Entahlah! Terkadang orang tak memedulikan arti namanya sendiri. Di lain pihak, ada yg merasa namanya kurang keren. Tapi bagi laki-laki itu, nama yg ia sandang terasa berat.
Moral. Itulah namanya. Dari kecil sampai dewasa, memang ia hirau tak acuh dgn nama itu. Setelah menikah & mempunyai dua anak, kemudian berangkat haji, barulah ia merasa-rasa ada yg tak beres dgn nama itu. Apakah ia memang sudah sungguh bermoral sehingga layak diundang Moral? Apakah ia memang sudah menjadi hamba yg takwa sehingga berhak dipanggil haji?
Sungguh ia tak ingin diundang Moral, terlebih diembel-embeli haji. Karena itu ia sengaja menyertakan namanya dgn Din. Haji Moraldin. Demikian kiranya. Din itu adalah kependekan dr Komarudin, nama bapaknya.
“Panggil saja gue Pak Din!” Begitulah ia memafhumkan pada orang-orang yg erat dengannya. Hanya saja, orang-orang terkadang keceplosan juga. Kerap ia masih diundang Pak Haji. Atau, Pak Haji Moral. Berulangkali ia kemudian meralat, “Pak Din!”
Mungkin alasannya adalah diingatkan terus, orang-orang kemudian memanggil Moral dgn istilah Pak Din. Kendati tatkala sedang tak bersamanya, mereka tetap menyebutnya Pak Haji atau Pak Haji Moral.
Bagaimanapun, di kampung itu, orang sangat menghormati & memercayainya. Tak peduli ia hanya melakukan pekerjaan sebagai tukang jagal sapi di pasar. Tak peduli badannya lebih pendek di bawah ukuran laki-laki cukup umur di kampung itu. Tak peduli kulitnya hitam, hidungnya sedang & uban mulai mengisi kepalanya.
Contohnya saja, jikalau sedang shalat fardhu berjamaah di masjid, jalannya senantiasa dilempangkan ke sajadah imam. Padahal di antara jamaah ada yg lebih tinggi darinya. Lebih tinggi masalah ilmu agama. Lebih tinggi masalah fasih membaca ayat-ayat shalat. Lebih tinggi problem berapa kali berangkat ibadah haji ke tanah Mekkah. Moral menjadi tak enak hati. Begitupun ia tak mampu menolak.
Belum lagi perkara kas masjid. Moral malahan ditunjuk menjadi bendahara. Padahal ia tahu ada si Kholid yg tamatan SMEA (kini SMK). Ada Mirdan yg sarjana muda ekonomi. Mursyid yg pernah bekerja di Bank.
“Kami percaya pada Bapak!” Begitu kata jamaah.
“Tapi saya hanya seorang penjagal sapi. Saya hanya tahu daging yg empuk & sehat & segar. Saya agak sungkan memegang uang. Bahayanya besar. Salah sedikit, khilaf sedikit, bisa masuk neraka.”
Orang-orang tak mau mendengar. Moral ternyata mesti takluk & melaksanakan cita-cita jamaah. Terbukti, ia memang fasih menjadi imam shalat. Terbukti, ia memang amanah mempertahankan kas masjid. Apalagi? Hingga orang-orang sering mengajukan pertanyaan ini-itu, yg bantu-membantu di luar jangkauan akalnya. Orang-orang suka meminta pendapatnya untuk hal-hal yg pelik. Anehnya lagi, Moral tak menyangka apa yg ia ucapkan senantiasa menyelesaikan persoalan orang-orang itu.
“Aku tak tahan lagi, Bu. Orang-orang selalu menghormatiku. Orang-orang senantiasa menganggapku ahli, alim. Padahal gue cuma tukang jagal sapi. Aku hanya salah diberi nama Moral. Coba, apakah semua yg kulakukan telah bermoral?” keluhnya suatu hari pada Maisaroh, istrinya.
“Lho, Bapak ini lucu! Bukankah enak bila dihormati orang? Dianggap ahli & alim?”
“Aku belum siap menerimanya, Bu. Aku belum apa-apanya, baik soal ilmu agama, ilmu-ilmu lain, pula persoalan ibadah. Takutnya, gue besar kepala. Takutnya gue ditunjuk mengemban amanah yg lebih berat. Padahal, gue belum tentu mampu. Masa’ tukang jagal sapi disuruh ngurusi kas masjid!”
Maisaroh hanya tersenyum. ia kembali disibukkan menampih beras & memberi makan ayam-ayam dgn menir.
Moral kemudian seakaan ditodong senjata laras panjang. Saat bincang-bincang di pelataran masjid, usai shalat isya berjamaah, Haji Samijan berkata, “Di kampung ini akan diadakan penyeleksian kepala kampung. Jadi, setelah rembukan dgn orang-orang di masjid ini, kami bermaksud menyalonkan Pak Haji Mor, oh…ya Pak Din.”
“Mencalonkan saya menjadi kepala kampung, begitu?” Mata Moral melotot.
“Iya!”
Moral berkeringat dingin. “Apa pantas?”
“Kami kira sangat layak, Pak,” sambut yg lain.
Moral langsung meriang. ia pulang & meminta diselimuti Maisaroh. Ini bukan mencontek saat Nabi Muhammad SAW pertama kali menerima wahyu dr Allah SWT melalui malaikat Jibril. Bukan! Moral sebenar meriang. Moral sangat cemas. Coba, jika nanti diangkat menjadi kepala kampung, ia salah memakai akomodasi kampung untuk kebutuhan pribadi. Menggunakan kas kampung untuk keperluan dapur. Aduh, bisa berabe! Dosanya bebuyutan.
Itulah, saat Haji Samijan mengantarkan selembar kertas tanda kesediaan menjadi salah seorang calon kepala kampung, Moral menolak mentah-mentah menandatanganinya. Bahkan tatkala Maisaroh & kedua anaknya menyodok-nyodok dr belakang, Moral mendelik, panas hati. ia minggat ke dlm rumah. ia tak perduli Haji Samijan menganga kecewa. Maisaroh terpaksa meminta maaf berkali-kali. Haji Samijan kemudian hanya menggeleng-geleng geli. Dasar Haji Moral, tingkahnya lain dr yg lain. Rejeki kok kadang kala ditolak!
Umbul-umbul telah ramai dipasang di sepanjang jalan. Cuaca cerah. Orang-orang ramai. Pedagang musiman muncul, dirubung renta-muda. Anak-anak betah berlama-usang mengepung beberapa pedagang mainan. Nah, terlebih? Semua wajah pula cerah. Sumringah.
Lapangan kampung telah pula dipasang tarup. Beberapa kursi panjang, diselang-seling kursi plastik, pun disesaki orang. Di barisan depan yg menghadap ke panggung, dijejerkan sofa merah muda kepunyaan Haji Samijan. Beberapa orang terhormat sudah duduk di situ.
“Ayo, Pak! Buruan!” Istrinya manyun. Moral sengaja mematut-matut peci di depan cermin. Moral enggan menghadiri program itu. ia lebih tertarik pergi ke pasar menjagal sapi. Tentu pelanggannya ada yg kecewa sebab Moral hari ini tak berjualan.
“Iya! Kenapa tergesa-gesa, Bu! Siapa saja yg nanti terpilih menjadi kepala kampung sini, gue tak peduli.”
“Ayolah! Nanti tak yummy bila acara pemilihan sudah dimulai,” gerutu istrinya.
Sambil terpincang-pincang alasannya sepatu sebelah kanan belum klop masuk ke telapak kakinya, Moral mengejar istrinya. Heran, program pemilihan kepala kampung kok dianggap mahir begini. Coba, jika ada pengajian, istri banyak alasanlah, hingga kerap tiba saat pengajian sudah dimulai. Gerutuan menyanggupi kepala Moral.
“Nah, Pak Haji Moral!” Midan tersenyum cerah menyambut Moral di gerbang mengarah ke tarup. Moral akal-akalan cengengesan. Padahal ia ingin menegur Midan karena salah memanggil namanya.
“Nah, Pak Din. Duduk di depan saja!” Haji Samijan melambai dr podium. Moral terpacak di belakang. ia menentukan duduk di buncit, di kursi panjang. Maisaroh menawan tangan Moral. Yang ditarik balas menarik. Tapi jadinya Moral melangkah juga. ia aib pada orang-orang yg menyaksikan tingkah mereka.
Moral duduk di sofa merah. ia mirip cacing kepanasan. ia merasa tak bebas. Apalagi ia harus duduk sejajar dgn pejabat polisi, orang kelurahan & beberapa lainnya yg berpangkat. Semoga saja program ini lekas selesai. Moral berandai-andai di samping Maisaroh yg tersenyum ramah pada orang-orang di sebelahnya.
Ada lima gambar di lima podium di panggung. Gambar nanas, duku, pisang, padi & jagung. Setelah program pembukaan & beberapa kali kata sambutan membosankan, tibalah pengumuman kandidat kepala kampung.
Moral berniat membuka kancing atas baju safarinya. Tapi Maisaroh lekas menyikut. Mata Maisaroh membola.
“Untuk gambar nanas, yakni milik Pak Sulkhan!” kata Haji Samijan. Orang-orang bertepuk riuh. Pak Sulkhan naik ke panggung & berdiri di belakang podium bergambar nanas.
“Gambar duku, Pak Lubai.” Semua itu orang-orang hebat. Mereka memang masuk akal dicalonkan menjadi kepala kampung. “Gambar pisang, Pak Rofii. Padi, Bu Salmah. Dan pepaya… Pak Haji Moral!” Tak tanggung-tanggung Haji Samijan membuat Moral tersentak. ia dicalonkan menjadi kepala kampung? Siapa yg memberi izin? Siapa yg menandatangani? Ada yg tak beres! Moral melihat Maisaroh cengengesan. Tahulah ia dr mana asal “asap” itu.
Hati Moral ngedumel. ia tak hendak naik ke podium. Tapi menyaksikan orang ramai, pula pejabat di barisan paling depan itu, ia terpaksa mengalah. ia tak ingin malu. Tinggal satu doanya, gampang-mudahan tak terpilih menjadi kepala kampung.
Puas dgn program coblos-mencoblos, diumumkanlah siapa pemenang pemilu kepala kampung. Lambat pula dinikmati Moral waktu berlangsung. ia melihat Pak Lubai & semua saingannya. ia tak lezat hati. Mereka semua sahabat-sahabatnya. Moral seringkali mendapat tunjangan dr mereka, baik berbentukmaterial maupun spiritual.
“Pemenangnya, kepala kampung kita adalah Pak Haji Moral…din!”
Seolah panggung rubuh dicicipi Moral. ia ingin menolak mentah-mentah jabatan kepala kampung itu. Namun menyaksikan antusias orang, ia hanya bisa bungkam di podium. ia melihat saingan-saingannya. ia makin merasa tak enak hati.
“Kami percaya kepadamu, Pak Haji Moral!” kata Pak Lubai dikala bersantap di rumah Haji Samijan. “Sebenarnya kami semua yg mencalon ini, ingin memilihmu juga. Tapi tentu tak elok kandidat kepala kampung cuma seorangan. Jadi, supaya ramai, kami berempat mencalonkan juga. Kami yakin Pak Haji Moral orang yg amanah.”
Moral tersenyum. Dalam hatinya kecut, apakah ia sanggup mengemban amanah itu? (*)