Gelak Tawa di Rumah Duka | Cerpen Mashdar Zainal



Rumah Duka & Peti Mati yg Jenaka


Orang-orang berpakaian serba hitam. Berkerumun & berbisik-bisik. Di antara mereka ada yg tersenyum. Ada pula yg menampilkan wajah sedih. Aku tahu, sebagian besar senyum dr wajah-wajah itu artifisial. Orang-orang itu mengenakan topeng. Dan di balik topeng-topeng tebal itu, gue menyaksikan tawa mereka, tawa yg terbahak-bahak. Mereka menertawakan kesedihanku dr balik topeng. Mereka menertawakan lelaki yg terbujur kaku di dlm peti mati itu. Mereka menertawakan segalanya.

Namun, sungguh, gue tak pernah menyalahkan mereka. Mungkin kami memang pasangan paling menyedihkan sehigga pantas ditertawakan siapapun. Bahkan gue sendiri patut untuk tertawa. Menertawakan diri sendiri. Hahaha…

Tapi tunggu, gelak tawa seperti apakah yg kiranya pantas untuk disuarakan di sebuah rumah murung? Apakah tangisan sungguhan & tangisan pura-pura di balik topeng itu pula bentuk gelak tawa?

Orang-orang bergantian menyapaku, menyalamiku, & mengutarakan bela sungkawa dgn raut paling muram. Tidakkah mereka tahu, ini yaitu hari paling jenaka? Segalanya, yg ada di rumah murung ini terlalu jenaka. Termasuk peti matinya. Mungkin mereka melihatnya. Hanya saja, mereka akal-akalan tak melihatnya.

Lihatlah! Peti mati tempat lelaki itu terbujur. Peti mati itu mendadak bangkit di tengah kerumuman. Seperti orang yg letih berbaring, kemudian mencoba berdiri. Lantas peti mati itu berjalan, mengeluarkan suara menyerupai sol sepatu karet yg keras. Pletak! Pletok! Pletak! Pletok!

Lantas, pintu peti mati berwarna cokelat renta mengkilap itu terbuka. Tertutup lagi. Terbuka lagi. Seperti lelaki renta yg mengajak cucunya bermain ci-luk-ba. Terakhir, peti mati itu terbuka lebar. Waaaa! Dan dr dalamnya, seorang lelaki berparas gosong dgn setelan jas & dasi kupu-kupu, dgn sisiran (sisa-sisa rambut yg terbakar) kelimis ke belakang, dgn tiga buah batu akik kesayangan yg menempel di jari-jemari, serta pantofel mengkilap yg memantulkan bayangan orang-orang berbaju hitam kurang jelas.

“Waktunya berdansa….!” Lelaki gosong dr dlm peti mati itu berseru, melambaikan tangan ke arahku, “Mau berdansa denganku, Nona?”

Aku tersanjung namun pula tertawa terbahak-bahak menyaksikan lelaki itu menggerakkan tangan & kakinya. Sejak pertama, lelaki itu bukanlah lelaki yg pandai berdansa. Bukan, dansa jenis apapun. Dan kini, menurutku ia tak sedang berdansa, tapi sedang bermain pantomim. Wajahnya yg gosong itu sungguh-sungguh menjadikannya lucu. Demi Tuhan, tak ada yg lebih lucu dr permainan pantomim yg diperankan oleh seonggok mayat gosong di suatu rumah murung.

  Para Pendaki | Cerpen Ken Hanggara

“Baiklah, gue bersedia!”

Perempuan yg Berdansa di Atas Peti Mati

Lelaki di dlm peti yakni salah satu lelaki terbaik yg pernah hidup di paras bumi. Ia adalah anak sulung dgn tiga saudara. Semenjak ayahnya meninggal, ia yg menjadi tulang punggung keluarga. Ibunya sangat bangga padanya. Adik-adiknya menghormatinya sarat seluruh. Istrinya sangat mencintainya lebih dr banyak hal di dunia ini. Dan orang-orang menganggapnya selaku malaikat dlm wujud manusia. Sulit membayangkan lelaki sebaik itu mati di usia muda. Dengan cara mengenaskan.

Kini, lelaki itu pergi meninggalkan satu istri & satu anak yg berusia tujuh tahun. Serta puluhan restoran yg menyuguhkan aneka jenis kuliner dr olahan umbi-umbian. Restoran yg ia rancang dr nol sampai kini mempunyai 27 cabang di 17 kota yg tersebar di seantero negeri. Dulu dikala usianya 18 tahun, ayahnya meninggal dunia karena penyakit jantung. Tak meninggalkan banyak warisan untuk anak-anaknya. Hanya seorang ibu yg telah menjanda, serta dua orang adik yg masih terlalu kecil untuk mengerti banyak hal.

Dengan daya kreatif dr otaknya yg encer, ia menjajal berbisnis, mengolah aneka kuliner dr aneka macam bahan yg ia rasa murah & menciptakan laba yg ramah. Ia menghitung setiap kegagalan yg dilaluinya, tak kurang dr sepuluh kegagalan, hingga akhirnya ia menemukan umbi-umbian yg menjadi jodohnya itu. Yang membuatnya bisa menyekolahkan adik-adik hingga ke luar negeri. Pada usia 27, ia bertemu dgn sorang konsumen restorannya, yg pula seorang model setempat. Ia menikahinya, lantas keduanya berjibaku menjalankan restoran yg dr hari ke hari makin ramai itu.

Tak lupa, dr penghasilan yg ia mampu, ia senantiasa menyisakan untuk sejumlah panti asuhan yatim piatu. Setiap kali Lebaran atau Natal atau Imlek, ia membagikan sembako & angpau untuk orang-orang kurang bisa di sekeliling daerah tinggalnya. Ia pula tak segan-segan membantu anak-anak muda yg penuh daya inovatif tetapi mengalami kesulitan finansial. Semua ia rangkul. Semua ia karibi. Dan alasannya adalah itulah, orang-orang menganggapnya malaikat dlm wujud manusia.

Lelaki itu meninggal di usia 38, usia yg masih terbilang muda. Pada hari menjelang pemakamannya, di rumah sedih-yang lebih mirip rumah pesta itu-semestinya seluruhnya berjalan hening, sebagaimana layaknya suatu rumah murung. Rasanya, setiap orang menyelami kesedihan yg sama. Menginsafi kehilangan yg sama. Terutama perempuan itu.

Namun sungguh di luar prasangka. Saat siapa saja berbicara, datang-tiba wanita itu berjalan mendekati peti mati yg terbujur di tengah ruangan & memanjatnya. Lalu tertawa-tawa & memainkan tarian asing. Gerakan-gerakan canggung serupa badut yg bermain pantomim. Tak seorangpun berusaha mencegahnya. Semua orang menilai kesedihan yg menimbun lubuk perempuan itu terlalu penuh. Kesedihan yg serupa cairan hitam. Melumuri seluruh tubuh. Memburamkan penglihatan, & bahkan hati. Terkadang kesedihan yg tak bisa dikendalikan akan menertibkan balik si empunya kesedihan. Dengan banyak sekali cara. Salah satunya, dgn menjadikannya gila. Gila dlm arti sebetulnya.


Api yg Menyala & Memantik Gelak Tawa

Lelaki itu. Seharusnya kau mengenalnya. Tapi kamu tak sungguh-sungguh mengenalnya. Setiap orang menganggapnya selaku lelaki sempurna. Kau pun begitu. Ia mempunyai paras yg ganteng. Peduli pada sesama. Cerdas. Pandai memasak. Perhatian pada keluarga. Pandai mengambil hati anak-anak. Dan senantiasa mengalah. Setidaknya seperti itulah kamu mengenalnya selama hampir sepuluh tahun. Hingga enam bulan terakhir, keganjilan itu timbul sejengkal demi sejengkal. Kau tak tahu apakah kamu menyesali kehidupan yg mendekati sempurna selama hampir sepuluh tahun itu. Yang terperinci, malam itu kamu ingin menyerahkan hidupmu pada sebilah pisau. Tapi kamu mendadak teringat anakmu. Kau menetapkan rencana lain.

  Mata, Air, Hujan | Cerpen Sungging Raga

Hari itu kamu telah mendesain seluruhnya. Kau mengirim pembantumu & anakmu ke rumah eyangnya. Rencanamu akan terhalang kalau mereka ada di rumah. Kau ingin malam itu hanya ada dirimu & lelaki itu. Jangan ada yg lain.

Lelaki itu punya kebiasaan menyeduh uwuh setiap kali pulang dr kedai makanan. Kadang kau yg meracikkannya. Kadang kalau kamu terlihat enggan, lelaki itu meraciknya sendiri. Seperti malam itu. Tatkala kau mendengar deruman mobil di halaman. Kau berlari gegas ke dapur. Mencabut selang gas yg terhubung ke kompor. Lalu menyemprot seisi dapur dgn pengharum ruangan aroma lavender, supaya aroma gas tercium samar.

Lelaki itu duduk sebentar di ruang tengah. Bermain handphone. Lalu berseru padamu, “Apa kamu sibuk, bisakah kau rebuskan gue air?”

Kau tak menjawab, tapi berlalu ke kamar kecil. Di kamar kecil, kamu tak melaksanakan apapun kecuali menyalakan air keran sekencang mungkin, kemudian menyandarkan kepalamu ke tembok sambil menangis tersedu-sedu. Kau menanti & menunggu. Hingga suara ledakan itu menggema. Membuat tubuhmu ikut terguncang. Dalam hitungan menit, dapurmu luluh lantak dijangkiti api di sana-sini. Suara alarm meraung-raung. Kau menjerit-jerit. Para tetangga berhamburan menerobos rumahmu. Memberikan pertolongan. Dapurmu hancur, & lelaki itu tergeletak di lantai dgn pakaian & kulit gosong. Ia sudah tak bernyawa.

Seseorang dlm tubuhmu menjerit-jerit lagi. Lalu pingsan. Setelah sadar, selama berjam-jam kamu merasa seperti orang yg kehilangan jiwa. Hanya melayang-layang di udara, menyaksikan segalanya berlalu. Ada sesak yg sangat menyanggupi dadamu. Kau tak tahu itu apa. Seluruh belahan tubuhmu terasa ringan kecuali cuilan itu-sesak yg menumpuk di dada, & terasa sangat berat. Ibarat suatu balon dgn kerikil besar di dalamnya. Barangkali akan lebih baik bila balon itu meletus & watu itu terempas ke tanah. Akan lebih baik kalau tubuhmu ikut hancur & gosong malam itu. Barangkali, ketika ini kau tak akan mencicipi apapun. Namun yg terjadi telah terjadi.

  Anjing Berjubah Merah | Cerpen Agus Noor

Kau meratapi harum lavender di dapur malam itu. Namun sungguh, kau tak akan melaksanakan suatu hal tanpa alasan. Kau tak akan mencabut selang dr kompor tanpa argumentasi. Kau tak akan menyemprot harum lavender ke seisi dapur tanpa argumentasi. Dan alasan yg tak ingin kau ingat itu telah lebih dr cukup untuk membuat lelaki itu terpanggang tanpa ampun. Lelaki itu patut mendapatkannya, & pergi ke neraka.

Seharusnya kamu menaruh curiga jauh-jauh hari. Mengapa lelaki itu senantiasa merekrut pegawai pria, semuanya masih muda & berpenampilan menarik. Lelaki itu selalu mengatakan, mereka adalah belum dewasa muda yg inovatif, sarat semangat, & butuh tempat. Kau terbahak mengingatnya. Semua sungguh-sungguh di luar dugaan. Lelaki yg kamu kenal selama hampir sepuluh tahun itu rupanya memiliki dunianya sendiri. Kau menyaksikan dunia itu tanpa sengaja. Sekali. Malam itu, ia mencumbui pegawai barunya di dapur restoran dikala pegawai-pegawai lain sudah pulang. Terlampau jijiknya mengenang pemandangan itu, kau muntah berkali-kali sesampainya di rumah. Kau melihat anakmu yg tertidur, & tangisan itu meledak begitu saja. Menggumpalkan janin berbentukdendam & kebencian.

Kau tak perlu melihat dunia lelaki itu untuk kedua kalinya, ketiga kalinya, atau seterusnya. Kau hampir yakin bahwa semua pegawai baru di kedai makanan itu barangkali pernah dicumbui lelakimu. Entahlah. Semuanya begitu tak masuk budi. Di luar nalar. Dan itu lucu sekali. Bahkan setelah lelaki itu terbujur di peti mati. Semuanya masih terasa begitu lucu. Membuatmu ingin tergelak lagi & lagi.

Waktunya tergelak. Hahaha….***

Malang, 2017

Mashdar Zainal, lahir di Madiun, 5 Juni 1984, suka membaca & menulis puisi serta prosa. Novel terbarunya, Garnish, 2016. Kini bermukim di Malang.