Dua gentong berusia ratusan tahun itu bagai sepasang manusia renta yg tercampakkan. Keduanya duduk muram di sudut kamar paling belakang. Menekur membisu. Bibirnya berlumur lelehan pewarna yg pekat & sudah mengering.
Menatap gentong renta itu datang-datang gue mirip menyaksikan bayangan ibumu. Melihat kedua tangannya yg berwarna kerak nasi & sudah menghasilkan lembar-lembar batik gentongan, yg sebagian dijual & sebagian lagi sudah dipersiapkan untuk pernikahanmu, sebagaimana keharusan seorang ibu mempersembahkan hadiah itu, walaupun sudah pernah kautegaskan bahwa itu tak perlu!
Dialah wanita Tanjungbumi yg tak lelah menyunggi tradisi walaupun berkelindan dgn sepi.
Lepas hari ketujuh, para tetangga tak lagi bertandang. Tentu mereka kembali sibuk dgn kain mori, lelehen lilin & gentong, yg sempat ditinggal selama sepekan karena ikut bantu-bantu di sini, di rumahmu.
Sepulang dr pekuburan di penghujung senja, setelah menyirami pusara ibumu dgn air bunga & doa, gue mampir ke rumahmu. Kunyalakan lampu di teras, di ruang dalam, di kedua sudut belakang rumah & di pojok halaman. Kutatap tembok bercat putih gading, plafon, lantai mengilap, lemari yg masih gres, pintu kayu berukir, sofa, semua hanya benda-benda gila yg nanti takkan pernah memberi kenangan apa pun padamu! Percayalah!
Tali jemuran yg membentang di tepi halaman, daerah ibumu mengangin-anginkan kain batik yg gres dicelup pada pewarna, pula pohon jambu biji di belakang rumah yg sekarang mulai menguning daun-daunnya, keduanya akan mengasingkan dirimu, seperti kawan usang yg enggan menyapa.
Hanya pada dua gentong bau tanah itu akan kautemukan bayangan ibumu. Bersama benda peninggalan leluhur itulah ibumu berkarib memilin sepi. Menunggumu pulang dgn kerinduan berkelindan. Dan kini, benda bau tanah itu tampak muram ditinggal pemiliknya. Gelap yg tersisa saat kulongokkan kepala, mengintip ke dalam. Mirip bilik d*da ibumu; tak tertebak bagai lorong rahasia yg panjang.
Dalam gentong bau tanah itulah ibumu mencelup & merendam kain mori yg sudah direngreng & dipolesi lelehan lilin, untuk mewarnainya, memakai pewarna dr kulit mengkudu, kulit mundu campur tawas, daun tarum, kulit pohon jati, & pewarna-pewarna alami lain.
Kain mori yg sudah direndam sekian usang diangkat, dianginkan, lalu dicelup lagi. Dianginkan lagi, dicelup lagi. Dianginkan lagi. Dicelup lagi. Lalu direndam lagi. Satu lembar kain batik membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk menciptakan warna yg pekat & lekat. Sungguh sebuah proses panjang & melelahkan. Aku percaya, dr proses pekerjaan itulah keteguhan serta keteguhan ibumu terlatih. Tangannya sampai berwarna kerak nasi. Bahkan sewaktu kecil kau senantiasa menolak disuapi memakai tangannya yg cokelat kehitaman.
Sempat terlintas di benakku, apakah warna pekat dlm gentong bau tanah itu yg sudah menyuramkan kehidupan ibumu, atau justru kelahiranmu yg sudah melurup cahaya dlm kehidupannya?
Kata ibumu, kamu lahir pada Ahad legi surup hari, tatkala beras di dapur tinggal sekenyang burung, & ayahmu sedang melaut meninggalkan dompet kosong. Ibumu melahirkan dlm kesendirian menjelang gelap malam, di usia kandungan belum genap sembilan bulan. Pertolongan pertama diberikan seorang ibu tetangga terdekat yg mendengar jerit tangis pertamamu, yg tak lain adalah ibuku.
Air susu ibumu yg hanya setetes-duatetes kekuning-kuningan membuatmu menangis lapar siang & malam. Daun katuk, daun pepaya, tak banyak membantu kesuburan air susunya. Akhirnya, hasil ayahmu melaut kian tak mencukupi keperluan sebab mesti berbelanja susu formula. Apalagi dgn mengasuhmu yg rewel, ibumu tak lagi bisa membatik untuk membantu bergeraknya roda ekonomi keluarga.
Utang terus bertambah demi memenuhi keperluan sehari-hari, membuat ibumu tak berani mencegah saat ayahmu meminta izin membuka usaha warung makan di Pasar Blega, mengikuti jejak sepupunya yg berhasil membuka perjuangan di sana.
Dengan menggadaikan sepetak tanah untuk modal & uang sewa lokasi, ayahmu berangkat sesudah menggelar acara timangan di usiamu yg menginjak 40 hari, & sudah menambah tumpukan hutang demi acara itu.
Enam bulan ayahmu bolak-balik Blega-Tanjungbumi, pulang setiap Kamis sore, kembali ke Blega pada jumat pagi. Menginjak bulan ke tujuh, ayahmu mengajak ibumu menolong bisnisnya yg mulai ramai konsumen. Kau disuruh titipkan pada bibi, adik kandung ayahmu yg belum dikaruniai keturunan meskipun sudah empat tahun menikah. Apalagi kau memang tak menyusu. Akan namun, ibumu menolak ikut & meminta cari orang lain untuk membantu pekerjaan ayahmu.
“Dia masih terlalu kecil untuk dititipkan.” Jelas ibumu ketika bercerita pagi itu, tatkala kamu memintaku menemuinya sehabis kaukirimkan sejumlah duit untuk merenovasi rumah.
“Kenapa tak membawanya ikut serta?” tatapku.
“Masalahnya, kalau semua pergi, rumah ini jadi kosong, tak ada yg menempati & merawatnya.”
Alasan ibumu, seraya memberi noktah pada hamparan kain mori dgn canting yg gres dicelupkan pada lelehan lilih. Aroma lilin yg didih dlm wajah lebih kukenali selaku aroma wanita di kampung ini.
Sekarang gres gue mulai mengerti alasan ibumu tak sesederhana itu.
Apakah kamu masih ingat? Menginjak usia delapan belas tahun, tatkala kau meminta izin melanjutkan pendidikan ke luar Madura, wajah ibumu berubah sendu seperti langit tersaput awan kelabu.
“Tidak usah jauh-jauh!”
“Masih di seputar Jawa.”
Sudah umumkulihat kau merajuk setengah memaksa.
“Keluar dr kampung sendiri namanya tetap jauh. Tidak baik bagi anak wanita!”
“Memangnya kenapa kalau anak perempuan?”
Bukan hanya sekali kudengar pertanyaan bernada protes kamu ejekan untuk hal-hal lain, tatkala terbentur aturan selaku anak perempuan. Bahkan sewaktu kecil, tatkala ibumu melarang memanjat pohon jambu biji, kamu pun menunjukkan protes yg sama. Padahal waktu itu gue percaya, kamu bisa memanjat lebih tinggi mengalahkanku. Akibatnya, kau cuma bisa menengadah di bawah seraya mengemis lemparan dariku yg nangkring kegirangan di dahan sambil mengunyah jambu biji yg sudah matang. Kau makin merengut kesal alasannya tak secepatnya kulempari buah jambunya, justru kulit sepahan yang sengaja kusemburkan ke bawah sambil tertawa mengejek. Penuh kemenangan.
Aku percaya hatimu merutuk geram karena terlahir selaku anak perempuan yg terlalu banyak dikenai hukum!
“Kau bisa melanjutkan sekolah di sini.” Jawab ibumu, sehabis diam sesaat.
“Sukdi melanjutkan ke Jogja! Masa gue di Madura terus?” sungutmu.
Untuk kesekian kali gue tersenyum menang.
“Dia pria!”
Weeek!
Kujulurkan pengecap, mengejekmu mirip biasa.
“Apa bedanya pria & wanita? Nilaiku lebih tinggi dr nilainya!” kejarmu tak terima.
Ibumu tak menyahut.
Kemampuanku memang selalu di bawahmu dlm hal apa pun, tergolong nilai mata pelajaran. Hari libur, waktu yg biasa kau habiskan dgn mengulang pelajaran untuk menghadapi ujian malah kupergunakan untuk menolong ibu menguliti pohon jati & mengkudu. Kadang gue pula membantu ibumu. Aku mujur saja alasannya adalah terlahir sebagai pria yg selalu dianggap lebih spesial dr anak wanita.
Saat itu kamu tetap berkeras hati mendapatkan potensi yg sama sepertiku. Jelas tidak ingin sekadar menengadah sebagaimana yg pernah kau kerjakan di bawah pohon jambu.
Biaya pendidikan kau peroleh dr derma ayahmu yg disimpan oleh ibumu. Sejak mendengar ayahmu menikahi perempuan yg sudah membantu usaha warung makannya & hanya sesekali pulang untuk menyerahkan uang, ibumu tak pernah menggunakan duit itu, kecuali untuk kebutuhanmu jika ia sudah merasa tak mampu.
Keteguhan hasratmu membuat ibumu kembali terjebak dlm kepentingan & keperluan di luar impian dirinya. Ia terpaksa melepasmu pergi dgn hati terkunci, hingga kita tak bisa membaca apa yg tersimpan di bilik dadanya.
Setelah kuliah kamu selesaikan dgn prestasi gemilang, dgn mudah kau memperoleh pekerjaan mapan bergaji besar di tanah rantau, hasrat & dendammu pun menjulang. Hendak kau buktikan pada kampung halaman bahwa wanita pula mampu mendulang keberhasilan.
Hal yg sama terulang. Tatkala ibumu usai bercerita ihwal masa kemudian pagi itu, lalu kusampaikan pesanmu, bahwa rumah yg selama ini ditinggali hendak kaurobohkan diganti dgn rumah yg gres tanpa ingin melibatkan sang ayah, sekali lagi ia memilih mengalah memeram desah.
Kau lupa satu hal, bahwa ibumu semakin tersuruk dlm lorong panjang yg kian suram. Tidak ada lagi rumah penyepuh ingatan, & kau seolah lupa jalan pulang. Bahkan, sehabis ibumu tiada pun kau tak sempat mengantarnya ke pekuburan, seolah kabar sedih yg kukirim tak pernah sampai.
Ketahuilah! Setelah orangtua tiada, hilang rumah bagi anak perantau untuk pulang. Aku sudah merasai itu. Setelah ibuku pergi, rumah yg tertinggal bagai kawasan aneh dlm persinggahan. Tidak punya tetangga. Tidak punya teman bersahabat. Hidupku terasing di kampung sendiri.
Sejak itu gue mulai mengetahui. Rumah, yg pernah dipertahankan ibumu, tak lain adalah lingkungan kawasan menjalin ikatan, kawasan menyebarkan kasih sayang, membangun rasa kepedulian, melestarikan jejak warisan, yg seharusnya dirawat oleh sentuhan tangan perempuan.
Akan namun, barangkali potensi masih bisa kau gapai. Bukankah bagi wanita Tanjungbumi, selain lingkungan ia masih mempunyai gentong renta sebagai rumah dedikasi? Sejauh-jauh melambungkan angan di tanah rantau, pada warisan nenek moyang ia akan menemukan kawasan untuk pulang, kecuali selamanya ingin jadi pengembara & melupakan tanah kelahiran.
Apakah kau masih akan menyesal terlahir selaku anak wanita, Sum? (*)