Gaya Bahasa Dan Fasilitas Retorika Dalam Puisi – Bahasa Indonesia

Cara memberikan anggapan atau perasaan ataupun maksud maksud lain mengakibatkan gaya bahasa.
Apa yang dimaksud dengan gaya bahasa?
Gaya bahasa adalah susunan perkataan yang terjadi sebab perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menyebabkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. (Slamet Mulyana)
Fungsi dari gaya bahasa yakni membangkitkan kalimat dan memberi gerak pada kalimat. Gaya bahasa menjadikan reaksi tertentu tanda panah untuk menjadikan jawaban anggapan terhadap pembaca.
Setiap penyair, penulis, ataupun pengarang mempunyai gaya bahasa yang berbeda-beda. Latar belakang mereka menjadi penyebabnya. Merekapun memiliki kegemaran masing-masing. Yang dengan itu timbulnya gaya bahasa tertentu dalam diri mereka.
Gaya bahasa ialah ciri khas seorang pengarang.
Gaya bahasa juga merupakan idiosinkrasi atau keutamaan seorang penulis, demikian yang dikatakan oleh Middelton Mury. 
Meskipun pengarang memiliki gaya dan cara sendiri dalam melahirkan asumsi, namun ada sekumpulan bentuk atau beberapa jenis bentuk yang umum dipergunakan. Jenis-jenis bentuk ini biasa disebut sarana retorika.
Pembahasan
Dalam sajak tersebut tampak segalanya senantiasa berimbang dan simetris, berupa persamaan atau pertentangan: silih berubah-tiada berhenti; suka-sedih; senang-merana; tertawa-kecewa.
Kita melihat adanya keseimbangan dalam puisi tersebut. Keseimbangan tersebut disebabkan adanya penggunaan fasilitas retorika berupa tautologi, pleonasme, perseimbangan, maupun paralelisme.

Jenis-jenis sarana retorika

Banyak sekali jenis-jenis sarana retorika diantaranya:
  • Tautologi
  • Pleonasme
  • Enumerasi
  • Paralelisme
  • Retorik retisense
  • Hiperbola
  • Paradoks
Berikut ini penjelasan dan acuan dari aneka macam fasilitas retorika dalam puisi tersebut di atas.

Tautologi

Tautologi ialah fasilitas retorika yang menyatakan hal atau kondisi dua kali; tujuannya semoga arti kata atau keadaan itu lebih mendalam bagi pembaca atau pendengar.
Dalam tautologi, penyair seringkali memakai kata-kata yang hampir mirip maknanya. Sebagai teladan: silih berubah tiada henti; tiada kuasa tiada berdaya.
Puisi di atas menggunakan pengulangan makna yang sama. Dengan adanya pengulangan tersebut, maka pembaca akan mendapatkan efek yang lebih dalam dari yang dimaksudkan penyair.
Kita mungkin bisa menggunakan kalimat yang memakai tautologi seperti berikut ini.
Tak menyaksikan semuanya gelap
Aku berlari, saya memburu
Hatiku lemah, kalbu ku rapuh
Aku menyayanginya, senantiasa mencintainya

Pleonasme

Pleonasme yakni fasilitas retorika yang sepintas kemudian mirip tautologi, tetapi kata yang kedua bantu-membantu sudah tersimpul dalam kata yang pertama.
Tujuan penggunaan pleonasme ialah biar sifat yang dimaksudkan itu lebih jelas bagi pembaca maupun pendengar.
Contoh pleonasme dalam puisi:
Dia naik meninggi
Turun menambah jauh ke bawah
Jatuh ke bawah
Tinggi membukit
Diam diam
Panas memperabukan
Sunyi mencekam
Bara yang mengkremasi
Itulah beberapa teladan pleonasme yang bisa kita gunakan dalam bait-bait puisi.

Enumerasi

Enumerasi yaitu sarana retorika yang berupa pemecahan sesuatu hal atau keadaan menjadi beberapa bagian dengan tujuan semoga hal atau kondisi itu lebih jelas dan konkret bagi pembaca atau pendengar (Slamet Mulyana)
Dengan adanya enumerasi ini, maka penyair dapat memperlihatkan intensitas yang tinggi pada pernyataan maupun kondisi.
Contoh retorika enumerasi adalah selaku berikut.
Di dalam suka di dalam murung
Waktu bahagia waktu merana,
Masa tertawa era kecewa, 
kami berbuai dalam nafasmu.
Contoh bait puisi di atas menggambarkan adanya intensitas. Disitu kondisi itu: dalam kondisi apa pun kami berbuih dalam nafasmu. 
Dengan adanya pemecahan menjadi beberapa bab, maka pembaca akan mencicipi perincian. Dengan begitu penyair mampu menawarkan gambaran yang mudah ditangkap oleh pembaca maupun pendengar.
Contoh lain dari sarana retorika enumerasi terdapat dalam puisi karya Sutan takdir Alisjahbana yang berjudul “segala, segala”.
SEGALA, SEGALA

Ani, ya Aniku Ani,
Mengapa kamas engkau tinggalkan?
Lengang sepi rasanya rumah,
Lapang meruang tiada tentu.

Buka lemari busana berkata,
Di kawasan tidur engkau berbaring,
Di atas kursi engkau duduk,
Pergi ke dapur engkau sibuk.

Segala kulihat segala membayang,
Segala kupegang segala mengenang

Sekalian barang rasa mengingat,
Sebanyak itu cita melenyap.

Pilu duka menyayat di kalbu,
Pelbagai rasa datang merusak.

20 April 1935
Perhatikan pada bait yang kedua. Terdapat fasilitas retorika enumerasi dimanapun saya berada selalu melihat bayangmu. Sarana ini dikombinasi dengan paralelisme dalam bait ketiga.

Paralelisme

Paralelisme adalah mengulang isi kalimat yang maksud maksudnya serupa.
Menurut Slamet Mulyana kalimat yang berikut cuma dalam satu atau dua kata berbeda dari kalimat yang mendahului.
Contoh paralelisme dalam puisi Sutan takdir Alisjahbana.
Segala kulihat segala membayang,
Segala kupegang segala mengingat.

Retorik retisense

Retorik retisense adalah retorika yang memakai tanda titik-titik banyak untuk mengganti perasaan yang tak terungkapkan.
Di dalam buku pengkajian puisi karya Rachmat Djoko pradopo, dia mengungkapkan bahwa fasilitas ini terkadang digunakan oleh penyair romantik, dan terkadang digunakan kan dalam sajak romantis cukup umur.
Contoh retorik retisense
Kupandang pandang melompat-lompat,
Di padang rumput;
Kulihat daun bergerak cepat …
Oh, saya suka sebut…

Apalah warta mainan garap,
Dan bisikan angin sayuk gelap;
Tapi Sukma masih ngeram
Dan membisu di dalam…
Oh, jangan kau paksa
Melahirkan rasa!
Biarlah aku menderita
Menanti ketika
(J.E. Tatengkeng “kusuka katakan”, 1974: 19)

Hiperbola

Sajak-sajak angkatan 45 banyak mempergunakan sarana retorika hiperbola. 
Yang paling sering kita peroleh adalah pada sajak-sajak Chairil Anwar.
Misalnya sajak-sajak dia yang berjudul:
Kepada peminta-minta
Pusat
Kepada orang mati
Sajak-sajak itu aneka macam menggunakan retorika hiperbola.
Mani perhatikan teladan sajak yang memakai retorika hiperbola.
KEPADA PEMINTA-MINTA
Baik-baik, saya akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan perihal lagi saya
Nanti darahku jadi beku.

Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua dimuka
Nanah meleleh dari tampang
Sambil berjalan kamu usap juga.

Bersuara tiap kau melangkah
Mengarang tiap kau menatap
Menetes dari situasi kau tiba
Sembarang kau merebah.

Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
Mengaung ditelingaku.

Baik, baik, aku akan menghadap ia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku
Dalam sajak tersebut retorika hiperbola terlihat sangat secara umum dikuasai.
Ya itu retorika yang melebih-lebihkan sesuatu hal atau kondisi.
Dengan retorika hiperbola penyair berniat untuk menyangatkan, menghasilkan intensitas yang tinggi,, dan ekspresivitas.
Misalnya dalam kalimat, jangan perihal lagi saya/nanti darahku jadi beku.
Pada puisi di atas retorika hiperbola dikombinasikan dengan enumerasi.
Hal tersebut dimaksudkan untuk mengintensifkan pernyataan. Dengan begitu tercapailah penggambaran yang menakutkan dan angker dan perasaan dosa itu sangat terasa.
Hal lainnya yang membuat intensitas semakin tinggi yakni dengan pengulangan kata kerja. Yaitu kata-kata: mengganggu-menghempas – mengaum.

Paradoks

Sarana retorika lainnya yakni paradoks, oksimoron, dan kiasmus.
Penyakit yang menggunakan rata-rata tersebut kebanyakan mempunyai tema wacana aliran atau aliran yang bersifat filosofis.
Salah satu pujangga yang kadang-kadang menggunakan retorika paradoks, oksimoron, dan kiasmus yaitu Toto Sudarto Bachtiar.
Berikut ini teladan retorika paradoks dalam puisi karya Toto Sudarto Bachtiar.
PUSAT
Serasa apa hidup yang terbaring mati
Memandang demam isu yang mengandung luka
Serasa apa kisah sebuah dunia terhenti
Padaku, tanpa bicara.

Diri mengeras dalam kehidupan
Kehidupan mengeras dalam diri
Dataran pandang meluaskan Padang senja
Hidupku dalam tiupan usia

Tinggal seluruh hidup tersekat
Dalam tangan dan jari-jari ini
Kata-kata yang bersayap bisa menari
Kata-kata yang berjuang tidak ingin mati
(Etsa, 1957:7)
KEPADA ORANG MATI
Kalau aku kamu maafkan, karena maaf baik,
Kau tak pernah mengetahui dirimu
Kalau kau ku maafkan, alasannya maaf baik,
Kau tak mengerti dirimu
Begitu banyak maaf, buat terlalu banyak dosa
Begitu banyak dosa, buat begitu banyak maaf
Hanya tersedia buat kawasan mati
Sampah awal, tanpa kemauan baik?
Tapi kotak kumaafkan juga, sungguh sayang
Tanpa mengerti diriku
Tanpa mengerti dirimu
Sedang saya tak mau mati muda kini
(Etsa,1957:32)
Paradoks ialah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara bertentangan, tetapi bergotong-royong tidak bila betul-betul dipikir dan dicicipi.
mirip: hidup yang terbaring mati, ini sebuah kiasan yang artinya hidup yang tanpa ada pergerakan tanah, tanpa ada pergantian kearah yang bagus.
Paradoks yang memanfaatkan penjajaran kata yang bertentangan itu: hidup – mati disebut oksimoron.
Misalnya dalam kalimat
Musim yang mengandung luka
Kalimat tersebut mengandung paradoks sebab musim bersuasana menggembirakan sedangkan luka bersuasana menyedihkan.
Begitu juga dalam kalimat “jikalau dimaafkan menjadi tak tahu diri” mengandung pernyataan yang paradoks. 
Retorika paradoks bisa juga dikombinasikan dengan kiasmus.
Kiasmus adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu diulang Dani salah satu bab kalimatnya dibalik posisinya.
Suatu teladan: diri mengeras dalam kehidupan-kehidupan mengeras dalam diri.
Pada sajak di atas kita melihat terdapat banyak kalimat yang posisinya dibalik. 
Hal tersebut dimaksudkan untuk mengintensifkan pernyataan. Adanya pengulangan tersebut juga memperlihatkan adanya paralelisme.
Demikianlah pemaparan wacana gaya bahasa dan sarana retorika yang digunakan para penyair dalam membuat sajak maupun puisi.