Eksis | Cerpen Yudhistira ANM Massardi


Oleh: Yudhistira ANM Massardi


Satu demi satu temanku jatuh sakit. Ada yg sakit berkepanjangan, sakit sebentar, kemudian menemui akhir hayat. Ada yg mesti dioperasi, sembuh, kemudian meninggal juga. Ada yg sekarat, tetapi tetap bersemangat untuk terus eksis selaku insan, sebagai profesional.

Aku sendiri, memasuki usia 60, tak terlalu ingin ini-itu. Hanya ingin hidupku punya sedikit arti, & di hari-hari menuju final ini bisa bernapas dgn tanpa kendala & benar. Seumur hidup, gres sekarang gue diberi kesadaran, betapa pentingnya mampu bernapas. Sebelum ini, gue bernapas seakan-akan itu acara rutin yg membosankan & terpaksa harus dijalankan, alasannya adalah gue diberi umur untuk hidup? Itu bukan tanggung jawabku, tetapi tanggung jawab Sang Pemberi Hidup. Tanggung jawab jantung & paru-paruku, gen, & kromosomku.

Aku sekadar mengikuti. Tak ubahnya suatu mesin eksistensial, hanya menjalaninya sesuai tata cara yg sudah tersedia untukku, tanpa boleh memilih atau mengoreksinya. Semuanya sudah terprogram sedemikian canggihnya.

Ketika tiba-tiba, pada suatu malam, gue merasa sukar bernapas, & sepanjang malam sampai pagi dibuat tak mampu tidur, gue sungguh-sungguh tak habis pikir: bagaimana mungkin itu mampu terjadi pada diriku, hidupku, napasku, jantung & paru-paruku? Aku terhenyak. Aku merasa dizalimi. Tanpa izinku, tiba-tiba gue dibikin sesak napas. Berkeringat. Gelisah. Tak mampu tidur. Mimpi buruk!

Apalagi hal itu terus berlanjut hingga esok hari. Berulang lagi malam harinya. Hidupku amat tersiksa. Kamar & tempat tidurku yg empuk & sejuk pun seperti berubah menjadi sarang hantu yg dipenuhi tangan-tangan setan pencekik. Aku takut! Untuk pertama kalinya, gue dibikin begitu takut menghadapi malam! Aku takut menghadapi waktu tidur!

Maka, gue lebih menentukan tidur pagi & siang hari, supaya jikalau malam bisa melotot & melewatinya tanpa cemas. Aku bawa laptopku ke kawasan tidur. Juga buku-bukuku. Kubeli lampu baca supaya lebih tenteram membaca sambil berbaring. Televisi, mesin pemutar cakram video, koleksi film, kubawa semua ke lantai atas, ke kamar tidurku. Semuanya disiagakan supaya gue mampu selamat melalui malam tanpa mesti terperangkap mimpi buruk.

Gagang tombol terusan televisi selalu ditempatkan di sebelah bantalku. Dan baru sebulan ini gue menjadi penggila siaran sepak bola. Aku jadi penggila Lionel Messi dr Barcelona, sekaligus penggila Cristiano Ronaldo & Real Madrid. Aku berharap setiap dini hari ada siaran langsung pertarungan bola, berharap langgar-adu Piala Dunia secepatnya dimainkan!

  Kolak | Cerpen Teguh Affandi

Aku secepatnya konsultasi ke dokter spesialis jantung sebab pertama-tama tanda-tanda yg kurasakan ialah jantungku berdetak tak beraturan. Aku mendapatkan obat pengatur detak jantung & pelega pernapasan. Tapi, itu tak terlalu menolong. Maka, gue pun pergi ke dokter seorang ahli paru. Aku dirontgen. Hasilnya, paruku mengalami infeksi dgn banyak bercak lendir. Jantungku membesar karena harus bekerja terlalu keras memompa darah ke dlm paru yg kembang-kempis dgn berat akhir saluran oksigen yg menyempit.

Dokter paru itu memberiku obat pelega pernapasan yg manjur. Menenggak beberapa obatnya sekali saja, gue bisa bernapas lebih baik & jatuh tertidur. Bahkan, kata istriku, gue sudah mampu mengorok lagi. Satu hal yg sebenarnya tidak mau kuungkapkan di sini yakni fakta ini: gue sudah menjadi perokok berat semenjak sampaumur. Bahkan, gue menjadi pecandu berbagai jenis & merek rokok sekaligus: rokok keretek ringan, rokok keretek berat, & rokok putih. Setiap hari gue mengisap tiga jenis rokok dengan-cara bergantian, tergantung situasi verbal & situasi hati, sampai datangnya hari-hari gue tercekik setan pernapasan. Oleh alasannya itu, gue lalu dipaksa berhenti merokok!

Pekan kemudian itu, tatkala sedang antre menunggu di depan pintu kamar praktik dokter jantung, dokter Ma’mun, di rumah sakit, gue & istriku sempat berjumpa dokter belum dewasa kami yg sudah begitu karib, dokter Heru. Melihat ia berlangsung ke arah kami, kelihatannya ia baru saja selesai dinas, gue menyapanya. Melihat kami dgn riang & hangat mirip lazimnya , ia langsung bertanya:

“Lo, ngapain di sini, Mas? Siapa yg sakit?”

“Aku sesak napas, Dok. Mau periksa jantung,” kataku.

Dokter Heru langsung duduk & bertanya penuh perhatian. Kami jelaskan duduk soalnya. ia tertawa. “Kalau enggak mau mati konyol, ya berhentilah merokok!” katanya. “Selain itu, jangan lupa, setiap siang usahakan mampu tidur sekitar satu atau dua jam. Olahraga kerjakan dengan-cara terencana. Aku saja tiap hari olahraga boxing,” katanya lagi.

***

“Ya, ada bocor kecil di jantung,” kata dokter Ma’mun sesudah dgn teliti memeriksaku dgn pertolongan alat rekam detak jantung. “Tapi, hening saja. Itu tak akan bikin mati!” katanya.

  Bingkisan yang Tertukar Cerpen Silmi Afkarina Hanum

Kami tertawa.

“Dia merokoknya mesti berhenti kan ya, Dok?!” kata istriku yg begitu benci melihatku tak kunjung berhenti merokok. Padahal, lebih dr lima tahun kemudian kami berjanji berhenti merokok. Istriku berhasil berhenti merokok, tapi gue terus berlanjut. Istriku berhenti merokok setelah mengalami sesak napas & bertemu dokter Ma’mun yg pula mendapatkan kebocoran pada jantungnya.

“Memangnya mesti ya merokok?” tanya dokter Ma’mun.

“Ya, enggak harus sih, Dok,” sahutku sambil menyeringai.

“Lah, kalau enggak mesti, kenapa merokok?”

Aku cuma bisa tertawa terbelakang.

Ya, ya, ya gue tahu & gue sadar, sebagai perokok, gue memang terbelakang. Merokok memang bukan suatu keharusan. Hanya orang-orang bodoh yg sepenuh kesadaran terus merokok & sengaja tak mau berhenti! Padahal, kini perayaan di setiap kemasan rokok sudah lebih pribadi memvonis: ‘Merokok Membunuhmu!’

Tapi, begitu banyak lawakan yg membela para perokok: Tak pernah ada orang mati sambil merokok. Banyak orang mati yg seumur hidupnya tak merokok. Banyak orang yg berhenti merokok & malah mati. Banyak nenek-nenek & kakek-kakek yg masih hidup alasannya terus merokok. Banyak bayi yg baru lahir mati, padahal mereka belum sempat merokok. Yang membunuhmu bukan rokok, tetapi tsunami, banjir, longsor, bus malam, kereta api, pesawat melayang, sepeda motor, demam berdarah, HIV, gula, duren, satai kambing!

Tapi, setelah berjumpa dokter Heru & dokter Ma’mun, & gue berhasil tak merokok selama seminggu–itu membuatku merasa jauh lebih kurang pandai!–saya heran juga. Ternyata begitu mudah berhenti merokok. Aku berhasil tak merokok! Aku kagum pula pada diriku. Kagum campur tolol. Aku tertawa.

(Makara, serius nih, tak mau merokok lagi?)

Diam-diam, tanpa setahu istri & ketiga anak kami–yang semuanya sudah menjadi persekutuan petugas antirokok yg galak di rumah–aku coba merokok lagi. Malam itu gue sukses menghabiskan tiga batang rokok dlm isapan cepat-cepat. Setiap kali berhasil menghabiskan satu batang, secepatnya gue semprotkan pengharum ruangan. Sebelum naik ke tempat tidur, gue sikat gigi, cuci wajah dgn sabun amis & berganti baju tidur. Malam itu, gue dgn senang menyongsong tidurku.

Dan, benar! Malam itu dadaku serasa terbakar! Dadaku terasa mengeras & memberat. Aku tercekik lagi. Napasku sesak lagi. Tidurku jadi mimpi buruk lagi!

Sepanjang malam itu, gue berjuang sendirian. Sebab, untuk meminta tolong pada istriku, gue aib.

  L O P | Cerpen Putu Wijaya

Aku memasuki pagi dgn wajah pucat pasi, napas tersengal-sengal, berkeringat hambar, mata berkunang-kunang, sakit kepala. Karena tak tahan menderita lebih lama, gue segera membuat legalisasi dosa & memohon sumbangan istriku untuk segera membawaku ke dokter seorang ahli paru, di rumah sakit baru, yg lebih erat dgn rumah kami. Maka, bertemulah gue dgn dokter Etty, dokter paru yg merontgen & memberiku obat pelega pernapasan yg sungguh manjur itu.

Seminggu kemudian, gue memilih menjadi manusia udik lagi. Aku uji nyali & uji paru lagi. Kali ini di pagi hari. Aku coba kebiasaan usang, setiap hendak nongkrong di kamar mandi, gue bawa sebatang rokok. Aku menyalakannya sambil berjongkok. Hfffhhh… ternyata memang….

Sekali lagi, mirip yg kalian duga, tujuh jam kemudian gue terbangun dr tidur siangku dgn berair keringat. Jantungku berdegup tak beraturan lagi.

“Kamu kenapa, sesak lagi?“ istriku bertanya tanpa curiga. Penuh cinta.

“Sesak sih, enggak. Cuma detak jantungnya semrawut lagi,“ kataku. Aku segera ambil alat deteksi tekanan darah digital. Hasilnya: tensi tinggi & denyut nadi melampaui normal.

“Aku pula dahulu begitu,“ katanya menghibur. “Tidak apa-apa. Yang penting jangan cemas. Kondisi seperti itu akan berulang lagi.“

“Oke. Terima kasih, darling,“ kataku.

Aku membisu-diam memakai penyemprot pelega pernapasan melalui verbal semoga mendapatkan pemulihan segera.

Beberapa waktu kemudian, begitu istriku masuk lagi ke kamar, & berdandan di depan cermin, gue memeluknya dr belakang sambil berbisik, “Kita jadi makan malam di luar, sayangku?“

“Enggak usah, deh. Papa istirahat saja dahulu,“ katanya. “Mama takut nanti ada apa-apa.“

“Yo wis… Besok aja ya,“ kataku. “Sekalian malam mingguan. Makan di kedai makanan Korea, ya.“ Aku lega & selamat dr tragedi.

Malam itu gue naik ke tempat tidur lebih awal. Aku menenteng biografi Einstein, fisikawan perokok yg bisa hidup hingga 76 tahun. Ia menolak dioperasi akhir sakit menahun di perutnya. “Tak ada gunanya memperpanjang hidup dlm kepalsuan,“ katanya. “Aku sudah menyelesaikan bagianku. Sekarang saatnya untuk pergi. Aku akan melakukannya dgn mewah .“

Tapi, sungguh, gue khawatir napasku tersengal lagi!(*)

Bekasi, 2014
Yudhistira ANM Massardi adalah sastrawan yg sudah berkarya semenjak 1977. Kini ia mengurus sekolah gratis untuk kaum duafa.