Waktu cepat tergelincir tatkala ia mulai merancang suatu rumah yg kelak akan ditinggalinya bersama sang istri. Sebuah tempat yg dapat membuatnya mempunyai alasan untuk pulang; tinggal di dlm & menghabiskan masa renta hingga malaikat akhir hayat mengetuk pintu rumah; menjemput pada tenggat waktu yg telah diputuskan. Maka, sebelum semua itu terjadi, ia tidak ingin serampangan mendesain suatu rumah. Karena, selain nyaman untuk ditinggali, rumah baginya pula harus mampu menyimpan seluruh harap sepanjang hidup.
Mula-mula, ia mencari sebuah tanah. Dengan berkendara motor, ia mengelilingi kota bersama istri yg gres dinikahinya lima bulan. Setelah mengitari tempat-kawasan; menyusuri gang-gang sempit; lantas jauh meninggalkan kota, risikonya Tarno memperoleh suatu tanah yg sesuai. Memang, terletak jauh dr kota. Nyaris memasuki perbatasan. Ia pun lekas merundingkan dgn istrinya. Wanita itu sempat menolak sebab lokasi yg terlalu jauh. Akan namun, hati istrinya melunak ketika tahu bahwa suaminya memerlukan ketenangan dikala bekerja.
“Baiklah! Aku menyerah demi kamu, sayang!” Tukas istrinya mesra. “Semoga, di tempat ini kelak ananda bisa melahirkan karya-karya yg anggun.”
“Terima kasih, sayang,” ucap Tarno lembut. “Kau memang pengertian!”
Sudah sepuluh tahun memang Tarno bekerja sebagai seorang penulis. Dan, sudah banyak ia mencetak buku. Keberhasilannya ini tak lepas dr kejadian-kejadian bodoh di masa lalu; kesadaran mutlak yg dengan-cara tak eksklusif dibawanya saat membangun rumah ini. Pada masa muda, tatkala ia menentukan karier menjadi seorang penulis, ia memutuskan mengembara. Hal itu ia kerjakan setelah terinspirasi suatu film berjudul: On the Road [1]. Ia ingin melihat dunia langsung dgn matanya. Seluruh kejadian aktual yg tak ditutup-tutupi atau digubah, sehingga menjadi yummy dipandang. Ia tak mau menjadi manusia munafik yg cuma mengatakan pada hal- hal baik. Karena, ia ingin bicara dgn jujur apa-apa yg terjadi di sekitarnya.
Tarno muda menjadi seorang musafir, tidur di emperan toko, makan ala kadarnya, & terus melangkah semabari mencatat hal-hal yg terjadi di sekitar. Bahkan, pernah terselip di dlm pikirnya: Ia bagai menjadi salah satu dr empat insan pertama tinggal di bumi. Zaman di mana hanya ada Adam, Hawa, Kain, & Habil [2]. Sebagai seorang pengembara ia merasa menjadi Habil-Homo Ludens—manusia petualang yg jauh mencari rumah; membuat satu sistem lingkaran hubungan antara alam & kehidupan.
Terbersit pula di kepalanya: Ia berhak atas segala yg ada di muka bumi ini. [3]
Sepanjang pengembaraan, ia menyaksikan kawasan-daerah gres, orang-orang ajaib, peristiwa demi kejadian yg terjadi begitu cepat. Tak terbendung. Tak mudah direkam begitu saja. Ia, sebagai seorang penulis, menafsirkan semua itu sebagai suatu bentuk ruang artistik yg tak tetap; dinamis; & sulit dikekalkan. Beberapa kali dikala perjalanan ia merasa frustasi; menyaksikan semuanya cepat berlalu; melompat dr satu waktu ke waktu yg lain; bergerak dr satu saat-saat ke saat-saat yg lain. Ia berpikir: Manusia sekarang seperti tak berumah. Manusia hidup tanpa meninggalkan makna.
Dan, ia tak mau menjadi orang-orang yg dulu ditemukannya itu. Ia tidak mau terjebak di dlm ruang-ruang transit yg kabur. Pun, pernah Tarno menyesal mengenali semua itu. Ia tak menyangka bahwa suatu bangunan yg manis tak melulu dapat bikin seorang tenteram tinggal di dalamnya. Ikatan batin lepas dr setiap individu dgn yg lain. Maka, kesudahannya dgn sengaja ia menentukan kawasan yg jauh dr hingar bingar; hingar-bingar yg sering membuat seorang mabuk untuk larut di dalamnya. Tarno hanya butuh sebuah rumah kecil, sederhana dgn seorang hangat menyambutnya tatkala lelah pulang bekerja. Dan, menanti dgn sabar pada masa bau tanah yg rakus menggerogoti usia.
“Kita akan mengawali menanam harapan & mimpi di sini, sayang,” kata Tarno menjangkau telapak tangan istrinya.
Dua pekan kemudian, ia sudah menebus tanah itu. Cukup mahal. Namun, Tarno tak begitu menimbang-nimbang pengeluarannya. Mantap hatinya seperti awal mendapatkan tempat tersebut. Beberapa bulan setelahnya, ia mulai memilih orang-orang untuk melaksanakan rumah yg diimpikannya. Tarno sudah merancang suatu rumah yg tak terlalu besar. Sudah puas ia dgn rumah mungil dgn beberapa kamar yg setidaknya dapat mempertahankan keintiman keluarga kelak di dalam.
Rumah bagi Tarno pula mirip samudra; menyatukan sungai-sungai kecil di dalam.
Betapa malang seandainya mempunyai rumah besar, tetapi penghuninya tak pernah mempunyai ikatan & kehangatan. Pun, ia tak sudi mengulang kegagalan orang tuanya membangun rumah dengan-cara harmonis. Karena, dulu, rumah baginya hanya daerah bersemayam kemalangan & dusta. Rumah masa kecilnya yg megah dgn bingar lampu-lampu keemasan terasa membosankan. Setiap penghuni didalamnya sibuk, hingga akhirnya mereka mencari pelampiasan masing-masing. Seperti, ayahnya yg main serong dgn gadis muda. Dan, begitu pula dgn ibunya. Tarno hidup dlm sebuah hiruk pikuk yg sunyi.
Berat ia mengenang itu semua. Tidak sampai hatinya menelantarkan keluarganya kelak. Dan, rumah yg mungil dgn tata ruang yg tak terlalu glamor ini sudah cukup bagi Tarno untuk merapatkan kehangatan; mengikat keserasian.
“Dapur & meja makannya kita jadikan satu saja, sayang?” Cetus Tarno.
“Duh, nanti bukannya terasa sempit, sayang?” Istrinya tak oke.
“Karena terasa sempit itu, jadi kebersamaan kita tak lari ke mana-mana,” dengusnya mesra.
Hati istrinya melunak. Wanita itu tak protes. Dan, sebab hal itulah Tarno begitu cinta dgn istrinya; selain masakan yg lezat yg dapat terus mengikatnya untuk pulang dgn perut keroncongan di meja makan. Ya! Sebuah keluarga yg sehat & senang senantiasa berawal dr dapur & meja makan yg bahagia.
Sejak permulaan membangun rumah, Tarno pula sudah berniat untuk tak menghancurkan alam di sekitarnya. Sebisa mungkin, ia tak merusak ekosistem hayati yg sudah terbentuk terlebih dulu. Banyak pohon yg tak ditebang. Tarno berpikir: Tak elok rasanya ia menghalau kehidupan yg sudah hidup lebih dahulu darinya di tanah tersebut. Ia mencoba menyesuaikan dirinya dgn alam. Bukan malah sebaliknya! Tarno yakin: Alam yg dihargai dgn baik, suatu ketika akan menghargainya. Dan begitulah. Hal itu terbukti. Belum genap enam bulan pengerjaan rumah, pohon- pohon itu menunjukkan berkah.
Pohon mangga, rambutan, & jambu air yg ia pertahankan mulai berbuah. Para tukang bangunan pun ia bebaskan untuk memetik. Ia tak melarangnya. Sebisa mungkin, Tarno membagi kebahagian tersebut.
“Bukannya jikalau kita jual bisa sedikit meminimalisir biaya hidup kita, sayang?” Kata istrinya.
“Segala sesuatu yg berlebihan tak elok. Nikmat terasa enak bila sedikit,” leram Tarno.
Dan benar! Buah-buah itu terasa jauh lebih manis dibandingkan dengan buah-buah yg pernah mereka beli di pasar. Bahkan, tatkala trend buah usai, pohon-pohon di kebun rumah Tarno masih bermekaran. Sampai pembangunan usai, para tukang & beberapa warga sekitar kagum dgn hal itu.
Rumah bukan saja tempat untuk tinggal. Rumah merupakan daerah bagi ‘Tuhan beristirahat’. Sebelum semua daerah usai dilakukan, Tarno menyuruh para tukang yg disewanya untuk sedikit memperluas ruang tengah; ruang keluarga. Ia merasa, tatkala berkumpul atau berdua dgn istrinya; Tuhan pula ada di sampingnya.
Tuhan menyimak setiap keluh yg pribadi & tak langsung. Menjadi sesuatu yg ada, namun tak berupa konkret. Tuhan mengawasi setiap tingkahnya di dlm rumah; perkataan & apa-apa yg terjadi, atau belum sempat terjadi. Tuhan tinggal di dlm rumah bareng manusia yg sering merasa hampa & sendiri.
Selain itu, ia pun bikin satu kawasan ibadah khusus di rumah itu. Tarno letakkan di depan. Persis di erat ruang keluarga. Rasanya tak pantas menaruh ruang khusus itu di belakang; mirip yg sering ia dapatkan di rumah makan atau kawasan-daerah yang lain. Yang sering menempatkan Tuhan jauh sehabis segala hingar-bingar hidup. Begitulah. Delapan bulan berlalu. Rumah tersebut sekarang berdiri kokoh. Malam harinya, mereka bermalam di rumah tersebut.
Sejenak-sebelum tidur-istrinya meremang. Ada raut kesedihan di sana. “Mengapa kau menikah denganku, sayang?”
“Maksudmu?” Tarno kebingungan dgn pertanyaan itu.
“Bukankah kau sudah tahu!” Air mata menetes. Dan kebahagian mempunyai rumah gres pudar. “Sebelum menikah, rahimku sudah diambil. Aku tak akan bisa mengandung. Kau tak akan memiliki anak.”
“Sudahlah, lupakan!” Tarno menenangkan.
“Bukankah suatu rumah akan lengkap bila ada seorang anak!” Kalimat itu tajam menusuk. “Dan, gue tak akan membuat rumah baru ini lengkap!”
Tarno tertohok. Ia pandang wajah istrinya. “Rumah bagiku adalah daerah untuk pulang. Tetapi, tanpa ada seorang memikirkan atau mencemaskanku, tak ada artinya gue pulang. Rumah bukan sekadar untuk transit melepas lelah, namun pula melepas rindu. Dan, kau alasanku untuk terus pulang, sayang!”
Istrinya melamun. Tak tahu apalagi yg ingin ia ucapkan pada suaminya. Ia hanya memeluk erat. Tak mau terlepas. (*)