Edisi Teks Dan Ruang Lingkup Pengembangan Penelitian Filologi
Sejak sekitar periode ke-3 S.M. istilah filologi telah digunakan oleh para jago di Aleksandria (Baried, 1983: 1-2). Dikatakan bahwa acara mereka yaitu berupaya mengkaji teks-teks lama yang berasal dari bahasa Yunani. Pengkajian mereka terhadap teks-teks tersebut bermaksud memperoleh bentuknya yang asli untuk mengetahui maksud pengarangnya dengan jalan menyisakan kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya. Usaha mencari perbedaan bacaan yang terdapat di dalam teks (varian) akan dimengerti adanya bacaan yang rusak (Korup).
Makara tugas filologi yakni untuk memurnikan teks dengan menyelenggarakan kritik terhadap teks, dan tujuan kritik teks adalah menciptakan suatu teks yang paling mendekati aslinya. Teks yang telah dibersihkan dari kesalahan-kesalahan dan sudah tersusun kembali mirip semula merupakan teks yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk kepentingan aneka macam observasi dalam bidang-bidang ilmu lain (1983: 93).
Edisi Teks dan Kritik Teks
Edisi teks atau sering diketahui dengan perumpamaan suntingan teks yakni (upaya) menyusun suatu teks secara utuh sehabis dilaksanakan pemurnian teks ke dalam sesuatu bahasa. Pemurnian teks yakni upaya untuk memilih salah satu teks yang hendak digunakan selaku dasar transliterasi naskah menurut penelitian teks dengan sebuah sistem kritik teks. Metode kritik teks meliputi perbandingan naskah untuk menggolongkan varian-varian yang ada dan merekonstruksi garis penurunan naskah (stema) (Christomy, 1988: 7; Mass: 1972). Makara menyunting teks bukan sekedar memilih salah satu naskah untuk ditransliterasi, namun opsi itu mesti didasarkan pada penelitian yang seksama.
Langkah permulaan dari sebuah penelitian teks yaitu menginventarisasi naskah yang langkah kerja ini akan terrealisasi pada deskripsi naskah dan pegawapemerintah kritik. Adapun Inventarisasi naskah mampu dilaksanakan setelah dikenali sejumlah naskah yang dimaksud dalam suatu katalog naskah. Upaya menemukan naskah kecuali mampu dilaksanakan dengan perunutan ke dalam katalogus naskah mampu juga ke suatu badan atau perorangan yang diketahui mempunyai naskah tersebut. Pada biasanya penulisan skripsi/tesis S-1 dan S-2 mampu dimaklumi jika pelacakan naskah itu cuma dilakukan di dalam negeri atau cuma daerah tertentu contohnya di Jawa, hal itu dapat dilakukan alasannya mengenang adanya keterbatasan-kekurangan . Tetapi untuk penulisan sebuah desertasi, pelacakan naskah itu harus dijalankan secara internasional, artinya peneliti mesti dapat melacak semua naskah yang ada di dunia berdasar sumber-sumber yang pantas, misal katalogus naskah, journal, dan penerbitan-penerbitan yang ada. Prof. Dr. Sulastin Sutrisno *) pernah mengatakan bahwa pada sebuah cobaan desertasi ihwal Filologi, datang-datang ketika dilakukan cobaan itu gres dimengerti ada satu naskah yang belum disebutkan dalam penelitian itu, padahal naskah itu berada di Perancis, maka ujian itu ditangguhkan dan promovendus yang bersangkutan mesti melacak naskah itu ke Perancis. Hal ini merupakan satu pola bahwa menyunting naskah itu membutuhkan suatu observasi yang seksama dengan data yang lengkap, bukan asal menyunting asal pilih teks dengan asal melaksanakan suatu transliterasi kepada teks. Suatu hal yang kadangkala mengakibatkan salah sangka orang yakni adanya salah pengertian ihwal ungkapan Suntingan Naskah atau Edisi Naskah, sebagian orang menilai bahwa menyunting atau mengedit itu bukan sebagai sebuah observasi, anggapan ini tidak mampu dibenarkan. Karena penyuntingan naskah di dalam bidang filologi harus didasarkan suatu penelitian yang memakai sistem kritik teks.
Pentransliterasian naskah yang tidak melalui sebuah edisi kritis terdapat banyak kekurangan. Karena besar sekali kemungkinannya keutuhan atau kemurnian teks itu tidak mampu dibuktikan secara ilmiah, yang bermakna kesahihan teks mampu diragukan. Oleh alasannya adalah itu setiap kajian teks harus didahului oleh suatu edisi kritis. Masalah ini kelihatannya hanya sederhana, tetapi sering dilupakan oleh ilmuwan lain yang mengambil objek kajian berupa teks, padahal teks yang belum digarap secara filologis masih terdapat kekurangan, misalnya salah tulis, kurang lengkap isinya, dsb.
Transliterasi naskah yang tanpa didahului observasi yang seksama, meskipun naskah yang digunakan selaku objek penelitian berbentuknaskah cetakan juga sering ada kelemahan. Kebiasaan ini sering dilakukan oleh mahasiswa S-1 dalam penulisan skripsinya. Di pihak lain ada acuan kasus yang perlu diamati di sini yaitu, bahwa Hikayat Indera Bangsawan, di Museum Pusat Jakarta terdapat 6 buah naskah, semua naskah sama isinya. Salah satunya pernah diterbitkan oleh Balai Pustaka. Ternyata beberapa waktu lalu diketemukan koleksi v.d.W. 162 yang isinya lebih lengkap dari yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (Fang, 1991: 175). Di Singapura ada pengecapan naskah ini dengan batu tahun 1310 dan 1323 H atau 1890 dan 1862 M. di Aceh juga terdapat sadurannya dalam bahasa Aceh. Jika peneliti terus saja yakin terhadap naaskah cetakan yang diterbitkan oleh Balai Pustaka dan terbitan di Singapura, maka kesahihan sumber datanya kurang tepat. Itulah sebabnya edisi kritis itu amat perlu dijalankan.
Pengembangan Penelitian Filologi
Dalam penyelenggaraan pertemuan-konferensi ditingkat internasional, disiplin ilmu filologi sering dikaitkan bidang sastra, atau dengan kata lain pertemuan-pertemuan itu tidak begitu mempermasalahkan perbedaan antara kajian filologi dengan kajian sastra, dan kajian bidang filologi sering dimasukkan ke kajian bidang sastra (lih. “Symposium”: 1986). Karena kajian yang bersifat filologis dengan melalui suatu edisi kritis dapat dikembangkan ke bentuk kajian yang lain dengan memakai sistem literer. Hal itu dapat dipahami sesudah diketahui apalagi dahulu tentang ruang lingkup pengembangan observasi filologi.
Unsur-unsur observasi filologi yang terpenting adalah nomer 1), 2), 3), 5). Studi yang demikian ini sudah dianggap memenuhi persyaratan sebagai suatu edisi kritis.
Unsur nomer 4) merupakan bagian yang memungkinkan dikembangkannya observasi filologi dengan banyak sekali disiplin ilmu terutama bidang kebahasasan dan kesusastraan. Kaprikornus bila sumber data itu telah ialah hasil edisi kritis, pendekatan literer itu dapat dipraktekkan. Di sini terbuka kesempatan bagi para filolog untuk menerapkan seperangkat pendekatan sastra yang makin hari semakin pesat perkembangannya. Dan di sini pula filolog mampu menerapkan suatu kajian yang relevan dengan arus kemajuan ilmu pengetahuan.
Kajian kepada teks terbuka kemungkinan untuk mempergunakan banyak sekali pendekatan literer, kebahasaaan, dan pendekatan multidisipliner. Pendekatan literer yang mampu digunakan (disesuaikan dengan keadaan, bentuk, dan isi teks) yakni pendekatan struktural, mimetik, pragmatik, ekspresif, reseptif, fungsional, intertekstual, semiotik, dekonstruktif, penafsiran, dsb. Dapat pula dijalankan dengan campuran antara pendekatan literer dan kebahasaan, misal: fungsi poetik bahasa Roman Jakobson, lapis-lapis makna Roman Ingarden, dan berbagai pendekatan semiotik. Dan pendekatan yang merupakan adonan antara pendekatan literer dengan pendekatan multidisipner, misal: sejarah sastra, sosiologi sastra, reseptif, feminisme atau bahkan post feminime, dsb. Dan juga khusus perihal pendekatan reseptif (misalnya analisis reseptif kepada kitab Undang-undang mampu dikomparasikan dengan ilmu aturan). Akhir-selesai ini banyak penulis yang menggemari pendekatan struktural, fungsional, reseptif, dan intertekstual; namun jarang yang memakai pendekatan lainnya sebagaimana disebutkan di atas. Hal ini mampu memberi peluang bagi penulis-penulis lain untuk berbagi penelitiannya dengan variasi pendekatan yang praktis dan mutakhir. Dengan memakai pendekatan mutakhir dan berkaitan dengan masalah kontemporer akan menempatkan filologi sesuai dengan arus perkembangan zaman dan perkembangan ilmu wawasan. Sehingga peranan filologi dapat dinikmati manfaatnya dalam kalangan yang lebih luas terutama di dunia ilmu wawasan.