Gema Takbir Masih Kudengar | Cerpen Pipiet Senja



Satu pagi dipenghujung tahun 2012, gue gres mengambil wudhu untuk shalat Dhuha. Tiba-tiba, napasku sesak sekali disertai rasa nyeri luar biasa di pecahan kiri dada. Rasanya menusuk-nusuk, dlm sekejap rasa nyeri itu merambah ke punggung. Tak tahan dgn sesak & rasa nyeri yg menghebat gue pun ambruk. Sepertinya, gue sempat tak sadarkan diri, entah berapa lama.

“Bu Haji, sadar, ya Bu Haji. Pingsan nih si ibu, aduh. Gak ada siapa-siapa lagi.”

Perlahan, gue membuka mata, masih terasa nyeri di dada penggalan kiri, namun tak begitu sesak lagi.

“Tolong, minta minum,” pintaku susah payah mengucapkan sepatah dua kata. Perempuan yg telah usang menjadi asistenku itu tergesa mengambilkan air hangat dr galon. Ia tinggal di rumah kontrakan sebelah rumah yg kutempati bersama putriku.

“Terima kasih, Bi. Untunglah Bibi belum pulang.” Kutatap wajahnya yg terlihat mencemaskanku.

“Iya, tadi mau ambil cucian di mesin cuci, eh, lihat Bu Haji dikira lagi tiduran, namun masa iya depan kamar mandi. Pingsan ternyata, ya Bu Haji?”

Aku tak bisa meladeninya karena rasa nyeri yg asing itu masih bersemayam di dadaku, kepalaku pun mendadak sakit. Dokter sudah pernah mengingatkan, efek pengangkatan limpa & kandung empedu, dipastikan bakal terjadi komplikasi. Masalah kesehatan yg disebutnya akan jauh lebih serius selain penyakit abadiku, talasemia.

“Bibi, mau ya antar gue ke HGA?”

“Iya, iya, bisa!” sahutnya terdengar semangat membantu.

“Baik, kita pergi ke UGD-nya. Eh, panggil becak dulu, ya, tolong.”

Aku sama sekali tak beranjak dr tempatku ambruk, tak ganti baju pula selain merangkapnya dgn gamis & mengenakan jilbab. Otakku secepatnya menjumlah tabungan yg tersisa. Sepertinya tinggal 300-an ribu saja. Bagaimana kalau mesti dirawat? Sambil dipapah si bibi naik becak, otakku mempertimbangkan cara menemukan dana besar dlm tempo sesingkat ini.

Aku gres saja keluar dr perusahaan penerbitan nasional. Bosnya, sahabatku, sangat baik terhadapku. Banyak buku karyaku yg diterbitkan. ia memberiku fleksibilitas waktu dlm berkarya, disela menebar virus menulis ke pelosok Tanah Air & luar negeri. Kaprikornus, waktu kerjaku boleh dipilih & diubahsuaikan dgn kegiatanku di luar. Dengan catatan yg penting tiap bulan ada naskah yg mampu diterbitkan.

Ternyata, perlakuan istimewa bos ini tak digemari oleh beberapa karyawan tetapnya. Mereka yg gres bergabung di perusahaan menilai gue dianakemaskan! Aku menerima keputusan jajaran direksi, berhenti kerja tanpa diberi pesangon. Ada perjanjian mulut dgn bos, mendapatkan kesepakatan ekslusif. Caranya, mengajukan usulan untuk menulis sejumlah buku bawah umur, dibayar honornya per bulan atau dengan-cara periodik.

  Taman di Depan Rumah | Cerpen Rizqi Turama

“Boleh, sebentar akan ditransfer, Teteh. Semoga sehat kembali & tetap berkarya.” Demikian balasan dr sahabatku, si bos, atas seruan pinjaman dana.

Ketika dokter di UGD HGA telah memeriksa hasil laboran & menyarankanku diopname di RSCM, transferannya telah masuk ke rekeningku. Tiga jam menunggu memperoleh izin dokter UGD tak jua ada yg bisa mengantar ke RSCM. Kuputuskan menandatangani keterangan minta pulang sendiri.

Aku memanggil taksi langganan. Sore itu gue pun meluncur ke UGD RSCM seorang diri. Anak sulung sibuk di kantornya, adiknya belum lama menikah & hamil muda, tempo hari mengalami pendarahan. Aku tidak mau merusuhi bawah umur. Mereka sedang menghadapi banyak masalah. Biarlah semuanya kutanggulangi sendiri.

Selama dua hari dua malam gue dirawat di ICCU, didiagnosis terkena serangan jantung ringan. Ada penyumbatan di jantung, kalau tak membaik pula harus dilakukan tindakan, dikateter jantung, pasang ring.

Seorang koas elok berkerudung sering menemaniku, menjadi sahabat berbicara jikalau ia sedang santai & gue boleh duduk. “Sejak sekarang Ibu tak boleh melakukan kegiatan yg menguras tenaga & anggapan,” ujarnya suatu ketika.

“Misalnya apa, Dok?”

“Naik tangga, bepergian jauh….”

Tuiiing! Jadwal sisa tahun itu masih padat; kelas menulis di pesantren-pesantren, undangan ke Amerika Serikat, Yaman, Iran, & Tunisia. Semua itu harus dibatalkan. Ya Allah, betapa berat ujian-Mu kali ini, kesahku membatin. Belum usang cerai, kemudian mesti pergi dr rumah, hanya menjinjing baju yg digunakan saja & sebuah laptop.

Hari ketiga gue diperbolehkan pulang. Dua anakku tak ada yg tahu kalau ibu mereka sempat ambruk di ICCU. Sekali ini dgn komplikasi; jantung error plus diabetes melitus.

Memasuki tahun gres 2013. Beberapa hari gue tinggal di Masjid At-Tin. Berbaur dgn para pendatang yang lain, mereka yg tinggal atau singgah di masjid yg dibangun oleh Tien Suharto. Di sinilah gue memperoleh hikmah dr cobaan-Nya, berupa rezeki yg tak disangka-sangka. Dana Rp 35 juta terkumpul dr pengajian Ratih Sang, melalui mediator Ustaz Bobby Herwibowo.

Kemudian, jumpa Ustaz Jefry Al Bukhori alias Uje, bersama manajer sebuah televisi swasta, gue didapuk sebagai bintang tamu program acara yg diberi nama; “Assalamu alaikum Ustad”. Sempat curhatan dgn Uje di ruang tunggu, ia menyemangatiku. “Jangan di-dengerin tuh diagnosis dokter. Seenaknya saja bilang umur orang dalam waktu dekat. Umur mah hanya Allah SWT yg Mahatahu. Mana tahu ane yg sehat kuat begini malah duluan pergi….”

  Ampo | Cerpen Andri Saptono

“Jadi, bersedia nih kalau kita bikin event di Taiwan, Taz?” tanyaku.

“Mau banget. Iya, jadwalkan sajalah, Teh. Kalau sudah fiks, hubungi pribadi manajer ane, ya Teteh.”

Siapa sangka, tatkala undangan dr Taiwan gres kuterima, tiba-tiba ada BBM dr Ratih Sang & Teddy Snada. “Teteh, kita sudah ditinggal oleh kerabat kita, Uje.” Innalilahi wa inna ilaihi rojiuun.

Berkat pertolongan kawan dekat-teman dekat, khususnya Ustaz Bobby Herwibowo & jamaah taklimnya Ratih Sang, gue mendapat rumah cicilan di Cibubur. Aku menerka, di sinilah tempat tinggalku hingga dipanggil Sang Pencipta. Ternyata tidak. Sebab, putriku memutuskan bercerai. Mantan suaminya tak berkenan kami tetap tinggal di rumah yg uang mukanya dariku, sementara mereka mencicilnya.

Maka, kembali gue tidak punya rumah tinggal. Patungan dgn bawah umur, kami pun mampu menempati rumah kontrakan di kawasan Lippo Cikarang. Ada teman dekat budiman yg berkenan memberi hak guna pakai sebuah ruko untuk kantor bisnis kami. Agaknya, ia bersimpati & sungguh mendukung ikhtiarku & bawah umur. Kami telah merealisasikan keinginannya mempunyai buku biografi yg mencerahkan. Alhamdulillah, mudah-mudahan Allah SWT membalas ketulusan hatinya dgn pahala & rezeki berlimpah.

Seorang teman dekat berhati mulia yang lain mengucurkan sejumlah dana untuk memodali perusahaan penerbitan yg kami beri label Pipiet Senja Publishing House. Kulayangkan rasa terima kasihku pada kawan dekat sejak bertahun-tahun silam.

“Terima kasih, Kang Budi Sulistianto. Berkat pertolongan & kepercayaan Anda, sepanjang tahun 2015 Pipiet Senja Pubslishing House sudah mempublikasikan 12 buku.”

Sementara kondisi kesehatanku belum stabil, semangat yg kumiliki masihlah terpelihara. Semua bersumber dr sosok-sosok yg kusayangi, terutama bawah umur & cucu-cucu. Setiap kali bareng mereka, gue merasa masih diperlukan, masih berfaedah.

Pada 17 Februari 2021: Aku dinyatakan terpapar Covid-19, tertular dr menantuku. Bersama sulungku, istri & dua anaknya, kami pun dikarantina di Wisma Atlet. Sejak awal pun tim dokter sudah meragukanku mampu bertahan, meskipun termasuk orang tanpa gejala & tanpa ganjalan apa pun. Masalahnya, gue lansia dgn komorbid.

Aku diposisikan tak jauh dr meja tim dokter. Setiap ketika, mereka mendatangiku, menanyakan keluhanku, memeriksaku dgn cermat, seraya mengulang menanyaiku riwayat penyakit. Agar tak buang waktu, kutuliskan saja sekilas riwayat penyakitku di karton bekas tutup kotak kuliner, “Saya dgn talasemia, kardiomegali, ashma bronchiale, diabetes mellitus, & dinyatakan positif Covid-19.”

“Obat apa saja sebanyak ini, Suster?” tanyaku kagum dgn segenggam pil yg diberikannya berikut makan pagi itu. Kuhitung ada 24 butir, masya Allah!

  Cinta Laki-laki Biasa | Cerpen Asma Nadia

“Antibiotik & embel-embel, Bu.”

“Saya talasemia, loh, Sus. Kalau pada umumnya antibiotik efeknya HB saya akan hancur dong.”

“Oh, semenjak kapan talasemia?”

“Sejak dilahirkanlah, namanya pula cacat genetik.”

“Oh, iya, ya. Sering transfusi?”

“Tiap bulan, mampu bertahan sih dua bulan, namun HB-nya tinggal 6.”

“Nanti dikonsulkan dgn dokter spesialisnya, ya Bu.”

Antibiotiknya ternyata bukan pil saja, melainkan melalui injeksi & infus. Injeksi heparin per enam jam sekali di perut. Belum injeksi insulin sebelum makan, ini bisa kulakukan sendiri. Infus botol kecil pertama pada hari kedua pukul 08.00 berlangsung tanpa kendala. Infus kedua pukul 14.00, baru beberapa menit seketika terjadi reaksi. Rasa panas & gatal hebat menyerang sekujur tubuhku. Aku berteriak minta dokter menghentikan infusannya. Mereka minta maaf karena tak tes lebih dahulu, pribadi diinfuskan.

Hari demi hari kujalani dgn lapang dada, berdamai dgn keadaan apa pun sambil memperkuat ibadah, berzikir, berdoa, & membaca ayat-ayat suci Quran sungguh membuatku tangguh. Setelah 10 hari di HCU, dokter mengizinkanku bergabung dgn keluargaku di kamar rawat biasa. Dua hari di situ dokter mengijinkan keluarga anakku pulang. Aku bersikeras ikut pulang. Anakku menandatangani keterangan pulang paksa. Jika terjadi sesuatu dgn emaknya ini maka anakkulah yg bertanggung jawab.

Gema takbir sayup-sayup masih kudengar dr masjid yg tak jauh dr rumah kontrakan putriku. Aku mengajak cucuku, Qania, pergi ke masjid untuk mengeluarkan uang zakat. Tampak gadis kecil kelas dua SD yg selalu kutemani sekolah daring selama pandemi ini semringah. Wajahnya seperti ibunya yg sedang meniti karier sebagai notaris.

“Besok Lebaran mau ke mana kita, Manini?” tanyanya sambil memegang tanganku.

“Maunya sih ketemuan dgn Zein & Zia,” sahutku seketika merasa sedih, memendam rindu pada dua cucu yg langka jumpa sejak orang bau tanah mereka berpisah. Ya, dr lima cucu, hanya Qania yg paling erat & senantiasa menemaniku.

“Moga saja diizinkan ketemu Aa Zein & Teh Zia,” ujar Qania terdengar sebagai doa yg takzim. Ia menengadahkan kedua tangan, sempurna di depan masjid.

Pada 16 Mei 2021, umurku akan genap 65 tahun. Sebagai rasa syukur yg tiada terhingga, maka gue ingin mencetak ulang buku memoar Bagaimana Aku Bertahan. Berharap masih mampu berbagi dgn saudara-saudara wanita, mereka yg terpuruk & dizalimi. Bangkit & Lawan, Saudariku! (*)