close

Filsafat Hermeneutika : Studi Tentang Filsafat Bahasa Dan Para Tokohnya

Filsafat Hermeneutika : Studi Tentang Filsafat Bahasa Dan Para Tokohnya 
Salah satu ciri khas filsafat remaja ini ialah perhatiannya terhadap bahasa. Tentu saja, bahasa bukan merupakan tema gres dalam filsafat. Minat untuk problem-persoalan yang menyangkut bahasa telihat sepanjang sejarah filsafat, sudah sejak permulaannya di Yunani. Namun demikian, perhatian filosofis untuk bahasa itu belum pernah begitu umum, begitu luas dan begitu mendalam mirip dalam kurun ke-20. Dikatakan pula bahwa pada zaman ini bahasa memainkan peranan yang mampu ketimbang being (ada) dalam filsafat klasik dulu. Karena terdapat kemiripan tertentu, adalah keduanya bersifat universal. Hanya saja being adalah universal dari sudut objektif: “ada” meliputi segala sesuatu; apa saja merupakan being. Sedangkan bahasa yakni universal dari sudut subjektif: bahasa meliputi segala sesuatu yang dikatakan dan diungkapkan.; makna atau arti cuma timbul dalam kekerabatan dengan bahasa. Bahasa adalah tema yang dominan dalam filsafat Eropa kontinental maupun filsafat Inggris dan Amerika. Di mana-mana dapat kita saksikan the linguistic turn; di mana-mana refleksi filosofis berbalik terhadap bahasa. Dan tak sedikit aliran mengambil bahasa selaku pokok obrolan yang nyaris eksklusif, seperti misalnya hermeneutika, strukturalisme, semiotika, dan filsafat analitis.
Teori ihwal asal-permintaan bahasa telah usang menjadi obyek kajian para hebat, sejak dari golongan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub ilmu dan filsafat bahasa, di antaranya yaitu hermeneutika. Sifat ilmu pengetahuan yaitu senantiasa berkembang dan berhubungan antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu yang lain. Hermeneutika sering dikelompokkan dalam wilayah filsafat bahasa, walaupun beliau bisa juga mengklaim selaku disiplin ilmu tersendiri. Khususnya hermeneutika yang semula sungguh akrab kerjanya dengan Biblical Studies, dengan munculnya buku Truth and Method (1960) oleh Hans-Geor Gadamer, maka hermeneutika membuatkan mitra kerjanya pada semua cabang ilmu. Gadamer mendasarkan klaimnya pada argumen bahwa semua disiplin ilmu, tergolong ilmu alam, mesti terlibat dengan persoalan understanding yang timbul antara korelasi subyek dan obyek.
Hermeneutika yakni kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Hermeneutik Baru muncul sebagai suatu gerakan lebih banyak didominasi dalam teologi Protestan Eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika ialah “titik fokus” dari gosip-informasi teologis sekarang. Martin Heidegger tak henti-hentinya mendiskusikan huruf hermeneutis dari pemikirannya. Filsafat itu sendiri, kata Heidegger, bersifat (atau harus bersifat) “hermeneutis”.
Sesungguhnya istilah hermeneutika ini bukanlah sebuah kata baku, baik dalam filsafat maupun penelitian sastra; dan bahkan dalam bidang teologi penggunaan term ini sering muncul dalam makna yang sempit yang berlawanan dengan penggunaan secara luas dalam “Hermeneutika Baru” teologis kekinian.
Hermeneutika selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks. Meski terjadi pergeseran dan modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja berintikan seni memahami teks. Pada kenyataannya, hermeneutika pra-Heidegger (sebelum era 20) tidak membentuk suatu tantangan anutan yang berarti bagi fatwa agama, sekalipun telah terjadi evaluasi radikal dalam anutan-ajaran filsafat hermeneutika. Sementara itu, hermeneutika filosofis dan turunannya dalam teori-teori kritik sastra dan semantik sudah merintis jalan bagi tantangan serius yang membentur tata cara klasik dan pengetahuan agama.
Metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Yahudi-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini wacana sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi santunan besar dalam mengentalkan masalah hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya.
Para filosof hermeneutika ialah mereka yang sejatinya tidak membatasi petunjuk pada ambang batas tertentu dari segala fenomena wujud. Mereka selalu melihat segala sesuatu yang ada di alam ini selaku petunjuk atas lainnya. Jika kita mampu membedakan dua keadaan ini satu dan yang lainnya, maka kita mampu membedakan dua macam fenomena: ilmu dan pengertian. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan epistemologi, sedangkan dilema pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika. Sehingga dengan demikian, baik epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang berdampingan.
A. Asal Usul Dan Definisi Hermeneutika
Sebelum kita mendefinisikan filsafat hermeneutika, kita akan mengenali terlebih dulu asal-mula kata hermeneutika. Sudah lazim dikenali bahwa dalam masyarakat Yunani tidak terdapat sebuah agama tertentu, tetapi mereka percaya pada Tuhan dalam bentuk mitologi. Sebenarnya dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang memiliki anak bernama Hermes. Hermes dipercayai selaku utusan para ilahi untuk menerangkan pesan-pesan para yang kuasa di langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic lalu digunakan. Kata hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan suatu teks.
Hermes diyakini oleh Manichaeisme sebagai Nabi. Dalam mitologi Yunani, Hermes yang diyakini sebagai anak ilahi Zeus dan Maia bertugas menyampaikan dan menginterpretasikan pesan-pesan dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang diketahui manusia. Hermes mempunyai kaki bersayap dan diketahui dengan Mercurius dalam bahasa Latin. Menurut Abed al-Jabiri dalam bukunya Takwīn al-‘Aql al-‘Ârabi, dalam mitologi Mesir kuno, Hermes/Thoth yaitu sekretaris Tuhan atau orisin Tuhan yang sudah menulis disiplin kedokteran, sihir, astrologi dan geometri. Hermes yang dikenal oleh orang Arab sebagai Idris as, disebut Enoch oleh orang Yahudi. Baik Idris as, Hermes, Thoth, dan Enoch adalah ialah orang yang sama.
Sosok Hermes ini oleh Sayyed Hossein Nasr kerap diasosiasikan sebagai Nabi Idris as. Menurut legenda yang beredar bahwa pekerjaan Nabi Idris yaitu sebagai tukang tenun. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani perihal peran yang kuasa Hermes, ternyata terdapat kekerabatan faktual. Kata kerja “memintal” dalam bahasa latin yaitu tegree, sedang produknya disebut textus atau text, memang ialah gosip sentral dalam kajian hermeneutika. Bagi Nabi Idris as atau Dewa Hermes, problem yang pertama dihadapi adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang memakai “bahasa langit” supaya bisa dipahami oleh manusia yang menggunakan bahasa “bumi”. Di sini barangkali terkandung makna metaforis tukang pintal, yaitu memintal atau merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan agar nantinya pas dan mudah dipahami (digunakan) oleh manusia.
Hermeneutika (Indonesia), hermeneutics (Inggris), dan hermeneutikos (Greek) secara bahasa punya makna menafsirkan. Seperti yang dikemukakan Zygmunt Bauman, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos berhubungan dengan upaya “menjelaskan dan memelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak terang, kabur, dan pertentangan, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Akar kata hermeneutika berasal dari ungkapan Yunani dari kata kerja hermēneuein (menafsirkan) atau kata benda hermēneia (interpretasi). Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-‘ibāroh (istilah). Kata Yunani hermeios mengacu terhadap seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja hermēneuien dan kata benda hermēneia lazimnya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman insan ke dalam bentuk apa yang mampu ditangkap oleh intelegensia manusia. Kurang lebih sama dengan Hermes, mirip itu pulalah huruf dari sistem hermeneutika.
Dengan menelusuri akar kata paling permulaan dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari “hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “menenteng sesuatu untuk diketahui”, khususnya seperti proses ini melibatkan bahasa, alasannya bahasa merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.
Mediasi dan proses menenteng pesan “agar dimengerti” yang diasosiasikan dengan Hermes ini terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan hermēneia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini memakai bentuk kata kerja dari hermēneuein, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, contohnya “to say”; (2) menerangkan; (3) menerjemahkan. Ketiga makna itu mampu diwakilkan dalam bentuk kata kerja bahasa Inggris, “to interpret.” Tetapi masing-masing ketiga makna itu membentuk suatu makna independen dan signifikan bagi interpretasi.
Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika memiliki arti suatu ilmu yang menjajal menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu insiden pada waktu dan budaya yang lalu mampu dikenali dan menjadi berarti secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika ialah teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah teks.
Dalam Webster’s Third New International Dictionary dijelaskan definisinya, ialah “studi perihal prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; terutama studi wacana prinsip-prinsip biasa interpretasi Alkitab.” Setidaknya ada tiga bidang yang sering dekat dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan sastra.
Persoalan utama hermeneutika terletak pada penelusuran makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan pemfokusan pencarian makna pada ketiga komponen hermeneutika: pelopor, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu mampu dikelompokkan menjadi tiga klasifikasi hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis.
Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika mirip ini menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yaitu bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini yakni makna yang diharapkan pelopor teks. Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya yaitu bagaimana “langkah-langkah mengetahui” itu sendiri. Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks selaku dilema hermeneutiknya. 
Latar Belakang Munculnya Filsafat Hermeneutika 
Werner G. Jeanrond menyebutkan tiga kondisi penting yang kuat terhadap timbulnya hermeneutika sebagai suatu ilmu atau teori interpretasi: Pertama keadaan penduduk yang terpengaruh oleh pedoman Yunani. Kedua kondisi masyarakat Yahudi dan Nasrani yang menghadapi persoalan teks kitab “suci” agama mereka dan berupaya mencari model yang cocok untuk intepretasi untuk itu. Ketiga kondisi penduduk Eropa di zaman Pencerahan (Enlightenment) berupaya lepas dari tradisi dan otoritas keagamaan dan menenteng hermeneutika keluar konteks keagamaan.
1. Dari mitologi Yunani ke teologi Kristen
Konsep hermeneutika yang digunakan dari nama Hermes ini resminya digunakan untuk keperluan kultural bagi memilih makna, peran dan fungsi teks-teks kesusasteraan yang berasal dari penduduk Yunani antik, khususnya epik-epik karya Homer.
Meskipun interpretasi hermeneutis sudah dipraktekkan dalam tradisi Yunani, tetapi istilah hermeneutike gres pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM) Politikos, Epinomis, Definitione dan Timeus. Dalam Definitione Plato dengan terperinci menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” yang tidak terbatas pada pernyataan, namun mencakup bahasa secara biasa , penterjemahan, interpretasi, dan juga gaya bahasa dan retorika. Sedangkan dalam Timaeus Plato menghubungkan hermeneutika dengan pemegang otoritas kebenaran, ialah bahwa kebenaran cuma dapat dimengerti oleh “nabi”. Nabi disini maksudnya adalah perantara antara para tuhan dengan insan. 
Dalam menghadapi problema terjadinya krisis otoritas di golongan penyair dalam mengetahui mitologi atau sesuatu yang bersifat divine, misalnya masyarakat Yunani menyelesaikan dengan rancangan rational logos.
Stoicisme (300 SM) lalu membuatkan hermeneutika selaku ilmu intepretasi alegoris, ialah tata cara memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari sekedar pemahaman literal. Sejalan dengan itu maka untuk intepretasi alegoris kepada mitologi, Stoic menerapkan keyakinan inner logos dan outer logos (inner word and outer word). Metode alegoris lalu dikembangkan lebih lanjut oleh Philo of Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang lalu dianggap sebagai Bapak metode alegoris. Metode yang juga disebut typology itu pada dasarnya mengajarkan bahwa pengertian makna spiritual suatu teks tidak berasal dari teks atau dari berita teks, namun lewat pengertian simbolik yang merujuk sesuatu di luar teks. Metode hermeneutika alegoris ini kemudian ditransmisikan ke dalam anutan teologi Katolik. Tokohnya, Origen (sekitar 185-254 M) sudah sukses menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan sistem ini.
Namun, metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini ditentang oleh golongan yang membela tata cara literal (grammatical) yang berpusat di Antioch. Pertentangan antara golongan Alexandria dan Antioch mereprentasikan pertentangan sistem interpretasi simbolik dan literal. Yang pertama berada dibawah pengaruh hermeneutika Plato sedangkan yang kedua berada dibawah bayang-bayang hermeneutika Aristotle.
Dari pertentangan antara dua desain hermeneutika Alexandria dan Antioch ini seorang teolog dan filosof Nasrani St.Augustine of Hippo (354-430 M) mengambil jalan tengah. Ia lalu memberi makna baru terhadap hermeneutika dengan memperkenalkan teori semiotik (teori tentang simbol). Teori ini dimaksudkan untuk mampu mengendalikan terjadinya distorsi bacaan alegoris teks Bible yang condong arbitrer, dan juga dari literalisme yang terlalu simplistik.
Perkembangan anutan hermeneutika dalam teologi Nasrani terjadi pada era pertengahan yang dibawa oleh Thomas Aquinas (1225-1274). Kemunculannya yang didahului oleh transmisi karya-karya Aristotle ke dalam milieu anutan Islam mengindikasikan kuatnya imbas aliran Aristotle dan Aristotelian Muslim khususnya al-Farabi (870-950), Ibn Sina (980-1037) dan Ibn Rushd (1126-1198). Dalam karyanya Summa Theologia ia menawarkan kecenderungan filsafat naturalistic Aristotle yang juga bertentangan dengan kecenderungan Neo-Platonis St.Augustine. Ia menyampaikan bahwa “pengarang kitab suci yaitu Tuhan” dan sesuatu yang perlu dijalankan oleh para teolog adalah pemahaman literal. Pemahaman literal lebih banyak merujuk terhadap hermeneutika Aristotle dalam Peri Hermenias nya. Tujuannya yakni untuk menyusun teologi Nasrani agar memenuhi standar formulasi ilmiah dan sekaligus merupakan penolakannya kepada interpretasi alegoris. 
Di awal kala pertengahan, hermeneutika masih berada dalam sangkar teologi Nasrani tetapi masih berada dibawah efek pemikiran filsafat dan mitologi Yunani. Ketika teks Bible sendiri mulai digugat dan dan otoritas gereja mulai goyah dampak persepsi hidup ilmiah dan rasional Barat (scientific and rational worldview) mulai timbul menenteng hermeneutika kepada makna baru yaitu filosofis.
2. Dari teologi dogmatis terhadap spirit rasionalisme
Bagaimanapun resistensi para teolog Nasrani terhadap kemajuan sains yang dipengaruhi oleh pandangan hidup ilmiah Barat, hermeneutika terus menjadi diskursus yang menawan kalangan teolog Kristen periode itu. Pertanyaan hermeneutika yang diangkat pun bergeser menjadi bagaimana menangkap realitas yang terkandung dalam teks antik mirip Bible dan bagaimana menterjemahkan realitas tersebut ke dalam bahasa yang diketahui oleh insan modern. Yang selalu dimuculkan yaitu duduk perkara adanya gap antara bahasa modern dan bahasa teks Bible, dan cara penulis-penulis Bible berfikir wacana diri mereka dan cara berfikir penduduk Nasrani terbaru.
Dunia teks kesannya dianggap sebagai representasi dari dunia mitos dan masyarakat terbaru dianggap mewakili dunia ilmiah. Hermeneutika sekarang membicarakan bagaimana kejadian dan kata-kata masa lampau menjadi mempunyai arti dan berkaitan bagi keberadaan manusia tanpa menghilangkan esensi pesannya.
Bel pertama untuk pemakaian hermeneutika sebagai the art of interpretation dapat ditemui dalam karya J.C.Dannheucer yang berjudul Hermeneutica Sacra Sive Methodus exponendarum Sacrarum litterarum, (Sacred Method or the Method of Explanation of Sacred Literature), terbit pada tahun 1654. Di situ hermeneutika telah mulai dibedakan dari exegesis sebagai metodologi interpretasi. Meskipun pengertiannya tetap sama tetapi obyeknya diperluas terhadap non-Biblical literature.
Benedictus de Spinoza (1632-1677) dalam karyanya tahun 1670 berjudul Tractatus theologico-politicus (Risalah wacana politik teologi) menyatakan bahwa “kriteria eksegesis untuk Bible hanyalah nalar yang mampu diterima oleh semua”. Perlahan-lahan hermeneutika dalam pengertian gres ini diterima selaku alat penafsiran (exgesis) Kitab Suci, dan juga menjadi pengantar disiliplin ilmu interpretasi.
Tanda-tanda beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi yang dogmatis kepada semangat rasionalisme telah mulai nampak semenjak terjadinya gerakan Reformasi Protestan pada periode ke-16. Mulai masa ini hermeneutika mengalami pertumbuhan dan memeperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius saat kelompok ilmuwan gereja di Eropa terlibat diskusi dan debat tentang otentisitas Alkitab dan mereka ingin menemukan kejelasan serta pemahaman yang benar perihal kandungan Bibel yang dalam banyak sekali hal dianggap bertentangan.
Tanda ini bertambah terang pada kala Pencerahan (Enlightenment) pada masa berikutnya. Memasuki era ke 18, hermeneutika mulai dicicipi sabagai teman sekaligus tantangan bagi ilmu sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, alasannya hermeneutika mulai mengatakan dan menggugat sistem dan rancangan ilmu sosial. Pada pertengahan era ini di Eropa bangun suatu apresiasi perihal karya-karya seni klasik, hermeneutika selaku metode penafsiran menjadi sangat penting peranannya. Karena suatu karya seni merupakan teladan perwujudan paling riil dari sebuah jalinan yang unik antara sang pencipta, proses pensiptaan dan karya cipta. 
Perkembangan makna hermeneutika dari sekedar pengantar ilmu interpretasi menuju terhadap metodologi pengertian, dilontarkan oleh seorang pakar filololgi Friedriech Ast (1778-1841). Dalam bukunya Grundlinien der Grammatik Hermenutik und Kritik (Elements of Grammar, Hermeneutic and Criticism) Ast membagi pengertian terhadap teks menjadi 3 tingkatan: 1) pengertian historis, yakni pemahaman berdasarkan pada perbandingan teks dengan teks yang lain. 2) pengertian ketata-bahasaan, adalah merujuk kepada pemahaman makna kata pada teks, dan 3) pemahaman spiritual, yakni pengertian yang merujuk kepada semangat, wawasan, mentalitas dan pandangan hidup pengarang, tetapi terlepas dari konotasi teologis ataupun psikologis. 
Pada tingkat ini pergantian diskursus hermeneutika dari teologi ke filsafat masih berkutat pada pergantian fungsi hermeneutika dari teori interpretasi teks Bibel secara rasional menjadi pengertian segala teks selain Injil. Disini hermeneutika meningkat dalam milieu yang didominasi oleh para teolog yang telah bersinggungan dengan pedoman filsafat Barat.
3. Dari teologi Protestan terhadap filsafat 
Abad ke 18 dianggap selaku permulaan abad berlakunya proyek modernitas, ialah aliran rasional yang prospektif pembebasan (liberasi) dari irrasionalitas mitologi, agama dan khurafat. Ketika gerakan desakralisasi atau dalam bahasa Weber ‘disenchantment’ terjadi di Barat, ilmu ditaruh dalam posisi berlawanan dengan agama yang dianggap penyebab kemunduran.
Pada kala ke-17 dan 18 pendekatan kritis terhadap Alkitab (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) yang merupakan bab dari hermeneutika teologis sudah berkembang. Studi kritis perjanjian lama telah menekankan kepada struktur atau bahasa teks selaku cara untuk mengerti isi. Studi in juga menyandarkan pada bukti internal teks sebagai dasar diskusi tentang integritas dan pengarang teks, kemudian mencari situasi sosiologis dan historis sebagai konteks untuk mengerti asal-mula dan penggunaan materi. Studi kritis Perjanjian Baru melahirkan banyak teks-teks tandingan kepada textus receptus edisi Erasmus. Studi tersebut menyatakan bahwa Kalam Tuhan (Word of God) dan Kitab Suci (Holy Scripture) tidak identik, bagian-bab dari Bibel bukanlah ide dan tidak mampu diterima secara otoritatif. Di dalam milieu fatwa inilah makna hermeneutika bermetamorfosis metodologi filsafat.
C. Perkembangan filsafat hermeneutika dan para tokohnya 
Terdapat sejumlah tokoh yang memberi pinjaman dalam kemajuan filsafat hermeneutika, di antaranya yaitu:
1. Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768-1834).
Schleiermacher, seorang Protestan dan pernah menjadi Rektor di Universitas Berlin pada tahun 1815-1816, digelar sebagai “the founder of General Hermeneutics.” Gelar tersebut diberikan alasannya adalah pemikirannya dianggap telah memberi nuansa gres dalam teori penafsiran. Materi kuliahnya “universal hermeneutic” menjadi acuan Gadamer dan berpangaruh kepada anutan Weber dan Dilthey. Ia dianggap selaku filosof Jerman pertama yang terus menerus mempertimbangkan duduk perkara-duduk perkara hermeneutika. Karena itu beliau dianggap selaku Bapak Hermeneutika modern dan juga pendiri Protestan Liberal. Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan lagi terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis Alkitab, melainkan prinsip-prinsipnya bisa dipakai selaku fondasi bagi semua ragam interpretasi teks.
Schleiermacher menyelenggarakan reorientasi paradigma dari “makna” teks kepada “pengertian” teks. Rasionalitas terbaru seperti dianut oleh mazhab Protestantisme sudah mengubah makna literal Bible yang selama ini dianggap oleh mazhab resmi gereja selaku “makna historis” menjadi “pemahaman historis” yang segala sesuatunya merujuk terhadap kurun silam. Afiliasi sebuah teks kepada era silam itu menjadikan kehadirannya di abad sekarang menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang menanggapi peristiwa abad kemudian harus menjadi jawaban persoalan kontemporer?! Tidak kah lebih baik jikalau teks kurun silam itu dienyahkan karena realitas yang terus berubah dari waktu ke waktu?
Schleiermacher mengakibatkan duduk perkara hermeneutis selaku dilema universal dan mengajukan teori pengertian yang filosofis untuk mengatasinya. Ia merubah makan hermeneutika dari sekedar kajian teks Alkitab menjadi metode mengetahui dalam pengertian filsafat. Dalam pandangan Schleiermacher, tradisi hermeneutika filologis dan hermeneutika teologis bisa berinteraksi, yang membuka kemungkinan untuk menyebarkan teori umum mengenai pengertian dan penafsiran. Paul Ricoeur berpendapat hermeneutika lahir dengan perjuangan untuk memaksimalkan penafsiran Bibel dan filologis ke tingkat ilmiah, yang tidak terbatas kepada sistem yang khusus. Dengan mensubordinasikan kaidah-kaidah dalam tafsir Bibel dan filologis kepada masalah penafsiran yang biasa, maka teori penafsiran Schleiermacher disebut juga dengan hermeneutika universal (universal hermeneutics).
Schleirmacher telah menumbuhkan asas seni pengertian teks; pengertian yang selalu terkait mengikuti pertumbuhan dari setiap orang dan dari satu zaman ke zaman lainnya. Jarak pemisah antara zaman bikinan teks dengan zaman pengertian kontemporer sedemikian meluas dan membentang, sehingga diharapkan ilmu yang menangkal kekeliruan pemahaman. Atas dasar itu, Schleirmacher menaruh kaidah pemahaman teks yang terbatas pada dua aspek utama yakni: aspek kebahasaan (penafsiran tata bahasa) dan aspek kemampuan menembus abjad psikis pengarang (penafsiran psikologi). Kedua aspek itu saling melengkapi satu dengan yang lain. Tugas kaedah hermeneutik Schleirmacher-ian itu yaitu untuk sejauh mungkin mengerti teks mirip yang dimengerti pengarangnya dan bahkan lebih baik dari apa yang dipahami oleh si pengarang (merekonstruksi fikiran pengarang). Tugas itulah yang lalu diketahui dengan “Hermeneutical Circle”.
Kaprikornus, bukan saja setiap unit, tata bahasa mesti dimengerti dalam konteks keseluruhan ucapan, namun ucapan juga harus dipahami dari konteks keseluruhan mental pengarang (the part whole principle). Jika peran tersebut dilakukan oleh seorang interpreter maka Schleirmacher menyimpulkan sesorang penafsir akan bisa mengetahui teks sebaik atau bahkan lebih baik dibandingkan dengan pengarangnya sendiri, dan mengetahui pengarang teks tersebut lebih baik daripada pengarang sendiri.
2. Wilhelm Dilthey (1833-1911)
Wilhelm adalah penulis biografi Scleiermacher dan salah satu pemikir filsafat besar pada akhir abad ke-19. Dia melihat hermeneutika yaitu inti disiplin yang mampu dipakai sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada pengertian seni, aksi, dan tulisan insan). Wilhelm Dilthey ialah seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal Jerman.
Bagi filosof yang pakar metodologi ilmu-ilmu sosial ini, hermeneutika adalah “tehnik mengerti mulut wacana kehidupan yang tersusun dalam bentuk goresan pena”. Oleh alasannya adalah itu beliau menekankan pada insiden dan karya-karya sejarah yang merupakan verbal dari pengalaman hidup di era lalu. Untuk mengerti pengalaman tersebut intepreter harus mempunyai kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk kesamaan dimaksud merujuk terhadap segi psikologis Schleiermacher.
Pada bab awal pemikirannya, Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah transformasi psikologis. Namun sebab psikologi bukan merupakan disiplin historis, perjuangan-usahanya dia hentikan. Ia menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam asumsi pengarang. Ia anggap asumsi ini anti-historis sebab ia tidak mempertimbangkan imbas eksternal dalam kemajuan asumsi pengarang. Selain itu Dilthey juga menjajal mengangkat hermeneutika menjadi suatu disiplin ilmu yang memisahkan ilmu wawasan sosial dan ilmu wawasan alam dan mengembangkannya menjadi metode-sistem dan aturan-hukum yang menentukan obyektifitas dan validitas setiap ilmu. Bagi Dilthey hermeneutika universal memerlukan prinsip-prinsip epistemologi yang mendukung pengembangan ilmu-ilmu sosial.
Menurutnya, dalam tindakan pemahaman historis, yang harus berperan ialah wawasan eksklusif perihal apa yang dimaksudkan manusia. Jika Kant menulis Crituque of Pure Reason, beliau mencurahkan pemikiran untuk pemikiran Crtique of Historical Reason.
Wilhelm Dilthey mengawalinya dengan memisah-misahkan ilmu menjadi dua disiplin: ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora. Yang pertama menjadikan alam selaku obyek penelitiannya, yang kedua manusia. Oleh alasannya obyek dari ilmu alam berada di luar subyek, dia ditempatkan selaku sesuatu yang tiba kepada subyek, sebaliknya alasannya adalah obyek ilmu sosial-humaniora berada di dalam subyek itu sendiri, keduanya seolah tak terpisah. Yang membedakan kedua disiplin ilmu ini menurut Dilthey bukan obyeknya semata, namun juga orientasi dari subyek pengetahuan, yaitu “sikapnya” kepada obyek. Dengan demikian, perbedaan kedua disiplin ilmu tersebut bersifat epistemologis, bukan ontologis. Secara epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam menggunakan klarifikasi (Erklaren), ialah menerangkan hukum alam menurut penyebabnya dengan memakai teori. Sebab, pengalaman dengan teori terpisah. Sedang disiplin ilmu sosial-humaniora mengunakan pemahaman (Verstehen), dengan tujuan untuk mendapatkan makna obyek, karena di dalam pemahaman, terjadi pencampuran antara pengalaman dan pengertian teoritis. Dilthey menganggap makna obyektif yang perlu diketahui dari ilmu humaniora ialah makna teks dalam konteks kesejarahaannya. Sehingga, hermeneutika menurut Dilthey bermaksud untuk memahami teks sebagai verbal sejarah, bukan lisan mental penggagas. Karena itu, yang perlu direkonstruksi dari teks berdasarkan Dilthey, adalah makna dari kejadian sejarah yang mendorong lahirnya teks.
Dilthey menjadihan hermeneutika selaku unsur utama bagi fondasi ilmu humaniora (Geistesswissenchaften). Ambisi ini menyebabkan Dilthey sudah meluaskan penggunaan hermeneutika ke dalam segala disiplin ilmu humaniora. Makara, dalam pandangan Dilthey, teori hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa. 
3. Martin Heidegger (1889-1976)
Latar belakang intelektualitas Heidegger berada dibawah efek fisika, metafisika dan akhlak Aristotle yang di interpretasikan oleh Husserl dengan tata cara fenomenologinya. Pendiri fenomenologi, Edmund Husserl, ialah guru dan sekaligus mitra yang paling dihormati dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran Heidegger sungguh kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun balasannya Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis sebab menyangkut wawasan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi alasannya adalah menyangkut kenyataan itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa fakta eksistensi ialah persoalan yang lebih mendasar dibandingkan dengan kesadaran dan pengetahuan manusia, sementara Husserl condong menatap fakta keberadaan sebagai sebuah datum eksistensi. Heidegger tidak memenjara realitas dalam kesadaran subjektif, melainkan pada jadinya realitas sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan subjek. Bagi Heidegger, realitas mustahil dipaksa untuk menyingkapkan diri. Realitas, mau tidak mau, harus ditunggu agar ia menyingkapkan diri. 
Heidegger mengembangkan hermeneutika selaku interpretasi yang berdimensi ontologis. Dalam persepsi Heidegger, pengertian (verstehen) bukanlah suatu metode. Menurutnya pengertian lebih dari sekedar tata cara. Sebabnya pemahaman telah wujud apalagi dulu (pre-reflective understanding) sebelum merefleksikan sesuatu. Heidegger menamakan pra-pemahaman tersebut selaku Dasein, yang secara harfiah berarti disana-wujud. 
Apa yang ditulis Heidegger selaku hermeneutika tidak bisa dimengerti dalam pengertian pengertian yang subjektif. Hermeneutika juga bukan cuma suatu metode pengungkapan realitas. Hermeneutika yakni hakikat eksistensi insan yang menelisik selubung Ada (Sein). Ia tidak berada dalam pengertian subjek-objek, di mana pengertian ihwal objek berangkat dari persepsi kategoris dalam diri subjek. Subjek tidak memahami sejauh objek tidak mengungkapkan diri. Subjek tergantung terhadap pengungkapan objek. Dan sebetulnya term subjek dan objek di sini tidak sempurna, alasannya adalah Dasein yaitu seinde yang memiliki kemampuan lainnya. Dikatakan Dasein alasannya cara beradanya berbeda dengan benda-benda lain (seinde) yang ada begitu saja. Dasein memiliki arti mengada di sana. Terdapat nuansa aktifitas dari Dasein. Dasein yakni satu-satunya seinde yang secara ontologis mampu keluar dari dirinya sendiri (Existenz) guna menguakkan adanya sendiri dan adanya seinde yang lain. 
Sekalipun Heidegger masih tidak mengidentikkan antara manusia yang menginterpretasi atau berpikir dan yang diintrepretasi atau yang dipikirkan, tetapi ia tidak bisa dipisahkan sama sekali. Intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi digunakan dalam pemahaman lainnya, ialah bahwa faktisitaslah yang menjadi aliran kesadaran. Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang menunjukkan dirinya. Interpretasi insan dibaca dalam pengertian ontologis karena ia ialah hakekat manusia itu sendiri. Berpikir (menginterpretasi) ialah Dasein itu sendiri. Berpikir, dalam pemahaman Heidegger, bukan menggambarkan, bukan memvisualisasikan sesuatu di depan mata, bukan merefleksi, melainkan bertanya dan meminta informasi, mendengarkan dengan penuh rasa hormat suara Ada, menanti dengan bertanya dan mendengarkan Ada. 
Heidegger menghubungkan kajian ihwal makna kesejarahan dengan makna kehidupan. Teks tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, dia membutuhkan pengertian kepada kehidupan, suasana pengarang dan audiennya. Hermeneutikanya tercermin dalam karyanya Being and Time. Dasein (suatu eksistensi atau keberadaan yang berafiliasi dengan orang dan obyek) itu sendiri sudah ialah pengertian, dan interpretasi yang essensial dan terus menerus. 
Martin Heidegger mencoba mengerti teks dengan sistem eksistensialis. Ia menilai teks sebagai sebuah “ketegangan” dan “tarik-mempesona” antara kejelasan dan ketertutupan, antara ada dan tidak ada. Eksistensi, berdasarkan Heidegger, bukanlah keberadaan yang terbagi antara wujud transendent dan horisontal. Semakin dalam kesadaran insan kepada eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang terkait dengan sebuah insiden. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah insan bisa meresapi wujudnya dan cara ia bereksistensi sebagai komponen penegas dalam proses memahami sebuah teks.
Heidegger mencoba memperlihatkan pengertian lain kepada bahasa dan tidak hanya berkutat pada pemahaman bahasa selaku alat komunikasi saja. Bahasa ialah artikulasi eksistensial pemahaman. Bahasa lalu juga berarti ontologis. Antara eksistensi, kemunculan, dan bahasa, saling mengandalkan. Bersama asumsi, bahasa yakni juga ciri eksistensi manusia. Dalam bahasa, Ada mengejawantah. Oleh akibatnya, interpretasi merupakan kegiatan membantu terlaksananya kejadian bahasa, alasannya adalah teks memiliki fungsi hermeneutik sebagai kawasan pengejawantahan Ada itu sendiri.
Hermeneutika Heidegger telah mengganti konteks dan konsepsi lama tentang hermeneutika yang berpusat pada analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara pada sketsa subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melebihi itu semua dengan mengangkat hermeneutika pada tataran ontologis.
4. Hans-Georg Gadamer (1900-1998)
Gadamer memastikan bahwa pemahaman ialah persoalan ontologis. Ia tidak menilai hermeneutika selaku tata cara, alasannya adalah baginya pengertian yang benar yakni pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya kebenaran dapat dicapai bukan lewat sistem namun melalui dialektika, dimana lebih banyak pertanyaan dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat simpel. Gadamer melontarkan rancangan “pengalaman” historis dan dialektis, di mana pengetahuan bukan ialah bias pandangan semata tetapi ialah kejadian, kejadian, perjumpaan. Gadamer memastikan makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan pengalaman individu. Gadamer mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca.
Filsafat hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis, dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan nalar dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu harus difahami secara eksistensialis, alasannya hakikatnya mengerti teks itu sama dengan pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada ketika kita membaca suatu karya agung, dikala itu kita lantas mendatangkan pengalaman-pengalaman hidup kita di masa silam, sehingga melahirkan keseimbangan pengertian atas diri kita sendiri. Proses dialektika memahami karya seni berdiri atas asas pertanyaan yang diajukan karya itu terhadap kita; pertanyaan yang menjadi alasannya adalah karya itu ada.
Dia umpamakan pemahaman insan sebagai interpretasi-teks. Dalam proses mengetahui teks selalu didahului oleh pra-pengertian sang pembaca dan kepentingannya untuk berpatisipasi dalam makna teks. Kita mendekati teks senantiasa dengan seperangkat pertanyaan atau dengan potensi kandungan makna dalam teks. Melalui horizon ekspektasi inilah kita memasuki proses pengertian yang terkondisikan oleh realitas sejarah. Hermeneutika dalam pengertian Gadamer adalah interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter. Inilah yang ia sebut dengan effective historical consciousness yang struktur utamanya adalah bahasa.
Menurut Gadamer, pengertian bukanlah salah satu daya psikologis yang dimiliki insan, namun pengertian adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu tanpa pra-duga yaitu tidak terjadi. Kita gagal mengetahui hermeneutic circle, jika kita berusaha keluar dari bundar tersebut. Menurut Gadamer, ketika kita berupaya mengerti suatu teks kita akan berhadapan dengan koherensi relatif dari ruang lingkup makna. Jadi, bantu-membantu ada dua tata cara yang perlu dihindari ketika mengerti sesuatu. Pertama, perilaku reduktif dikala dengan seenaknya memasukkan rancangan kita sendiri dengan berlebih-lebihan ke dalam ruang lingkup budaya, sehingga menafikan kekhususan maknanya; kedua, perilaku self-effacement ketika kita menafikan kepentingan kita sendiri dengan berupaya masuk ke dalam kacamata orang lain. Kedua metode tersebut tidak menyelesaikan duduk perkara ilmu yang objektif sebab masih terjerat dengan dikotomisasi antara subjek atau objek, padahal kondisi primordial kita melebihi kekerabatan antara subjek dan objek. 
Gadamer merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci heremeneutis: Pertama, kesadaran kepada “situasi hermeneutik”. Pembaca perlu menyadari bahwa suasana ini menghalangi kesanggupan menyaksikan seseorang dalam membaca teks. Kedua, situasi hermeneutika ini lalu membentuk “pra-pengertian” pada diri pembaca yang pasti mensugesti pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks, berdasarkan Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, sehabis itu pembaca harus memadukan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya mesti dikomunikasikan semoga ketegangan antara dua horizon yang mungkin berlainan bisa dituntaskan. Pembaca mesti terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti memiliki sesuatu yang hendak dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut “bulat hermeneutik”. Keempat, langkah berikutnya yaitu menerapkan “makna yang memiliki arti” dari teks, bukan makna obyektif teks. Bertolak pada perkiraan bahwa manusia tidak mampu lepas dari tradisi dimana beliau hidup, maka setiap pembaca menurutnya pasti tidak mampu menetralisir tradisinya begitu saja ketika hendak membaca suatu teks. 
5. Jurgen Habermas (1929- )
Habermas selaku penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks selaku masalah hermeneutiknya. Sesuatu yang dimaksud yaitu dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga beliau mengandaikan teks bukan sebagai medium pengertian, melainkan selaku medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir, teks mesti ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai. Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media dominasi. Karena itu, beliau mesti selalu dicurigai.
Bagi Habermas pengertian didahului oleh kepentingan. Yang memilih horizon pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpereter. 
6. Paul Richour (1913-2005)
Paul Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual selaku bagian distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Hermeneutika yakni proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, adalah teks dalam pemahaman yang luas, bisa berbentuksimbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam penduduk atau sastra. Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik yang mempunyai multi makna (multiple meaning); ia dapat membentuk kesatuan semantik yang mempunyai makna permukaan yang sungguh-sungguhkoheren dan sekaligus mempunyai signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah tata cara di mana signifikansi mendalam diketahui di bawah kandungan yang nampak. 
Konsep yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna obyektif diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka aneka macam interpretasi yang mampu diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil cuma menurut persepsi hidup (worldview) pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya. Sederhananya, hermeneutika ialah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.
7. Muhammed Arkoun
Setelah membahas aliran tokoh-tokoh di atas, ada baiknya untuk membicarakan anutan Muhammed Arkoun yang telah mengadopsi teori-teori hermeneutika ketika menafsirkan Alquran.
Adalah Muhammed Arkoun, pemikir reformatif-dekonstruktif sekaligus intelektual wilayah ‘tak terpikirkan’ (al-la mufakkar fih/L’impensê/unthikable) yang lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair. Sejak tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbone Paris. Corak konstruksi pemikiran epistemik Arkoun sungguh tampakdipengaruhi oleh post-strukturalis Perancis. Metode historisisme yang dijadikan pisau bedah analisis Arkoun ialah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat terbaru hasil ciptaan para pemikir post-strukturalis Perancis. 
Kritik epistemik nalar Islam dan analisis dekonstruktif merupakan harga mati bagi Akoun guna meraih kebangkitan kembali peradaban Islam yang hingga sekarang masih terkapar dalam hegemoni ortodoksi dan dogmatisme. Kerja ilmiah ini digarap oleh Arkoun dengan cara mengkritik secara dekonstruktif terhadap prosedur-mekanisme berpikir konvensional yang sudah memproduk tata cara-sistem teologis dan akidah-keyakinan yang amat varian dan, sebagai langkah kedua, kemudian merekonstruksi pondasi-pondasi epistemiknya. 
Muhammed Arkoun berpendapat bahwa Mushaf Utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang dijadikan “tak terfikirkan” disebabkan semata-mata kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Ia merekomendasikan biar membudayakan fatwa liberal (free thinking). Ia meraih pemikiran liberal dengan dekonstruksi. Baginya, dekonstruksi yakni suatu ijtihad yang hendak memperkaya sejarah anutan dan menawarkan sebuah pengertian yang lebih baik wacana Quran. Jika dilema-duduk perkara yang selama ini ditabukan dan dilarang dan semua itu diklaim selaku sebuah kebenaran, jikalau didekonstruksi, maka semua diskursus tadi akan menjadi diskursus terbuka. 
Menurutnya pendekatan historitas, meskipun berasal dari Barat, tidak cuma sesuai untuk warisan budaya Barat saja.Tetapi pendekatan tersebut mampu diterapkan pada semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis, yang mau menantang segala bentuk pensaklaran dan penafsiran transenden yang dibentuk teolog tradisional. Arkoun dalam mengkaji studi ke-Islaman meletakkan perhatian yang sangat tinggi pada teori Hermeneutika.