Matahari tengah tergelincir ketika gue melangkahkan kaki menuju sekolah madrasah diniyah selepas pulang sekolah dasar. Seutas senyuman terlempar padaku dr seberang jalan, di sampingku ada beberapa ibu-ibu yg sedang berkumpul membicarakan sesuatu.
“Kok beliau mau ya sakit kepala-pusing ngajar sekolah madrasah? Padahal kan dia sarjana pendidikan agama islam yg bisa menerima duit banyak bila mengajar di Sekolah Menengah Pertama islam atau pesantren terbaru,” ucap seorang ibu.
“Iya, benar. Setahuku kan kalau mengajar madrasah diniyah gak ada yg bayar, soalnya murid-muridnya jarang banget bayaran. Kalaupun ada, bayarannya tak seberapa,” kata ibu yg lain menambahkan.
Aku menggeleng pelan sambil beristigfar dlm hati. Kutatap bangunan sederhana dgn dua ruangan kelas yg setiap kelasnya disekat oleh papan selaku pembatas antara kelas yg satu dgn kelas yg lain. Terlihat dingklik yg usang di dlm ruangan.
Aku berlari menghampiri seorang wanita di seberang jalan, dia tak lain ialah satu-satunya guru madrasah diniyah di kampungku ini. Aku pun menginformasikan apa yg baru saja kudengar padanya.
“Ibu mengajar di sekolah madrasah ini bukan untuk mencari duit, tetapi untuk memberikan pengetahuan wacana agama untuk anak-anak di kampung ini biar mereka memiliki akhlakul karimah & tak buta agama.
Lagi pula ananda & sobat-temanmu harus mempunyai ijazah madrasah diniyah kan untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yg lebih tinggi?” tanyanya. Aku mengangguk. “Ibu tak peduli evaluasi orang lain terhadap ibu, ibu cuma ingin menjadi orang yg berfaedah,” lanjutnya menerangkan.
Subhanallah, betapa mulia sekali hati guruku ini. ia menjadi satria bagi bawah umur di kampungku ini tanpa pamrih.