DURHAKA KEPADA ORANG TUA
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم رغم أنف رجل ذكرت عنده فلم يصل على ورغم أنف رجل دخل عليه رمضان فانسلخ قبل أن يغفر له ورغم أنف رجل أدرك عنده أبواه الكبر فلم يدخلاه الجنة
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda, “Sungguh hina muka seseorang, aku disebut di sisinya namun ia tidak mau bershalawat kepadaku. Sungguh hina tampang seseorang, dia mendapati Ramadhan kemudian selsai bulan Ramadhan tetapi dia tidak menerima ampunan Allah. Sungguh hina muka seseorang, beliau mendapati kedua orang tuanya di sisinya tetapi keduanya tidak memasukkannya ke dalam surga“.[1]
عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الْأُمَّهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنَعَ وَهَاتِ وَكَرِهَ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
Dari al-Mughirah bin Syu’bah dari Nabi berkata, “Sesungguhnya Yang Mahakuasa mengharamkan terhadap kalian durhaka terhadap ibu-ibu kalian, mengubur anak perempuan hidup-hidup, menolak (memberkan hak orang) dan meminta (yang bukan haknya), dan tidak suka pada kalian info, banyak tanya dan menyia-nyiakan harta.[2]
Dari Anas berkata, “Nabi ditanya perihal dosa besar, maka Nabi berkata, “Menyekutukan Allah, durhaka terhadap orang bau tanah, membunuh insan dan persaksian artifisial“.[3]
Arti durhaka:
Setiap perbuatan atau ucapan yang tersakiti dengannya kedua orang renta atau salah satu dari keduanya.
Di dalam al-Mishbah al-Munir: asal makna al-‘Aqq (durhaka) yakni asy-Syaqq (merobek) dikatakan ‘aqqa tsaubahu (dia merobek bajunya) sebagaimana dibilang Syaqqahu (beliau merobek bajunya) semakna. Dengan kata ‘aqqa ini dipakai untuk memberikan ‘aqqa al-waladu abahu ‘uquqan (Anak tersebut durhaka kepada bapaknya) dari serpihan qa’ada, kalau dia bermaksiat kepadanya dan meninggalkan berbakti kepadanya, dan dia orang yang durhaka.[4]
Hukum durhaka terhadap orang tua.
Para ulama telah oke bahwa durhaka terhadap kedua orang tua atau salah satu dari keduanya hukumnya haram dan tergolong salah satu dari dosa besar.
Ketentuan durhaka.
Ibnu Hajar al-Haitami berkata, “Durhaka kepada kedua orang bau tanah yaitu seorang anak menyakiti salah satu dari kedua orang renta dengan sesuatu yang seandainya beliau melakukannya kepada selain orang tuanya termasuk haram dari perkara dosa-dosa kecil. Namun tatkala dilaksanakan kepada kedua orang bau tanah berubah menjadi dosa besar. Atau beliau menyelisihi perintah atau larangannya di dalam kasus yang masuk ke dalam rasa takut terhadap anaknya dari hilangnya nyawanya, atau anggota badannya selama anak tidak tertuduh (berniat) untuk itu. Atau menyelisihi orang tuanya untuk bepergian yang menyulitkan anak dan bukan safar yang wajib bagi anak. Atau bepergian dalam waktu usang yang bukan untuk mencari ilmu bermanfaat dan tidak pula mencari rizki atau perjalanan tersebut menyebabkan ia jatuh kehormatannya.[5]
BENTUK – BENTUK KEDURHAKAAN
1-Berkata “ah” dan membentak.
Allah berfirman, “Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kau memberikan terhadap keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia“. (QS.al-Isra’: 23).
Allah berfirman, “Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: “Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu berdua memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sangat telah berlalu beberapa umat sebelumku?“. (QS. Al-Ahqaf: 17).
Ar-Raghib berkata, “Ah asal kata ah yaitu setiap hal yang dianggap jijik dari kotoran dan cuilan kuku dan yang semisal keduanya. Diucapkan ini pada setiap yang hina karena dianggap kotor seperti “Ah bagi kalian, kenapa kalian menyembah selain Allah?”. Dan aku berkata ah lantaran suatu hal, bila saya mengucapkan itu karena saya menganggapnya buruk. Ada yang berkata, kata ah digunakan untuk memperingatkan lantaran menganggapnya buruk, “Affafa Fulan” (Fulan menganggapnya jelek).[6]
Mujahid berkata, “Maknanya, kalau kau melihat kotoran dan kencing pada kedua orang tuamu dikala masa bau tanah yang mana keduanya juga melihatnya pada dirimu di waktu kecil, janganlah dianggap kotor dan jangan berkata ah”.
Aku berkata, “Para mahir bahasa dan tafsir sudah panjang lebar menerangkan wacana makna ah”.
Al-Qurthubi berkata, “Sesungguhnya perkataan ah kepada kedua orang renta menjadi perkataan yang paling hina lantaran menolak keduanya yaitu bentuk kufur nikmat, mengingkari pendidikan dan menolak wasiat yang Yang Mahakuasa wasiatkan di dalam al-Qur’an. Dan kata ah adalah kata yang diucapkan untuk setiap hal yang ditolak”.
Ibnu Katsir berkata, “Dalam firman Allah, “maka sekali-kali janganlah kau menyampaikan kepada keduanya perkataan “ah“. Yaitu janganlah kalian memperdengarkan terhadap keduanya perkataan buruk hingga janganlah berkata ah yang mana ini perkataan jelek yang paling ringan”.
Adapun membentak adalah perkataan bergairah disertai suara keras. Seperti firman Allah, “Dan kepada orang yang minta-minta, janganlah kau menghardiknya“. (QS. Adh-Dhuha: 10).
Artinya janganlah kamu membentak keduanya dengan perkataan buruk ataupun perkataan baik dan janganlah kau berteriak di hadapan keduanya karena marah. Umayyah bin Abi ash-Shalt mencela anaknya:
Aku tiba kepadamu ketika engkau terlahirkan
aku menanggung hidupmu sampai engkau remaja
Engkau dirawat dengan apa yang paling menyenangkanmu
dan engkau tidak pernah kehausan
Apabila malam mendatangimu dengan sakit, aku tidak tidur
Karena rintihanmu melainkan begadang tidak mampu tidur
Seolah-olah aku yang terpukul bukan dirimu dengan apa
Yang dirimu terpukul dengannya dan mataku membelaskasihani
Jiwaku menakutkan kebinasaanmu dan bergotong-royong ia
Mengetahui bahwa kematian yakni tamu yang mau datang
Ketika engkau sudah meraih umur dan batas yang
Aku menginginkan engkau pada puncak harapanku
Engkau membalasku dengan kekerasan dan kekasaran
Seolah-olah engkau pemberi kenikmatan yang mempunyai keutamaan
Seandainya engkau tidak mempertahankan hak bapakmu ini
2-Memaki kedua orang tua atau menyebabkan dicelanya kedua orang tua.
Dari ‘Amir bin Wasilah berkata, Aku bareng Ali bin Abi Thalib lalu seseorang mendatanginya dan berkata, “Apa yang Rasulullah merahasiakannya kepadamu?”. Ali pun marah. Ali berkata, “Rasulullah tidak merahasiakan sesuatupun kepadaku yang tidak dimengerti insan, akan tetapi Rasulullah pernah menunjukkan kepadaku empat kasus”. Dia berkata, “Apa itu, wahai amirul mukminin?”. Ali berkata:
لعن الله من لعن والده ولعن الله من ذبح لغير الله ولعن الله من آوى محدثا ولعن الله من غير منار الأرض
“Allah melaknat orang yang melaknat kedua orang tuanya, Yang Mahakuasa melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah, Yang Mahakuasa melaknat orang yang melindungi pelaku bid’ah dan Yang Mahakuasa melaknat orang yang merubah isyarat jalan di bumi“.[8]
عن عبدالله ابن عمرو بن العاص أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال من الكبائر شتم الرجل والديه قالوا يا رسول الله وهل يشتم الرجل والديه ؟ قال نعم يسب أبا الرجل فيسب أباه ويسب أمه فيسب أمه
Dari Abdullah bin ‘Amr sesungguhnya Rasulullah berkata, “Termasuk dosa besar seseorang menghujat kedua orang tuanya“. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apakah seseorang menghujat kedua orang tuanya?”. Rasulullah menjawab, “Ya, dia menghujat bapak orang lain sehingga orang lain tersebut memaki bapaknya. Dia menghujat ibu orang lain sehingga orang tersebut memaki ibunya“.[9]
An-Nawawi berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa orang yang menyebabkan sesuatu boleh dinisbatkan kepadanya sesuatu tersebut. Dan ini dijadikan kedurhakaan lantaran diperoleh darinya apa yang orang tuanya tersakiti dengannya dengan rasa sakit yang tidak ringan”.[10]
Ibnu Baththal berkata, “Hadits ini adalah asal tentang menutup sarana terhadap kemungkaran. Dan diambil dari hadits ini bahwa orang yang perbuatannya menenteng kepada tindakan haram maka perbuatan tersebut diharamkan meskipun tidak berniat kepada apa yang haram. Asal hadits ini firman Yang Mahakuasa “Janganlah kalian mencela orang-orang yang berdoa kepada selain Allah“.
Al-Huthai’ah berkata ketika mengejek ibunya dan sungguh buruk apa yang beliau ucapkan:
Semoga Yang Mahakuasa membalasmu dengan kejelekan kepada wanita tua
Dan biar kau mendapati kedurhakaan dari anak-anakmu
Menjauhlah dan duduklah jauh dari kami
Semoga Yang Mahakuasa mengasyikkan seluruh alam dari dirimu
Apakah rebana apabila kau diminta untuk menjaga belakang layar
Dan memberatkan bagi orang-orang yang sedang ngobrol
Apakah tidak jelas kemarahanku terhadapmu
Akan namun kamu tidak memahaminya
Kehidupanmu sepengetahuanku kehidupan yang jelek
Dan kematianmu akan menggembirakan orang-orang shalih kami
Dia juga mencela bapaknya, pamannya dari bapak dan pamannya dari ibu:
Semoga Yang Mahakuasa melaknatmu kemudian biar Yang Mahakuasa benar-benar melaknatmu
Wahai bapak dan semoga Yang Mahakuasa melaknatmu wahai ‘ammi (paman dari bapak) dan khali (paman dari ibu)
Sebaik-baik orang renta dirimu di hadapan orang-orang hina
Dan sejelek-buruk orang tua dirimu di hadapan orang-orang terhormat.
Sebagian orang menceritakan bahwa dalam sebuah majlis, datang-tiba bunyi telpon berdering pada salah seorang yang hadir. Dia membuka telpon dengan paras masam, “Ah, ah, jangan kini. Aku katakan kepadamu, sudah dahulu jangan kini. Nanti, nanti”.
Demikianlah berulang kali terucap perkataan mencela. Kami berkata, mungkin dia berbicara dengan salah seorang saudara wanitanya. Kemudian beliau menutup teleponnya. Dia berkata, “Perempuan renta telah mengganggu kita!”.
Alangkah jeleknya orang yang tidak lembut ketika berbicara dengan ibunya dan tidak baik ketika mensifati ibunya.
Diapun membisu dan diamlah seluruh pengunjung. Kemudian terdengarlah bunyi tangisan lirih dalam majlis tersebut. Ternyata salah seorang hadirin berlinang air mata. Kami memandangnya dengan sungguh keheranan lantaran air mata seorang lelaki bukan kasus ringan. Ketika dia mengenali bahwa orang-orang di sekelilingnya memandangnya, dia berkata, “Seandainya aku menyaksikan ibuku, seandainya saya melihat ibuku. Seandainya ibuku masih hidup dan menggangguku sehingga saya berkata kepadanya, “Mintalah apa yang kamu sukai wahai ibuku!”.
3-Menentang perintah keduanya dan tidak mentaatinya.
Dari Abu Hurairah dari Nabi berkata, “Tidak ada bayi yang mengatakan kecuali tiga bayi: Isa bin Maryam dan sobat Juraij. Juraij adalah spesialis ibadah dan ia memiliki tempat ibadah. Ketika ia berada di dalam daerah ibadahnya, ibunya mendatanginya saat dia sedang shalat. Ibunya berkata, “Wahai Juraij”. Juraij berkata, “Ya Rabb, ibuku atau shalatku”. Diapun meneruskan shalatnya. Ibunya pergi meninggalkan dirinya. Keesokan harinya ibunya datang ketika dia sedang shalat. Ibunya berkata, “Wahai Juraij”. Juraij berkata, “Ya Rabb, ibuku atau shalatku”. Diapun meneruskan shalatnya. Ibunyapun meninggalkannya. Keesokan harinya ibunya datang saat beliau juga sedang shalat dan berkata, “Wahai Juraij”. Juraij berkata, “Wahai Rabb, ibuku atau shalatku”. Diapun meneruskan shalatnya. Ibunya berdoa, “Ya Allah, janganlah Engkau mewafatkan dia sampai beliau menyaksikan ke wajah wanita fasik”. Bani israil menyebut-nyebut ihwal Juraij dan ibadahnya dan di sana ada wanita pelacur yang menampakkan kecantikannya. Wanita ini berkata, “Jika kalian mau aku akan menggodanya untuk kalian”. Maka wanita fasik ini menampakkan diri di hadapan Juraij, namun Juraij tidak inginmenolehnya. Maka wanita ini mengunjungi pengembala yang biasa menginap di tempat ibadah Juraij dan dia menggoda pengembala tersebut sehingga beliau berzina dengan pelacur tersebut. Pelacur tersebut hamil dan ketika melahirkan dia berkata, “Anak ini dari Juraij”. Mereka mengunjungi Juraij, memintanya turun dari tempat ibadahnya dan mereka menghancurkan kawasan ibadahnya lalu mereka memukuli Juraij. Juraij berkata, “Ada apa kalian?”. Mereka berkata, “Engkau berzina dengan pelacur ini dan dia melahirkan anak darimu!”. Juraij berkata, “Mana bayi itu?”. Mereka mendatangkan bayi tersebut. Juraij berkata, “Tinggalkan saya sampai aku shalat”. Lalu Juraij shalat. Ketika tamat shalat dia mendatangi bayi tersebut dan memukul potongan perutnya dan berkata, “Wahai bayi, siapa bapakmu?”. Bayi tersebut berkata, “Fulan si penggembala“. Rasulullah berkata, “Maka mereka mengunjungi Juraij dan menciuminya dan mengusap-usapnya. Mereka berkata, “Kami akan membangun daerah ibadahmu dari emas”. Juraij berkata, “Jangan, kembalikanlah tempat ibadahku dari tanah sebagaimana semula”. Merekapun melakukannya…“.[11]
Aku berkata, Dalam hadits ini banyak manfaat yang berharga dan keunikan yang langka, panjang untuk menjelaskannya tetapi yang paling penting bagi kita di antaranya yaitu betapa besarnya (masalah) berbakti kepada orang bau tanah secara khusus kepada ibu. Dan sebetulnya tidak diperkenankan bermaksiat kepada kedua orang renta dalam perkara baik dan shalih. Dalam hadits tersebut juga ada terkabulnya doa orang renta sebagaimana tiba dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda:
ثلاث دعوات مستجابات لا شك فيهن: دعوة الوالد على ولده ودعوة المسافر ودعوة المظلوم.
“Tiga doa yang terkabulkan tidak disangsikan lagi: doa orang renta kepada anaknya, doa orang yang safar dan doa orang yang terdhalimi“.
Hadits ini dihasankan oleh Imam al-Albani di dalam Shahih al-Jami’: 3033. dalam hadits tersebut mampu diambil manfaat, kalau ada permasalahan yang saling berlawanan maka didahulukan yang paling penting dan paling wajib, karena Juraij mendahulukan shalat sunat atas mengunjungi panggilan ibunya. Wallahu a’lam.
4-Bernasab terhadap selain bapaknya dan berlepas diri darinya.
عَنْ سَعْدٍ يَقُولُ سَمِعَتْهُ أُذُنَاىَ وَوَعَاهُ قَلْبِى مُحَمَّدًا -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ
Dari Sa’d bin Abi Waqqash berkata, Aku mendengar dengan kedua telingaku dan hatiku menghafalnya dari Muhammad SAW sebetulnya beliau berkata, “Barangsiapa mengaku bernasab terhadap selain bapaknya dan dia tahu sebenarnya ia bukan bapaknya maka haram atasnya surga“.[12]
Dari Sa’d dari bapaknya adalah Ibrahim, Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada Shuhaib, “Bertakwalah terhadap Yang Mahakuasa dan janganlah kau bernasab kepada selain bapakmu”. Shuhaib berkata, “Tidak menggembirakanku kalau aku memiliki ini dan itu dan aku mengucapkan hal itu. Akan tetapi saya dicuri saat aku masih kecil”.[13]
Ini ialah sejauh-jauhnya tingkatan durhaka ia berlepas diri dari bapaknya dan bernasab terhadap selain bapaknya padahal dia mengetahuinya. Mungkin karena meninggalkan nasab yang rendah atau menghendaki nasab yang tinggi atau takut untuk mengakui nasabnya atau mendekatkan diri kepada orang lain dengan bernasab kepadanya. Dalam hadits ini terdapat pengingkaran dan mengkufuri kenikmatan yang telah diberikan bapaknya terhadap dirinya dan ini tergolong dosa besar.
5-Memutuskan silaturahmi dan meninggalkannya.
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah bersabda:
ليس شيء أطيع الله فيه أعجل ثوابا من صلة الرحم و ليس شيء أعجل عقابا من البغي و قطيعة الرحم و اليمين الفاجرة تدع الديار بلاقع .
“Tidak ada sesuatu yang Yang Mahakuasa ditaati padanya yang lebih singkat pahalanya dari pada silaturahmi. Dan tidak ada sesuatu yang lebih singkat hukumannya dari berbuat kedhaliman, menetapkan silaturahmi dan sumpah artifisial menimbulkan rumah-rumah tanpa penghuni“.[14]
عن جُبَيْرَ بْنَ مُطْعِمٍ قال: قال النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ.
Dari Jubair bin Muth’im berkata, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang menetapkan silaturahmi“.[15]
An-Nawawi berkata, “Hadits ini memiliki dua tafsiran:
Pertama: Dibawa terhadap orang yang menghalalkan memutuskan silaturahmi dengan tanpa sebab yaitu dan tanpa syubhat disertai pengetahuannya akan haramnya tetapkan silaturahmi. Ini kafir dan kekal dalam neraka tidak akan masuk surga selamanya.
Kedua: Makna hadits tersebut, tidak akan masuk surga dari awalnya bersama orang-orang yang terdahulu masuk nirwana, akan tetapi dia dieksekusi dengan diakhirkan masuk surga dengan batas waktu yang diharapkan Allah(bagi mereka yg hanya memutus silaturrohmi dengan tetap meyakini hukumnya asal)“.[16]
6-Pernikahan anak wanita tanpa ijin bapaknya dan ia tidak taat kepada bapaknya.
Termasuk hal yang dimengerti bahwa seorang bapak dihentikan memaksa anaknya untuk menikah dengan orang yang beliau tidak menginginkannya. Demikian juga dilarang bagi anak wanita menikah dengan tanpa ijin dari bapaknya atau walinya.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Dari Aisyah berkata, “Rasulullah bersabda, “Siapapun perempuan yang menikah tanpa ijin walinya maka pernikahannya batil“. Rasulullah mengucapkannya sebanyak tiga kali.[17]
عَنْ أَبِى مُوسَى أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ
Dari Abu Musa al-Asy’ari berkata, Rasulullah bersabda, “Tidak ada akad nikah kecuali dengan adanya wali“.[18]
Aku berkata, Jika ada yang berkata, Apakah disyaratkan adanya wali bagi perempuan janda?. Jawabannya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari: 5130 dari al-Hasan berkata, Yang Mahakuasa berfirman, “Janganlah kalian membatasi mereka (untuk menikah)”. (QS. Al-Baqarah: 232).
Dia berkata, Mengatakan kepadaku Mi’qal bin Yasar bekerjsama ayat ini turun berhubungan dengan dirinya. Dia berkata, “Aku menikahkan saudari perempuanku kepada seorang lelaki lalu dia mentalaknya hingga saat berakhir kurun iddahnya, ia tiba untuk melamarnya. Maka saya berkata kepadanya, ‘Aku menikahkanmu, saya menyiapkan tempat tidurmu, saya memuliakanmu kemudian kau menceraikannya kemudian kamu tiba ingin melamarnya?. Tidak, demi Allah, janganlah kamu kembali padanya untuk selamanya. Dan dia seorang laki-laki yang tidak mengapa dan sang wanita ingin kembali padanya. Maka Yang Mahakuasa menurunkan ayat ini, “Janganlah kalian membatasi mereka (untuk menikah)“. Maka saya berkata, Sekarang saya kerjakan ya Rasulullah. Al-Hasan berkata, Dia menikahkan saudaranya dengan bekas suaminya”.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Ini dalil yang paling sharih (gamblang) akan dianggapnya wali dalam akad nikah. Jika tidak, pasti penghalangannya untuk menikah tidak ada maknanya. Dan seandainya jika perempuan tersebut boleh menikahkan dirinya niscaya dia tidak memerlukan kerabat lelakinya. Dan orang yang masalah pernikahannya dikembalikan pada dirinya dihentikan dikatakan orang lain menghalanginya. Dan Ibnu al-Mundzir menyebutkan bahwa tidak dimengerti dari seorang sahabatpun yang menyelisihi ini”.[19]
Dengan dalil-dalil yang sharih ini terperinci bagi kita sebenarnya tidak benar seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri tanpa seijin walinya. Yang demikian karena beberapa hal:
1- Batalnya akad nikah perempuan tersebut. Barangsiapa yang pernikahannya batal maka bagaimana boleh bagi dirinya untuk melanjutkan jalan ini.
2- Durhaka kepada bapaknya. Dan durhaka ialah dosa besar.
3- Tersebarnya apa yang dinamakan kesepakatan nikah sirri dengan tanpa ijin wali. Ini tergolong janji nikah yang batil dan haram.
Apabila dikatakan, akan namun sebagian para bapak melarang belum dewasa wanita mereka untuk menikah dengan tanpa hujjah yang membuat puas dan mereka menghalang-halangi dengan tanpa karena ialah yang diperbolehkan. Aku katakan, Jawabannya mudah jika penentangan tersebut lantaran tidak sekufu dikala seorang gadis menyukai perjaka yang hatinya buruk, agamanya jelek, maka ini tidak ada kafa’ahnya. Di sana islam mempertahankan kekuasaan seorang bapak yang mana islam memberikan hak kepada bapak untuk menolak atas dasar pengalaman dan ketakwaan. Karena komitmen nikah bukan sekedar kekerabatan antara dua orang saja namun akad nikah ialah korelasi social antara dua keluarga. Namun kalau sang bapak bersikeras untuk menolak kesepakatan nikah tersebut dibarengi terpenuhinya syarat-syarat kafa’ah maka boleh bagi gadis tersebut untuk mengangkat permasalahannya ke pengadilan, secara khusus apabila ia takut fitnah.
Hak seorang anak wanita dalam memilih suami tidak mampu diusik, akan namun dilarang mengakibatkan imbas negative dalam masyarakat apa yang berbalik pada pasangan suami istri tersebut dengan memutuskan silaturahmi dan perpecahan dan berbalik terhadap kedua orang renta dengan membatalkan karena kedurhakaan.
Tingkatan durhaka
Wahai anak yang berbakti –Semoga Yang Mahakuasa memberi ide kepadamu untuk berbakti dan memberi taufik kepadamu untuk bertakwa-, ketahuilah bahwa durhaka memiliki tingkatan, sebagiannya lebih buruk dari sebagian lainnya. Sebagaimana berbakti juga memiliki tingkatan sebagiannya lebih tinggi dengan sebagian lainnya.
Al-Hulaimi berkata, “Durhaka kepada kedua orang bau tanah yakni dosa besar yakni pabila dalam kedurhakaan tersebut dibarengi celaan atau makian atau pukulan maka ini tindakan keji. Tetapi jikaa kedurhakaan tersebut berbentukmerasa berat melaksanakan perintah keduanya ataupun larangan keduanya dan bermuka masam di hadapan keduanya dan merasa bosan terhadap keduanya tetapi disertai melaksanakan ketaatan dan selalu diam, maka ini termasuk dosa kecil.
Namun kalau apa yang ia lakukan menimbulkan kedua orang tuanya menahan diri dari memerintahnya sehingga keduanya menerima kemudharatan, maka ini termasuk dosa besar”.[20]
Ada sebuah cerita
Al-A’shami berkata, “Seorang laki-laki baduwi berkata kepadaku, beliau berkata, “Aku keluar untuk mencari orang yang paling durhaka dan paling berbakti. Aku mendatangi banyak kampung hingga saya berhenti pada seorang renta yang dilehernya ada seutas tali yang mengikat baskom untuk mengambil air yang mana unta tidak berpengaruh menariknya di siang hari yang sangat panas. Di belakangnya seorang perjaka yang di tangannya ada tali cemeti untuk mencambuk orang tua tersebut. Dan punggungnya telah sobek dengan cemeti tersebut. Aku berkata, “Apa kamu tidak takut terhadap Yang Mahakuasa pada orang tua lemah ini?. Apakah belum cukup dengan apa yang dia lakukan dari menjulurkan tali ini sehingga engkau memukulinya?”.
Dia menjawab, “Sesungguhnya dengan ini semua beliau ialah bapakku”. Aku berkata, “Semoga Yang Mahakuasa tidak membalasmu dengan kebaikan”.
Dia berkata, “Diamlah”. Demikianlah dia berbuat terhadap bapaknya, dan demikianlah bapaknya berbuat terhadap kakeknya. Aku berkata, “Ini orang yang paling durhaka di antara manusia”.
Kemudian saya melanjutkan perjalananku hingga aku berhenti pada seorang pemuda yang di lehernya ada bejana yang di dalamnya ada seorang tua seperti ia seperti anak burung. Dia menaruh orang renta tersebut di hadapannya setiap jam lalu menyuapinya sebagaimana anak burung disuapi. Aku berkata, “Apa ini?”. Dia menjawab, “Bapakku dan ia sudah pikun sehingga aku menanggungnya”. Aku berkata, “Ini orang yang paling berbakti di kalangan orang Arab”.[21]
AKIBAT DAN BALASAN BAGI ANAK DURHAKA
1-Hukuman di dunia.
عن أنس قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من عال جاريتين حتى تدركا دخلت الجنة أنا وهو كهاتين وأشار بإصيعه السبابة والوسطى و بابان معجلان عقوبتهما في الدنيا : البغي والعقوق
Dari Anas berkata, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menanggung dua anak wanita hingga dewasa maka saya dan ia akan masuk surga –dan Rasulullah mengisyaratkan dua jarinya jari telunjuk dan jari tengah-) dan juga ada dua pintu yang disegerakan hukumannya di dunia ialah: kedhaliman dan durhaka“.[22]
2-Adzab kubur baginya.
Dari al-‘Uwam bin Hausyab berkata, “Pada suatu kali saya singgah di sebuah kampung, pada salah satu segi kampung tersebut terdapat kuburan. Pada waktu ‘ashar terbelahlah sebuah kuburan lalu keluarlah seorang lelaki yang kepalanya kepala keledai dan tubuhnya tubuh manusia lalu ia melenguh sebanyak tiga kali lalu kuburan tersebut menutupnya. Tiba-datang ada seorang perempuan tua merajut rambut atau wool. Seorang perempuan berkata, “Engkau menyaksikan wanita renta tersebut?”. Aku menjawab, “Kenapa beliau?”. Wanita tersebut berkata, “Dia ibunya ini”. Aku berkata, “Bagaimana kisahnya?”. Dia berkata, “Lelaki tersebut peminum khamer, kalau pulang ibunya berkata kepadanya, ‘Wahai anakku, bertakwalah terhadap Allah, sampai kapan kau akan minum khamer?”. Dia berkata, “Sesungguhnya kau melenguh sebagaimana melenguhnya keledai”. Wanita tersebut berkata, “Lelaki itu mati sehabis ashar”. Dia berkata lagi, “Maka kuburannya terbelah sehabis ashar setiap hari kemudian dia melenguh sebanyak tiga kali lalu kuburannya menutupnya”.[23]
Aku berkata, Tidak menjadi keharusan setiap orang yang durhaka disiksa dengan semisal ini, akan namun Yang Mahakuasa melakukan apa yang beliau harapkan dan ini tidak sulit bagi Allah. Wallahu a’lam.
3-Tidak diterima amalannya.
عن أبي أمامة قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: ثلاثة لا يقبل الله منهم صرفا و لا عدلا : عاق و منان و مكذب بالقدر
Dari Abu Umamah berkata, Rasulullah bersabda, “Tiga kelompok yang mana Yang Mahakuasa tidak akan mendapatkan dari mereka taubat dan tidak pula amalan wajib: anak durhaka, pengungkit-ungkit pemberiannya dan orang yang mendustakan takdir“.[24]
Al-Munawi berkata, “Sharf yakni taubat atau sunah atau sisi yang dipalingkan darinya adzab. Wa laa ‘adlan yakni masalah wajib. Artinya Yang Mahakuasa tidak akan mendapatkan amalan wajibnya yang mampu meniadakan kesalahan ini meskipun Yang Mahakuasa mampu menghapus aneka macam kesalahan sesuai kehendak-Nya dengan amalan wajib.
4-Allah tidak akan memandangnya.
عن عبد الله بن عمرقال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ثلاثة لا ينظر الله عز وجل إليهم يوم القيامة : العاق لوالديه و المرأة
المترجلة و الديوث ، و ثلاثة لا يدخلون الجنة : العاق لوالديه و المدمن الخمرو المنان بما أعطى .
Dari Abdullah bin Umar berkata, Rasulullah bersabda, “Tiga kelompok yang Yang Mahakuasa tidak akan menyaksikan mereka pada hari kiamat: anak durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang seperti lelaki dan dayyuts (orang yang tidak mempunyai kecemburuan). Dan tiga kalangan yang tidak akan masuk nirwana: anak durhaka kepada kedua orang tuanya, peminum khamer dan orang yang mengungkit-ungkit pemberiannya“.[25]
5. Masuk neraka.
عن أبي الدرداء عن النبي صلى الله عليه و سلم قال: لا يدخل الجنة عاق ولا مدمن خمر ولا مكذب بقدر
Dari Abu Darda’ dari Nabi berkata, “Tidak akan masuk nirwana anak durhaka, pecandu khamer dan pendusta takdir“.[26]
عن أبي بن مالك عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: من أدرك والديه أو أحدهما ثم دخل النار من بعد ذلك فأبعده الله و أسحقه
Dari Ubai bin Malik dari Nabi bersabda, “Barangsiapa yang mendapati kedua orang tuanya atau salah satu keduanya kemudian masuk neraka sehabis itu maka Yang Mahakuasa telah menjauhkannya dan membuangnya“.[27]
SEMOGA ALLAH TA’ALA MENJAUHKAN KITA DARI PERBUATANDURHAKA
Aamiin ya Rob…..
[2] Muttafaq alaihi.
[3] Muttafaq alaihi.
[4] Al-Mishbah al-Munir: 160.
[5] Az-Zawajir: 2/167.
[6] Al-Mufradat: 19.
[7] Dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Birru wa ash-Shilah: 151 dengan sanadnya. Dan dating secara marfu’ dengan sanad yang lemah dari jalan ‘Ubaid bin Khilshah menunjukkan kepadaku Abdullah bin Nafi’ al-Madani dari al-Munkadir dari bapaknya dari Jabir. Al-Haitsami berkata di dalam Majma’az-Zawaid: 4/155, “ath-Thabrani meriwayatkannya dalam ash-Shaghir dan al-Ausath dan di dalamnya ada rawi yang tidak saya kenal dan al-Munkadir bin Muhammad seorang yang lemah sedangkan Ahmad mentsiqahkannya. Dan hadits yang panjang ini munkar. Lihat takhrijnya di dalam al-Irwa’: 838 karya al-Albani.
[8] Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad: 17 dan Muslim:1978, sertaa selain keduanya.
[9] Diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad: 27 dan Muslim: 90.
[10] Syarh Shahih Muslim: 2/88.
[14] Diriwayatkan oleh al-Baihaqi: 10/35 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah: 978.
[15] Muttafaq alaihi.
[16] Syarh Shahih Muslim: 16/113, 114.
[17] Hadits shahih diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi: 1102 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-jami’: 2709.
[18] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Ahmad: 4/394, 413, 418 dan selainnya.
[19] Fathul Bari: 9/187.
[20] Al-Minhaj fi Syu’abil Iman: 1/267.
[21] Al-Mahasin wal Masawi’: 607 cetakan Dar Ibni Hazm.
[22] Diriwayatkan oleh Hakim: 4/177 dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Ash-Shahihah: 1120.
[23] Diriwayatkan oleh al-Ashbahani dan selainnya. Al-Ashbahani berkata, “Abul Abbas al-Ashamm menceritakan ini dengan mendekte di kota Naisabur di saksikan oleh para penghafal hadits dan mereka tidak megingkarinya. Al-Mundziri menshahihkannya di dalam at-Targhib wa at-Tarhib: 3/332. syeikh kami al-Albani berkata, “Hasan mauquf”, sebagaimana dalam Shahih at-targhib: 2517.
[24] Hadits hasan diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah dan ath-Thabrani serta dihasankan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah: 1785.
[25] Diriwayatkan oleh Ahmad dan an-Nasai. Dan Ahmad Syakir menshahihkannya sedangkan al-Albani membaguskan sanadnya dalam ash-Shahihah: 674.
[26] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya. Telah kemudian ta’wil hadits ini dan klarifikasi maknanya dalam pembahasan macam-macam kedurhakaan pada tetapkan silaturahmi dan meninggalkannya.
[27] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Ahmad: 4/344, 5/29 dan ath-Thayalisi: 1321 serta dishahihkan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah: 515.
Sumber http://abu-riyadl.blogspot.com