close

Hadis Maudhu’iy Wacana Kepemimpinan

By Nursalam Rahmatullah
A.    Pendahuluan
1.      Latar belakang persoalan
Manusia diciptakan oleh Allah swt. ke tampang bumi ini selaku khalifah (pemimpin), oleh alasannya adalah itu manusia tidak terlepas dari perannya sebagai pemimpin yang ialah peran sentral dalam setiap upaya training. Hal ini sudah banyak dibuktikan dan mampu dilihat dalam gerak langkah setiap organisasi. Peran kepemimpinan begitu menentukan bahkan kerap kali menjadi ukuran dalam mencari alasannya adalah-karena jatuh bangunnya sebuah organisasi. Dalam menyinari pemahaman dan hakekat kepemimpinan, sebetulnya dimensi kepemimpinan mempunyai faktor-aspek yang sungguh luas, serta ialah proses yang melibatkan banyak sekali komponen di dalamnya dan saling mensugesti.
Kalau kita mendengar perkataan kepemimpinan dalam Islam biasanya asosiasi pertama terarah pada “kepemimpinan tertinggi bagi umat Islam” yang populer dengan istilah khalifahimamahimaratul mukminin dan sebagainya. Artinya, kepemimpinan tertinggi bagi umat Islam dalam masalah agama dan dunia. Definisi yang terkenal perihal khalifah yakni pemimpin tertinggi dalam masalah agama dan dunia menggantikan Rasulullah saw. Imam al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam al-Sulthaniyah menunjukkan definisi khilafah sebagai “Penggantian (peran) kenabian untuk memelihara agama dan mengontrol urusan dunia”.
Dari kepemimpinan tertinggi ini, kemudian berkembang ke seluruh aspek kehidupan insan, sampai ke kelompok yang paling kecil, keluarga dan individunya. Dalam hal ini, telah barang pasti kita tidak akan membahas dilema khalifah, suksesi pimpinan nasional dan sebagainya, akan namun kita cuma akan mempelajari secara sepintas bagaimana mestinya kalau kita kebetulan diserahi tugas untuk memimpin suatu lembaga atau organisasi.
Oleh sebab itu, kita perlu mengkaji kembali bagaimana rancangan kepemimpinan yang dicontohkan oleh nabi Muhammad saw. dengan menggunakan metode takhrij hadis.
2.      Rumusan dilema
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diketahui bahwa yang menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini yaitu bagaimana desain kepemimpinan menurut hadis nabi Muhammad saw. yang akan diurai ke dalam beberapa sub-pembahasan sebagai berikut:
a.       Bagaimana mutu sanad dan matan hadis wacana kepemimpinan?
b.      Bagaimana desain kepemimpinan berdasarkan hadis nabi?
B.     Pembahasan
1.      Identifikasi Hadis
Hadis-hadis ihwal kepemimpinan dalam makalah ini diperoleh lewat sistem takhrij hadis bi al-maudhu’ menggunakan kitab Miftah Kunuz al-Sunnah, dengan tema yang erat kaitannya dengan topik kepemimpinan, yaitu, al-aimmah (الائمة), al-umara’ (الامراء), dan al-ra’iy (الراعى). yang dapat dilihat pada tabel berikut:
الائمة
الامراء
الراعى
عقوبة شرار الأئمة يوم القيامة…
·        مى  – ك  17 ب 71
·        حم  – خامس ص  284  و 285 و323 ;سادس ص6
·        ط   – ح 36 و 929 و2523
كلكم راع وكلكم مسئول…
·        بخ  – ك 93 ب1 و8
·        مس – ك 33 ح 20 و44
·        بد  – ك 19 ب 1
·        تر – ك 21 ب 27 قا
·        ز  – ح 876
·        حم – ثان ص5 و54 و 111و121 و297 قا419 و424; سادس ص65
النهي عن موافقتهم على كذبهم وظلمهم…
·        مس – ك 33 ب 63 و 64
·        نس – ك 39 ب 36 و 37
·        حم – ثان ص 95: ثالث ص 24 و 92 و 321 و 399 قا 403 قا 428: رابع ص 243
·        ط – ح 1064 و 1595 و 2223[1]
استحقاق الوالى الغاش لرعيته النار….
·        مس – ك 1ح 229 قا
·        حم – ثان ص 425 و 431 و 479 و 521 قا ثالث ص 441 و 480 : رابع ص 231 : خامس ص 25 و 27 قا 238 و 329 و 362 و 366.
من أكرم سلطان الله فى الدنيا أكرمه الله يوم القيامة…
·        حم  – خامس ص 42 و 48[2]
لايدخل الجنة راع يغش رعيته …
·        مس  –  ك 1 ح 227 و228
كل راع مسئول عن رعيته…
·        حم – ثان ص 108[3]
2.      Klasifikasi hadis Kepemimpinan
a.       Pengertian Pemimpin
حدثنا إسماعيل حدثني مالك عن عبد الله بن دينار عن عبدالله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته فالإمام الاعظم   الذي على الناس راع وهو مسئول عن رعيته, والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عن رعيته, والمرأة راعية على أهل بيت زوجها وولده وهي مسئول عنهم, و عبد الرجل راع على مال سيده وهو مسئول عنه, ألا فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته.( رواه البخارى[4](
Artinya:
Diceritakan terhadap kami oleh Ismā‘īl, dikabarkan kepada kami oleh Ayyūb dari Nāfi‘ dari Ibn ‘Umar bahwa Nabi saw. bersabda: Setiap kalian ialah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Kepala negara adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya, Setiap suami ialah pemimpin terhadap keluaganya dan bertanggung jawab terhadapnya, setiap istri yakni pemimpin bagi rumah tangga suaminya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang hamba/pelayan yaitu pemimpin bagi harta tuannya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Ketahuilah bahwa setiap kalian ialah pemimpin dan masing-masing bertanggung jawab atas kepemimpinannya”.
b.      Kriteria Kepemimpinan
حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن علي أبي الأسد قال: حدثني بكير بن وهب الجزرى قال لي أنس بن مالك أحدثك حديثا ما أحدثه كل أحد إن رسول الله صلى الله عليه وسلم علي باب البيت و نحن فيه فقال: الأئمَّةُ من قريشٍ، إنَّ لهم عليكم حقًّا، ولكم عليهم حقًّا مثلَ ذلك، ما إن استُرحِموا، فرحِموا، وإن عاهدوا وفُّوا، وإن حكَموا عدَلوا، فمن لم يفعَلْ ذلك منهم، فعليه لعنةُ اللهِ والملائكةِ والنَّاسِ أجمعين)))رواه أحمد)[5]
Artinya:
Diceritakan terhadap kami oleh Muhammad ibn Ja‘far, diceritakan terhadap kami oleh Syu‘bah dari ‘Alī Abī al-Asad berkata: diceritakan kepadaku oleh Bukair ibn Wahab al-Jazarī, Anas ibn Mālik berkata kepadaku: Aku ceritakan kepadamu sebuah hadis di mana tidak siapa saja aku ceritakan bahwa Rasulullah saw. bangkit di hadapan baitullah bareng kami kemudian dia bersabda :Para pemimpin itu yaitu dari suku Quraisy. Sesungguhnya mereka memiliki hak atas kau dan kau juga mempunyai hak yang sama atas mereka, selagi mereka diminta menyayangi, maka mereka akan menyayangi, bila berjanji mereka akan menepati (janji itu) dan jika menghukum mereka berlaku adil. Maka barang siapa di antara mereka yang tidak berbuat hal yang demikian, maka laknat Allah, malaikat dan manusia seluruh atas mereka.
حدثنا محمد بن سنان قالَ حدثنا فليح حدثني إبراهيم بن المنذر قالَ حدثنا بن فليح قالَ حدثني أبى قالَ حدثني هلال بن علي عن عطاء بن يسار عن أبي هريرة قال:  بيْنَما النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ في مَجْلِسٍ يُحَدِّثُ القَوْمَ، جَاءَهُ أعْرَابِيٌّ فَقالَ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُحَدِّثُ، فَقالَ بَعْضُ القَوْمِ: سَمِعَ ما قالَ فَكَرِهَ ما قالَ. وقالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ لَمْ يَسْمَعْ، حتَّى إذَا قَضَى حَدِيثَهُ قالَ: أيْنَ السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ قالَ: هَا أنَا يا رَسولَ اللَّهِ، قالَ: فَإِذَا ضُيِّعَتِ الأمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قالَ: كيفَ إضَاعَتُهَا؟ قالَ: إذَا وُسِّدَ الأمْرُ إلى غيرِ أهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ (رواه البخارى) [6].
Artinya:
Diceritakan terhadap kami oleh Muhammad ibn Sinān, diceritakan terhadap kami oleh Fulaih dan diceritakan kepadaku oleh Ibrāhīm ibn al-Munzir, diceritakan kepada kami oleh Muhammad ibn Fulaih, diceritakan kepadaku oleh ayahku (yang keduanya) dicertikan kepadaku oleh Hilāl ibn ‘Alī dari ‘Aā’ ibn Yasār dari Abī Hurairah berkata, dikala Rasulullah sedang menawarkan pengajian dalam suatu majlis, datanglah seorang pedalaman seraya bertanya “Kapan hari akhir zaman?” akan tetapi Rasulullah tetap melanjutkan pengajiannya, sebagian pengunjung berkata bahwa Rasulullah mendengar pertanyaannya akan tetapi tidak suka. Sebagian lainnya berkata bahwa Rasulullah tidak mendengarnya. Setelah Rasulullah selesai pengajian, ia mengajukan pertanyaan “Mana orang yang mengajukan pertanyaan wacana hari kiamat?” Saya wahai Rasulullah, kemudian ia menjawab “Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”, orang tersebut bertanya lagi “Bagaimana menyia-nyiakan amanah” Rasulullah menjawab “Apabila suatu problem diserahkan terhadap orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat.”
حدثنا بن الملك بن شعيب بن الليث حدثني الليث بن سعيد حدثني يزيد بن ابي حبيب عن بكرعن عمر و الحارث بن اليزيد الحضرمي عن بن حجيرة الأكبرعن أبي ذر قال: قُلتُ يا رَسولَ اللهِ، أَلَا تَسْتَعْمِلُنِي؟ قالَ: فَضَرَبَ بيَدِهِ علَى مَنْكِبِي، ثُمَّ قالَ: يا أَبَا ذَرٍّ، إنَّكَ ضَعِيفٌ، وإنَّهَا أَمَانَةُ، وإنَّهَا يَومَ القِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ، إلَّا مَن أَخَذَهَا بحَقِّهَا، وَأَدَّى الذي عليه فِيهَا))(رواه مسلم)[7]
Artinya:
Diceritakan terhadap kami oleh ‘Abd al-Malik ibn Syu‘malu ibn al-Lais, diceritakan kepadaku oleh Ayahku Syu‘aib ibn al-Lais, diceritakan kepadaku oleh al-Lais ibn Sa‘ad, diceritakan kepadaku oleh Yazīd ibn Abī Hubaib dari Bakar ibn ‘Amar dari al-Hāris ibn Yazīd al- Hadramī dari Ibn Hujairah al-Akbar dari Abū Zar, “Saya berkata terhadap Rasulullah, wahai Rasulullah tidakkah engkau mengangkatku menjadi pejabat, kemudian Rasulullah menepuk pundaknya seraya berkata “wahai Abū Zarr, bahwasanya engkau lemah, sedangkan jabatan itu ialah amanah dan ialah kehinaan serta penyelasan pada hari akhir zaman nanti kecuali bagi orang yang menerimanya dengan hak serta melaksanakannya dengan baik dan benar”.
حدثنا إسحاق بن إبراهيم الحنظلى أخبرنا عيسى بن يونس حدثنا الأوزاعي عن يزيد بن بزيد بن جابر عن رزيق بن حيان عن مسلم بن قرظة عن عوف بن مالك عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: خِيارُ أئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ ويُحِبُّونَكُمْ، وتُصَلُّونَ عليهم ويُصَلُّونَ علَيْكُم، وشِرارُ أئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ ويُبْغِضُونَكُمْ، وتَلْعَنُونَهُمْ ويَلْعَنُونَكُمْ، قالوا: قُلْنا: يا رَسولَ اللهِ، أفَلا نُنابِذُهُمْ عِنْدَ ذلكَ؟ قالَ: لا، ما أقامُوا فِيكُمُ الصَّلاةَ، لا، ما أقامُوا فِيكُمُ الصَّلاةَ، ألا مَن ولِيَ عليه والٍ، فَرَآهُ يَأْتي شيئًا مِن مَعْصِيَةِ اللهِ، فَلْيَكْرَهْ ما يَأْتي مِن مَعْصِيَةِ اللهِ، ولا يَنْزِعَنَّ يَدًا مِن طاعَةٍ (رواه مسلم)[8]
Artinya:
Diceritakan kepada kami oleh Ishāq ibn Ibraāhīm al-Hanzali, diberitakan kepada kami oleh ‘Īsā ibn Yūnus, diceritakan kepada kami oleh al-Auzā‘ī dari Yazīd ibn Yazīd ibn Jābir dari Raziq ibn Hayyān dari Muslim ibn Qarazah dari ‘Auf ibn Malik, dari Rasul saw. Bersabda “sebaik-baik pemimpin kalian yaitu orang yang mencintai kalian begitu pula sebaliknya dan mereka selalu mendoakan kalian dan kalian juga selalu mendoakan mereka, dan sejela-jeleknya pemimpin kalian yakni yang kalian benci dan mereka juga membernci kalian dan kalian melaknat mereka begitu pula sebaliknya, Rasul ditanya: apakah mereka boleh diperengi? Rasul menjawab tidak selama masih melaksanakan shalat dan kalau kalian menyaksikan pada diri mereka sesuatu yang tidak diminati maka bencilah pekerjaannya dan jangan kalian membangkan”.
حدثنا خالد بن المخلد حدثنا سلبمان قال حدثني عبد الله دينار عن عبد الله عن عمر رضي الله عنهما قال: بعث النبي صلى الله عليه وسلم بعثا و أَمَّرَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أُسامَةَ علَى قَوْمٍ فَطَعَنُوا في إمارَتِهِ، فقالَ: إنْ تَطْعَنُوا في إمارَتِهِ فقَدْ طَعَنْتُمْ في إمارَةِ أبِيهِ مِن قَبْلِهِ، وايْمُ اللَّهِ لقَدْ كانَ خَلِيقًا لِلْإِمارَةِ، وإنْ كانَ مِن أحَبِّ النَّاسِ إلَيَّ، وإنَّ هذا لَمِنْ أحَبِّ النَّاسِ إلَيَّ بَعْدَهُ (رواه البخارى) [9]
Artinya:
Diceritakan kepada kami oleh Khālid ibn Mukhlid, diceritakan terhadap kami oleh Sulaimān, diceritakan kepadaku oleh ‘Abdullah ibn Dīnār dari ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: Nabi saw. mengutus delegasi dan Nabi mengangkat Usāmah ibn Zaid selaku panglimanya, sebagian sahabat mencaci kepemimpinan atau tidak bahagia dengan kepemimpinannya, kemudian Nabi bersabda: kalau kalian mencaci dari segi kepemimpinannya maka sangat kalian mencaci kepemimpinan ayahnya dahulu. Demi Allah Sungguh dia tercipta selaku pemimpin dan sangat ayahnya tergolong orang yang paling saya cintai dan sungguh anak ini yakni orang yang paling saya cintai setelahnya”.
c.       Tanggung Jawab Seorang Pemimpin
حدثنا سليمان بن عبد الرحمان الدمسقي حدثنا يحيى بن حمزة حدثي ابن أبي مريم أن القاسم بن مخيمرة أخبره أن ابا مريم الأزدي أخبره قال: دخلْتُ على مُعاويةَ فقال ما أنعَمَنا بك أبا فُلانٍ! وهي كَلِمةٌ تقولُها العَرَبُ، فقُلتُ حَديثًا سَمِعتُه أخبِرُك به، سَمِعتُ رَسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يقولُ: من وَلَّاه اللهُ عزَّ وجَلَّ شيئًا مِن أمرِ المُسلِمينَ فاحتجَبَ دونَ حاجتِهم وخَلَّتِهم وفَقْرِهم احتَجَب اللهُ عنه دون حاجتِه وخَلَّتِه وفَقْرِه، قال: فجعَلَ رجلًا على حوائجِ النَّاسِ(رواه الترمذى)[10]
Artinya:
Telah bercerita kepada kami Sulaiman bin ‘Abd ar-Rahmān ad-Dimasyqī bercerita kepada kami Yahya bin Hamzah, Ibn Abī maryam bercerita kepadaku bahwa al-Qāsim bin Mukhaimirah menyiarkan bahwa Abā Maryam al-Ardī berkata saya masuk ke tempat tinggal mu’āwiyah dan dia berkata: saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemdian beliau sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka Allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian Mu’āwiyah berkata dia telah mengangkat seorang untuk melayani segala hajat keperluan insan .
حدثنا محمد ابن المثنى و محمد بن بشار قالا حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن سماك بن حرب عن علقمة بن وائل الحضرمي عن أبييه قال: سَأَلَ سَلَمَةُ بنُ يَزِيدَ الجُعْفِيُّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ، فَقالَ: يا نَبِيَّ اللهِ، أَرَأَيْتَ إنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُونَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُونَا حَقَّنَا، فَما تَأْمُرُنَا؟ فأعْرَضَ عنْه، ثُمَّ سَأَلَهُ، فأعْرَضَ عنْه، ثُمَّ سَأَلَهُ في الثَّانِيَةِ، أَوْ في الثَّالِثَةِ، فَجَذَبَهُ الأشْعَثُ بنُ قَيْسٍ، وَقالَ: اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، فإنَّما عليهم ما حُمِّلُوا، وَعلَيْكُم ما حُمِّلْتُمْ)رواه مسلم)[11]
Artinya:
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin al-Musannā dan Muhammad bin Basyār mereka berkata bercerita kepada kami Muhammad bin Ja’far bercerita kepada kami Syu’bah dari Simāk bin Harb dari ‘Alqamah bin Wā’il al-Hadramī dari Ayahnya dia berkata Salmah bin Yazīd bertanya kepada Rasulullah saw. Ya Rasulullah, bagaimana kalau terangkat diatas kami kepala-kepala yang cuma bakir menuntut haknya dan menahan hak kami, maka bagaimanakah kamu menyuruh kami berbuat? Pada awalnya Rasulullah mengabaikan pertanyaan itu, hingga ditanya kedua kalinya, maka Rasulullah saw bersabda : dengarlah dan ta’atlah maka sungguh bagi masing-masing keharusan sendiri-sendiri atas mereka ada tanggung jawab dan atas kau tanggung jawabmu. (HR. Muslim).
d.      Mentaati dan Menghormati Pemimpin
حدثنا عبدان أخبرنا عبدالله عن يونس عن الزهري أخبرني أبو سلمة بن عبد الرحمن أنه ((سمع ابا هريرة رضي الله عنه يقول: إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من أطاعني فقد أطاع الله ومن عصاني فقد عصى الله, ومن أطاع أميري فقد أطاعني ومن عصى أمري فقد عصاني))( رواه البخارى)[12]
Artinya:
Telah bercerita kepada kami ‘Abdan, bahwa ‘Abdullah sudah menyiarkan terhadap kami dari Yunus, dari Zuhri, bahwa sudah menyiarkan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bahwa Dia mendengar Aba Hurairah ra. Berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa yang taat kepadaku memiliki arti dia telah taat terhadap Allah dan barangsiapa yang durhaka kepadaku mempunyai arti ia telah durhaka terhadap Allah, barangsiapa yang taat terhadap amirku (yang muslim) maka dia taat kepadaku dan barangsiapa yang maksiat terhadap amirku, maka beliau maksiat kepadaku.
حدسنا محمد بن بكر, حدثنا حميد بن مهران الكندي, حدثني سعد بن أوس, عن زياد بن كسيب العدوي عن ابي بكرة قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : من أكرم سلطان الله في الدنيا, أكرمه الله يوم القيامة, ومن أهان سلطان الله في الدنيا, أهان الله يوم القيامة.(رواه أحمد)[13]
Artinya:
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Bakar, bercerita kepada kami Hamid bin Mihran al-Kindi, bercerita kepadaku sa’ad bin Aus, dari Ziyad bin Kasib al-‘Adawi dari Abi Bakar berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa yang memuliakan penguasa di dunia, akan dimuliakan Allah di alam baka, dan barangsiapa yang menghinakan penguasa di dunia, maka Allah akan hinakan beliau pada hari Kiamat.
3.      Penelitian hadis
a.      Materi hadis
ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته فالإمام الاعظم   الذي على الناس راع وهو مسئول عن رعيته, والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عن رعيته, والمرأة راعية على أهل بيت زوجها وولده وهي مسئول عنهم, و عبد الرجل راع على مال سيده وهو مسئول عنه, ألا فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته
b.      Takhrij al-hadis
1)      Al-Bukhariy, kitab 93 bab 1 dan 8
2)      Muslim, kitab 33, hadis nomor 20 dan 44
3)      Abu Dawud, kitab 19, bagian 1
4)      Tirmidzi, 21 bab 27
5)      Zaid, nomor hadis 876
6)      Ahmad, Juz 2, halaman 5, 54, 111, 121, dan 297
c.       Susunan Sanad dan Redaksi Matan berdasarkan para periwayat
1)      Bukhari, kitab 93 bab 1
حدثنا إسماعيل حدثني مالك عن عبد الله بن دينار ((عن عبدالله بن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته فالإمام الاعظم   الذي على الناس راع وهو مسئول عن رعيته, والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عن رعيته, والمرأة راعية على أهل بيت زوجها وولده وهي مسئولة عنهم, و عبد الرجل راع على مال سيده وهو مسئول عنه, ألا فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته))( رواه البخارى)[14]
2)      Muslim, kitab 33, hadis nomor 20
حدثنا قتيبة بن سعيد, حدثنا ليث, وحدثنا محمد بن رمح, حدثنا الليث عن نافع, عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته فالأمير الذي على الناس راع, وهو مسئول عن رعيته, والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم, والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسئولة عنهم, و العبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه, ألا فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته))( رواه مسلم)[15]
3)      Abu Dawud, kitab 19, bagian 1
حدثنا عبدالله بن مسلمة, عن مالك, عن عبدالله بن دينار عن عبدالله عبن عمر, أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته: فالأمير الذي على الناس راع عليهم وهو مسئول عنهم, والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم, والمرأة راعية على بيت بعلها وولده وهي مسئولة عنهم, و العبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه, فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته))( رواه ابو داود)[16]
4)      Tirmidzi, 21 bab 27
حدثنا قتيبة, حدثنا الليث عن نافع عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ألا كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته فالأمير الذي على الناس راع ومسئول عن رعيته, والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم, والمرأة راعية على بيت بعلها وهي مسئولة عنه, و العبد راع على مال سيده وهو مسئول عنه, ألا فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته))( رواه الترميزى)[17]
5)      Ahmad, Juz 2, halaman 54
حدثنا يحيى, عن عبيد الله, أخبرني نافع عن ابن عمر, قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته, فالأمير الذي على الناس راع عليهم, وهو مسئول عنهم, والرجل راع على أهل بيته وهو مسئول عنهم, والمرأة راعية على بيت بعلها وولده, وهي مسئولة عنهم, وعبد الرجل راع على مال سيده, وهو مسئول عنه, ألا فكلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته))( رواه احمد)[18]
d.       Kritik Sanad
(Susunan Sanad Abu Daud)
Rasulullah saw.
‘Abdullah ibn ‘Umar
‘Abdullah bin Dinar
Malik
‘Abdullah bin Maslamah
Abu daud
     1) Abdullah ibn ‘Umar
‘Abdullah ibn ‘Umar bin al-Khattab al-Quraisy al-‘Adawiy.
Guru: Rasulullah saw, Bilal, Rafi’ bin Khadij, Zaid bin Tsabit, Zaid bin al-Khattab, ayahnya (Umar bin Khattab), Usman bin Affan, ‘Aisyah Ummul Mu’minin, Hafsah Ummul Mu’minin, Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Abi Waqqas.
Murid: ‘Abdullah bin Dinar, ‘Abdullah bin Salamah, Aslam Maula Umar bin Khattab, Adam bin ‘Ali al-Bakriy al-‘Ijliy.
Hafsah Berkata dari Rasulullah saw. bahu-membahu ‘Abdullah adalah seorang pemuda yang shaleh. Dan Jabir bin ‘Abdullah berkata bahwa tidak ada seorangpun dari kami yang lebih paham ihwal permasalahan dunia kecuali ‘Abdullah bin ‘Umar. Kemudian dibilang bahwa Beliau mempunyai keistimewaan yang sangat banyak. Selanjutnya dikatakan oleh Zubair bin Bakkar bahwa Beliau wafat pada tahun 74 H.[19]
      2) ‘Abdullah bin Dinar
Abdullah bin Dinar al-Quraisy al-‘Adawiy.
Guru: ‘Abdullah ibn Umar, Anas bin Malik, Sulaiman bin Yasar, Muhammad bin Usamah bin Zaid, dan Nafi’ Maula ibn ‘Umar.
Murid: Malik bin Anas, ‘Ubaidullah bin ‘Umar al-Umariy, al-Laits bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far al-Madaniy, dan Hasan bin Shaleh bin Hay.
Shaleh bin Ahmad  bin Hanbali berkata dari Ayahnya, Beliau adalah seorang yang tsiqah dan mustaqim al-hadis. Begitupula berdasarkan Ishak bin Mansur dari Yahya bin Mu’in, Abu Zur’ata, Abu Hatim, Muhammad bin Sa’ad, dan al-Nasa’i bahwa Beliau yakni seorang yang tsiqah. Kemudian ditambahkan oleh Ibn Sa’id bahwa Beliau menghapal banyak hadis, dan wafat pada tahun 127 H.[20]
      3) Malik
Malik ibn Anas bin Malik bin ‘Amr al-Asbahi, Beliau dilahirkan di Kota Madinah 79 tahun setelah wafatnya nabi Muhammad, tepatnya tahun 93 H. Tahun kelahirannya bersama-sama dengan tahun wafatnya salah seorang sahabat Nabi yang paling panjang umurnya, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu. Beliau berkembang di lingkungan yang religius, kedua orang tuanya yaitu murid dari sahabat-teman yang mulia. Pamannya yaitu Nafi’, seorang periwayat hadis yang terpercaya, yang meriwayatkan hadis dari Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, dan sahabat-sobat besar yang lain. Imam Syafii yang ialah salah seorang murid Imam Malik menuturkan, “Ketika menyaksikan Malik bin Anas, aku tidak pernah melihat seoarang lebih berwibawa dibanding dirinya.” Demikian juga penuturan Sa’ad bin Abi Maryam, “Aku tidak pernah melihat orang yang begitu berwibawa melebihi Malik bin Anas, bahkan wibawanya mengalahkan wibawa para penguasa.”
Guru: ‘Abdullah bin Dinar
Murid: ‘Abdullah bin Maslamah.
Imam Malik rahimahullah wafat di Kota Madinah pada tahun 179 H. dengan usia 85 tahun. Beliau dikuburkan di Baqi.
      4)  ‘Abdullah bin Maslamah
Abdullah bin Maslamah bin Qa’nabi al-Qa’nabiy al-Haritsiy.
Guru: Malik bin Anas, Ibrahin bin Isma’il bin Abi Habibah al-Asyhaliy, Ibrahin bin Sa’ad al-Zuhriy, dan Usamah bin Zaid bin Aslam.
Murid: Abu Daud, al-Bukhari, Muslim, Ibrahin bin Harbi al-‘Asykariy, dan Ahmad bin al-Hasan al-Tirmidzi.
Muhammad bin Sa’ad dalam al-Thabqah al-Tasi’ mengungkapkan Beliau selaku seorang yang taat dan mulia, Beliau banyak membaca buku-buku Imam Malik bin Anas. Begitupula disebutkan oleh Ahmad bin ‘Abdullah al-‘Ijliy selaku seorang yang tsiqah dan saleh, bahwa Imam Malik bin Anas membacakan sebagian Muwaththa’ kepadanya lalu Beliau membacakan sisanya kepada imam Malik. dan ‘Abdurrahman bin Abi Hatim dari Ayahnya menyampaikan bahwa Beliau adalah seorang yang tsiqah dan hujjah.
Kemudian disebutkan oleh Bukhari bahwa Beliau wafat pada bulan Muharram tahun 221 H.[21]
      5) Abu daud
Nama lengkap ia berdasarkan Abdurrahman bin Abi Hatim adalah Sulaiman bin Asy’ats bin Syaddad bin ‘Amr bin ‘Amir. Sedangkan berdasarkan Muhammad bin Abdul Aziz al-Hasyimi yaitu Sulaiman bin Asy’ats bin Bisyr bin Syaddad.
Guru: ‘Abdullah bin Maslamah al-Qa’nabiy, ‘Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, Ibrahim bin Basyyar al-Ramadiy, dan Ibrahin bin Hamzah al-Ramliy.
Murid: al-Tirmidzi, Ibrahim bin Hamdan, dan Abu Hamid Ahmad bin Ja’far al-Asy’ariy al-Ashbahaniy.
Beliau diketahui sebagai seorang yang yang terpelajar dan mempunyai ilmu yang luas, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hatim Ibn Hibban, bahwa Abu Daud merupakan salah seorang pemimpin dunia yang pandai, mempunyai ilmu yang luas, serta hapalan yang berpengaruh. Kemudian dikatakan pula oleh Musa bin Harun al-Hafidz bahwa Abu Daud diciptakan di dunia untuk hadis dan baginya surga di akhirat.
Beliau wafat pada tahun 275 H. Tepatnya 14 hari sebelum berakhirnya bulan Syawal.[22]
Dengan mengamati kebersambungan sanad antara seorang guru dan murid dalam transmisi periwayatan hadis di atas maka sanad hadis ini sudah menyanggupi standar kesahihan yang sudah ditetapkan oleh para ulama hadis, sekalipun dari sisi kualitas pribadi dan intelektualitas perawi yang bersangkutan tidak meraih derajat ta‘dîl tertinggi.
e.       Kritik matan hadis
Setelah observasi sanad, langkah selanjutnya yang hendak dijalankan yaitu kritik matan. Penelitian atau kritik matan hadis sangatlah penting untuk mempertahankan kepastian validitas dan mutu suatu hadis yang bersumber dari Rasulullah. Hanya saja, ulama dalam memutuskan patokan kesahihan suatu matan mempunyai persepsi yang bermacam-macam. Perbedaan tersebut mampu disebabkan oleh perbedaan latar belakang, keahlian alat bantu, dan persoalan serta penduduk yang mereka hadapi. Perbedaan patokan tersebut memungkinkan lahirnya perbedaan dalam memberikan vonis terhadap mutu suatu hadis. Hal ini menjadi bukti pendapatatau alasan mengapa penelitian ulang terhadap hadis Nabi perlu dilaksanakan.
Al-Khatib al-Baghdadi contohnya, sebagaimana dikutip oleh Salahuddin al-Adlabi, mensyaratkan kesahihan matan hadis dengan beberapa bagian, yakni :
  • Tidak berlawanan dengan hukum akal.
  • Tidak bertentangan dengan aturan al-Qur’an yang muhkam. Maksudnya tidak berlawanan dengan hukum yang diambil dari al-Qur’an yang telah bersifat kukuh dan terperinci. Adapun hadis yang menafikan ayat al-Qur’an yang zanni dalalah-nya, bukan qath’i, maka hadis tersebut tidak mesti ditolak.
  • Tidak berlawanan dengan sunnah yang telah maklum, yaitu sunnah yang sudah sampai pada tingkat yang yakin, bukan zanni.
  • Tidak berlawanan dengan praktik yang berstatus sunnah, tujuannya praktik kaum salaf yang telah disepakati dan shahih berdasarkan doktrin.
  • Tidak bertentangan dengan dalil apapun yang bersifat mutlak.
  • Tidak bertentangan dengan hadis minggu yang lain yang kualitas kesahihannya lebih besar lengan berkuasa.[23]
  RESEP MAKANAN

Adapun mengetahui matan hadis yang mengandung syadz dan illat membutuhkan kerja keras dan tolak ukur. Karena itulah, Syuhudi Ismail datang dengan membawa ungkapan yang baru, yakni kaidah mayor dan kaidah minor. Kaidah mayor dipahami selaku kaidah pokok kesahihan hadis dan itulah yang disebutkan dalam defenisi hadis. Dengan kata lain, kaidah mayor matan hadis yakni; a) tidak ada syadz di dalamnya, b) tidak ada illat di dalamnya. Sedangkan tolak ukur untuk mengetahui syadz dan illatnya matan hadis, itulah yang disebut sebagai kaidah minor. Khusus untuk syadz matan hadis, kaidah minornya yakni : a) sanad hadis bersangkutan tidak menyendiri, b) matan hadis bersangkutan tidak bertentangan dengan matan hadis yang sanadnya lebih besar lengan berkuasa, c) matan hadis bersangkutan tidak berlawanan dengan al-Qur’an, dan d) matan hadis bersangkutan tidak berlawanan dengan akal dan fakta sejarah.[24] Namun seorang peneliti, bila melihat matan hadis yang sepertinya ada pertentangan antara satu dengan yang lain atau dengan riwayat lebih berpengaruh, hendaknya mempertimbangkan metodologi pemahaman hadis Nabi biar tidak terjadi kecerobohan dalam menganggap suatu hadis.[25] Di sinilah, peranannya fiqh al-hadis atau pemahaman hadis yang baik. Karena bisa jadi pertentangan yang tampak itu hanya dalam batas lahiriyahnya namun bila didalami lebih jauh ternyata cuma berlainan latar belakang peristiwa dan konteksnya.
Sedangkan kaidah minor bagi matan hadis yang mengandung illat adalah: a) matan hadis tersebut tidak mengandung idraj (sisipan), b) matan hadis bersangkutan tidak mengandung ziyadah (tambahan), c) tidak terjadi maqlub (perubahan lafazh atau kalimat) bagi matan hadis tersebut, d) tidak terjadi idtirab (pertentangan yang tidak mampu dikompromikan) bagi matan hadis tersebut, e) tidak terjadi kerancuan lafazh dan penyimpangan makna yang jauh dari matan hadis tersebut.[26]
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat diklasifikasi langkah-langkah metodologis dalam kritik atau matan hadis sebagai berikut :
  • Meneliti matan dengan melihat mutu sanadnya.
  • Meneliti susunan lafazh berbagai matan yang semakna.
  • Meneliti kandungan matan.
  • Natijah atau menyimpulkan hasil observasi.[27]

Dengan menempuh ketiga langkah awal tersebut dibutuhkan, segi-segi penting yang mesti diteliti pada matan mampu membuahkan hasil observasi yang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara ilmiah maupun secara agama.
Kaitannya dengan matan hadis di atas, pertama, jikalau ditinjau dari mutu sanadnya maka penelitian tersebut bisa dilanjutkan ke tahap berikutnya sebab kualitasnya telah tidak disangsikan kesahihannya.
Kedua, Penelitian matan hadis dilakukan untuk melacak apakah terjadi riwayah bi al-ma’na sehingga lafal hadisnya berlawanan dengan cara membandingkan matan-matan hadis yang semakna.
Setelah melaksanakan perbandingan antara matan satu dengan matan lainnya, disimpulkan bahwa hadis tersebut diriwayatkan secara al-ma‘na sebab matan-matan tersebut berbeda satu sama lain walaupun kandungannya sama.
Ketiga, Kandungan hadis di atas yang menekankan agar bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab terhadap tugasnya tidak berlawanan dengan ayat-ayat al-Qur’an, sebab banyak ayat yang juga menjelaskan ihwal hal tersebut, di antaranya ialah QS al-Baqarah/2: 134 yang berbunyi:
تلك أمة قد خلت لها ما كسبت ولكم ما كسبتم ولا تسئلون عما كانوا يعملون
Terjemahnya:
Itu adalah umat yang kemudian; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kau usahakan, dan kau tidak akan diminta pertanggungan jawab wacana apa yang telah mereka kerjakan.[28]
Sedangkan hadis-hadis Nabi yang terkait dengan tanggung jawab kepemimpinan juga banyak, di antaranya Allah akan meminta pertanggungjawaban kepada pemimpin atas orang-orang yang dipimpinnya, mirip ungkapan Nabi:
فُوا بِبَيْعَةِ الأوَّلِ فَالأوَّلِ وَأَعْطوهُمْ حَقَّهُمُ الَّذِي جَعَلَ اللَّه لَهُمْ فَإِنَّ اللَّه سَائِلُهُمْ عَمّا اسْتَرْعَاهُمْ[29]
Artinya:
Penuhilah janji pertama lalu yang berikutnya, dan berikanlah hak-hak mereka yang sudah Allah berikan padanya alasannya bergotong-royong Allah akan meminta mereka (pemimpin) atas apa yang dipimpinnya.
Dengan demikian, baik al-Qur’an, hadis sahih lainnya maupun rasionalitas tidak berlawanan dan berseberangan dengan hadis yang menjadi objek kajian, bahkan keduanya mendukung kandungan hadis tersebut.
Berdasarkan argumen-argumen di atas, maka mampu disimpulkan bahwa hadis yang menjadi objek kajian telah menyanggupi syarat kesahihan hadis, baik dari sisi sanadnya sebab sudah terpenuhi tiga unsur, yakni sanad bersambung, perawi yang adil dan berpengaruh hafalannya, maupun dari segi matannya alasannya terbebas dari syadz dan ‘illat, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa hadisnya sahih li zatih.
4.      Pembahasan
a.      Pengertian kepemimpinan
Secara etimologi, kepemimpinan yakni perihal pemimpin atau cara memimpin. Dari kata tersebut, kemudian para ahli memberikan defenisi wacana kepemimpinan. Ordway Tead sebagaimana yang dikutip Kartono menyampaikan kepemimpinan ialah aktivitas mempengaruhi orang lain agar mereka mau melakukan pekerjaan untuk meraih tujuan yang diinginkan. Senada dengan Ordway, George R, Terry juga mengatakan bahwa kepemimpinan yaitu kegiatan mensugesti orang semoga mereka suka bekerja mecapai tujuan- tujuan kelompok.[30]
Kepemimpinan ialah pemberian dari seseorang di dalam situasisituasi kerjasama. Kepemimpinan dan kalangan ialah ialah dua hal yang tidak mampu dipisahkan antara yang satu dengan yang lain. Tak ada kelompok tanpa adanya kepemimpinan dan sebaliknya kepemimpinan cuma ada dalam situasi interaksi golongan. Seseorang tidak mampu dikatakan pemimpin jikalau dia berada di luar kelompok, ia harus berada di dalam sebuah golongan dimana ia memainkan peranan-peranan dan kegiatan-kegiatan kepemimpinan.[31]
Secara biasa defenisi kepemimpinan dapat dirumuskan selaku suatu kesanggupan dan kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk mampu menghipnotis, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan, mengarahkan dan jikalau perlu memaksa orang atau kalangan biar mendapatkan pengaruh tersebut dan berikutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya sebuah tujuan tertentu yang sudah ditetapkan.
Di samping mengerti makna kepemimpinan, penting juga mengerti makna pemimpin. Persepsi selama ini tentang pemimpin memang terbatas cuma pada orang-orang yang memiliki jabatan dalam organisasi/instansi atau  forum tertentu. Padahal yang disebut pemimpin bukan hanya mereka.
Sesungguhnya siapa pun adalah pemimpin, sebagaimana ditegaskan dalam hadis perihal kepemimpinan. Mulai dari tingkatan pemimpin rakyat (pemerintah) hingga pada tingkatan kepemimpinan di rumah tangga. Bahkan dalam klausa hadis kullukum rā’in tersirat bahwa kepemimpinan itu berlaku pula dalam setiap individu untuk memimpin, mengarahkan dan menuntun dirinya pada jalan kebaikan dan kebenaran. Setidaknya setiap individu harus mengatur hawa nafsu dan mengendalikan perilaku atau anggota badannya yang kesemuanya itu kelak mesti dipertanggungjawabkan kepada Allah swt.[32]
b.      Kriteria Kepemimpinan
Dalam sebuah kehidupan bermasyarakat yang mengenal peradaban, membentuk suatu komunitas yang di dalamnya terdapat pemimpin dan yang dipimpin merupakah keharusan. Namun kepemimpinan sering menyebabkan urusan tersendiri terutama pada standar kepemimpinan. Permasalahan dalam kepemimpinan antara lain bagaimana mendapatkan seorang calon pemimpin yang sadar akan posisinya sebagai pemimpin yang mempunyai makna bahwa pemimpin itu yaitu pramusaji .
Hadis-hadis Nabi yang menjelaskan ihwal seorang pemimpin yang betul-betul bermutu harus memenuhi syarat-syarat yang mutlak dimilikinya. Gambaran hadis Nabi tentang tolok ukur kepemimpinan antara lain selaku berikut:
      Memiliki Jiwa Kepemimpinan
Sebuah hadis dengan tegas menerangkan tentang jiwa kepemimpinan yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin, ialah:
الأئمةُ من قريشٍ ، ولهم عليكم حقٌّ ، ولكم مثلُ ذلك ، ما إذا استُرحِموا رحِموا ، وإذا حكِموا عدَلوا ، وإذا عاهدوا وفُوا, فمن لم يفعلْ ذلك منهم فعليه لعنةُ اللهِ  والملائكةِ  والناسِ  أجمعِينَ[33]
Artinya:
“Para pemimpin itu yakni dari suku Quraisy. Sesungguhnya mereka memiliki hak atas kau dan kamu juga memiliki hak yang sama atas mereka, selagi mereka diminta menyayangi, maka mereka akan menyayangi, bila berjanji mereka akan menepati (janji itu) dan jika menghukum mereka berlaku adil. Maka barang siapa di antara mereka yang tidak berbuat hal yang demikian, maka laknat Allah, malaikat dan insan seluruh atas mereka”.
Hadis di atas tentang kepemimpinan mesti dari suku Quraysh terkesan nepotisme dan rasialis kalau dipandang secara sekilas tanpa menimbang-nimbang pada hal-hal lainnya.[34] Secara lahiriah, kepemimpinan Islam mesti dipegang orang-orang Quraisy, bahkan kalau ada orang yang meyakini kebolehan kepemimpinan di luar suku Quraisy, dia tergolong orang yang sesat dan keluar dari kelompok yang selamat.[35] Konsepsi ini didasarkan pada beberapa ayat yang memuji orang-orang Muhajirin, hadis kepemimpinan Quraisy dan akad sobat pada era itu terhadap versi kepemimpinan Quraisy. Konsepsi kepemimpinan ini pada akhirnya dikritik habis oleh Ibn Khaldun. Menurutnya, kepemimpinan Quraisy tidak bermakna harus dari suku Quraisy namun pada karakteristik kepemimpinan Quraisy yang kharismatik, tegas, kuat dan tangguh. Pokok masalah kepemimpinan bukan pada orang-orang Quraisy, namun pada sifat dan karakter yang memungkinkan seseorang patut untuk menjadi pemimpin sama seperti aksara yang dimiliki suku Quraisy pada saat itu.[36]
Suku Quraysh telah dikenal semenjak dahulu selaku orang yang paling maju dan sangat gemar memberi pada zamannya di dunia Arab. Hal itu disebabkan alasannya adalah mereka mempunyai koneksi sudah melaksanakan perjalanan yang jauh untuk berdagang[37] sehingga mereka mempunyai koneksi yang kuat, begitu pula dengan wawasan tentang tempat-kawasan sekitarnya, serta penguasaan terhadap manajemen berokrasi pada ketika itu karena pasti mereka akan berintraksi pula dengan raja atau pemuka kerajaan.
Selain aksara yang disebutkan dalam hadis di atas, sifat dasar seorang Quraisy kalau memerintah, mereka juga unggul dari suku-suku yang ada saat itu mirip kecakapan berapiliasi, mobilisasi massa yang bagus, ekonom tangguh, suku dominan, birokrat serta santun.[38]
      Profesional
Kepemimpinan dan jabatan pemimpin bukanlah keistimewaan, terlebih anugerah, melainkan sebuah tanggung jawab. Ia bukan fasilitas, tetapi perjuangan, bukan kesewenang-wenangan bertindak melainkan kewenangan melayani. Kepemimpinan ialah keteladan berbuat dan kepeloporan bertindak.
Mengingat berbagai masalah bangsa yang semakin rumit, bahkan kecenderungan kehidupan sekarang ini seperti-seperti zaman jahiliyyah yang penuh prahara, pertikaian, perbudakan, kehancuran tata nilai dan keteladanan, maka kepemimpinan profetik menjadi sebuah keinginan.
Kepemimpinan yakni amanah sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat. Sehingga sepantasnya yang mengembannya yakni orang yang piawai dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah saw. melarang orang yang tidak cakap untuk memangku jabatan alasannya dia tidak akan bisa mengemban peran tersebut dengan sebaiknya. Sebagaimana sabda beliau:
عَنْ أَبِي هُرَيْرةَ قَالَ: بَيْنَمَا النَّبِي صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فى جَلِس يُحَدِثُ الْقَوْمَ حَدِيثًا ، جَاءَهُ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ: مَتَى السَّاعَةُ؟ فَمَضَى رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يُحَدثُ، فَقَالَ بَعْضُ القَوْمِ سَمِعَ مَا قَالَ فَكَرِهَ مَا قَالَ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ لَمْ يَسْمَعْ حَتَّى إِذَا قَضَى حَدِيثَهُ، قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ عَنِ السَّاعَةِ؟ قَالَ: هَا أَنَا ذَا يَا رَسُولَ اللهِ ، قَالَ: فَإِذَا ضُيعَتِ الأمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ، قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا؟ قَالَ: إِذَا وُسدَ الأمَرَ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ[39]
Artinya:
“Dari Abu Hurairah berkata, dikala Rasulullah sedang menunjukkan pengajian dalam sebuah majlis, datanglah seorang pedalaman seraya bertanya “Kapan hari kiamat?” akan tetapi Rasulullah tetap melanjutkan pengajiannya, sebagian hadirin berkata bahwa Rasulullah mendengar pertanyaannya akan tetapi membenci. Sebagian yang lain berkata bahwa Rasulullah tidak mendengarnya. Setelah Rasulullah simpulan pengajian, dia mengajukan pertanyaan “Mana orang yang bertanya perihal hari kiamat?” Saya wahai Rasulullah, lalu beliau menjawab “Jika amanah sudah disia-siakan, maka tunggulah hari akhir zaman”, orang tersebut mengajukan pertanyaan lagi “Bagaimana menyia-nyiakan amanah” Rasulullah menjawab “Apabila suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah Kiamat.”
Untuk mengungkap kandungan hadis tersebut, maka perlu mengkaji apa yang dimaksud dengan الأمر , غير أهله dan الساعة . Abd Rauf dalam kitab syarhnya menjelaslan bahwa yang dimaksud dengan الأمر adalah segala sesuatu yang terkait dengan agama mirip pemerintahan, kehakiman, aliran dan pengajaran serta lainnya-lain.[40] Sementara yang dimaksud dengan غير أهله yaitu orang-orang yang fasik, penyeleweng dan bukan keturunan baik-baik (tidak mempunyai efek dalam masyarakat).[41] Sedangkan الساعة bukannya diartikan selaku hari akhir zaman, akan namun itu bisa jadi ialah perumpamaan perihal sebuah kehancuran, kecarut-marutan, kebodohan yang merajalela, kekurangan Islam, ketidakmampuan orang-orang yang professional dan kompoten untuk menegakkan kebenaran dan merealisasikannnya dalam kehidupan dunia, laksana hari akhir zaman yang dahsyat.[42] Sedangkan menurut Mushthafa al-Gulayaini bahwa hadis di atas mengisyaratkan bahwa kalau urusan diserahkan pada bukan ahlinya, maka tunggulah ketika kegagalan dan kerusakannya.[43]
Berangkat dari penjelasan teks tersebut dapat ditarik sebuah pemahaman dalam hadis ini bahwa kehancuran, kekacauan dan ketikadilan akan terjadi jikalau suatu pekerjaan atau jabatan apapun, terlebih lagi persoalan agama bila diberikan terhadap orang yang tidak amanah dan tidak bertanggung jawab.
Oleh alasannya adalah itu, bukan hanya pemimpin atau pejabat yang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya berupa kekacauan alasannya adalah tidak menunaikan amanah akan namun umat atau masyarakat juga dianggap menyia-nyiakan amanah karena memilih dan mengangkat orang-orang yang tidak amanah pada sebuah jabatan,[44]Dengan demikian, hadis di atas menekankan profesionalisme yang ditunjukkan oleh kata غير أهله (tidak kompoten).
      Mampu Melaksanakan Tugas
Seorang pemimpin mesti bersedia melaksanakan aturan yang ditetapkan oleh undang-undang. Ia juga berani berperang, memahami cara berperang, mampu memobilisasi rakyat untuk berperang. Ia mampu menggalang solidaritas sosial dan bisa berdiplomasi dan lain sebagainya. Kesanggupan itu diperlukan biar fungsinya untuk melindungi agama, berjihad melawan musuh, menegakkan aturan dan mengendalikan kepentingan biasa tercapai dengan baikPemimpin juga dituntut bisa melaksanakan peran-tugasnya dengan baik saat terpilih sehingga diharuskan sehat secara jasmani dan rohani, sebagaimana dalam kasus hadis berikut:
عَنْ أَبِي ذَر قَالَ قُلْتُ يَا رَسُوْلَ الله أَلاَ تسْتَعْمِلْنِي قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِي ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَر إِنّك ضَعِيْفُ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْيٌ وَنَدَامَةٌ إِلَّا مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِهَا وَأَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ فِيْهَا[45]
Artinya:
Dari Abu Zar, “Saya berkata terhadap Rasulullah, wahai Rasulullah tidakkah engkau mengangkatku menjadi pejabat, kemudian Rasulullah menepuk pundaknya seraya berkata “wahai Abu Zarr, sebetulnya engkau lemah, sedangkan jabatan itu yakni amanah dan merupakan kehinaan serta penyelasan pada hari kiamat nanti kecuali bagi orang yang mendapatkannya dengan hak serta melaksanakannya dengan baik dan benar”.
Untuk mendapatkan makna yang baik penulis menilai perlu menjebarkan kosa kata ضعيف dalam hadis ini, kata tersebut yang dalam kamus bahasa Indonesia yang memiliki arti lemah, sedangkan dalam bahasa Arab menawarkan arti kata ini ialah musuh dari kuat, sedangkan menurut ulama Bashra bahwa arti dari lafazd tersebut mampu digunakan dalam arti lemah secara fisik maupun lemah secara mental/kecerdasan.[46]
Al-Nawawi berkata ketika mengomentari hadis Abu Zarr: “Hadis ini merupakan pokok yang agung untuk menjauhi kepemimpinan terlebih lagi bagi seseorang yang lemah untuk menunaikan tugas-tugas kepemimpinan tersebut. Adapun kehinaan dan penyesalan akan diperoleh bagi orang yang menjadi pemimpin sementara dia tidak pantas dengan kedudukan tersebut atau beliau mungkin pantas namun tidak berlaku adil dalam menjalankan tugasnya. Maka Allah menghinakannya pada hari akhir zaman, membuka kejelekannya dan dia akan menyesal atas kesia-siaan yang dilakukannya.
Sedangkan orang yang patut menjadi pemimpin dan mampu berlaku adil, maka akan mendapatkan keutamaan yang besar sebagaimana ditunjukkan oleh hadis-hadis yang asli, seperti hadis: “Ada tujuh golongan yang Allah lindungi mereka pada hari akhir zaman, di antaranya imam (pemimpin) yang adil”. Dan juga hadits yang disebutkan sehabis ini ihwal orang-orang yang berbuat adil nanti di sisi Allah (pada hari kiamat) berada di atas mimbar-mimbar dari cahaya. Demikian pula hadits-hadist yang lain. Kaum muslimin sepakat akan keistimewaan hal ini. Namun bersamaan dengan itu alasannya adalah banyaknya ancaman dalam kepemimpinan tersebut. Rasulullah memperingatkan darinya, demikian pula ulama. Beberapa orang yang shalih dari kalangan pendahulu kita mereka menolak proposal sebagai pemimpin dan mereka bersabar atas gangguan yang diterima akibat penolakan tersebut.”
Dari informasi-informasi hadis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mengajukan diri untuk diangkat menjadi pemimpin ialah sesuatu yang tercela jikalau tidak dibarengi dengan kelayakan diri menjadi pemimpin. Namun sebaliknya, kalau seseorang diangkat menjadi pemimpin sebab bantuan atau ajakan umat, memenuhi syarat dan bisa mengerjakan tugas dengan amanah maka yang seperti ini tidaklah tercela.
Jika Islam menatap bahwa berharap atau meminta diangkat menjadi pemimpin atau pejabat itu tercela, lalu bagaimana dengan apa yang pernah dijalankan oleh Nabi Yusuf as yang meminta jabatan dan menonjolkan dirinya biar diberikan jabatan itu? Sebagaimana dikisahkan dalam al-Alquran: Jadikanlah aku bendaharawan Negara (Mesir). Sesungguhnya aku pandai mempertahankan lagi berpengetahuan. (QS. Yusuf: 55). Nabi Yusuf as meminta dan menonjolkan dirinya untuk diangkat menjadi pemimpin (sebagaimana disebutkan dalam QS Yusuf: 55) alasannya ia menyaksikan tidak ada orang yang teguh memperjuangkan kebenaran dan mengajak umat terhadap kebenaran. Dan ia merasa mampu untuk itu, tetapi beliau belum diketahui . Oleh karena itu, dia perlu meminta dan menonjolkan dirinya.
Apalagi dalam ayat tersebut Nabi Yusuf menawarkan dirinya selaku bendaharawan Negara dengan menyebutkan visi dan misinya terlebih dulu dan mengakui bahwa dia punya ilmunya dan mampu menjalankannya.[47] 
      Sesuai dengan Aspirasi Rakyat
Kepemimpinan negara dalam metode Islam dengan sebutan apapun terlaksana dengan adanya ikatan antara umat dan penguasa, dan yang mewakili umat yaitu majlis Syura atau majlis umat, ikatan ini mampu disebut baiat.[48] Aspirasi dari rakyat sangat dibutuhakan sebab dengan mempermudah rakyat dilibatkan dalam setiap keputusan yang ada, sehingga terjalin relasi yang saling memahami kewajiban dan hak masing masing, mirip yang tergambar dalam hadis Nabi selaku berikut:
عَنْ عَوف بْنِ مَالِك : عَنْ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم قَالَخِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تحِبوْنَهُمْ وَيُحِبوْنَكُمْ وَيُصَلوْنَ عَلَيْكُمْ وَتصَلوْنَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِيْنَ تبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَ تلْعنُوْنَهُمْ وَيُلْعِنُوْنَكُمْ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَلَا مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتكُمْ شَيْئًا تكْرِهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلاَتَنْزعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَة[49]
Artinya:
“Dari ‘Auf ibn Malik, dari Rasul saw. Bersabda “sebaik-baik pemimpin kalian ialah orang yang mencintai kalian begitu pula sebaliknya dan mereka selalu mendoakan kalian dan kalian juga selalu mendoakan mereka, dan sejela-jeleknya pemimpin kalian yakni yang kalian benci dan mereka juga membernci kalian dan kalian melaknat mereka begitu pula sebaliknya, Rasul ditanya: apakah mereka boleh diperengi? Rasul menjawab tidak selama masih melaksanakan shalat dan jikalau kalian menyaksikan pada diri mereka sesuatu yang tidak digemari maka bencilah pekerjaannya dan membangkang/tidak patuh”.
Hadis di atas menuntut adanya keharmonisan atau kerjasama yang bagus antara pemimpin dan yang dipimpin, semua itu mampu terwujud dengan diangkatnya pemimpin yang dapat diterima oleh masyarakat karena pemimpin ialah representase dari bunyi rakyat sehingga tidak berlebihan kalau suatu kalimat yang sering dipakai dalam menggambarkan keagungan aspirasi rakyat tersebut dengan istilah “suara rakyat yaitu bunyi Tuhan” meskipun ungkapan ini masih perlu direnungkan ulang
Dalam hadis ini pula terlihat Nabi memposisikan pemimpin sebagai orang yang mulia sehingga tidak boleh untuk dicaci, laknat dan membunuhnya, akan namun Rasul tidak melarang ummatnya agar tetap kritis.
      Musyawarah
Prinsip musyawarah dalam pengangkatan pemimpin ialah akad lebih banyak didominasi penduduk , akan namun versi musyawarah itu sendiri yang berlainan dalam penyebutannya, apakah itu musyawarah disebut demokrasi yaitu melibatkan seluruh penduduk supaya dapat berpertisipasi dalam mengangkat pemimpinnya. ataupun dengan metode perwakilan dan lain sebagainya, semua itu terlaksanan atas nama musyawarah. Rasul tidak pernah memilih bentuk prosedur pengangkatan pemimpin secara eksplisit, akan namun menawarkan gambaran atau rumusannya sudah ada dalam al-Qur’andan hadis Nabi yaitu berbentukmusyawarah, sebagaiman klarifikasi dalam hadis berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: حَضَرْتُ أَبِي حِيْنَ أُصِيْبَ فَأثَنَوْا عَلَيْهِ وَقَالُوْا جَزَاكَ اللهُ خَيْرًا فَقَالَ رَاغِبٌ وَرَاهِبٌ قَالُوْا إسْتَخْلِفْ فَقَالَ أَتحَمَّلُ أَمْرَكُمْ حَيًّا وَمَيتًا؟ لَوَدَدْتُ أَنْ حَظَّي مِنْهَا الْكَفَافُ لَا عَلَيَّ وَلَا لِي فَإِنْ أَسْتَخْلِفُ فَقَدْ اسْتَخْلَفَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِني يَعْنِي أَبَا بَكْر وَإِنْ أترُكُكُمْ فَقَدْ ترَكَكُمْ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِني (رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم) قَالَ عَبْدُ الله: فَعَرَفْتُ أَنَّهُ حِيْنَ ذكَرَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ مُسْتَخْلِف.[50]
Artinya:
“Dari Ibn ‘Umar berkata: saya berada bareng ayahku ketika ia terluka, kemudian orang berdatangan seraya berkata agar Allah membalas kebaikanmu, ‘Umar berkata sama-sama, kemudian orang yang datang berkata angkatlah calon penggantimu maka dia berkata apakah saya mesti menanggung urusanmu dunia darul baka? Saya tak mau keputusanku merugikan bagiku dan tidak pula menguntungkanku, maka jikalau saya mengangkat pengganti maka orang yang lebih mulia dari saya sudah melakukannya (Abu Bakar) dan jika aku tidak melakukannya atau mendiamkannya maka sungguh itu sudah dilakukan oleh orang yang lebih mulia dariku yakni Rasulullah, Ibn ‘Umar berkata: maka semenjak ketika itu saya mengenali bahwa Rasulullah tidak akan memilih penggantinya”.
Cerita dalam hadis ini pada prinsipnya menggambarkan suasana pasca ditikamnya khalifah ‘Umar ibn al-Khattab, pada ketika itu orang yang datang menjenguk meminta ‘Umar berwasiat untuk menunjuk penggantinya pasca kepergiannya nanti, akan namun ‘Umar menolak alasannya menurutnya Rasululllah tidak melaksanakan penunjukan secara eksklusif akan tetapi membiarkan penduduk yang menentukannya. Dengan demikian, mampu diketahui bahwa ‘Umar menginginkan khalifah dengan cara musyawarah dengan prosedur yang bervariasi.
Musyawarah terkadang tidak dijalankan disebabkan adanya suatu kemaslahat yang ingin dicapai atau adanya starategi yang ingin ditunjukkan oleh pemimpin tersebut yang dianggap tidak perlu dimusyawarakan. Hal inilah dijalankan dalam hadis berikut:
عَنِ عَبْدِ اللهِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: بَعَثَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم بَعْثًا وَ أَمَّرَ عَلَيْهِمْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْد فَطعَنَ بَعْضُ النَّاسِ فِي إِمَارَتهِ ، فَقَالَ النَّبِي صلى الله عليه وسلم: إِنْ تَطعَنُوا فِي إِمَارَتِهِ فَقَدْ تطعَنُونَ فِي إِمَارَةِ أَبِيهِ مِنْ قَبْلُ وَايْمُ اللهِ إِنْ كَانَ لَخَلِيقًا لِلإِمِارَةِ وَإِنْ كَانَ لَمِنْ أَحَبِ النَّاسِ إِلَيَّ وَإِنَّ هَذَا لَمِنْ أَحَبِ النَّاسِ إِلَيَّ بَعْدَهُ[51]
Artinya:
“Dari ‘Abdullah ibn ‘Umar berkata: Nabi saw. mengutus utusan dan Nabi mengangkat Usamah ibn Zaid selaku panglimanya, sebagian teman mencaci kepemimpinan atau tidak senang dengan kepemimpinannya, kemudian Nabi bersabda: jika kalian mencaci dari sisi kepemimpinannya maka sungguh kalian mencaci kepemimpinan ayahnya dulu. Demi Allah Sungguh beliau tercipta selaku pemimpin dan sangat ayahnya tergolong orang yang paling aku cintai dan sangat anak ini yaitu orang yang paling saya cintai setelahnya”.
Hadis di atas berbicara ihwal pengangkatan Usamah ibn Zaid yang pada ketika itu ditolak oleh sebagian sahabat, akan namun Nabi saw. menawarkan tanggapan yang sangat memuaskan terhadap mereka, bahwa tujuan mulia Nabi yakni menghendaki terjadinya regenerasi ditubuh kepemimpinan saat itu. Selain itu dalam hadis di atas pula dapat ditarik kesimpulan bahwa pemimpin mampu saja dikritik sebab ada keinginan mengetahui alasan pengambilan keputusannya.
Pengangkatan Usamah ibn Zaid menjadi panglima perang yang pada ketika itu masih sangat muda, konon gres berumur 18 tahun. dianggap belum patut oleh sebahagian besar teman Nabi, terlebih masih banyak sahabat-sobat senior yang masuk di bawah kendali Usamah termasuk Umar ibn Khattab, akan tetapi Rasulullah mengangkatnya karena pertimbangan ayahnya (Zaid ibn Harisah) di mana Zaid wafat dalam perang Tabuk sehingga dibutuhkan Usamah memiliki motivasi ganda dalam memimpin perang sebagaimana yang sudah dilakukan oleh ayahnya.
c.       Tanggung Jawab Pemimpin
Pemimpin dalam segala faktor, mulai dari yang paling bawah hingga yang paling tinggi, di dalam hadis di atas diketahui dengan ungkapan الراعى atau penggembala. Karena memang tugas dasar atau tanggung jawab seorang pemimpin tidak jauh berbeda dengan tugas penggembala, yaitu memelihara, memantau, dan melindungi gembalaannya.
Oleh alasannya itu, seorang pemimpin mesti betul-betul mengamati dan berbuat sesuatu sesuai dengan aspirasi rakyatnya. Sebagaimana ditugaskan oleh Allah swt dalam QS al-Nahl/16 : 90.
إن الله يأمر بالعدل والإحسن وايتائ ذى القربى وينهى عن الفحشاء والمنكر والبغى يعظكم لعلكم تذكرون
Terjemahnya:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari tindakan keji, kemungkaran dan permusuhan. ia memberi pengajaran kepadamu biar kau dapat mengambil pelajaran.”[52]
Ulama tafsir memiliki keanekaragaman pendapat dalam memaknai kata al-‘adl dan al-ihsan di dalam ayat tersebut. Di antara pertimbangan tersebut adalah :
  • Al-‘adl bermakna tauhid (la ilah illallah), sementara al-ihsan yaitu melakukan keharusan (al-faraid).
  •  Al-‘adl mempunyai arti keharusan, sementara al-ihsan adalah ibadah sunnah.
  • Al-‘adl mempunyai arti keseimbangan antara yang tersembunyi dan yang terlihat , sementara al-ihsan adalah yang tersembunyi jauh lebih baik ketimbang yang tampak.[53]
  Unsur-Komponen Fungsi Administrasi

Hanya saja, pemaknaan yang paling sempurna untuk kedua kata tersebut, hendaknya kembali ke makna bahasanya. Di mana kata al-‘adl mempunyai arti “kasus yang di tengah-tengah”[54] sehingga ia lebih dikonotasikan pada makna keseimbangan di antara dua sisi. Sedangkan al-ihsan yakni memperlihatkan kebaikan.
Dari pengertian bahasa tersebut, terlihat jelas bahwa ayat di atas memerintahkan untuk berbuat adil kepada setiap pemimpin apa saja dan dimana saja. Seorang raja contohnya, harus berusaha untuk berbuat seadil-adilnya dan sebijaksana mungkin sesuai dengan perintah Allah swt. Dalam memimpin rakyatnya sehingga rakyatnya hidup sejahtera. Sebaliknya, bila raja berlaku semena-mena, selalu bertindak sesuai kemauannya, bukan didasarkan peraturan yang ada, pastinya rakyat akan sengsara. Dengan kata lain, pemimpin harus membuat keserasian antara dirinya dengan rakyatnya sehingga ada timbal balik diantara keduanya.[55]
Begitu pula para suami, isteri, penggembala dan siapa pun yang mempunyai tanggung jawab dalam memimpin harus berupaya untuk berlaku adil dalam kepemimpinannya sehingga dia mendapat kemuliaan sebagaimana kesepakatan Allah swt yang diriwayatkan oleh al-Turmuzi dari Abu Sa’id ra.
عَنْ أَبِيْ سَعِيْد قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللهِ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللهِ وَأَبْعَدُهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ
Artinya:
“Dari Abu Sa’id, ia berkata; Rasululullah saw bersabda; bergotong-royong orang yang paling dicintai oleh Allah di hari lalu dan paling bersahabat tempatnya dengan-Nya adalah pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh tempatnya yaitu pemimpin yang aniaya.”
Hadis di atas menjelaskan bahwa orang yang paling dicintai oleh Allah dan paling bersahabat kedudukannya dengan-Nya yaitu pemimpin yang adil. Akan tetapi orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh tempatnya dari-Nya yakni pemimpin yang berlaku aniaya.
Dengan demikian, tugas dan fungsi pemimpin tidaklah gampang bahkan hal tersebut yaitu sesuatu yang sungguh berat. Seorang pemimpin tidak cuma duduk di bangku empuk sambil memerintah pada bawahannya, tanpa terlibat langsung dalam pekerjaan tersebut secara baik dan efektif.
Di samping berlaku adil, pemimpin juga mesti menyadari amanah yang sudah diberikan Allah kepadanya sehingga dengan kesadaran tersebut, dia akan berupaya menunjukkan pelayanan yang baik dan menaburkan kerahmatan.
Rasulullah saw bersabda:
عَنْ أَبِى ذَر قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّه أَلاَ تسْتَعْمِلُنِى قَالَ فَضَرَبَ بِيَدِهِ عَلَى مَنْكِبِى ثُمَّ قَالَ يَا أَبَا ذَر إِنَّك ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا
Artinya:
“Dari Abu Zar, dia berkata; saya pernah bertanya terhadap nabi; ya… Rasulallah, tidakkah engkau mempekerjakanku? Lalu nabi meletakkan tangannya di bahuku kemudia dia menyampaikan, wahai Abu Zar… bantu-membantu kepemimpinan itu adalah amanah, dan sesungguhnya pada hari kiamat akan mendapatkan aib dan penyesalan, kecuali orang yang mengambilnya dengan hak dan melaksanakan peran kewajibannya dengan baik”.
Karena itu, pemimpin mesti selalu menyadari dan bersikap mawas diri dalam menanggung beban amanah. Tidaklah wajar bila ada pemimpin yang dipilih dan diangkat oleh rakyat untuk menerima beban amanah, tetapi dia tidak mengucapkan tasbih “subhanallah” atau kalimat “la haula wala quwwata illa billah”. Namun, dia justru bersujud syukur dan menyelenggarakan “tasyakkuran” pengangkatannya. Padahal, kepemimpinan bukanlah sesuatu yang layak disyukuri, namun beliau yakni hal yang wajib dikerjakan sebaik mungkin dengan panduan Allah swt dan Rasul-Nya.
Dalam melaksanakan peran dan tanggung jawab kepemimpinannya, seorang pemimpin mesti mampu mengerti, menghayati, dan menyelami keadaan jiwa “gembalaannya” yang berbeda-beda. Rakyat/gembalaan memiliki kapasitas dan kapabilitas tersendiri, sehingga pemimpin mesti terus menggali dan membuatkan kualitas pemahaman terhadap rakyatnya yang bermacam-macam tersebut dengan perspektif psikologi Islam atau psikologi kenabian.
Suatu pelajaran yang berharga dari Rasulullah saw. Agar pemimpin memperhatikan orang-orang yang dipimpinnya yang memiliki keadaan berlainan-beda diisyaratkan pada sabda beliau:
أَخْبَرَنِى أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِفْ فَإِنَّ فِى النَّاسِ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَذَا الْحَاجَةِ[56]
Artinya:
“Abu salamah ibn ‘Abd al-Rahman memberikan kepadaku bahwa beliau pernah mendengar Abu Hurairah mengatakan; Rasulullah saw. bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian menjadi imam, hendaklah ia merenggangkan shalatnya. Karena di antara insan itu ada yang lemah, ada yang sakit, dan adapula orang yang punya hajat”.
Seorang pemimpin hendaknya mempelajari banyak ilmu, selain ilmu psikologi, pemimpin juga hendaknya melengkapi diri dengan wawasan sosiologi selaku ilmu pelengkap untuk mampu menguasai tehnik dan seni memimpin.
Pemimpin yang tidak paham dengan keadaan dan eksistensi jiwa rakyatnya, kemungkinan mampu berbuat di luar batas-batas kemanusiaan dengan bertindak absolut di luar batas kemampuan manusia yang dipimpin itu.
Oleh alasannya itu, seorang pemimpin hendaknya jangan menganggap dirinya selaku manusia super yang bebas berbuat dan memerintah apa saja terhadap rakyatnya. Akan tetapi sebaliknya, dia harus berusaha memposisikan dirinya selaku pramusaji dan pengayom penduduk .
Bahkan pemimpin yang tidak bisa memelihara, melindungi, dan mampu menunjukkan rasa kondusif kepada rakyatnya, bukanlah pemimpin sejati yang sejati menurut Islam. Pemimpin yang membuat sukar dan sengsara rakyatnya sebab tindakan-tindakannya yang otoriter akan dipersulit dan disengsarakan pula oleh Allah swt. ‘Aisyah ra. menyiarkan bahwa Rasulullah saw pernah berdoa:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِىَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِى شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ[57]
Artinya:
“Ya Allah, siapa yang menguasai sesuatu dari masalah umatku kemudian mempersulit mereka, maka persulitlah baginya. Dan siapa yang mengurusi umatku dan berlemah lembut kepada mereka, maka permudahlah baginya”.
Begitu berat dan besar tanggung jawab seorang pemimpin, sehingga Rasulullah dalam sabdanya di atas yang menjadi kajian utama makalah ini, kembali mengulangi kalimat kullukum ra’in yang diawali dengan abjad peringatan (tanbih) yaitu ألا selaku bentuk isyarat yang mengingatkan setiap manusia untuk lebih berhati-hati dalam mengerjakan kepemimpinannya sebab semua itu akan dipertanggungjawabkan dihadapan Allah swt.[58]
C.    Penutup
1.      Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan sebelumnya mampu dibentuk beberapa poin sebagai kesimpulan selaku berikut:
  • Pemimpin dalam perspektif hadis Nabi secara khusus, bukan semata-mata orang yang memiliki jabatan atau kedudukan pada suatu forum, instansi, dan atau organisasi tertentu. Akan namun pemimpin yakni setiap individu yang semenjak lahirnya mempunyai wilayah kepemimpinan sekalipun cuma dalam skala yang kecil.
  • Kriteria kepemimpinan yang ideal menurut hadis-hadis Nabi saw. paling tidak menyanggupi 5 komponen, ialah seorang pemimpin memiliki jiwa kepemimpinan yang seperti jiwa suku Quraisy, professional dalam artian menempatkan pemimpin pada posisi yang dikuasainya. mampu melaksanakan tugas di mana Nabi saw. tidak memperlihatkan posisi terhadap Abu Zarr yang populer keadilan, namun dikhawatirkan tidak mampu mengimplementasikan peran-tugasnya di lapangan, kepemimpinan sesuai dengan aspirasi rakyat dan ialah hasil musyawarah, cuma saja acap kali musyawarah tidak dilaksanakan karena ada sesuatu kemaslahatan besar yang ingin diraih.
  • Kepemimpinan merupakan salah satu hal yang mau dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, sehingga seorang pemimpin harus menyadari amanah yang telah dibebankan kepadanya. Dengan kesadaran tersebut, ia akan bersikap adil dan senantiasa berupaya memelihara, memantau, dan melindungi “gembalaannya” sebagaimana kandungan hadis Nabi kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatihi.
Daftar Pustaka
Abādī, Abū at-Tayyīb Muhammad Syams al-Haq al-‘Aẓīm. ‘Aun al-Ma’būd Syarh Sunan Abī Dāud, Juz. 8 , Cet. 2; Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995.
Abu Abdurrahman, Ahmad bin Syua’ib bi Ali al-Nasai. Sunan al-Nasai, Juz 7. t.tp: Maktabah al-Mathbu’ah al-Islamiyyah, t.th.
Ahmad, Arifuddin. Metodologi Pemahaman Hadis, Cet. 11. Makassar: Alauddin University Press, 2013.
al-Adlabi, Salah al-Din ibn Ahmad. Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda Ulama’ al-Hadis al-Nabawi, terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadis. Ciputat; Gaya Media Pratama, 2004.
al-‘Asqalani, Ibn Hajar. Nuzhat al-Nazr Syarh Nukhbah. Mesir:  al-Munawwarah, t.th.
al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il. Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar Ibn Katsir, 2002.
al-Galayaini, Mustafa. ‘Izah al-Nasyiin: Kitab Akhlak, wa Adab wa ‘Ijtima’i. Beirut: Salim ibn Saud Nabhan, t.th.
al-Hajjaj, Muslim. Shahih Muslim, t.tp: Dar Thayyibah, 2006.
al-Hanafi, Abu Muhammad Badr al-Din. ‘Umdah al-Qari’ Syarh Sahih al-Bukhari, Juz. 2. t.tp: al-Maktabah al-Syamilah, t.th.
al-Jarud, Sulaiman bin Daud. Musnad Abi Daud al-Thiyalisi, juz 1. t.tp: Dar Hajar, 1999.
al-Manawi, Muhammad ‘Abd Rauf. al-Taisir bi Syarh al-Jami‘ al-Sagir, Juz. I. Cet. III; Riyad: Dar al-Nasyr, 1988.
al-Manawi, Muhammad ‘Abd Rauf. Faid al-Qadir, Juz. I. Cet. I; Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994.
al-Mazzi, Yusuf. Tahdzîb al-Kamâl fî Asma’ al-Rijâl, juz 15. Libanon: Muassasah ar-Risalah, 2002.
al-Mubarakfuri, Safiy al-Rahman. al-Rahiq al-Makhtum. Riyad: Makhtabah Dar al-Salam, 1994.
al-Qardawi, Yusuf.  Kayfa Nata‘amal ma‘a al-Sunnah .Cairo: Dar al-Syuruq, 2000.
al-Shaybānī, Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥanbal Abū ʿAbd Allāh. Musnad Ahmad bin Hanbali, juz 34. Beirut: Al-Risalah, 1999.
Al-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, Juz. I. Bairut: Dar al-Ma‘rifah, 1404 H.
al-Syaukani, Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad. Fath al-Qadir al-Jami’ baina Fanni al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir, jil. 4. Beirut: Dar Sadir, t.th.
al-Turmuzi, Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa. Sunan al-Turmuzi, Juz 2. Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, t.th.
Alwi, Khidri. Kepemimpinan dalam Hadis, Rihlah Vol. 5 No.2 (2017), h. 32-80.
Ibn Khaldun, Muqaddimah. Beirut, Dar al-Fikr, t.th.
Kartini, Kartono. Pemimpin dan Kepemimpinan, Cet. VIII, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1998.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir; Arab-Indonesia Terlengkap. Cet. 14. Surabaya: Pustaka Progressif. 1997.
Shihab, Quraysh. Tafsir Al-Mishbah, Juz. 6. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
Ya‘qub, al Mahami Ahmad Husain. al-Nizam Al-Siyasi fi al-Islam. Qum: Ansariyah, 1894.

  Pendaftaran Siswa Baru Sdit Wirausaha Indonesia

[1]A.J. Wensink,  Miftah Kunuz al-Sunnah, h. 5.

[2]A.J. Wensink,  Miftah Kunuz al-Sunnah, terj. Muhammad Fuad Abdul Baqi, (Lahore: Iradah Tarjamani al-Sunnah, 1978), h. 61-62.

[3]A.J. Wensink,  Miftah Kunuz al-Sunnah, h. 204.

[4]Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 2002), h. 1764.

[5]Abū ‘Abd Allāh Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal as-Syaibānī. Musnad Ahmad, Juz. III, Cet. I, (Bairut: ‘Ālam al-Kutub, 1419 H./1998 M), h. 183ز

[6]Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz III, h. 146.

[7]Muslim  bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz. VI, (t.tp: Dar Thayyibah, 2006),  h. 6

[8]Muslim  bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz. III, h. 1481

[9]Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz. III, h. 1365.

[10]Abū ‘Īsā Muhammad ibn ‘Īsā at-Turmūzī, Sunan at-Turmuzī, Juz III (Beirut: Dār Ihyā’ at-Turāṡ al-‘Arabī, t.th.), hlm. 617

[11]Muslim  bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, Juz III hlm. 167

[12]Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 1764.

[13]Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥanbal Abū ʿAbd Allāh al-Shaybānī, Musnad Ahmad bin Hanbali, h. 135.

[14]Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 1764.

[15]Muslim  bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, h. 886-887.

[16]Sulaiman bin Daud bin al-Jarud, Sunan Abi Daud al-Thiyalisi, juz 4, h. 553.

[17]Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dahhak al-Sulami at-Tirmidzi,  Sunan al-Tirmidzi, Juz 4 (t.tp: Dar Garbi al-Islami, 1996), h. 208.

[18]Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥanbal Abū ʿAbd Allāh al-Shaybānī, Musnad Ahmad bin Hanbali, juz 9 , h. 156.

[19]Yusuf al-Mazzi, Tahdzîb al-Kamâl fî Asma’ al-Rijâl, juz 15 (Libanon: Muassasah ar-Risalah, 2002), h. 332-341.

[20]Yusuf al-Mazzi, Tahdzîb al-Kamâl fî Asma’ al-Rijâl, juz 14, h. 471-473.

[21]Yusuf al-Mazzi, Tahdzîb al-Kamâl fî Asma’ al-Rijâl, juz 16, h. 136-141

[22]Yusuf al-Mazzi, Tahdzîb al-Kamâl fî Asma’ al-Rijâl, juz 11 h. 365-367.

[23]Salah al-Din ibn Ahmad al-Adlabi, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda Ulama’ al-Hadis al-Nabawi, terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Metodologi Kritik Matan Hadis (Ciputat; Gaya Media Pratama, 2004) h. 207-208.

[24]Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, Cet. 11 (Makassar: Alauddin University Press, 2013), h. 117

[25]Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, Cet. 11, h. 117.

[26]Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, Cet. 11, h. 117.

[27]Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis, Cet. 11, h. 117.

[28]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 20.

[29]Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, h. 1273.

[30]Kartono Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan, (Cet. VIII, Jakarta: PT Raja Grafindo, 1998), h. 49.

[31]Kartono Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan, h. 49.

[32]Abū at-Tayyīb Muhammad Syams al-Haq al-‘Aẓīm Abādī, ‘Aun al-Ma’būd Syarh Sunan Abī Dāud, Juz. VIII , Cet. II; (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), h. 105.

[33]Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Muhammad ibn Hambal al-Syaibani, Musnad Ahmad, Juz. 3, h. 183.

[34]Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut, Dar al-Fikr, t.th.), h, 194.

[35]Al-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal, Juz. I (Bairut: Dar al-Ma‘rifah, 1984), h. 108.

[36]Yusuf al-Qardawi, Kayfa Nata‘amal ma‘a al-Sunnah (Cairo: Dar al-Syuruq, 2000), h. 24.

[37]Safiy al-Rahman al-Mubarakfuri, al-Rahiq al-Makhtum (Riyad: Makhtabah Dar al-Salam, 1994), h. 60.

[38]Khidri Alwi, Kepemimpinan dalam Hadis, Rihlah Vol. 5 No.2 (2017), h. 57.

[39]Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. III,  h. 1365.

[40]Muhammad ‘Abd Rauf al-Manawi, Faid al-Qadir, Juz. I (Cet. I; Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994), h. 578.

[41]Muhammad ‘Abd Rauf al-Manawi, al-Taisir bi Syarh al-Jami‘ al-Sagir, Juz. I (Cet. III; Riyad: Dar al-Nasyr, 1988), h. 264.

[42]Muhammad ‘Abd Rauf al-Manawi, Faid al-Qadir, Juz. I, h. 578.

[43]Mustafa al-Galayaini, ‘Izah al-Nasyiin: Kitab Akhlak, wa Adab wa ‘Ijtima’i (Beirut: Salim ibn Saud Nabhan, t.th.), h. 35.

[44]Abu Muhammad Badr al-Din al-Hanafi, ‘Umdah al-Qari’ Syarh Sahih al-Bukhari, Juz. II (t.tp: al-Maktabah al-Syamilah, t.th), h. 378.

[45]Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz. 6, h. 6.

[46]Khidri Alwi, Kepemimpinan dalam Hadis, h. 59.

[47]Quraysh Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Juz. 6 (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 484.

[48]al Mahami Ahmad Husain Ya‘qub, al-Nizam Al-Siyasi fi al-Islam (Qum: Ansariyah, 1894), h. 69-75.

[49]Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz. 3, h. 1481.

[50]Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz. 3, h. 1454.

[51]Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Isma‘il al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, Juz. 3, h. 1365.

[52]Kementerian Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 277.

[53]Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al-Syaukani, Fath al-Qadir al-Jami’ baina Fanni al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir, jil. 4 (Beirut: Dar Sadir, t.th), h. 255.

[54]Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir; Arab-Indonesia Terlengkap. Cet. 14 (. Surabaya: Pustaka Progressif. 1997), h. 906.

[55]Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazr Syarh Nukhbah. jil. 13 (Mesir:  al-Munawwarah, t.th), h. 112.

[56]Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi, Juz 2 (Beirut: Dar Ihya’ al-Turas al-‘Arabi, t.th.), h. 43.

[57]Abu al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Naisaburi, Sahih Muslim, Juz. 3,  h. 1458.

[58]Ibn Hajar al-‘Asqalani, Nuzhat al-Nazr Syarh Nukhbah, jil. 13, h. 113.