Fitrah Manusia Dalam Perspektif Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Substansi ajaran Islam pada intinya yakni menjunjung tinggi nilai-
nilai kemanusiaan. Pada tataran aktualisasinya, martabat dan kemuliaan manusia akan terwujud manakala manusia tersebut mampu mendekatkan diri terhadap Tuhan, sebab memang beliau berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan. Islam merupakan agama fitrah yang mengusung kemaslahatan bagi umat insan. Al-Quran yang
ialah sumber utama dalam Islam tak jarang mengatakan perihal fitrah, yang secara normative sarat dengan nilai-nilai

transendental-ilahiyah dan insaniyah. Artinya, di satu segi memusatkan perhatian pada fitrah manusia dengan sumber daya manusianya, baik jasmaniah maupun ruhaniah selaku potensi yang siap dikembangkan dan ditingkatkan kualitasnya melalui proses humanisering sehingga keberadaan manusia kian mempunyai arti.

 Di segi lain, pengembangan mutu sumber daya manusia tersebut dilaksanakan selaras dengan prinsip-prinsip ketauhidan, baik tauhid rububiyah maupun tauhid uluhiyah.1 Pandangan Islam secara global menyatakan bahwa fitrah ialah kecenderungan alamiah bawaan semenjak lahir. Penciptaan terhadap sesuatu ada untuk pertama kalinya dan struktur alamiah insan semenjak permulaan kelahirannya telah mempunyai agama bawaan secara alamiah adalah agama tauhid. Islam selaku agama fitrah tidak cuma sesuai dengan naluri keberagamaan manusia namun juga dengan, bahkan menunjang kemajuan dan perkembangan fitrahnya. Hal ini menimbulkan eksistensinya utuh dengan kepribadiannya yang tepat. Makalah ini akan membahas diskursus tentang fitrah insan dalam al Qur‟an, baik menyangkut hubungannya dengan pendidikan Islam maupun signifikasinya. 

B.    Rumusan dan Batasan Masalah
1.     Rumusan
a.      Apa Pengertian Fitrah Manusia Menurut Persepektif Islam?
b.     Bagaimana Hubungan Fitrah Manusia dengan Pendidikan Islam?
c.      Seperti Apa Signifikansi Fitrah dalam Pendidikan Islam?
2.     Batasan
a.      Mengetahui Fitrah Manusia dalam perspektif Islam
b.     Hubungan Fitrah Manusia dengan Pendidikan Islam
c.      Signifikansi Fitrah insan dalam pendidikan Islam

C.   Tujuan Penulisan
1.     Untuk Mengetahui Apa Pengertian Fitrah Manusia dalam Perspektif Islam
2.     Untuk Mengetahui Bagaimana Hubungan Antara Fitrah Manusia dengan Pendidikan Islam
3.     Untuk Mengetahui Signifikansi Fitrah Manusia dalam Pendidikan Islam










         

BAB II
PEMBAHASAN
FITRAH MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A.   Pengertian Fitrah
Secara lughatan (etimologi) berasal dari kosa kata bahasa Arab yaitu fa-tha-ra yang mempunyai arti “peristiwa”, oleh alasannya kata fitrah itu berasal dari kata kerja yang bermakna menjadikan.[1] Pada pemahaman lain interpretasi fitrah secara etimologis berasal dari kata fathara yang sebanding dengan kata khalaqa dan ansya’a yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansy’a digunakan dalam Al-Qur‟an untuk memperlihatkan pengertian mencipta, mengakibatkan sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan.
Dalam Kamus al Munjid dijelaskan bahwa makna harfiah dari fitrah ialah al Ibtida’u wa al ikhtira’u, yaitu al shifat allati yattashifu biha kullu maujudin fi awwali zamani khalqihi. Makna lain adalah shifatu al insani al thabi’iyah. Lain dibandingkan dengan itu ada yang bermakna al dinu wa al sunnah.[2] Abu a‟la al-Maududi mengatakan bahwa insan dilahirkan di bumi ini oleh ibunya sebagai muslim (berserah diri) yang berlainan-beda ketaatannya terhadap Tuhan, namun di lain pihak insan bebas untuk menjadi muslim atau non muslim.[3] Sehingga ada relevansinya dalam aspek terminologi fitrah selain mempunyai potensi insan beragama tauhid, insan secara fitrah juga bebas untuk mengikuti atau tidaknya dia pada hukum-hukum lingkungan dalam mengaktualisasikan peluangtauhid (ketaatan pada Tuhan) itu, tergantung seberapa tinggi tingkat pengaruh lingkungan nyata serta negatif yang mempengaruh diri insan secara fitrah-nya.  Sehingga uraian Al-Maududi mengenai peletakan pemahaman konsep fitrah secara sederhana yakni menunjukkan kepada kalangan pembaca bahwa meskipun insan telah diberi kemampuan berpotensi untuk berpikir, berkehendak bebas dan memilih, tetapi pada hakikatnya dia dilahirkan selaku muslim, dalam arti bahwa segala gerak dan lakunya cenderung berserah diri terhadap Khaliknya.[4] Mengenai fitrah golongan fuqoha telah memutuskan hak fitrah insan, sebagaimana dirumuskan oleh mereka, adalah mencakup lima hal: (1) din (agama), (2) jiwa, (3) nalar, (4) harga diri, dan (5) cinta.
Menurut Armai, kalau interpretasi lebih luas desain fitrah dimaksud bisa berarti beragam, sebagaimana yang sudah diterjemahkan dan didefenisikan oleh banyak pakar diatas, di antara arti-artinya yang dimaksud ialah : (1) Fitrah bermakna “ thuhr‟ (suci), (2) fitrah memiliki arti “Islam”, (3) fitrah bermakna “Tauhid” (mengakui keesaan Allah), (4) fitrah berarti “Ikhlash” (murni), (5) fitrah memiliki arti kecenderungan insan untuk mendapatkan dan berbuat kebenaran, (6) fitrah memiliki arti “al-Gharizah” (insting), (7) fitrah bermakna potensi dasar untuk mengabdi kepada Allah, (8) fitrah bermakna ketetapan atas insan, baik kebahagiaan maupun kesengsaraan.6 Kata ini juga dipakaikan terhadap anak yang gres dilahirkan alasannya adalah belum terkotori dengan sesuatu sehingga anak tersebut sering disebut dalam kondisi fitrah (suci). Pengaruh dari pemahaman inilah maka semua kata fitrah sering diidentikkan dengan kesucian sehingga ‘id al-fitri sering pula diartikan dengan kembali terhadap kesucian demikian juga zakat al-fitrah. Pengertian ini tidak selamanya benar kata fitrah itu sendiri dipakai juga terhadap penciptaan langit dan bumi dengan pemahaman keseimbangan sebagaimana yang tertera dalam al-Qur’an. Katakata yang umumnya digunakan dalam al-Alquran untuk memperlihatkan bahwa Allah menyempurnakan contoh dasar ciptaan-Nya untuk melengkapi penciptaan itu adalah kata ja’ala yang artinya “mengakibatkan”, yang diletakan dalam satu ayat sehabis kata khalaqah dan ansy’a. Perwujudan dan penyempurnaan berikutnya diserahkan pada insan.
Mengenai kata fitrah menurut istilah (terminologi) mampu dimengerti dalam uraian arti yang luas, sebagai dasar pemahaman itu tertera pada surah al-Rum ayat 30, maka dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa pada asal peristiwa yang pertama-pertama diciptakan oleh Allah ialah agama (Islam) selaku pedoman atau acuan, di mana menurut pola inilah insan diciptakan dalam keadaan terbaik. Oleh sebab aneka ragam aspek negatif yang mempengaruhinya, maka posisi manusia mampu “bergeser” dari keadaan fitrah-nya, untuk itulah selalu dibutuhkan isyarat , perayaan dan tutorial dari Allah yang disampaikan-Nya lewat utusannya (Rasul-Nya).[5] Pengertian sederhana secara terminologi menurut pandangan Arifin; fitrah mengandung peluangpada kemampuan berpikir insan di mana rasio atau intelegensia (kecerdasan) menjadi sentra perkembangannya, dalam mengetahui agama Allah secara damai di dunia ini.
 Quraish Shihab mengungkapkan dalam Tafsir al Misbah-nya, bahwa fitrah merupakan “membuat sesuatu pertama kali/tanpa ada pola sebelumnya”. Dengan mengikut sertakan pandangan Quraish Shihab tersebut berarti fitrah sebagai komponen, sistem dan tata kerja yang diciptakan Allah pada makhluk semenjak awal kejadiannya sehingga menjadi bawaannya, inilah yang disebut oleh ia dengan arti asal peristiwa, atau bawaan sejak lahir.[6] Ungkapan senada perihal pengertian fitrah juga dilontarkan oleh Arifin adalah secara keseluruhan dalam persepsi Islam mengatakan bahwa kesanggupan dasar/pembawaan itu disebut dengan fitrah. Ada yang mengemukakan bahwa fitrah merupakan kenyakinan tentang ke-Esaan Allah swt, yang sudah ditanamkan Allah dalam diri setiap manusia. Maka manusia semenjak lahirnya sudah mempunyai agama bawaan secara alamiah, yaitu agama tauhid. Istilah fitrah mampu dipandang dalam dua segi. Dari sisi bahasa, maka makna fitrah yakni sebuah kecenderungan bawaan alamiah manusia. Dan dari sisi agama kata fitrah berarti doktrin agama, yakni bahwa insan semenjak lahirnya sudah mempunyai fitrah beragama tauhid, adalah mengesakan Tuhan. Imam Nawawi mendefinisikan fitrah selaku kondisi yang belum pasti (unconfirmed state) yang terjadi sampai seorang individu menyatakan secara sadar keimanannya. Sementara berdasarkan Abu Haitam fitrah memiliki arti bahwa insan yang dilahirkan dengan memiliki kebaikan atau ketidakbaikan (prosperous or unprosperous) yang bekerjasama dengan jiwa. Bila tidak berlebihan dalam mengerti terminologi Abu Haitam mampu diketahui, pada awalnya setiap makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dibekal dengan fitrah (keseimbangan) yang bilamana keseimbangan ini bisa dijaga dengan baik maka yang bersangkutan akan selalu berada dalam kebaikan. Sebaliknya jika keseimbangan ini telah tidak bisa dipertahankan maka menyebabkan seseorang akan terjerumus kepada ketidakbaikan. Fitrah ialah kata yang selalu digunakan untuk memberikan kesucian sekalipun dalam bentuk abstrak keberadaannya senantiasa dikaitkan dengan masalah sopan santun. Keabstrakan ini walaupun selalu dipakai dalam aspek-aspek tertentu tetapi pengertiannya hampir sama ialah keseimbangan. 
B.    Hubungan Fitrah dengan Pendidikan Islam dalam  al-Alquran.
Manusia dalam pandangan Islam adalah khalifah Allah di muka bumi. Sebagai duta Tuhan, beliau mempunyai karakteristik yang multidimensi, ialah pertama, diberi hak untuk mengendalikan alam ini sesuai kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini, manusia dibekali wahyu dan kesanggupan mempersepsi, kedua, ia menempati posisi terhormat di antara makhluk Tuhan yang lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, mutu dan kekuatan yang diberikan Tuhan kepadanya, ketiga, beliau mempunyai tugas khusus yang mesti                                                           dimainkan di planet ini, adalah berbagi dunia sesuai dasar dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Tuhan.[7]
Potensi akal secara fitrah mendorong manusia mengetahui simbol-simbol, hal-hal yang absurd, menganalisa, memperbandingkan maupun menciptakan kesimpulan dan jadinya menentukan maupun memisahkan yang benar dan salah.[8]Di samping itu menurut Jalaluddin, logika mampu mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam membuat kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya bisa menguasai ilmu wawasan dan teknologi, mengganti serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, kondusif dan nyaman.[9]
Sebelum terlalu jauh kita mengulas ihwal relasi rancangan fitrah dan keterkaitannya dengan pendidikan Islam ada baiknya kita telusuri apalagi dahulu tujuan dari pendidikan Islam secara umum. Secara general tendensi dari pendidikan Islam itu sendiri yaitu mengetahui hakikat kemanusiaan menurut Islam, ialah nilai-nilai ideal yang diyakini serta dapat mengangkat harkat dan martabat manusia. Sementara Achmadi meletakkan informasi tujuan pendidikan Islam dalam “tiga karakteristik” adalah tujuan tertinggi/simpulan, tujuan lazim, tujuan khusus.15 Tujuan tertinggi yakni bersifat mutlak, tidak mengalami pergeseran alasannya adalah sesuai dengan desain Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi/simpulan ini intinya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya selaku ciptaan Allah. Salah satu prilaku itu identitas Islami itu sendiri pada hakikatnya yakni mengandung nilai prilaku insan yang didasari atau dijiwai oleh keyakinan dan taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Tujuan selanjutnya ialah tujuan umum yang berlawanan substansinya dengan tujuan pertama yang condong mengarah kepada nilai filosofis. Tujuan ini lebih bersifat empiris
dan realistik.
Ahmad tafsir mengemukakan tujuan lazim bersifat tetap, berlaku di sepanjang daerah, waktu, dan keadaan. Tujuan biasa berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur sebab menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian subjek asuh, sehingga bisa mendatangkan dirinya sebagai sebuah eksklusif yang utuh. Itulah yang disebut realisasi diri (self realization).[10]
Sementara tujuan khusus merupakan pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi/selesai dan tujuan lazim pendidikan Islam. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan pergeseran dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi/tamat dan lazim itu Pengkhususan tujuan pendidikan Islam tersebut berdasarkan Achmadi didasarkan pada: kultur dan harapan suatu bengsa dimana pendidikan itu diselenggarakan, minat, talenta, dan kesanggupan subjek didil; dan tuntunan situasi, kondisi pada era waktu tertentu. Konsep fitrah dalam hubungannya dengan pendidikan Islam mengacu pada tujuan bersama dalam mendatangkan pergantian tingkah laku, sikap dan kepribadian sesudah seseorang mengalami proses pendidikan.
 Menjadi masalah ialah bagaimana sifat dan gejala (indikator) orang yang beriman dan bertaqwa. Maka konsep fitrah terhadap pendidikan Islam dimaksudkan di sini, bahwa seluruh aspek dalam menunjang seseorang menjadi menusia secara manusiawi adanya pembiasaan akan aktualisasi fitrah-nya yang diharapkan, yakni pertama, desain fitrah mempercayai bahwa secara alamiah insan itu nyata (fitrah), baik secara jasadi, nafsani (kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual). Kedua, mengakui bahwa salah satu komponen paling penting manusia yaitu qalbu. Perilaku manusia bergantung pada qalbunya. Di samping jasad, logika, insan memiliki qalbu.
Dengan qalbu tersebut insan dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar) berkecenderungan kepada yang benar dan bukan yang salah (tergolong memiliki kecerdikan, ketekunan), dan memiliki kekuatan mensugesti benda dan insiden. Menghubungkan keterangan ini secara ilmiah dengan adanya teori pendidikan Islam maka secara disiplin ilmu ialah rancangan pendidikan yang mengandung aneka macam teori yang dapat dikembangkan dari hipotesa-hipotesa yang bersumber dari al Qur‟an maupun hadis baik dari sisi metode, proses, dan produk yang diperlukan mampu membudayakan umat manusia supaya bahagia dan sejahtera dalam hidupnya. inilah yang disebut secara implikasi rancangan fitrah kecenderungan akseptor latih pada yang benar dalam memiliki secara pendekatan ilmiah kekuatan mempengaruhi benda dan kejadian.
Sedang pendidikan jika diberikan pemahaman dari al-Qur‟an maka kelompok pemikir pendidikan Islam menaruh pada tiga karakteristik di antaranya rabb, ta‟lim, , ta‟dib dimaksud dalam al-Qur‟an.  Dari ketiga kata tersebut, Muhammad Fuad „Abd al-Baqy dalam bukunya al-Mu‟jam al Mufahras li Alfadz al-Qur‟an al-Karim sudah menginformasikan bahwa di dalam al-Qur‟an kata Tarbiyah dengan berbagai kata yang serumpun dengan diulang sebanyak lebih dari 872 kali.19 Kata tersebut berakar pada kata rabb. Kata ini sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata dari al-Raghib alAshfahany, pada awalnya mempunyai arti al-Tarbiyah adalah insy’ al-syaihalan fa halun ila hadd al-tamam yang artinya membuatkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi tahap sampai pada batas yang tepat.

C.   Signifikansi Fitrah dalam Pendidikan Islam
Konsep fitrah pada dasarnya mempercayai bahwa arah pergerakan hidup manusia (peserta ajar) secara garis besar dibagi menjadi dua, yakni taqwa dan fujur. Peserta bimbing intinya diciptakan dalam keadaan memiliki potensi kasatmata dan ia mampu bergerak ke arah taqwa. Bila manusia berjalan lurus antara fitrah dan Allah, maka beliau akan menjadi taqwa (sehat, selamat). Bila tidak selaras antara fitrah dan Allah, maka ia akan berlangsung ke opsi yang sesat (fujur). Secara fitrah insan diciptakan dengan sarat cinta, mempunyai cinta, namun ia dapat meningkat ke arah aksi. Akan namun implikasi dimaksud dalam penelitian ini menerima bentuk rancangan fitrah sesuai realita yang ada, bahwa nilai-nilai aktualisasi fungsi konsep fitrah sejalan dengan tujuan pendidikan, baik secara epistemologi pendidikan, merealisasikan akseptor bimbing yang mempunyai peluangkepribadian muslim yang berorientasi pada aktualisasi desain fitrah insan.
 Jakfar Siddik mengungkapkan bahwa yang menjadi inti kemanusiaan itu yakni fitrah (agama) itu sendiri. Fitrah-lah yang membuat manusia (akseptor latih) mempunyai keluhuran jiwa secara alamiah berkeinginan suci dan berpihak pada kebaikan dan kebenaran Allah SWT. Menurut penulis menciptakan suatu tatanan proses pertumbuhan penerima latih kepada lingkungan pendidikan selaku lahan menyebarkan kesempatankesucian akseptor bimbing (konsep fitrah) dapat terpenuhi maka kebutuhan kepribadian peserta ajar akan lebih tepat.
Potensi kelompok akseptor didik sebagai anak manusia pengemban amanat Allah swt dan juga selaku khalifah di wajah bumi ini, beliau dilahirkan adanya nilai bertauhid Menurut Nurcholis Madjid ialah suatu insiden dengan adanya kesepakatanmahkluk (manusia) dengan Tuhan Allah swt, maka dapat dikatakan bahwa insan (akseptor latih) tersebut terikat dengan persetujuanitu (pemaknaan bersifat religius). Demikian juga halnya dengan agama pun sesungguhnya memang yaitu perjanjian, yang dalam bahasa Arabnya disebut dengan mitsaq atau „ahdun, perjanjian dengan Allah swt. Seluruh hidup merupakan realisasi atau pelaksanaan untuk memenuhi perjanjian manusia dengan Allah. Intinya ialah ibadah, artinya memperhambakan diri kepada Allah. Karena Allah swt sendiri sudah diakui selaku Rabb. Maka implikasinya, akhir dari beribadah terhadap Allah itu yaitu, bahwa manusia yaitu kelompok penerima asuh yang haus akan kebutuhan pengembanagan kepribadian nilai fitrah-nya diharuskan menempuh jalan hidup yang benar.



















BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Hakikat Konsep fitrah kalau dikaitkan dengan pendidikan Islam bantu-membantu sangat bersifat religius yang lebih menekankan pada pendekatan keimanan, alasannya, setiap insan yang dilahirkan beliau menenteng kesempatanyang disebut dengan kesempatankeimanan kepada Allah atau dalam bahasa agamanya adalah tauhid. Pengertian fitrah di dalam al Qur‟an ialah citra bahwa bantu-membantu insan diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, adalah agama tauhid. Manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki banyak sekali kemampuan aktualisasi relasi dengan Allah swt, sesama insan, dan alam secara positif konstruktif, inilah yang disebut transendent humanisme teosentris. Sehingga adanya pendidikan Islam berdasarkan rancangan fitrah, hendaknya kalangan penerima ajar layak menjadi hamba pilihan sesuai uraian Allah swt dalam al-Qur‟an.
 Islam selaku agama fitrah tidak cuma sesuai dengan naluri keberagamaan manusia namun juga menunjang perkembangan dan perkembangan fitrahnya, sehingga akan membawa terhadap keutuhan dan kesempurnaan pribadinya. Di sisi lain, Islam sebagai way of life (persepsi hidup) yang menurut nilai-nilai ilahiyah, baik yang termuat dalam al Qur,an maupun al hadist diyakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transendental, universal dan eternal (abadi), sehingga secara dogma diyakini oleh pemeluknya akan sesalu sesuai dengan fitrah insan, artinya menyanggupi keperluan manusia kapan dan di mana saja (likulli zamanin wa makanin).

B.    Saran
Dengan mengerti konsep fitrah dalam perspektif islam diharapka kita semua mengenali bagaimana fitrah manusia yang sesungguhnya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arifin, M.,. 1989. Ilmu Pendidikan Islam. Bumi Aksara, Jakarta
Achmad. 2005.  Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris. Pustaka Pelajar:Yogyakarta
Mujib, Abdul. 1999.  Fitrah & Kepribadian Islam, Sebuah Pendekatan Psikologis. Darul Falah, Jakarta
Nawawi, Rif‟at Syauqi. Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami. Rendra Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Raharjo, Dawam. 1999. Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-Qur’an. LPPI: Yogyakarta
Salim, Muin. 1994. Konsepsi Politik dalam al-Qur’an. LSIK & Rajawali: Jakarta
Tafsir, Ahmad.2007. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Remaja Rosdakarya, Bandung






  Pemahaman Psikologi

[1] Abdul Mujib, Fitrah & Kepribadian Islam, Sebuah Pendekatan Psikologis, 1999, (Darul Falah, Jakarta,), h. 47   .

[2] Ibid. h. 48

[3] Dawam Raharjo, Pandangan al-Qur’an Tentang Manusia Dalam Pendidikan Dan Perspektif al-Qur’an, 1999,  (LPPI: Yogyakarta, 1999), h. 35.

[4]  Ibid..h. 38

[5]Rif‟at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur’an dalam Metodologi Psikologi Islami, (Ed. Rendra Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2000), 67  

[6] Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam, 1989 (Bumi Aksara, Jakarta), h. 98

[7] Rif‟at Syauqi, Op. Cit., h. 67 

[8] Muin Salim, Konsepsi Politik dalam al-Qur’an, (LSIK & Rajawali Press, Jakarta, 1994), h. 25

[9] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam Paradigma Humanisme Teosentris, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005), h. 123

[10] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, 2007,(Remaja Rosdakarya, Bandung, , h. 154