Semua orang egois! Di mana-mana orang egois! Dan gue sangat benci pada orang-orang yg egois! Karena ulah si egois pula, kesudahannya gue pindah dr pondokanku ke kamar berskala 4 x 2,5 meter di pojok depan samping kiri masjid ini.
“Untuk sementara,” jawabku singkat saat sahabat-sobat satu kos menanyakan perihal penyebab kepindahanku ini.
Ya, sementara memang. Paling lama pula satu sampai dua tahun ‘kan? Tidak mungkin sampai rambutku beruban & beranak cucu tetap tinggal di ruangan sempit ini.
Aku ingin mencari situasi baru. Kebetulan sudah ada dua orang temanku yg tinggal menjadi marbot di masjid Ar-Rahman ini. Makara gue bisa mencicipi tidur ala pondok yg sekamarnya diisi oleh beberapa kepala, yg semenjak usang kuimpikan, tapi belum sempat terealisasikan sebelumnya.
Namun sesungguhnya, ada dua alasan pokok yg menyebabkanku sampai di kamar ini. Pertama, yaitu tadi: gue tak suka orang yg egois! Hanya menimbang-nimbang dirinya sendiri tanpa mau tahu apa yg dinikmati oleh orang lain akibat ulahnya. Tidak punya toleransi sama sekali. Asal gue senang, apa urusannya dgn orang lain? begitu mungkin pikir mereka.
Persis sama dgn sebagian besar orang-orang penting yg mengaku selaku wakil rakyat di negeri ini. Mereka pula egois. Buktinya makin hari justru perut merekalah yg makin berisi, sementara orang-orang yg sudah menaruh cita-cita besar di pundak mereka dibiarkan kelaparan & terkatung-katung di pinggir jalan & kolong-kolong jembatan. Janji-kesepakatan yg mereka obral tak pernah menjadi kenyataan hingga detik ini. Habis anggun sepah dibuang! Ah, sudahlah, tak baik menghakimi orang yg tak ada di samping kita.
Setahun kemudian, ketika semua sahabat sepondokanku pindah semua, membisu-membisu gue tersenyum bahagia dlm hati. Meskipun di hadapan mereka gue tetap menampakkan tampang sendu dikala mereka pamitan padaku, namun jauh di lubuk hatiku gue tertawa. Ya, alasannya adalah bantu-membantu gue sudah muak menikmati hasil keegoisan mereka padaku.
Suara radio & tape yg senantiasa stand by dr jam tujuh pagi hingga tengah malam, setiap hari. Juga diskusi panel dgn tema sebebas-bebasnya yg mereka gelar sesudah bosan dgn semua kesia-siaan yg melupakan itu. Mulai dr si Maribet—pedagang pecel lele langganan mereka yg genit, kisah dosen killer mereka yg katanya tak punya perasaan sama sekali, cewek-cewek di kampusnya yg semakin berani tampil beda dgn busana ala kadarnya, komentar hasil liga Inggris & Italia, konser musik Dewa Bujana, & selusin cas cis cus tak bermutu yang lain hingga membuat telingaku sampai panas mendengarnya.
Satu lagi kebiasaan yg paling tak kusukai dr keegoisan mereka, yakni nikotin—zat yg dua kali lebih adiktif dr heroin itu, & karbon monoksida yg tak pernah berhenti memancar dr ekspresi asam mereka.
Dan tatkala kesannya gue harus tinggal sendirian saja karena kamar-kamar yg mereka lewati akan direnovasi oleh pemilik kos, senyumku makin lebar saja. Aku bebas. Aku bisa fokus belajar tanpa harus terusik oleh suara-suara konyol & porno yg menumpulkan anggapan itu. Aku merdeka!
Hingga sampailah dikala itu, tatkala ibu kosku kembali menerima belum dewasa kos gres untuk menempati kamar-kamar yg telah selesai direnovasi, di tahun ajaran gres. Ketenanganku mulai terenggut kembali oleh ulah mereka, para mahasiswa gres itu. Obrolan asusila, senda gurau, tawa ngakak, hingga suara serak-serak sember penyanyi dangdut & dentum drum aliran musik rock membahana lagi. Wajah-wajah lugu itu, ternyata hanya mampu bertahan sesaat menyembunyikan tabiat mereka yg sesungguhnya. Meleset jauh sekali dr penilaianku semula.
Aku mencoba mengajak mereka berdiskusi ihwal toleransi.
“Boleh saja kalian bertindak semau kalian, namun ada satu hal yg perlu dicatat: kalian tak sedang tinggal di hutan belantara, tetapi kalian tinggal di tengah-tengah insan,” kataku dikala itu.
Aku pula mengingatkan mereka, bahwa selaku duta orang tua yg tinggal jauh di rantau, kita harus bisa mempergunakan waktu dgn sebaik mungkin untuk belajar. Menuntut ilmu di kampus & belajar dlm arti yg sesungguhnya, yaitu mencar ilmu wacana kehidupan yg kita jalani sehari-hari.
Mereka mengangguk-anggukkan kepala mendengarnya. Tapi sesudah itu, tepatnya beberapa saat setelah gue ke luar dr kamar mereka, bunyi radio & gelak tawa mereka telah membahana kembali. Tanpa permisi sama sekali.
Dasar egois!
Akhirnya dua kata itulah yg meluncur deras dr bibirku sambil menggelengkan kepala.
Alasanku yg kedua, gue tak menemukan kawasan kos lain yg orang-orangnya tak egois. Hmm, masih tetap sama kan?
Aku sudah mendatangi setiap kamar kos yg ditawarkan oleh teman-temanku. Namun, setiap kali gue melihat situasi di sana, justru keegoisan yg lebih parah yg kutemukan.
Di daerah kos si Anang, dikala tengah malam gue pamit pulang, suasananya masih mirip di sebuah club malam yg baru buka. Suara musik triping meledak, mengoar-ngoar tanpa peduli orang-orang yg kecapekan setelah seharian bekerja atau kuliah. Di daerah kos Anang, sebagian memang ada yg tak kuliah. Ada yg melakukan pekerjaan selaku pramusaji di swalayan & pedagang martabak jelas bulan, yg umumnya gres pulang menjelang tengah malam.
Saat itu gue bertanya dlm membisu, bagaimana cara si Anang belajar saat musim ujian tiba? Tak bisa kubayangkan bila gue tinggal di sana nantinya.
Di tempat kosnya Kohar lebih parah lagi. Selain suasananya yg tak jauh berlainan, gue pula menyaksikan beberapa pasangan yg sedang asyik berpelukan tanpa rasa aib secuil pun di beranda depan sambil cekikikan. Ih, na’udzubillahi min dzalik! Bisa-bisa gue malah terperosok mengikuti apa yg mereka lakukan. Tobat, deh!
Dan hanya di sebuah kamar 4×2,5 meter inilah, sebulan lalu, gue tak memperoleh keegoisan itu. Makanya, beberapa hari sebelum waktu sewa kamarku habis, gue mendekati kedua teman akrabku itu, pula bapak kosku yg kebetulan menjadi sekretaris takmir untuk minta izin bergabung. Alhamdulillah, mereka membolehkan, dgn syarat gue menolong mengajar TPA di sore hari.
“Untuk sementara,” lagi-lagi kalimat yg sama yg kujadikan sebagai alasanku waktu itu.
Dan tak perlu pakai biaya segala, lanjutku dlm hati.
Beberapa hari berlalu, bibirku menyunggingkan sebuah senyum merdeka. Merdeka dr keegoisan yg telah mengungkungku dlm tempurung kekecewaan selama ini. Kini gue bisa menikmati istirahat dgn tenang setiap malam tanpa mesti memaksa mataku terjaga hingga dini hari mirip lazimnya . Telingaku pula terbebas dr kata-kata murahan & tiada arti yg menyesakinya sebelum ini.
Akan tetapi, seminggu kemudian, gue tersentak bangun dr tidur lelapku tengah malam. Kupingku menangkap bunyi-suara itu lagi. Suara-suara egois itu!
Ternyata suara si Dadang, salah seorang dr dua temanku di kamar ini, yg baru hingga dr mudik piknik semester di kampungnya, sedang ngaji. Keras sekali. Iya bila suaranya merdu & lezat didengar, tetapi ini suaranya terasa mirip ban sepeda keunggulan angin yg melintas di atas tanah berbatu. Tajwidnya masih agak amburadul!
Sebenarnya bukan duduk perkara suaranya yg nggak merdu & tak enak didengarkan atau tajwid-nya yg masih amburadul itu yg kupermasalahkan, tetapi volume suaranya yg over itu. Dan kenapa pula ia membacanya di dlm kamar ini, tak di dlm masjid saja? Mungkin suaranya tak akan mengganggu waktu istirahatku.
“Dang, kau masih ingat kisah Khalifah Umar bin Khatab? Tentang bacaan Al-Qur’annya yg terlalu keras dlm shalat malamnya hingga mengganggu sebagian kawan dekat yg sedang tidur?” pancingku, setelah insiden yg sama terus berulang pada malam-malam berikutnya.
“Heh,” sungutnya acuh taacuh sambil mengangkat dagunya yg cuma ditumbuhi tiga lembar jenggot keriting itu.
“Alhamdulillah bila masih ingat. Aku hanya berharap….”
“Kamu berharap gue pula langsung meminta maaf padamu mirip yg dilakukan Umar pada orang yg menegurnya karena bacaan Al-Qur’an dlm shalat malamnya terlalu keras hingga mengganggu waktu istirahat para kawan dekat lainnya? Begitu maksudmu? Oke, baiklah! Sekarang gue minta maaf!”
Kalimat beruntunnya memangkas ucapanku yg belum kelar. Tapi gue dapat merasakan ada keterpaksaan dlm nada suaranya yg tiba-tiba eksklusif meninggi itu. Mimik mukanya merefleksikan hal itu.
“Bukan cuma itu, kuharap kejadian mirip ini tak terulang lagi,” tanggapku datar tanpa mempedulikan reaksinya barusan.
Tapi faktanya, si Dadang cuma menganggapnya sebagai angin lalu saja. Keesokan malamnya, ia kembali mengulangi tindakannya itu. Meskipun kali ini ia tilawah di dlm masjid, tetap saja gue terbangun alasannya adalah, lagi-lagi, suaranya yg kelewatan keras itu.
Kedua temanku itu pula punya kebiasaan buruk: selalu tidur lagi sehabis shalat Shubuh! Dan mereka baru bangun untuk mandi tatkala akan berangkat ke kampus. Kaprikornus, hampir saban hari akulah yg menyapu lantai masjid & mengepelnya.
Hmm, ternyata semakin banyak hari yg kulalui di sini, berbanding lurus dgn jenis keegoisan gres yg kutemui.
Di samping masjid ini pula ada seorang bapak yg egois.
Suatu siang, tatkala kedua temanku sedang ke kampus, gue ketiduran hingga terlambat mengumandangkan azan zhuhur. Saat gue terbangun, seorang bapak yg lazimnya menjadi imam baru saja selesai mengumandangkan azan. Kemudian gue ke belakang untuk berwudlu. Baru saja gue akan mengganti kaos oblong yg kukenakan dgn kemeja lengan panjang, telingaku sudah menangkap suara iqomat.
Cepat sekali, pikirku dlm hati.
Bergegas gue pakai kemeja & menyambar sajadah di atas meja kemudian masuk ke dlm masjid. Aku tersentak terkejut . Hanya ada satu orang! Ya, si bapak yg tadi azan & iqomat, di kawasan imam!
Tanpa mencampakkan waktu lagi, gue menyusul menjadi makmum di belakangnya. Beberapa detik kemudian, beberapa orang tiba setengah berlari memasuki masjid & tergesa berdiri di sampingku semoga tak masbuk.
Esoknya, gue yg azan. Bapak itu pula sudah datang. Selesai azan, gue kembali berwudhu sebab sewaktu azan gue kentut. Kemudian gue shalat sunat qabliyah. Baru sampai satu rakaat, bapak itu sudah berdiri & menuju ke daerah miq. Ia eksklusif iqomat tanpa mempedulikanku & beberapa orang lain yg masih berdiri shalat sunat. Dan maju ke tempat imam tanpa permisi.
Egois! dumelku kesal setelah menyelesaikan shalat sunatku dgn buru-buru. Dan gue percaya sekali, siapa pun yg ada pula menyampaikan mirip itu dlm hatinya masing-masing. Karena sampai tiga bulan gue tinggal di sini, gue sudah hafal kebiasaan jeleknya itu!
Aku menoleh ke belakang sesudah salam kedua qobliyah ‘Ashar. Tadi gue yg azan. Di pojok belakang masjid, ada dua orang yg pula baru menuntaskan shalat sunatnya.
Tiba-tiba pintu samping utara masjid berderit, dibuka dr luar. Bapak yg suka memborong itu masuk & menggelar sajadah lebarnya untuk shalat sunat. Beberapa dikala kemudian, ia sudah karam dlm shalatnya.
Aku segera bangun & berjalan menuju tempat miq, menyalakan kontaknya & mengumandangkan iqomat.
“Silahkan, Pak…,” kataku dgn isyarat tangan meminta salah satu dr dua orang itu untuk menjadi imam.
Tetapi mereka malah balas menyorongkan tangan kanannya kepadaku, kompak, mempersilahkan gue yg mengimami. Sekilas kulirik bapak pemborong itu. Ia masih berdiri menuntaskan rakaat keduanya.
Uh, gue paling muak melihat orang yg sok egois!
Akhirnya, tanpa menunggu bapak itu menuntaskan shalatnya, kugelar sajadah biruku di daerah imam.
“Allahu akbar!!!” suara takbirku menggema, memimpin shalat jamaah ‘Ashar sore itu. (*)