Mardi duduk termangu di dingklik makan, memandang lurus ke tudung saji di hadapannya. Ia mengira-nerka makanan apa yg dimasak istrinya pagi ini. Tangannya mengangkat tudung saji & mendapatkan sepiring tempe tanpa sambal & sayur daun ubi rebus. Mardi mengembuskan napas berpengaruh. Raut wajahnya menawarkan rasa tak suka pada hidangan di atas meja.
Menu itu lagi. Hampir sepekan sajian tak pernah ganti. Lidahnya sudah bosan dgn rasa tempe anyir tengik & daun ubi yg terasa pahit. Namun, ia memaksa diri menyantap sarapan seadanya itu. Ia mesti punya cukup tenaga untuk bekerja satu hari penuh di kebun Pak Liam. Bersyukur pemilik kebun sawit paling luas di kampung meminta dirinya ikut bekerja mengambil buah & pelepah.
“Aku tahu ananda bosan makan sajian yg itu-itu saja.”
Kendari, istrinya, timbul di ekspresi pintu dapur tengah menyusui salah seorang bayi kembar mereka. Wajahnya tampak letih. Kantong mata dilingkari noda hitam. Urat-urat lehernya menonjol. Memberi asi untuk kedua bayi sekaligus membuat ia kurus kering seperti induk serigala kelaparan.
“Tempe masakan kesukaanku.”
Mardi menyuapkan nasi ke mulut berulang kali, seakan ia makan dgn lahap. Tak sebaiknya ia selektif kuliner. Mardi bukan cowok lajang lagi yg bisa bermanja-manja. Ia pula bukan sedang di rumah orang tuanya yg dipenuhi berbagai jenis makanan.
Ibu & kakak perempuannya sangat berilmu mengolah makanan.
“Kamu ingin sekali makan bubur kacang ijo, bukan?”
Mardi menghentikan makannya, menatap Kendari yg masih berdiri di lisan pintu. Dari mana istrinya tahu hal itu?
“Tadi malam ananda mengigau menyebutkan bubur kacang ijo. Ingin sekali memasaknya untukmu. Tapi duit kita sudah habis mengeluarkan uang utang di kedai Pak Matondang.”
Seketika pipi Kendari berbalur air mata. Buru-buru Mardi menghampiri & menarik badan Kendari dlm dekapan.
“Jangan menangis, ini bukan salahmu. Memberiku dua buah hati sekaligus sudah membuatku menjadi ayah paling bahagia sedunia.”
Mardi mengusap rambut istrinya. Tanpa sadar ia pula menangis. Andai menuruti perkataan orang tuanya, mungkin hidupnya tak seburuk ini. Dulu, kedua orang tuanya mati-matian membujuk Mardi supaya sekolah. Namun, kupingnya seakan tuli & hati mengeras bagai watu. Satu pun perkataan orang tuanya tak ia dengar. Judi & minuman keras lebih menarik hatinya. Kini, sesal hadir ketika merasa kesusahan mencukupi keperluan rumah tangganya.
Mardi mengajak Kendari duduk di bangku makan, berharap mampu melupakan beban hidup yg tengah mengimpit.
“Kamu belum sarapan, kan?”
Mardi menyendok nasi, sayur, & dua potong tempe ke dlm piring, kemudian menggesernya ke hadapan Kendari. Akhirnya, mereka sarapan bersama.
“Aku tak ingat kalau tadi malam mengigau tentang bubur kacang ijo. Justru gue teringat pada mimpiku yg lain.”
“Mimpi apa?”
“Mungkin ini mimpi jelek. Aku bermimpi bermetamorfosis menjadi segerombol kupu-kupu.” Mardi meneruskan makannya.
“Menurutku itu bukan mimpi buruk. Aku sungguh suka melihat kupu-kupu.”
Kendari sudah lupa kalau beberapa menit kemudian gres saja menangis.
“Jika gue berganti menjadi kupu-kupu, itu artinya kita tak bisa lagi hidup bareng . Mana ada wanita bersuamikan kupu-kupu.” Mardi cemberut. Kendari tersenyum manja.
“Kata orang, bermimpi menjelma jadi kupu-kupu bertanda panjang umur,” hibur Kendari. Ia hanya bicara asal.
“Aku tak mau menjadi kupu-kupu. Aku ingin senantiasa bersama si kembar & kau.” Mata Mardi mengisyaratkan ketakutan, seakan mimpi itu benar akan menjadi kenyataan.
“Jangan memandangku seperti itu. Mimpi hanya bunga tidur. Tidak akan terjadi. Percayalah!”
Kendari menyadari raut ketakutan di wajah suaminya. Ia bangkit mengambil topi kerja yg tergantung di dinding dapur. Topi itu dipakaikan ke kepala Mardi. Juga tas kerja yg berisi kotak nasi untuk bekal makan siang. Kendari sudah mempersiapkan semuanya. Setelah Mardi simpulan sarapan, Kendari mengantarnya ke pintu depan.
“Cepatlah pulang, gue akan memasak bubur kacang ijo buatmu.”
Mardi urung memakai sepatu botnya.
“Kamu bilang duit kita sudah habis.”
Kendari gugup tak tahu harus berkata apa.
“Jangan meminta duit dr ibu lagi hanya sebab semangkok bubur. Itu akan merendahkan harga diri suamimu ini. Walau gue anaknya, tapi kehidupan kita sudah berlainan,” lanjut Mardi.
“Aku lupa, ternyata kita masih punya uang yg kuselipkan di lipatan kain. Aku rasa cukup untuk berbelanja kacang ijo, beras pulut, gula, & kelapa.”
“Aku pergi dulu.” Mardi mencium kening anaknya yg berada dlm gendongan. Begitu Mardi sudah jauh di pojok jalan, cepat-cepat Kendari masuk rumah. Dibuka lemari pakaian. Kain jarik yg masih gres ditarik dr antara lipatan. Kain jarik itu hadiah dr ibunya tatkala ia & Mardi menikah setahun kemudian.
Kacang ijo, beras pulut, gula aren, daun pandan, & kelapa tergeletak di atas meja. Kendari memandanginya dgn mata berkaca-beling. Ia telah berbohong. Mereka tidak mempunyai duit sepeser pun. Untuk merealisasikan kuliner kesukaan Mardi, terpaksa menjual kain jarik pertolongan ibunya.
Kedua anaknya sudah terlelap beberapa menit kemudian. Ia mulai sibuk melakukan pekerjaan di dapur. Setelah kacang direbus, ia memarut kelapa & mengiris gula aren. Terbayang bagaimana reaksi Mardi saat pulang nanti mendapatkan semangkok bubur kacang ijo di meja makan beraroma daun pandan.
Kendari sangat menyukai bola mata Mardi. Bola matanya akan mengerjap-ngerjap bila sedang gembira. Tatapan yg memancarkan ketulusan menciptakan Kendari ingin selalu memeluk badan suaminya. Kendari tersenyum mengingat tingkah lucu Mardi. Dua bulan lalu, Kendari masak kolak. Rasa lelah hilang seketika dikala Mardi disuguhi sepiring kolak sehabis kerja. Mulut Mardi menggelembung dipenuhi kolak, sesekali menyodorkan satu sendok buat Kendari. Mereka tertawa-tawa. Ruang dapur menjadi hangat oleh cinta.
Di waktu yg sama di tempat berlainan, Mardi bareng temannya sedang memanen sawit & mengambil pelepah yg telah masak. Pohon sawit yg menjulang tinggi mengharuskan para pekerja menggunakan egrek bertangkai panjang untuk mengambil buah & pelepah.
Walau Mardi berbadan kecil, ia sangat lihai memainkan egrek. Dalam sekejap buah yg berskala besar jatuh memukul bumi. Mardi menggantungkan nasib pada setiap buah yg ia panen. Gaji hari ini akan ia gunakan membeli susu buat kedua bayinya. Kasihan Kendari, asi miliknya tak cukup untuk kedua bayi mereka.
“Mari istirahat sebentar, nanti kita lanjutkan kembali,” teriak teman sekerjanya.
“Aku akan menyusul sehabis mengambil buah sawit di pinggir jalan itu,”
sahut Mardi sembari memikul egrek yg tangkainya meliuk-liuk di atas bahu.
Bubur kacang ijo telah masak. Kendari menyendoknya ke dlm tiga mangkok. Mangkok pertama buat Mardi. Mangkok kedua untuk dirinya sendiri. Sedangkan mangkok ketiga buat mertuanya. Bubur itu akan ia antar ke rumah mertua yg jaraknya tak terlalu jauh. Kendari berdiri menghadap meja makan. Ia tersenyum puas memandangi ketiga mangkok berisi bubur. Tugasnya telah tamat. Tinggal menanti Mardi pulang & bagaimana reaksinya tatkala melihat bubur itu.
“Tolong buka pintunya…,” sebuah teriakan disusul ketukan keras menciptakan Kendari terhenyak. Ia beranjak menuju pintu depan, terkejut melihat wajah panik seseorang begitu pintu dibuka.
“Ada perlu apa?”
“Mardi suaminya ibu…,” ucapnya tersendat. Wajahnya panik.
“Ada apa dgn suamiku?”
“Ia tersengat arus listrik. Egrek miliknya jatuh mengenai kabel.”
“Jangan bercanda. Ini sungguh tak lucu.”
Hal-hal jelek langsung berkelebat di kepala Kendari.
“Aku tak bercanda. Ini serius.”
Dunia saat itu juga menyempit & Kendari merasa terimpit di tengah-tengah. Ia pribadi menghambur ke halaman, berlari sekuat tenaga menuju kebun sawit di mana suaminya melakukan pekerjaan . Orang-orang memadati kawasan insiden. Kabar itu begitu cepat tersebar ke seluruh warga. Kendari menerobos keramaian. Tangisnya meledak begitu menyaksikan suaminya terkulai tak berdaya. Mardi dimasukkan ke dlm lumpur untuk menetralisir arus listrik dr tubuhnya. Kendari berteriak mengundang nama suaminya seperti orang kesurupan. Beberapa warga berusaha menenangkannya.
“Tenangkan hatimu. Suamimu hanya pingsan.”
Kendari tak yakin. Semua itu cuma kata-kata penghiburan. Ia melihat sendiri bagaimana kondisi Mardi. Bibirnya telah pucat. Tubuhnya tak bergerak sedikit pun. Tiba-tiba seekor kupu-kupu melayang di atas kepalanya. Kendari teringat akan mimpi itu.
“Aku tak ingin melihatmu menjadi kupu-kupu…”
Kendari bengong bagai patung, tak sanggup membayangkan bila esok akan menjalani hari tanpa suami.
Tubuh Mardi telah dimandikan. Ia terbujur kaku di atas kawasan tidur. Sanak famili berkeliling menangisi jasadnya. Kendari menghampiri, tangannya memegang suatu mangkok.
“Aku sudah mengolah masakan bubur kacang ijo kesukaanmu. Bangun, mari kita cicipi bersama.”
Kendari menangis di samping tubuh suaminya. Bubur dlm mangkok sudah dingin.
Sedingin perasaannya. Kendari harus belajar tulus menerima kenyataan. Mulai besok, tak ada lagi sosok yg membuat meja makan menjadi ramai.
“Bangun. Mari kita makan buburnya,” ujar Kendari sekali lagi.
Seekor kupu-kupu masuk melalui jendela, melayang di atas kepala Kendari. Kupu-kupu lain menerobos masuk sampai berjumlah ratusan ekor. Kupu-kupu itu melayang bergerombol membentuk bulatan di udara. Tak disangka-sangka, kupu-kupu itu hinggap di pinggir mangkok berisi bubur yg ada di hadapan Kendari. Seorang saudara hendak menghalau kupu-kupu itu. Kendari melarang.
“Jangan diusir. Kupu-kupu itu adalah Mardi. Ia sangat menyukai bubur kacang ijo.” Orang yg datang melayat menyangka Kendari telah asing.