close

Faktor-Aspek Yang Mengakibatkan Perubahan Dan Tingkatan Administrasi Pergantian Dalam Peruasahan.

Faktor-aspek Yang Menyebabkan Perubahan dan Tingkatan Manajemen Perubahan dalam Peruasahan.
Dalam suatu pergeseran dalam institusi bisnis (perusahaan) tentunya dipengruhi oleh faktor internal maupun eksternal yang ada. Perusahaan jikalau ingin survive dan mampu bersaing dalam dunia bisnis saat ini pastinya senantiasa harus melaksanakan perubaha-pergeseran yang mampu mengadopsi keperluan pergeseran itu. Sehingga akan mampu berkompetisi dan bertahan dalam menghadapi kompetisi yang semakin ketat akil balig cukup akal ini.

Dalam memahami dan mencermati faktor-aspek yang menyebabkan peruabahan ini maka perlu diketahui pula rancangan dari peruabahan dimaksud.

Konsep Perubahan Organisasi

Semua organisasi harus berganti sebab adanya tekanan di dalam lingkungan internal maupun eksternal. Walaupun perubahan yang terjadi lebih pada lingkungan, namun kebanyakan menuntut pergeseran lebih pada organisasional, dan organisasi-organisasi mampu melakukan lebih banyak pergantian ataupun lebih sedikit. Organisasi-organisasi bisa mengganti tujuan dan strategi-strategi, teknologi, rancangan pekerjaan, struktur, proses-proses, dan orang. Perubahan-perubahan pada orang selalu mendampingi perubahan-pergeseran pada faktor-faktor yang lain.

Proses pergantian pada umumnya meliputi perilaku dan perilaku ketika ini yang unfreezing, pergeseran-perubahannya dan akhirnya kepemilikan sikap dan perilaku yang gres yang refreezing. Sejumlah isu-gosip kunci dan problem mesti dihadapi selama dalam proses perubahan lazim. Pertama ialah, diagnosis yang akurat perihal suasana dan kondisi ketika ini. Kedua yakni, penolakan yang ditimbulkan oleh adanya unfreezing dan pergantian. Pada akibatnya dilema pelaksanaan penilaian yang mencukupi dari usaha pergeseran yang sukses, di mana evaluasi-evaluasi semacam itu pada umumnya lemah atau bahkan tidak ada sama sekali

Akhir-simpulan ini, berbagai  praktisi dan jago administrasi yang menekankan  pentingnya peran insan dalam memilih keberhasilan sebuah institusi, baik  institusi di sektor swasta maupun di sektor publik. Kenichi Ohmae dalam The Borderless World menyatakan bahwa ‘sama halnya dengan perusahan-perusahan, kemakmuran negara-negara bergantung terhadap kemampuannya untuk membuat nilai dengan bertumpu pada orang-orangnya, bukan lewat pemanfaatan sumberdaya alam maupun teknologi . Ketika ditanya  pendapatnya ihwal lima aspek utama yang memilih sebuah keberhasilan sebuah perusahaan dalam proses perubahannya dari  perusahaan yang jelek menjadi perusahaan yang ahli, Walter Bruckart  menyatakan bahwa faktor pertama adalah manusia, aspek kedua adalah manusia, aspek ketiga yakni insan, aspek keempat yakni insan dan aspek ke lima juga insan. Jeffrie Peiffer  menyatakan bahwa selama berpuluh-puluh tahun para administrator dan pakar administrasi mencari sumber keberhasilan suatu perusahaan di daerah  yang salah. Dia menyatakan bahwa keberhasilan sangat ditentukan oleh cara suatu perusahaan memperlakukan orang-penduduknya.

Dalam pernyataan-pernyataan yang kelihatannya sederhana itu ada beberapa hal yang perlu dicermati lebih jauh. Pertama, insan, baik sebagai individu maupun selaku bagian dari sebuah kalangan ialah mahluk yang kompleks atau multi dimensi. Perlu dipertanyakan, dari sekian banyaknya dimensi yang ada pada seorang insan dimensi manakah yang memang sangat besar pengaruhnya dalam menentukan kesuksesan? Kedua, insan berada di tengah-tengah lingkungan  yang juga kompleks, apakah itu lingkungan organisasional atau sosial. Di sini kemudian timbul pertanyaan lain, dimensi mana yang berperan besar dalam jenis lingkungan tertentu.?

Akhir-tamat ini banyak pihak  menyatakan bahwa pentingnya kompetensi. Di perusahaan-perusahaan atau di beberapa organisasi di sektor publik orang berbicara perihal competence-based pay, competence-based performance appraisal, competence-based people development. Bahkan dalam bidang pendidikanpun di Indonesia sekarang diperkenalkan Kurikulum Berbasis Kompetensi. Penonjolan seperti ini menyebabkan kesan bahwa dimensi kompetensi yang dimilikilah  yang menjadi faktor yang berkontribusi paling besar kepada  kesuksesan suatu institusi.

Pengalaman dalam menolong beberapa perusahaan melancarkan program peruabhan memberikan bahwa masalahnya tidak sesederhana itu. Ada institusi yang anggota-anggotanya secara individual kompeten  namun kinerja institusinya sungguh tidak membuat puas selama bertahun-tahun. Namun demikian orang-orang yang serupa di perusahaan yang sama dengan kompetensi yang relatif sama lalu menunjukkan kinerja jauh lebih baik dari sebelumnya sesudah adanya pergantian di institusi tersebut . Sebaliknya, ada institusi yang  yang selama bertahun-tahun kinerjanya anggun, tetapi tiba-datang kinerjanya menurun sungguh menyolok padahal di institusi tersebut tetap melakukan pekerjaan orang-orang yang sama, dengan kompetensi individual yang serupa. Dalam ‘The Knowing-Doing Gap”, Jeffrey Pfeffer memperlihatkan bahwa  beberapa jenis suasana dalam sebuah organisasi akan menimbulkan orang-orang dalam organisasi tersebut tidak mempempraktekkan wawasan atau keahlian yang dimilikinya. Ini memberi indikasi bahwa ada hal-hal lain di luar kompetensi yang kuat besar terhadap kinerja suatu institusi.

Suatu sejarah dan tahapan ini akan memusatkan uraiannya pada tugas idealisme, huruf dan komunitas dalam transformasi institusi. Di sini yang dimaksud dengan oraganisasi bisnis yakni organisasi yang punya pandangan baru untuk mejalankan sebuah misi yang diperlukan membawa imbas  kepada  masyarakat. Perubahan perusahaaan yaitu proses perubahan, baik yang dijadwalkan maupun tidak direncanakan, dalam perjalanan institusi yang bersangkutan merealisasikan misinya.

Untuk mempertahankan agar uraian ini lebih fokus maka pembahasan  ini akan diposisikan dalam bingkai  kemajuan cara pendekatan  dalam  administrasi.

Berbagai Pendekatan Perubahan Organisasi

Ada tiga pandangan wacana konsep perubahan organisasi pertama, pada hakikatnya target perubahan organisasional ialah birokrasi yang digunakan sebagi alat administrasi dan sebagai instrumen kekuasaan dan efek. Kedua, perubahan organisasi harus lewat cara demokrasi dan liberalisasi. Ketiga, organisasi dan manajemen mampu mengenali gap antara suasana yang ada dengan yang dibutuhkan berdasarkan ukuran-ukuran tertentu yang biasa dipakai yaitu, efektivitas, efisiensi, dan kepuasan anggota organisasi.

Di samping tiga persepsi tersebut ada sejumlah pendekatan yang dapat dipakai untuk mengetahui pergeseran organisasi. Berbagai pendekatan tersebut adalah pertama, pendekatan yang menekankan pada hubungan-relasi antara struktur, teknologi dan orang. Dari ketiga unsur tersebut akan dapat diputuskan tentang apa yang mau diubah dan bagaimana cara menggantinya. Kedua, dari mana ilham konsep pendekatan tersebut berasal. Di sini ada dua desain yaitu analisis Leavitt dan analisis Greiner. Leavitt condong menjawab problem apa yang mampu diubah, sedangkan Greiner cenderung menjawab bagaimana perubahan itu dilaksanakan atau diimplementasikan.

Perkembangan dan  Cara Pendekatan  Dalam  Manajamen

Manajemen selaku sebuah disiplin gres lahir pada  awal dekade kedua atau final dekade pertama abad ke dua puluh. Dalam perkembangannya sampai saat ini , banyak  pendekatan dan desain manajemen yang disediakan oleh pakar manajemen . Hal yang sungguh mempesona dalam pertumbuhan tersebut yaitu adanya pergeseran cara pendekatan  yang menyolok pada tahun 1970-an. Selama 60 tahun pertama ( 1910-1970) anutan dalam administrasi sangat didominasi oleh pendekatan yang bersifat rasional-saintifik. Sejak 1970 hingga kini pemikiran dalam bidang manajemen mulai memberi  tekanan pada pendekatan kualitatif-humanistik.

Pada zaman rasional-saintifik ini,  dua puluh lima  tahun pertama (1910-1935)  dipakai untuk menentukan atau mendapatkan struktur organisasi atau struktur kerja yang efisien. Ini adalah eranya Frederick Taylor dan Henry Fayol. Dua puluh tahun berikutnya (1935-1955) para pemikir dan praktisi administrasi menjajal menerapkan model-versi matematik atau cara-cara analisis kuantitatif untuk mengembangkan produktivitas di tempat kerja. Ini adalah kala tumbuhnya versi-model meningkatkan secara optimal dalam bidang operation research. Lima belas tahun berikutnya (1955-1970) pemikir administrasi menjajal menerapkan cara  berfikir sistem dalam bidang administrasi. Pada ketika itu berpikir tata cara atau pendekatan metode  yakni topik pembicaraan yang hangat diantara orang-orang manajemen.

Era kualitatif-humanistik  dimulai dengan diperkenalkannya pendekatan berpikir strategik dalam administrasi. Strategi korporat, strategi bisnis, penyusunan rencana strategik, analisis SWOT yakni topik pembicaraan yang dianggap canggih  antara tahun 1970-1980. Sesudah itu para pemikir administrasi masuk ke dalam bidang yang lebih ‘lunak’ lagi adalah budaya perusahaan (Corporate Culture). Pakar manajemen berbicara dan meneliti perihal pentingnya tata-nilai yang menjadi inti budaya perusahaan dalam menentukan kinerja perusahaan. Sesudah itu, pada tahun 1980-1985, para spesialis dan pemikir administrasi memasukkan administrasi inovasi sebagai salah satu bagian dari disiplin manajemen. Menjelang tahun 2000 para ahli manajemen mengatakan wacana organisasi belajar, administrasi pengetahuan, manajemen pergantian, dan modal-maya (virtual-capital).

Perubahan pendekatan dalam manajemen itu tidak terjadi dengan sendirinya. Ada faktor-aspek  eksternal atau  yang berada di luar institusi dan aspek-faktor  internal atau yang berada dalam institusi yang mendorong para pakar dan praktisi administrasi untuk mendapatkan pendekatan yang lebih sesuai dengan tantangan yang mereka hadapi.

Faktor-faktor eksternal yang mendorong perubahan sungguh beragam. Beberapa diantaranya ialah: pergeseran kekuatan konsumen, pergantian intensitas kompetisi, keaneka-ragaman, pertumbuhan ilmu wawasan,  dan meningkatkannya laju pergeseran. Faktor-faktor yang disebutkan di atas saling berkaitan satu dengan yang lain.

Pada permulaan abad kedua-puluh, produsen memiliki kekuatan yang lebih besar dari pelanggan. Produsen yang menentukan apa yang semestinya dibeli oleh pelanggan. Produsenlah yang mendikte pasar. Ini ialah era di mana produsen mampu menjual apa saja yang mereka buat dan  para pelanggan tidak memiliki banyak opsi. Ketika itu,  sebuah pabrik kendaraan beroda empat mampu  menyampaikan ‘boleh pilih kendaraan beroda empat apa saja asal Ford Model T warna hitam’. Namun dengan kian jenuhnya pasar, perimbangan kekuatan berganti. Posisi pelanggan makin kuat. Produsen ‘dipaksa’ untuk menciptakan produk atau jasa yang dinginkan atau dibutuhkan pelanggan. Sekarang pelangganlah mendikte produsen. Pergeseran kekuatan konsumen menjinjing imbas besar pada cara pendekatan manajemen. Dalam   kala ketika produsen lebih kuat dari  konsumen, pendekatan yang bersifat melihat-ke-dalam (inward looking) dan menyaksikan organisasi selaku tata cara tertutup dapat  menjamin kesuksesan perusahaan. Pendekatan inilah yang menjadi ciri dari era administrasi rasional saintifik. Namun ketika konsumen yakni raja, maka pendekatan yang beroriendasi-kedalam sudah tidak memadai untuk menjawab tantangan gres. Agar bisa tumbuh dan berkembang, sebuah institusi mesti melihat keluar, memperhatikan kebutuhan pelanggannya. Maka muncullah kebutuhan akan pendekatan manajemen yang menyaksikan-keluar (outward- looking). Sifat melihat-keluar ini diberi tempat yang luas  pada masa pendekatan kualitatif-humanistik.

Meningkatnya kekuatan konsumen berjalan bersamaan dengan meningkatnya intensitas  kompetisi. Keberhasilan produsen sangat diputuskan oleh kemampuannya untuk menyebabkan produk atau jasa yang dihasilkan menjadi opsi pelanggan di tengah-tengah banyak produk atau jasa yang lain. Inilah salah satu alasan utama masuknya konsep strategi dalam pedoman administrasi. Isu strategik dalam administrasi meliputi: kenali kesempatan, mengantisipasi ancaman, menilai kekuatan, menilai kelemahan, penentuan lingkup bidang perjuangan, penyeleksian dan pembentukan keunggulan bersaing, membangun sinergi, menentukan cara-cara tumbuh atau  meningkat , dan tanggung jawab sosial suatu institusi.

Keaneka-ragaman juga berkembangdengan segera. Keaneka-ragaman produk, jasa, kawasan operasi, keaneka-ragaman  latar belakang sosio-kultural orang-orang yang melakukan pekerjaan , keaneka-ragaman teknologi, keanekaragaman sosio-kultural daerah operasi,  menjinjing tantangan gres dalam administrasi. Pakar dan praktisi manajemen mencari cara untuk dapat menyaksikan komponen-komponen yang bervariasi ini selaku suatu kesatuan yang utuh atau mencari cara untuk melihat hal-hal yang dapat menyatukan hal-hal yang beraneka-ragam ini tanpa terjebak dalam keseragaman. Inilah salah satu alasan yang menyebabkan para jago manajemen memasukkan konsep atau cara berpikir  tata cara . Pada awalnya desain sistem yang dipakai yaitu tata cara yang sifatnya mekanistik yang menjadi basis dari pendekatan rasional-saintifik. Namun lalu para pemikir dalam manajemen juga memasukkan sistem yang komponen-unsurnya ‘lunak’ yakni tata cara nilai. Sistem atau tata-nilai inilah yang menjadi inti dari konsep budaya perusahaan pada era kualitatif-humanistik. Keaneka-ragaman juga  menimbulkan tuntutan baru, yakni tuntutan untuk menunjukkan keunikan. Agar mampu menjadi pilihan, produk atau jasa atau huruf suatu institusi dituntut untuk menawarkan perbedaannya atau keunikannya yang dapat memberi nilai-lebih di mata konsumen atau  pihak-pihak yang berkepentingan.Persaingan tidak bisa lagi dimenangkan atas dasar melakukan sesuatu lebih baik (do better) namun atas dasar melakukan yang berbeda (do differently). Dari sini timbulah tuntutan yang makin berpengaruh untuk berinovasi.

Makin cepatnya laju perubahan menjinjing tantangan-tantangan gres dalam bidang manajemen. Tiga dekade yang lalu Alvin Toffler   sudah menyatakan bahwa kita memasuki kehidupan yang diwarnai oleh kesementaraa. Semuanya menjadi semakin sementara. Umur produk kian pendek, teknologi makin cepat usang, cara pendekatan, tata cara dan cara berpikir makin cepat ketinggalan jaman. Akibatnya, suatu perusahaan atau institusi  publik dituntut untuk lebih sering melaksanakan pembaruan. Pembaruan produk, pembaruan jasa, pembaruan sistem, pembaruan cara pendekatan,  pembaruan cara berpikir atau pembaruan paradigma. Ini memiliki arti suatu institusi mendapat  tekanan yang lebih besar untuk melakukan kreasi atau penemuan secara terus menerus jikalau institusi itu ingin tetap hidup dan meningkat . Inovasi yang di abad kemudian ialah aktivitas yang sifatnya sporadik  atau periodik, sekarang menjadi kegitatan berkesinambungan. Ini menjadi salah satu pemicu tumbuhnya kebutuhan baru yaitu administrasi penemuan. Inovasi tidak lagi mampu dibiarkan berlangsung secara acak. Sebuah institusi perlu mencari cara atau mengembangkan lingkungan yang mampu menciptakan setiap anggotanya dengan senang hati mengerahkan semua peluangkreatifnya secara terus menerus. Menurut  Peter F. Drucker,  kini ini inovasi mesti menjadi suatu disiplin , artinya inovasi perlu dilakukan dengan mengamati prinsip-prinsip tertentu. Di samping inovasi, perubahan juga menjadi keseharian. Sebab itu, para praktisi dan hebat administrasi  menggeluti satu bidang baru  dalam manajemen yakni administrasi  perubahan.

Usaha untuk mencari pendekatan atau pengembangan rancangan baru dalam administrasi juga sungguh dipengaruhi oleh cepatnya perkembangan wawasan insan.  Dewasa ini wawasan menjadi sumberdaya institusi yang utama untuk membuat nilai. Sampai dengan tahun 1950, modal bermakna uang tunai. Sekarang para praktisi dan pakar manajemen menyaksikan peran yang sungguh besar dari modal yang bersifat maya (virtual) dalam menciptakan kemakmuran. Modal maya ini meliputi modal intelektual, modal sosial, dan kredibilitas atau modal lunak. Dalam lingkungan yang sungguh cepat berubah, modal maya inipun mengalami keusangan, alasannya adalah itu perlu  terus menerus diperbaharui. Proses pembaruan ini dikerjakan melalui proses mencar ilmu. Namun berguru dalam periode ledakan pengetahuan mirip sekarang ini sangatlah berbeda dengan belajar setengah  periode yang lalu. Anggota-anggota atau warga suatu institusi dituntut untuk bisa mencar ilmu bersama-sama dengan cepat, dengan gampang, dengan bangga, kapan dan dimana saja. Hal ini yang menjadi salah satu pendorong dari berkembangnya rancangan  organisasi berguru. Demikian juga pengetahuan yang menempel pada anggota sebuah institusi perlu diperbaharui, diuji, dimutahirkan, dialihkan, diakumulasikan, semoga tetap punya nilai. Hal ini mengakibatkan para praktisi dan pakar manajemen mencari pendekatan untuk mengelola pengetahuan yang sekarang  dikenal dengan manajemen-pengetahuan.

Di samping perubahan-pergeseran yang terjadi di luar organisasi yang sudah diuraikan di atas, pertumbuhan cara pendekatan  dalam bidang manajemen juga dipicu oleh perubahan-pergeseran yang terjadi dalam organisai. Di sini akan digaris bawahi   perubahan yang berkaitan dengan karakteristik pekerjaan dan orang-orang yang bekerja dalam organisasi yaitu  timbulnya kelompok besar pekerja-berpengetahuan (knowledge worker), orang-orang yang bekerja menghendaki self-control dibandingkan dengan dikendalikan orang lain, dan melakukan pekerjaan tidak hanya untuk mencari nafkah tetapi untuk melakukan sesuatu yang memiliki arti.

Dewasa ini, orang-orang yang bekerja pada suatu institusi baik di sektor swasta maupun di sektor publik mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi  dari pada mereka yang melakukan pekerjaan lima dekade yang kemudian. Mereka berharga bagi institusi daerah mereka melakukan pekerjaan sebab wawasan atau kecerdasan yang mereka miliki, bukan alasannya kekuatan fisiknya. Di samping itu, perkembangan teknologi telah memungkinkan  sebagian besar pekerjaan-pekerjaan rutin  diganti dengan teknologi. Dengan demikian sebagian terbesar pekerjaan yang dijalankan yaitu pekerjaan yang sifatnya non-rutin yang membutuhkan tingkat wawasan yang lebih tinggi untuk dapat melaksanakannya. Lebih jauh lagi, pergantian lingkungan yang sungguh cepat menuntut adaptasi yang lebih sering pada cara kerja, jenis pekerjaan dan kompetensi yang diharapkan. Hal ini telah menjadikan orang-orang yang melakukan pekerjaan harus  siap menghadapi pekerjaan-pekerjaan baru yang serupa sekali berlainan dengan pekerjaan sebelumnya. Orang-orang yang bekerja dituntut untuk kian sering belajar hal-hal baru dan memiliki semangat dan kapasitas belajar yang lebih tinggi. Dalam perjalananya, sekarang ini kawasan melakukan pekerjaan sekaligus telah menjadi tempat berguru yang sungguh intensif, melakukan pekerjaan sama dengan berguru.Tempat mencar ilmu tidak lagi terbatas hanya pada sekolah-sekolah formal dan universitas.

Berbeda dengan pekerja terdahulu yang tingkat pendidikannya relatif lebih rendah yang mendapatkan begitu saja dirinya dikendalikan orang lain, pekerja-berpengetahuan menginginkan kendali yang lebih besar ditangannya sendiri. Mereka lebih menggemari lingkungan kerja dan pekerjaan yang menunjukkan mereka kebebasan yang lebih besar dalam menertibkan atau mengarahkan apa yang mereka kerjakan. Di  masa kemudian pengendalian dilakukan dengan memperbanyak hirakhi dan peraturan. Sekarang, untuk memberi ruang yang lebih luas untuk pengendalian-diri dan pengarahan-diri, institusi perlu memperjelas dan membangun visi dan nilai-nilai bareng . Dengan mengacu kepada visi dan nilai-nilai bareng ini pengendalian-diri dan pengararahan-diri menjadi verbal keleluasaan yang bertanggung jawab.

Pekerja-berpengetahuan punya kecenderungan yang lebih besar untuk menatap pekerjaan yang mereka lakukan tidak cuma sekedar sebagai kegiatan untuk mencari makan namun selaku potensi untuk melakukan sesuatu yang mulia, yang penting dalam hidup ini, yang bermakna. Mereka menjajal mencari atau memperoleh tujuan-tujuan yang lebih besar dan lebih luhur dalam melakukan tugasnya dan ingin melihat dan merasakan hasil kerja  mereka  memberi kontribusi  bagi pertumbuhan dan kemakmuran masyarakat luas atau kemanusiaan, tidak cuma bagi pertumbuhan dirinya  dan organisasi tempat ia melakukan pekerjaan . Bagi mereka sebuah institusi dihentikan sekedar menjadi tempat dan kumpulan aktivitas transaksi jual beli antara orang-orang  yang bekerja di dalamnya dengan pemilik atau orang-orang yang mengelolanya, tidak peduli  apakah yang drperjual belikan itu tenaga, barang atau pengetahuan. Sebuah survai kepada para lulusan perguruan tinggi tinggi di Amerika memberikan  bahwa duit bukanlah faktor utama dalam tingkat komitmen kepada pekerjaan. Faktor-faktor yang lebih penting ialah pendidikan untuk kerja di masa depan, tugas-peran yang menawarkan tantangan dan sobat kerja yang bagus.

Diagnosis Organisasi

Untuk menyusun sebuah perencanaan perubahan perlu dikerjakan suatu diagnosis organisasi. Diagnosis organisasi mampu dilaksanakan oleh organisasi yang bersangkutan maupun dengan bantuan pihak luar.

Mendiagnosis organisasi dengan menatap organisasi sebagai sebuah metode terbuka dapat dipandang melalui 3 tingkatan, ialah:

Jenis Tingkatan Manajemen Perubahan

Pada proses analisis organisasi yang perlu dilakukan dalam pergantian manajemen ialah mengamati hal-hal yang terjadi pada tiap tingkatan administrasi ialah :

  1. Tingkat organisasi (secara keseluruhan) – pada tingkat ini mampu dilihat bentuk perusahaan dan bentuk-bentuk korelasi dalam pengalokasian sumber-sumber yang dimiliki.
  2. Tingkat kelompok kerja (departemen) – pada tingkat ini mampu diperhatikan bentuk-bentuk kalangan kerja dan korelasi yang terjadi antar anggota kalangan.
  3. Tingkat individu – pada tingkat ini yang diperhatikan ialah bagaimana deskripsi sebuah jabatan kerja disusun sehingga individu mampu berkarya secara optimal.
  4. Tingkatan manajemen dalam perubahan dalam Manajemen di Perusahaan
Peralihan cara pendekatan dari rasional-saintifik ke kualitatif-humanistik menandai juga peralihan dalam cara pandang perihal organisasi. Pendekatan rasional-saintifik cenderung menatap organisasi sebagai mesin, dan pendekatan kualitatif-humanistik cederung mamandang organisasi selaku mahluk hidup  atau sebuah komunitas. Dengan masuknya desain budaya organisasi, administrasi penemuan, dan organisasi belajar maka organisasi dipandang selaku mahluk hidup atau komunitas.

Organisasi sebagai mesin melaksanakan tujuan yang sudah ditetapkan oleh perancangnya, sedangkan organisasi selaku mahluk hidup atau komunitas menetapkan dan mimiliki tujuan sendiri. Agar biar efektif sebuah mesin harus dikendalikan oleh operatornya, sedangkan  mahluk hidup atau komunitas dipengaruhi  melaui proses interaksi  yang mungkin saja mengubah orang yang mensugesti atau dipengaruhi. Memandang organisasi sebagi mesin  mempunyai arti organisasi tidak bisa memperbaharui dirinya sendiri, sedangkan cara pandang organisasi selaku mahluk hidup atau komunitas menyaksikan organisasi bisa memperbarui dirinya sendiri. Memandang organisasi selaku mesin  memiliki arti melihat bahwa identitas organisasi dibentuk oleh penciptanya, sedangkan menatap organisasi selaku mahluk hidup mempunyai arti bahwa organisasi punya identitasnya sendiri. Dalam cara pandang organisasi sebagai mesin, tata-nilai, cita-cita,  pekerjaan memiliki arti, ialah  informasi yang tidak relevan, sedangkan dalam  cara pandang organisasi sebagai mahluk hidup atau komunitas  impian, nilai-nilai, pekerjaan  berarti, yaitu gosip besar. 

Cara pandang organisasi sebagai komunitas menjinjing pergeseran besar dalam cara pandang perihal  tugas dan posisi manusia dalam organisasi. Dalam cara pandang organisasi selaku mesin, manusia dipandang cuma selaku salah satu faktor input yang harus diproses untuk menghasilkan output. Manusia disetarakan dengan aspek input  lainnya seperti mesin, material, duit, dan metoda . Manusia diperlakukan cuma sebagai salah satu aspek buatan diantara aspek produksi lainnya. Secara implisit di sini insan diperlakukan sebagai benda, cuma selaku sumberdaya yang sekarang sering disebut sebagai sumberdaya insan. Sebagai sumberdaya,  insan dikontrol dan dibentuk supaya sesuai dengan  tata cara. Dipihak lain,  cara pandang organisasi selaku komunitas menatap manusia selaku anggota komunitas yang tumbuh dan meningkat bersama komunitasnya. Mereka bukanlah input, tetapi pelaku yang bertanggung jawab bareng atas pertumbuhan komunitasnya. Sebagai manusia, mereka dipimpin dan tata cara-sistem dirancang untuk insan. Di sini manusia diperlakukan selaku manusia yang utuh, dihormati seluruh dimensi kemanusiannya, termasuk didalamnya cita-citanya, nilai-nilainya, hati-nuraninya,  keyakinan dirinya, semangat belajarnya.

Dalam cara pandang manusia selaku sumberdaya,   faktor yang terpenting adalah kompetensinya, sedangkan dimensi-dimensi lain dari manusia dianggap tidak perlu diperhatikan. Dalam cara pandang organisasi sebagai komunitas, dimensi yang di luar kompetensi tidak kalah pentingnya bahkan terkadang lebih penting dalam menentukan kesuksesan seseorang dan komunitasnya. Makara, dalam cara pandang organisasi sebagai komunitas, maka potensi manusia lebih dari  kompetensi ( beyond competence)

Cara pandang wacana  organisasi ini  sangat besar pengaruhnya kepada  tingkah-laku  orang-orang dalam organisasi yang bersangkutan dan cara-cara yang ditempuh dalam menyebarkan atau mentransformasikan organisasinya. Cara pandang ini akan menghipnotis sikap dan perilaku seseorang dalam memimpin orang lain. Orang yang memandang organisasi sebagai mesin condong akan lebih suka mengatur dengan hukum dan hirarkhi dan kurang tertarik untuk membuatkan proses interaksi yang mempermudah para anggota untuk saling mensugesti. Rentang-kontrol (Span of Control) dan cara mengendalikan merupakan isu besar.  Di pihak lain, orang yang memandang organisasi selaku komunitas punya kecenderunagn untuk mengembangkan lingkungan psiko-sosial yang mendorong berkembang dan berkembangnya proses interaksi diantara anggota komunitas  dan yakin bahwa lewat proses interaksi ini anggota komunitas akan mampu memperoleh arah dan cara yang tepat untuk pengembangan komunitasnya. Di sini orang mengatakan tentang rentang-komunikasi. Cara pandang ini juga akan menghipnotis kebijakan dalam struktur organisasi. Cara pandang organisasi selaku mesin condong akan menambah jenjang organisasi, sedangkan cara pandang organisasi sebagi komunitas cenderung akan meminimalkan jenjang dan memilih struktur yang lebih rata. Dalam hal  komunikasi, cara pandang organisasi sebagai mesin akan lebih menyukai cara-cara komunikasi yang bersifat formal, sedangkan cara pandang organisasi selaku komunitas akan menyebarkan dan mempergunakan secara maksimal forum-lembaga komunikasi yang bersifat informal.

Pada tatataran yang lebih tinggi, cara pandang ini juga menghipnotis kebijakan-kebijakan pemerintah. Di bidang pendidikan contohnya, konsep link and match di periode kemudian sungguh bernuansa  cara-pandang insan hanya selaku sumberdaya, insan dikembangkan untuk melayani tata cara. Demikian juga Kurikulum Berbasis Kompetensi yang banyak dibicarakan kini ini secara implisit  condong menatap   manusia  cuma sebagai sumberdaya. Di periode lalu, bahkan hingga dikala ini, ketika para praktisi dan pembuat kebijakan berbicara tentang pengembangan industri, lazimnya secara implisit yang dimaksud yakni pembangunan  pabrik-pabrik bukan membangun masyarakat yang punya  etos kerja gres.

Peranan Idealisme, Karakter ,Komunitas Dalam Perubahan

Perubahan  lingkungan telah menjadi salah satu pendorong dari berkembangnya cara pendekatan baru dalam manajemen. Secara biasa   dapat dikatakan bahwa  lingkungan di mana sebuah perusahaan berada atau beroperasi makin bergejolak, semakin kompleks, semakin sukar diramalkan. Ini sangat berlainan dengan keadaan lingkungan empat atau lima dekade yang lalu yang relatif masih tenang. Lingkungan pada saat ini lebih ialah ‘arena perlombaan arung penderasan, bukan danau yang hening’. Masa berdayung-dayung di danau yang hening sudah melalui. Agar supaya  bisa tumbuh dan meningkat dalam lingkungan yang bergejolak dibutuhkan mentalitas yang berbeda dengan mentalitas untuk berkembang dan berkembang di  lingkungan yang damai.

Ketika lingkungan masih damai, pekerjaan  bersifat sederhana, repetitif, orang tetap melakukan pekerjaan dengan rekan kerja dari  latar belakang kultural yang relatif sama dalam waktu yang cukup lama,  umur produk atau jasa yang dihasilkan relatif sangat panjang, mobilitas tidak begitu tinggi. Dalam kondisi seperti itu, maka kompetensi yang berkaitan dengan pekerjaan menjadi hal yang terpenting pada kualitas seseorang. Namun ketika lingkungan  bergejolak, orang lebih sering melaksanakan pekerjaan yang berlawanan-beda, melakukan pekerjaan dengan dengan orang-orang dengan latar kultural yang berlawanan, ditarik ke sana ke mari oleh kepentingan dan nilai-nilai yang berbeda, kemampuan dan pengetahuan  yang dimiliki menjadi lama atau kurang berhubungan . Dalam kondisi yang sangat dinamaik dan penuh ketidak pastian,dimensi kualitas insan di luar kompetensi menjadi lebih diperlukan. Tiga dari mutu yang berada di luar kompetensi ini yaitu idealisme, aksara dan perasaan-selaku -bab-dari suatu  komunitas (berikutnya

disebut komunitas).

Idealisme, dalam arti cita-cita yang tinggi dan luhur dan kehendak untuk mecapai hasil atau mewujudkan kondisi  istimewa yang  sungguh dicita-citakan, memegang peran  sungguh besar dalam proses pergeseran suatu institusi. Idealisme yaitu suatu dimensi yang unik pada manusia yang tidak dimiliki mahluk lain. Pada dasarnya setiap orang punya semacam idealisme dalam hidupnya, semacam ‘mimpi’. Orang-orang  melakukan pekerjaan pada sebuah institusi atau menjadi anggota institusi  mebawa ‘mimpi-mimpi’ atau keinginan  ini, apapun pekerjaan atau kedudukan beliau dalam institusi tersebut. Cita-cta ini sangat bersifat langsung. Setiap orang menganggap cita-citanya sangat penting. Bagi seorang operator telepon keinginan dia sama pentingnya dengan keinginan seorang eksekutif utama perusahaan atau rektor suatu universitas . Di samping idealisme yang beragam dari anggota-anggota, institusi pun punya harapan.Cita-cita ini sering tercermin dalam visi  atau ideologi-inti (core ideology) intitusi yang bersangkutan.  Merck, suatu perusahaan dalam bidang obat-obatan  menyatakan hadir untuk  ‘mempertahankan dan memperbaiki kehidupan manusia’, sementara  Walt Disney menyatakan hadir  ‘untuk membawa kebahagian bagi berjuta-juta orang. Dari sudut pandang  idealisme, suatu institusi lebih dari sekedar tempat untuk bertransaksi untuk mendapat keuntungan. Idealisme ini yang mendasari pernyatataan Paul Hawken, seorang pengusaha yang sukses,  yang menyampaikan bahwa ‘being in business is not about making money, it is a way to become who you are’

Hal yang merepotkan dalam pergantian administrasi suatu organisasi yaitu mendapatkan cara untuk mesinergikan idealisme langsung dengan idealisme organisasi. Apabila hal ini mampu dijalankan maka para anggota akan mencicipi bahwa cita-cita institusi ialah juga cita-cita mereka, mereka akan merasa bahwa mereka akan dapat mewujudkan mimpi-mimpi mereka dengan memberikan yang terbaik dalam mewujudkan idealisme institusi, mereka merasa tumbuh dan meningkat bersama institusi. Dalam banyak perkara, pimpinan sebuah organisasi dan anggota-anggotanya tidak sukses memperoleh sinergi ini atau tidak berhasil membangun idealisme bareng sehingga  orang-orang atau kelompok-kelompok  berjalan dengan cita-citanya  masing-masing. Dalam hal ini, visi atau impian institusi  baru menjadi suatu ihwal, belum menjadi iman bareng yang bersemayam dalam hati para anggota dan belum diwujudkan  dalam tindakan aktual.

Dalam proses pergeseran, idealisme punya bermacam-macam fungsi. Idealisme dapat menjadi pendorong pergantian.  Idealisme dapat menumbuhkan kesepakatan yang kuat dan kesediaan berkorban dari para anggota  . Komitmen dan kesediaan berkorban ini sungguh diperlukan kerena proses pergeseran kadang kala penuh dengan ketidak pastian, berlangsung relatif usang  dan balasannya sering tidak cepat dapat dilihat. Apabila  tidak ada akad  dan kesediaan berkorban, peruabhan akan berhenti sebelum waktunya. Idealisme menunjukkan arah transformasi. Arah ini sangat penting biar biar komunitas dalam institusi dan anggotanya tidak tersesat dalam Polemik perubahan dan pertandingan aneka macam kepentingan. Persaingan global cukup umur ini pada satu segi mampu dilihat sebagai kompetisi dalam mengendalikan kala depan. Idealisme yaitu bagian utama dalam upaya mengendalikan kurun depan. Kalau sebuah perusahaan tidak berupaya menertibkan masa depannya, maka pihak lain yang akan mengendalikannya. Idealisme adalah juga sumber motivasi bagi anggota. Idealisme menolong satu kelompok atau seseorang bangun kembali dari kegagalannya. Akhirnya idealisme akan menumbuhkan perasaan bahwa orang yang bersangkutan melakukan sesuatu yang mempunyai arti, yang penting dan mempunyai arti.

Sebenarnya  kenyataan ihwal besarnya peran idealisme dalam transformasi institusi bukanlah hal gres. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia memberikan bahwa  perjuangan meraih kemerdekaan yang ialah proses pergeseran hebat  di bumi Indonesia ini digerakkan oleh idealisme yang sangat kuat . Para pendiri republik ini, seperti Bung Karno, Bung Hattta dan rekan-rekan seperjuangannya adalah tokoh-tokoh yang mendorong proses transformasi bangsa ini dengan menyalakan api idealisme di batin semua lapisan penduduk Indonesia.

Di samping idealisme, abjad mempunyai peran besar dalam proses transformasi institusi. Di sini yang dimaksud dengan karakter ialah ‘distinctive trait, disticntive quality, tabiat strength, the pattern of behavior found in an individual or  group’. Dalam transformasi institusi ada beberapa  dimensi huruf yang sangat penting, yakni integritas, iman-diri, kedewasaan, mentalitas-berkelimpahan (abundance mentality), kegigihan, dan semangat memperbarui diri. 

Prinsip dasar dari integritas yakni kejujuran, ketulusan dan memegang teguh standard budbahasa yang tinggi. Integritas ditujukkan oleh  kesesuaian antara nilai-nilai yang dipegang dengan kebiasaan, kesesuian antara perkataan dengan  tindakan dan kesesuaian antara istilah dengan perasaan. Idealisme perlu diikuti dengan integritas supaya seseorang atau proses pergeseran ‘tidak terperangkap pada tujuan menghalalkan cara’. Integritas yang tinggi ialah prasyarat  bagi pertolongan ruang yang lebih luas untuk pengendalian-diri. Integritas diperlukan untuk menjamin supaya  kebebasan yang diberikan  dipakai secara bertanggung jawab. Integritas sangat diharapkan untuk membangun rasa saling yakin dalam suatu komunitas.

Proses transformasi sering disertai dengan ketidak pastian dan membutuhkan keberanian untuk menempuh alur-alur gres yang belum pernah dilalui. Dalam keadaan seperti ini, doktrin-diri sangat dibutuhkan. . Kepercayaan-diri menciptakan seseorang berani mengambil risiko dan mencapai hasil jauh lebih besar dibandingkan dengan yang pernah dibayangkannya. Mengenai hal ini, Jack Welch menyatakan bahwa doktrin diri adalah kualitas yang selalu dicarinya dan dibangunnya pada setiap eksekutif yang pernah melakukan pekerjaan dengannya. Membangun rasa yakin-diri pada orang-orang  lain  ialah komponen yang  sungguh penting dalam kepemimpinan .

Dimensi lain dalam abjad yaitu kedewasaan. Kedewasaan (maturity) ditujukkan oleh keseimbangan antara keberanian  dan pertimbangan. Orang yang remaja secara emosional punya keberanian untuk menyampaikan usulan dan keyakinannya dan pada ketika yang sama mempertimbangkan usulan dan perasaan orang lain. Kedewasaan akan menangkal rasa percaya-diri berganti  menjadi keangkuhan. Kedewasaan akan melengkapi rasa percaya- diri dengan tahu-diri. Kedewasaan akan menyebabkan idealisme lebih membumi, menjadi idealisme yang realistik.

Proses pergeseran organisasi membutuhkan keterlibatan para anggota. Mereka perlu berhubungan secara inovatif atau membangun sinergi diantara mereka. Untuk itu para anggota perlu memiliki mentalitas-berkelimpahan. Orang-orang dengan mentalitas- berkelimpahan  tidak takut menyebarkan, bahkan bahagia membuatkan. Mereka bahagia membuatkan wawasan, penghargaan, kesuksesan atau kegembiraan. Mereka yaitu orang-orang yang senang melihat orang lain senang. Mereka meyakini bahwa untuk menjadi besar orang  tidak perlu  mengecilkan orang lain. Orang-orang dengan mentalitas-berkelimpahan  sadar akan adanya paradok mengembangkan: kian seseorang mengembangkan, kian ia berkelimpahan. Mereka melihat banyak kesempatan untuk membuat positive-sum game dan hidup  dengan semangat berkembang dan meningkat bareng . Mentalitas-berkelimpahan  akan memudahkan tumbuhnya rasa saling percaya dan rasa saling menghormati dalam suatu komunitas. Kebalikan dari mentalitas-berkelimpahan  yaitu mentalintas-kekurangan (scarcity mentality). Orang-orang dengan mentalitas- kekurangan selalu merasa apa yang dimilikinya  akan menyusut kalau beliau membuatkan. Mereka enggan menyebarkan, dan hanya melihat negative-sum game. Mereka merasa bahwa untuk menjadi besar ia perlu ‘mengecilkan’orang lain. Mereka bahagia melihat orang lain susah.

Perubahan atau proses pergantian pada suatu institusi seringkali berjalan lama dan tidak mudah. Seseorang tidak dapat mengganti sebuah institusi dalam satu malam, atau dalam satu ahad. Apalagi jika pergeseran tersebut meliputi perubahan budaya. Di samping itu,  sama sekali tidak ada jaminan bahwa hal-hal baru yang dikembangkan atau diterapkan  dalam rangka transformasi akan menenteng  hasil mirip yang diharapkan. Hal lain yang selalu muncul dalam transformasi ialah adanya perlawanan atau resistensi kepada perubahan. Penyebab dari resistensi ini beragam, mirip: tidak mencicipi perlunya adanya pergeseran, tidak melihat risiko dari keadaan status-quo, terbelenggu oleh kebiasaan lama, terlena di zona kenikmatan (comfort zone), merasa tidak siap, takut mengahadapi ketidak-pastian, merasa terancam kepentingannya. Untuk menanggulangi hal-hal yang menghalangi  proses transformasi diharapkan kegigihan..

Semangat memperbarui-diri mencakup  kemauan keras untuk  belajar hal-hal gres dan semangat untuk memperbarui semangat itu sendiri. Semangat disini meliputi antusiasme, kegembiraan, kegairahaan,  dalam melakukan sesuatu dan optimisme menghadapai abad depan. Optimisme datang dari dogma bahwa era depan itu cerah, asal seseorang mau bekerja keras dan cerdas untuk mencapainya, bahwa orang mampu mengubah masa depannya, bahwa masih banyak potensi yang bisa diraih  untuk menciptakan periode depan yang lebih baik. Semangat juga muncul alasannya seseorang merasa  apa yang beliau lakukan mempunyai arti atau penting. Semangat yang tinggi mudah menular.  Perubahan organisasi dalam skala luas memerlukan antusiasme yang menyebar ke semua anggota. Dalam hal ini mentalitas-berkelimpahan  mampu berperan besar. Orang-orang dengan mentalitas-berkelimpahan  tidak hanya menyemangati dirinya sendiri namun juga menyemangati orang lain denga cara saling mendukung, saling membesarkan hati dan saling menghargai.

Hal-hal yang telah dijelaskan di atas berkaitan dengan dimensi abjad pada tataran individu. Di samping anggota institusi yang mempunyai huruf, sebuah institusipun mampu mempunyai huruf yang membedakannya dari institusi lainnya. Arie de Geus yang mempelajari ciri-ciri utama perusahaan yang berhasil dan andal  secara terus menerus menemukan bahwa perusahaan-perusahaan seperti itu berhasil membangun identitas atau semacam keperibadian atau jati diri.. Perusahaan-perusahaan tersebut   juga punya kesanggupan besar  membangun komunitas.

Sejumlah orang yang bekerja dalam suatu organisasi tidak dengan sendirinya menjadi sebuah komunitas. Ada beberapa sifst-sifat   korelasi yang  perlu dipenuhi biar suatu golongan dapat disebut selaku komunitas.

Memberi tanpa pamrih ialah ciri khusus dari kekerabatan dalam suatu komunitas. Hubungan yang sifatnya timbal balik atau transaksional dan korelasi kekuasaan antara yang memerintah dan diperintah bukanlah ciri dari suatu komunitas. Dalam sebuah komunitas relasi didasarkan atas dasar saling-yakin dan saling menghormati. Kepedulian kepada sesama anggota dan kesediaan mengembangkan juga menjadi ciri yang menonjol. Anggota komunitas punya impian bareng dan punya nilai-nilai bersama.

Dalam kaitannya dengan pergeseran institusi, berkembangnya perasaan selaku bagian dari komunitas membawa beberapa laba. Dalam sebuah komunitas, anggota-anggotanya secara sukalrela menertibkan diri sendiri. Rasa saling percaya yang ada dalam sebuah komunitas mendorong anggota untuk mengerahkan yang terbaik yang ada pada dirinya untuk kemajuan bersama. Rasa saling yakin ini juga mempermudah anggota-anggota bekerja sama secara kreatif sehingga institusi mendapatkan sinergi optimal dari peluangpara anggota. Hubungan yang hangat diantara anggota dalam suatu komunitas dapat menjadi sumber kegembiraan dan kebahagiaan bagi anggota. Sebuah komunitas berfungsi memelihara atau merawat hasil-hasil aktual yang telah diraih dalam proses transformasi dan juga menjaga hal-hal aktual yang selama ini telah dimiliki oleh institusi . Dikaitkan denga pentingnya modal maya kini ini, maka suatu komunitas ialah basis dari modal sosial.

Terjebak pada semangat transaksional: Hubungan yang didasarkan semangat transaksional bersifat sementara dan  tidak mendalam, sedangkan korelasi dalam komunitas ialah kekerabatan dalam jangka panjang dan bersifat lebih  mendalam.

Diskriminasi: Memberikan perlakuan khusus pada satu golongan tertentu dan  mengabaikan  golongan lain akan menipiskan rasa saling yakin.

Kinerja sebuah institusi sungguh dipengaruhi oleh tiga hal: bagaimana para anggotanya berpikir, bagaimana mereka merasa,  bagaimana mereka berinteraksi. Sebuah komunitas sedikitnya akan mempermudah atau  memperbaiki bagaimna para anggota merasa dan berinteraksi.

Gifford Pinchot menekankan betapa  pentingnya membangun komunitas di kawasan kerja dan menyatakan bahwa patokan biar suatu organisasi dapat meraih produktivitas masa ke dua puluh satu adalah sukses membangun komunitas. Membangun  komunitas adalah suatu kemampuan sangat penting dalam kepemimpinan.

Dari Uraian maupun penjelasan di atas mengungkapkan latar belakang mengapa idealisme, karakter dan komunitas perlu menerima  perhatian yang lebih besar dalam proses perubahan institusi, khususnya transformasi di tengah lingkungan yang bergejolak. Di depan sudah  disamapaikan juga tugas dari tiga hal tersebut dalam  pergantian, utamanya ihwal pengaruhnya kepada proses pergeseran. Secara singkat diterangkan bagaimana idealisme, huruf dan komunitas  dapat menciptakan proses transformasi lebih terarah dan tersadar,  serta  karenanya diharapkan lebih berarti. 

Dalam kesempatan yang terbatas ini belum  dibahas  cara-cara  agar tugas atau dampak itu dapat terjadi atau diwujudkan. Dalam hal ini ada beberapa pertanyaan mudah seperti: bagaimana membangun atau menciptakan idealisme bareng , hal-hal apa yang perlu dijalankan semoga orang-orang mau dan dapat memperlihatkan faktor-faktor yang sangat konkret dari karakternya, apa yang perlu dilakukan dalam membangun komunitas?

Terlepas dari belum tersentuhnya  pertanyaan di atas, risalah ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan pemahaman gres ihwal posisi manusia dalam suatu organisasi atau institusi dan  menumbuhkan  kesadaran ihwal banyaknya dimensi di luar kompetensi yang pengaruhnya besar dalam proses pergantian. Di samping itu, paparan ini juga diperlukan dapat memberi gambaran wacana hal-hal apa yang perlu diperhatikan bila idealisme, huruf dan komunitas menjadi acuan dari proses perubahan, sehingga proses maupun hal-hal yang diraih menjadi lebih berarti bagi mereka yang terlibat.

Dewasa ini banyak institusi baik di sektor swasta maupun publik yang melakukan pergantian. Namun nampaknya banyak yang tidak meraih apa yang diharapkan. Hal itu terjadi bukan alasannya kurangnya perjuangan, atau kurangnya sumber daya.