikarunia anak.
“Tuhan kagak kasi,” selalu begitu jawaban Haji Syiah setiap kali ada yg bertanya berapa jumlah anaknya. Haji Syiah memang telah dgn ikhlas menerima takdirnya, tetapi jauh di hati kecilnya, benih harapan mempunyai keturunan tampaknya tak betul-betul mati terkubur. Benih itu tumbuh & timbul dlm bentuk kecintaan pada anak muda. Di tengah-tengah dialog di majelis taklimnya, berulang kali Haji Syiah pernah berkata, “Kalau dulu Tuhan kasi, udeh seumuran ente kali anak ane.”
Haji Syiah seperti melihat bayang-bayang anak lelaki impiannya pada belum dewasa muda itu, yg mabuk sekalipun. Bahkan pada yg mabuklah Haji Syiah makin merasa sayang. Ia memandang Faruk & Ketel dgn mata kasih orangtua terhadap anaknya. Dengan cara sehalus mungkin, ia berusaha menawan kedua anak muda itu dr kubangan khomer, minuman keras yg menurutnya mampu menghancurkan kesehatan & masa depan mereka.
“Ente kalau minum yg kire-kire, jangan kelewatan. Kalau minum kagak pake takeran, ape enaknye? Lagian, mau sampe kapan ente begini? Tuhan sih kagak rugi ape-ape ente mau mabok saban hari, yg rugi ente sendiri, badan ente ancur, asumsi kusut. Ente musti pikirin masa depan ente,” nasihat Haji Syiah suatu kali.
Berbilang bulan setelah nasihat itu disampaikan, Faruk & Ketel tetap datang ke tempat tinggal Haji Syiah dlm kondisi sempoyongan. Namun, benar belaka apa yg sering dibilang orang, hidayah dr Tuhan mampu tiba dgn cepat & dr arah tak terduga. Siapa sangka, secepat itu Faruk & Ketel berkembang menjadi orang yg sama sekali berbeda. Hanya sekitar tujuh bulan sesudah berpamitan pada Haji Syiah hendak bekerja mengelola warnet milik Ustad Jaiz di Pandeglang, Faruk & Ketel muncul kembali di kampung ini dgn penampilan berlawanan. Mereka mengenakan kemeja lengan panjang, celana panjang sebatas mata kaki, & ada tanda hitam di jidatnya, tanda sering bersujud. Kumis mereka dicukur habis, sementara janggutnya dibiarkan tak tercukur.
Menurut kabar yg beredar di antara warga, selama di Pandeglang mereka giat mengikuti pengajian di pondok pesantren Ustad Jaiz, tak jauh dr warnet yg mereka kelola. Ustad Jaiz, yg masih terhitung sepupu dgn Faruk itu, membangun pondok pesantren & beberapa unit usaha seperti warnet & agen beras di Pandeglang sekitar setahun yg kemudian, dikala ia gres saja pulang setelah merampungkan kuliah ilmu syariah di Mekah. Kabarnya, beberapa hari lagi Faruk & Ketel akan kembali ke Pandeglang untuk mengikuti program pesantren intensif selama enam bulan, sebelum keberangkatan mereka ke Mekah. Di kota suci itu––dengan beasiswa yg diperoleh lantaran hubungan baik Ustad Jaiz dgn sebuah forum dakwah di Arab Saudi––mereka akan memperdalam ilmu agama.
Tentu saja Haji Syiah besar hati mendengar informasi itu. Ia ingin sekali bertemu Faruk & Ketel. Sudah lebih dr seminggu ia mendengar kedua anak muda itu pulang dr Pandeglang, namun mereka belum pula datang berkunjung ke rumahnya. Haji Syiah kesannya memang bertemu Faruk & Ketel pada suatu sore, sempurna sepuluh hari setelah kehadiran mereka. Secara tak sengaja, Haji Syiah berpapasan dgn mereka di depan toko kelontong Yong Put. Awalnya ia sempat tak mengenali, cuma setelah mata mereka bersitatap selama dua atau tiga detik, dgn besar hati Haji Syiah berteriak,“Faruk! Ketel!”
Para pemilik nama itu tak menyahut. Mereka memalingkan muka & meneruskan perjalanannya, segera setelah salah seorang dr mereka, yakni si Faruk, sempat menyemburkan ludah ke tanah. Haji Syiah melongo seribu bahasa. Ia menghentikan langkahnya selama beberapa masa, menatap punggung mereka hingga menghilang dr pandangan. Seribu pertanyaan berpusar di benaknya, ia tak memahami ada apa dgn ini semua.
Seribu tanya itu masih terus berpusar hingga malam tiba, dikala ia duduk sendirian di balai-balai di teras rumahnya. Mengapa Faruk & Ketel berbuat demikian terhadap dirinya? Apakah karena kini mereka merasa terlahir kembali selaku orang suci & karenanya merasa jijik dgn masa lalunya yg penuh najis? Atau ada alasannya adalah lain? Haji Syiah tak menemukan jawaban apa-apa.
Tiba-tiba Haji Syiah merasa begitu letih. Ia sandarkan kepalanya ke dinding, kedua matanya ia pejamkan. Saat membuka matanya kembali selang beberapa menit kemudian, kurang jelas Haji Syiah seperti menyaksikan Faruk & Ketel membuka pagar halaman, berjalan sempoyongan melintasi pekarangan rumahnya. Haji Syiah mengusap mata. Malam begitu sepi. Angin berembus cukup kencang, merundukkan sebatang pohon belimbing yg tumbuh di situ. (*)