Guru Ngaji Pergi Haji | Cerpen Zaenal Radar T

Beberapa tahun silam… Dalam salah satu ceramahnya, di depan jamaah ibu-ibu pengajian masjid al-Barkah kawasan Ustazah mengajar ngaji, Ustazah Lilis menerangkan, “Sesungguhnya setan tak akan pernah berhenti menarik hati insan, sebelum tujuan-tujuan yg dikehendaki setan tercukupi. Setan akan terus berusaha menjerumuskan manusia, supaya kelak di akhirat sang setan ada temannya, di neraka!”

Bu Susi, salah satu jamaah pengajian, yg memang sudah semenjak lama tak suka dgn Ustazah Lilis, menggerutu sendiri, “Yaelah bu Ustazah. Emang ia pernah lihat darul baka. Kayak pernah mati aja?” Beberapa jamaah pengajian tersentak, kemudian menatap sebentar Bu Susi. Kemudian Bu Susi bengong & kembali menyimak ceramah si pendakwah.

“Jamaah pengajian yg dirahmati Allah… bagaimana setan menggoda manusia hingga ia mampu menjerumuskan ke lembah dosa, itu dilakukannya terus-menerus. Setan tak pernah berhenti menarik hati hingga keinginannya terpenuhi. Kita selaku manusia, dengan-cara tak sadar, terus dihajar, dicecar, digoda, dirayu-rayu, dgn cara garang atau halus, dgn berbagai cara. Semakin akidah seseorang tinggi, bisikan, & rayuan setan semakin menjadi-jadi.”

Bu Susi kembali mencemooh, tapi kali ini tak menggerutu. Ibu-ibu yg lain terus menyimak.

“Sebagai acuan nih ya, Bu… Bu… Ibuuu…?!” Ustazah Lilis ceramah memanggil ibu-ibu jamaah pengajian. Mengingat ada satu dua ibu-ibu di sudut ruangan lagi ngerumpi berdua. Ustazah memanggil-manggil ibu-ibu semoga mereka semua fokus & menyimak ceramahnya. Ini ibarat cara almarhum Zaenudin MZ, ustaz terkenal yg sudah almarhum. Ibu-ibu menyahut sambil tersenyum, & merasa penasaran dgn ceramah Ustazah Lilis. Ibu-ibu yg tadi ngerumpi disudut kali ini konsentrasi ikut mendengarkan.

Ustazah Lilis melanjutkan ceramahnya, “Contohnya ya Bu. Misalkan kita berangkat haji ke Tanah Suci. Karena tak ingin berniat riya, atau ingin dipuji oleh orang lain, kita lakukan dengan-cara sederhana & tak berlebihan. Pelepasan keberangkatan kita lakukan dengan-cara biasa-umumsaja. Setibanya di Tanah Suci, kita kagak update foto, gak pasang muka kita waktu di depan Ka’bah di medsos. Maksudnya, apa ibu-ibu, kita menghindari diri dr sifat riya, sifat ingin dipuji-puji orang lain. Tapi, apa yg terjadi ibu-ibu sekalian. Setan tak tinggal membisu ibu-ibu sekalian! Setan nggak jenuh-bosannya membisiki telinga kita, ayo cepat sebarkan gosip ananda ke Makkah di medsos, biar siapa pun tahu jikalau ananda pernah ke Mekah! Pernah shalat di depan Ka’bah, bila perlu selfie di depan Hajar Aswad! Begitu bujuk rayu setan. Namun, lantaran dogma kita kuat, kita bisa menahan godaan dr sang setan. Kita teguh pada pendirian untuk nggak pamer atau riya pada orang lain.”

Semua jamaah masih menyimak, tapi Bu Lilis sudah merasa malas-malasan menyimak ceramah Ustazah Lilis, & ia hanya membatin, “Idiiih, Ustazah Lilis tahu aja kalau saya nanti mau selfie pas di depan Ka’bah!”

“Ibu-ibu jamaah pengajian yg dimuliakan Allah. Di saat kita mampu menahan godaan & rayuannya, kita pulang ke Tanah Air, & setibanya di rumah, sampai berhari-hari lamanya, berminggu bahkan berbulan & berganti tahun, kita tak pernah menceritakan pada orang lain bahwa kita telah melakukan perintah Allah untuk menunaikan haji ke Baitullah. Namun, ibu-ibu sekalian, dr tahun ke tahun, tatkala kita bisa untuk tak menceritakan atau memamerkan keberangkatan kita ke tanah suci, tetapi… di tahun ke sepuluh, rupanya setan masih pula tak ada henti-hentinya menarik hati & merayu, sampai akhirnya… kita pun tak kuattttt, pertahanan kita untuk menyimpan diam-diam ibadah haji kita ambrol oleh godaan sang setan! Akhirnya… kita bercerita, memamerkan diri di depan orang lain, perihal keberangkatan kita ke Baitullah!!! Supaya apa? Supaya orang yg belum tahu itu jadi tahu jikalau kita seorang haji!!! Maka, ibu-ibu sekalian, runtuhlah apa yg sudah kita pertahankan selama itu, untuk bisa terhindar dr sifat riya! Rontok sudah keimanan kita, tersebab bujuk rayu sang setan berandal!”

  Kisah Kegembiraan Penghabisan | Cerpen Nicko Fernando

Jamaah mengangguk-angguk, kecuali pastinya Bu Susi. Menurut Bu Susi, yg dalam waktu dekat bakalan pergi haji, Ustazah Lilis tak pantas berceramah soal haji di depan jamaah ibu-ibu pengajian.

“Kayak pernah naik haji aja! Lagian, Ustazah Lilis nggak bakalan bisa pergi haji!” begitu gerutu Bu Susi pada jamaah pengajian lain, sampai ada ibu-ibu lain melotot karena cemas ocehan Bu Susi terdengar Ustazah.

*****

Pada pengajian selanjutnya, tatkala Ustazah Lilis kembali memberikan wacana cara-cara berhaji, Bu Susi pun mendekati Ustazah Lilis dikala pengajian usai, “Ustazah… lebih baik Ustazah jangan dongeng soal-soal haji di pengajian kita. Kalau saya… gres deh patut karena dalam waktu dekat saya naik haji! Lagi pula pergi haji itu masih mimpi buat mereka. Ibu-ibu di sini belum tentu sanggup bayar ongkosnya. Lha, ustazah sendiri pula belum pernah naik haji, kan?”

Saat ustazah Lilis hendak menjawab, Bu Susi sudah lebih dahulu pergi. Ustazah cuma bisa menghela napas panjang & berupaya menyabarkan dirinya.

Sepulang mengaji, Bu Susi ternyata memengaruhi para tetangga, khususnya ibu-ibu yg suka mengaji pada ustazah Lilis. Bu Susi menyampaikan, jika Ustazah Lilis belum patut menandakan soal haji. Seperti biasa, sambil ngerumpi Bu Susi menawarkan seragam mengaji buat ibu-ibu. (Ibu-ibu pengajian suka sekali ganti-ganti utangan seragam mengaji berbentukbaju & kerudung yg dianggap lagi versi/musim pada Bu Susi. Terutama seragam pengajian yg suka beredar di Instagram atau FB milik Bu Susi).

Soal utangan seragam mengaji ini, Ustazah Lilis sempat menegur Bu Susi, agar tak berdagang didalam masjid lantaran tak boleh jualan di lingkungan ibadah. Boleh berdagang, namun saat di luar lingkungan masjid. Ini membuat Bu Susi jadi merasa repot. Soalnya jikalau ibu-ibu jamaah pengajian sudah bubar dr masjid, susah ditahan untuk tak buru-buru pulang ke rumah mereka. Hal itulah yg menciptakan Bu Susi jadi kian tak menggemari Ustazah Lilis. Sejak saat itu Bu Susi berupaya bagaimana caranya biar Ustazah Lilis tak disenangi jamaah pengajian.

  5 Contoh Cerpen Seno Gumira Ajidarma

Sebulan sebelum keberangkatan ke Tanah Suci, dikala Bu Susi kembali mengadakan pengajian untuk mendoakan kepergiannya, Bu Susi sengaja memanggil Ustazah Lilis selaku penceramah. Tujuannya supaya Ustazah pula tahu jikalau dirinya akan berangkat naik haji. Namun, pada ketika Ustazah Lilis ceramah, Bu Susi mengambil alih & menggantikannya berceramah. Karena, menurutnya, dirinya pula bisa menunjukan soal ibadah haji.

Ustazah Lilis memberikannya peluang, walaupun bahu-membahu ada waktu lain untuk sambutan sahibul hajat. Para jamaah pun tak bisa berbuat apa-apa, & mendengarkan perumpamaan Bu Susi soal pengalaman bagaimana ia bisa punya duit untuk ongkos ke Mekah.

Selepas pengajian itu, beberapa hari kemudian Bu Susi jatuh sakit. Bu Susi mencoba menguatkan diri bahwa ia sehat-sehat saja, tetapi siapa saja tak bisa dibohongi. Bu Susi jadi takut & cemas tak jadi berangkat haji. Saat periksa kesehatan, Bu Susi hendak berbohong, merahasiakan kesehatannya pada dokter. Pak Galih menasihati Bu Susi, “Bu, kita ini mau berangkat haji, mau ibadah. Kenapa harus bohong..?”

“Tapi, Pak…”

“Ingat Bu. Ibadah haji itu ibadah fisik. Jangan main-main. Nanti malah menyulitkan.”

Dua ahad sebelum keberangkatan, sakit Bu Susi makin parah. Dokter galau dgn penyakit Bu Susi. Keluarga Bu Susi nyaris frustasi. Menurut hasil lab, Bu Susi dikatakan sehat-sehat saja. Tapi, nyaris setiap malam Bu Susi mencicipi sesak napas.

Sementara itu, Ustazah Lilis diliputi rasa sedih. Hal yg manusiawi walaupun ia seorang Ustazah yg kerap membimbing jamaahnya, memiliki cita-cita untuk menyempurnakan rukun islam kelima, ibadah haji ke ranah suci Makkah. Ustazah ingin sekali berangkat haji, tetapi ia menyadari jika dirinya tak akan bisa membiayai ongkos haji. Suaminya cuma seorang guru honorer bergaji pas-pasan.

Mendengar curhat Ustazah Lilis, suaminya menguatkan semoga Ustazah Lilis tetap istiqamah. “Ingat Bu, ibu sendiri yg bilang, bila Allah berkehendak, tak ada hal yg tidak mungkin.” ujar suami Ustazah.

Ustazah Lilis pun istighfar & memohon ampun pada Allah. Ustazah Lilis hasilnya berdoa mudah-mudahan dirinya mempunyai kesempatan untuk bisa datang menyanggupi panggilan haji ke Tanah Suci Makkah.

*****

Setelah puluhan dokter angkat tangan, & penyakit tak pula sembuh, kesudahannya Bu Susi dibawa ke pesantren atas permintaan salah satu anaknya yg mondok di sana. Anaknya bilang, salah satu kiai di pondok sesekali didatangi orang untuk berobat. Bukan obat dengan-cara medis, melainkan biasanya mendapat semacam obat rohani. Sang kiai di pesantren daerah anak Bu Susi mondok mengatakan, penyakit Bu Susi ini mudah sekali diobati. Tetapi, bukan Pak Kiai yg bisa mengobatinya. Ada seorang ustazah yg dapat menyembuhkannya!

“Siapa ustazah itu, Pak Kiai..?” tanya Pak Galih & Bu Susi.

Pak Kiai menjawab, “Kalian niscaya tahu siapa Ustazah yg saya maksud…”

“Jangan-jangan Ustazah Lilis, Bu?” Pak Galih menduga-duga.

“Ustazah Lilis kan bukan dokter atau tabib..?” selidik Bu Susi, ketus.

  Rumah Sebelum Tangga | Cerpen Kiki Sulistyo

Sesaat Pak Kyiai bengong. Lalu, Pak Kiai bilang, “Saya pula tak tahu, Bu. Mungkin ibu sendiri yg tahu, kenapa harus Ustazah itu yg bisa menyembuhkan ibu…”

Bu Susi pun terjaga, jika selama ini ia mempunyai kesalahan pada sang Ustazah. Pak Galih meminta Bu Susi biar meminta maaf pada ustazah Lilis. Lalu, bagaimana Pak Kiai tahu ihwal Ustazah Lilis? Karena, Pak Kiai sudah banyak mendengar kisah soal ini dr anaknya Bu Susi & Pak Galih.

Namun begitu, Bu Susi masih tak percaya bila Ustazah Lilis bisa menyembuhkannya. Bu Susi bahkan bernazar, kalau Ustazah Lilis bisa membuatnya sehat, ia akan memberikan jatah hajinya buat Ustazah Lilis!

Di satu potensi , kesudahannya Ustazah Lilis diminta tiba ke tempat tinggal Bu Susi. Saat itu juga, Bu Susi kian parah penyakitnya. Atas desakan Pak Galih, Bu Susi pun meminta maaf pada Ustazah Lilis. Bu Lilis dgn tulus memaafkan Bu Susi. Bahkan, Ustazah Lilis bilang, selama ini ia tak pernah merasa sakit hati atau tersinggung dgn apa yg dikerjakan Bu Susi terhadapnya.

Selang beberapa hari, Bu Susi mengalami keanehan. Bu Susi yg sering mencicipi sesak napas, ternyata sesak napas yg sering ia rasakan itu berangsur menghilang. Bu Susi kembali sehat. Pak Galih pun mengingatkan Bu Susi ihwal nazarnya. Tapi, Bu Susi berubah pikiran. Setelah sehat, ia merasa mampu untuk pergi ke Tanah Suci. Sehari setelah itu, sesak napas Bu Susi kambuh. Bahkan, Bu Susi mencicipi dirinya mirip mau mati! Pada tahun itu, Bu Susi & suaminya gagal berangkat haji dgn alasan sakit! Suaminya pun tulus membatalkan keberangkatannya alasannya ia tak ingin berhaji sendirian.

Tahun selanjutnya, di tengah sakitnya yg semakin parah, jadinya Bu Susi bersedia menyanggupi nazarnya. Bu Susi meminta suaminya memanggil Ustazah Lilis ke rumah, meminta ustazah didaftarkan sebagai kandidat jamaah haji. Bu Susi akan mengurus segala surat-surat & keperluannya. Dengan begitu, Ustazah Lilis akan berangkat ke Tanah Suci.

Ustazah Lilis mulanya tak percaya begitu saja. Namun, suami Bu Susi memaksa demi nazar istrinya. Semua tolok ukur akan diurus, nanti Ustazah Lilis tinggal berangkat. Suami Bu Susi pun mengikhlaskan dirinya tak berangkat lantaran ia menunggu kesembuhan Bu Susi.

Setelah diyakinkan, Ustazah percaya & terharu. Pada waktu yg sudah ditentukan, ustazah Lilis betul-betul berangkat haji. Para ibu-ibu pengajian senang sekali melepas keberangkatan Ustazah Lilis ke Tanah Suci Makkah. Bu Susi pun ikut mengantarnya walaupun dlm kondisi yg kurang sehat. Di depan gerbang asrama haji, Bu Susi berpesan pada Ustazah Lilis, “Bu Ustazah… nanti doakan mudah-mudahan saya senantiasa diberikan kesehatan, dipanjangkan umur, biar bisa berangkat ke Tanah Suci pada musim haji selanjutnya…” Ustazah mengangguk. Lalu, Bu Susi & Ustazah Lilis saling berpelukan. Selepas mengirim guru ngajinya yg akan berangkat ke Makkah, perlahan-lahan kesehatan Bu Susi kembali pulih. (*)