Duduk Perkara Insider Dan Outsider Dalam Studi Islam

                                                                         BAB I
                                                               PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Persoalan Agama merupakan fenomena yang tidak lepas dari sejarah perjalanan kehidupan insan. Setidaknya ada lima Agama besar berbeda yang memiliki penganut di seluruh dunia. Agama-Agama ini berkembang dan berkembang sebagaimana yang disampaikan oleh penganutnya secara bebuyutan. Walaupun secara garis besar Agama-Agama ini mempunyai faktor-faktor yang serupa sekaligus berlainan, misalnya metode keimanan, ritual, norma, dan sebagainya.
Begitu pula sifatnya ada yang inklusif, pluralis, ada pula yang pribadi, konservatif; ada yang missionary dan ada pula yang non missionary. Penelitian Agama perlu dilakukan untuk mengenali fenomena Agama dalam kehidupan dan mengenali perbedaan antaragama agar mampu memilih perilaku yang semestinya diambil oleh penganut Agama masing-masing.
Problem epistimologi studi Islam pada mulanyabertumpu pada idealisme dengan menjadikan teks-teks suci sebagai satu-satunya sumber kebenaran, pada perkembangannya bergerak menuju empirisme dengan menatap bahwa Islam tidak bisa dilihat cuma dari teks-teks sucinya, sebab Islam telah menjadi budaya dalam prilaku penganutnya. Karena itu studi Islam pada kurun terbaru berkembang dalam banyak sekali model pendekatan ilmu wawasan, seperti antropologi, sosiologi, sejarah, dan lainnya.
Problem Outsider dan Insider juga menjadi bahasa akademik tentang agama. Siapa yang paling kompeten untuk bicara pada orang lain perihal Islam, sarjana muslim sendiri (Insider) atau sarjana Barat dan para orientalis (Outsider)?
Problem Insider dan Outsider dalam Studi Islam Problem Insider dan Outsider dalam Studi Islam
Dalam goresan pena ini penulis ingin menyampaikan beberapa aliran keagamaan kaitannya dengan dilema studi Agama-Agama (Study of Religons), baik dari golongan Islam (Insider) dan di luar Islam (Outsider), seperti halnya diungkap oleh Muhammad Abdul Rauf “The Puture off Islamic Tradition Nort America.
II. Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan Insider dan Outsider ?
  2. Bagaimana Peran Insider dan Outsider dalam Islamic Studies?
  3. Bagaimana problematika Insider dan Outsider dalam Kacamata Abdul Rauf ?
  4. Bagaimana Ciri berfikir Insider dan Outsider?
III. Tujuan
  1. Untuk mengetahui definisi Insider dan Outsider!
  2. Untuk mengenali keberadaan Insider dan Outsider dalam Islamic Studies!
  3. Untuk mengetahui problematika Insider dan Outsider dalam Islamic Studies!
  4. Untuk mengetahui ciri berfikir Insider dan Outsider!
                                                                        BAB II
                                                                PEMBAHASAN
A. Pengertian Insider dan Outsider
Dalam studi Agama kekinian, telah terjadi revolusi pendekatan  dan metode pengertian keagamaan dari yang semula pemahamannya hanya terbatas pada idealis menuju ke arah historisitas, dari yang hanya terbatas iman ke arah entitas sosiologi, dari diskursus esensi  ke arah keberadaan. Terkait dengan kompleksitas studi keagamaan tersebut, Knott  dalam tulisannya Insider/Outsider Perspektif menciptakan pemeteaan pendekatan studi agama dalam perspektif Insider dan Outsider. Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih dalam wacana Insider Outsider, dan problematikanya, disini perlu diterangkan pengertian Insider dan Outsider. Apakah Insider dan Outsider itu? Kata Insider dalam kamus ilmiah terkenal mempunyai arti orang dalam, yakni orang yang mengetahui benar ihwal diam-diam atau seluk beluk di dalamnya. Sedangkan kata Outsider mempunyai orang luar.
Insider adalah para pengkaji agama yang berasal dari agamanya sendiri (orang dalam). Sedangkan Outsider yakni para pengkaji agama yang bukan penganut agama yang bersangkutan. Yang menjadi masalah yakni apakah dari kalangan Insider maupun Outsider dalam evaluasi benar-benar obyektif dan bisa di pertanggungjawabkan, alasannya latar belakang dan jerat histosris yang melekat pada Insider maupun Outsider. Banyak kelompok yang meletakkan pandangan negatif pada usulan Outsider. Adanya indikasi kecurigaan bukannya tanpa alasan, banyaknya kepentingan-kepentingan Barat terhadap Islam ialah salah satu bentuk jerat propaganda politik untuk terus menguasai wilayah negara Islam dan menguatkan akar pendudukan pada kawasan tersebut.
Dari gambaran diatas memperlihatkan indikasi bahwa banyak analisis dari kelompok Outsider yang tidak bisa di terima oleh Insider, dan begitu pula banyak analisis Insider yang dipandang sebelah mata oleh Outsider alasannya adanya subjektifitas yang menjerat Insider. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut cuma akan menimbulkan miss-understanding yang mampu berujung pada pertentangan.
B. Peran  Insider dan Outsider dalam Islamic Studies
Studi agama merupakan salah studi yang memilik posisi penting dalam pengembangan keilmuan. Dalam makalah ini, studi agama yang dimaksud lebih menjurus agama selaku religious lives atau kehidupan keberagamaan yang berlawanan jauh dengan theologi keagamaan. Kajian agama sangat berlainan dengan kajian-kajian yang yang lain, kajian agama senantiasa memunculkan hal-hal baru. Knott dalam tulisannya menyebutkan bahwa hal ini timbul karena Agama merupakan wilayah yang tidak mudah diakses bagi  orang luar.  Pada tahun 1991 para sarjana Barat mengkaji tentang Sikhism, McLeod Darshan Singh menyatakan:“para penulis Barat berusaha untuk menafsirkan dan mengerti Sikhism sebagai Outsider. Yang paling penting, agama ialah sebuah area yang tidak gampang dipahami oleh Outsider, orang gila atau partispan. Agama secara mendalam tidak mampu dipahami kecuali oleh partisipan dengan mematuhi beberapa syarat”.
Pembahasan Outsider dan Insider sebagaimana yang ditulis oleh Kim Knott muncul alasannya adalah dilatar belakangi oleh kajian ihwal Sikh pada tahun 1980-an di India. Yang ditandai dengan adanya perdebatan seputar motivasi dan donasi para sarjana yang menulis agama Sikh. Sehingga timbul pertanyaan siapa yang dianggap mengerti dan merepresentasikan Sikh?, kepentingan-kepentingan politis apa yang melatar belakangi hal itu?, serta pendirian epistemology para pengkaji tersebut.
Dalam studi Islam, posisi Insider dan Outsider sebagaimana pernyataan Kim Knott, pengalaman keagamaan yang ada pada diri Insider ditampilkan kemudian direspons oleh Outsider, dengan menimbang-nimbang batasan objektivitas dan subjektivitas yang terpancar dalam pengalaman keagamaan, yang didasari oleh sikap empati dan analisis kritis. Dalam posisi ini, Insider dan Outsider saling berbagi keseimbangan persepektif dalam sejarah studi agama.
Dari keterangan di atas penulis mampu menarik kesimpulan mengenai tugas Insider Outsider dalam Islamic Studies yaitu sebagai pengkaji ilmiah yang meneliti perihal Agama dengan menggunakan tata cara dan beberapa pendekatan untuk menghasilkan data empirik dari observasi tersebut baik itu dari pihak Insider dan Outsider.
C. Problematika Insider dan Outsider dalam Kacamata Muhammad Abdul Rauf
Problem Insider dan Outsider, menyunting dari esai Muhammad Abdul Rauf, Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point Of View. Kajian Insider dan Outsider berhubungan erat dengan pengalaman Barat dan Sarjana Muslim sendiri dalam menafsirkan dan mengerti Islam. Insider yaitu para pengkaji Islam dari kelompok muslim sendiri. Sementara Outsider ialah istilah untuk para pengkaji non-Muslim yang mempelajari Islam dan menafsirkannya dalam bentuk analisis-analisis dengan metodologi tertentu.
Yang dipersoalkan adalah apakah para pengkaji Islam dari Outsider benar-benar obyektif, mampu dipertanggungjawabkan, dan memiliki validitas ilmiah dilihat dari optik Insider? Dalam hal ini Abdul-Rauf menolak validitas para pengkaji Outsider alasannya alasannya adalah mereka mengkaji Islam atas dorongan kepentingan kolonial guna melanggengkan dominasi politik dan ekonomi atas kawasan taklukkannya. Karena itu, studi Islam dalam kerangka argumen itu mempunyai arti “kajian ketimuran” (oriental studies) yang sebetulnya dikerjakan oleh intelektual Eropa untuk mahasiswa di universitas Eropa.
Dengan demikian, studi Islam dalam optik Outsider sarat bias, kepentingan, dan barat sentris. Membaca karya para Outsider perihal Islam mesti dilaksanakan dengan kritis dan penuh hati-hati. Apalagi kalau yang dikaji adalah teks-teks suci yang untuk dapat memahaminnya diharapkan iktikad dan ini tidak dimiliki para pengkaji Outsider. Abdul Rauf banyak memperoleh dugaan dan ancaman dalam studi Islam Barat. Misalnya yakni analisis studi Islam yang didasarkan pada dugaan budaya, agama, dan prasangka intelektual yang didasarkan pada supremasi budaya (cultural supremacy).
Abdul Rauf sangat terperinci menunjukkan keresahannya atas kerja para Pengkaji Barat atas Islam yang menurutnya memojokkan Islam dan tanpa menghiraukan apa yang disuarakan oleh para Sarjana dan umat Muslim sendiri atas dirinya. Dengan kata lain, para Sarjana dan umat Muslim seakan tidak ada dan juga mungkin disengaja untuk ‘ditiadakan’. Islam hanya dilihat sebagaimana watu, kayu atau benda mati lainnya yang tidak mempunyai hasrat, cita-cita, keinginan, dan pertimbangan untuk mendefinisikan dirinya.
Pada awal tulisannya, Abdul Rauf mengulas tentang bagaimana perjuangan Barat untuk mengkoloni Islam melalui pendidikan, disitu dia menunjukkan contoh perkara modernisasi-sekularisasi yang akan dilaksanakan Barat terhadap Univeritas Al-Azhar pada tahun 1961. Menurutnya jika reformasi tersebut terjadi, maka keilmuan Islam tradisional yang ‘asli’ sedikit demi sedikit akan mengecil pengaruhnya. Ditambah lagi dengan adanya gelombang teknologi isu yang meruntuhkan sekat-sekat kebudayaan dan bangsa, maka tidak aneh bila nanti umat Islam akan ‘berparas dan berjiwa’ Barat dan meninggalkan ‘tampang dan jiwa’-nya sendiri, yaitu Islam. Untungnya, saat itu umat muslim dan Presiden Mesir serta para syeikh Al-Azhar menolak sehingga reformasi pun tidak jadi dilaksanakan. Meski demikian, Barat berhasil mereformasi kurikulum sekolah-sekolah Islam lainnya, ialah dengan memasukkan kurikulum sekuler di dalamnya.
Dengan ini maka ketakutan-cemas sebagaimana di atas akibatnya terjadi pula. Pendidikan Islam tradisional ‘asli’ kian kecil kiprahnya, dan pasca-Barat mendirikan sekolah-sekolah sekuler model Barat di Negara-negara Islam (bukan Negara Islam tetapi Negara yang rakyatnya mayoritas Islam) Lembaga pendidikan Islam dipersempit kiprahnya, adalah hanya sebagai forum Pendidikan agama. Pada periode inilah (era pertengahan) dalam tubuh Islam terjadi dikotomi antara keilmuan Islam dan non-Islam yang sebelumnya tidak pernah terbesit dalam benak Islam, karena berdasarkan Islam semua ilmu yaitu Islam atau Ilahiyah.
Dengan adanya dikotomi keilmuan tersebut, keilmuan Islam untuk Timur (Islam) dan keilmuan non-Islam untuk Barat (Amerika dan sebagian Eropa), maka lalu memunculkan metode dan pendekatan yang berlainan antara sarjana Barat dan sarjana Muslim dalam mengkaji Islam. Barat cenderung memakai metode ilmiah dan pendekatan histories dan Sarjana Muslim cenderung teologis. Studi Islam Barat didorong oleh keperluan akan kekuasaan colonial untuk berguru dan mengerti penduduk yang mereka kuasai, sementara Islam didorong oleh perilaku pertahanan diri. Selain itu, menurut Abdul Rauf para Sarjana Barat dalam mengkaji Islam sungguh dipengaruhi oleh ‘pra-anggapan’ negartif yang menyatakan bahwa Islam ialah agama yang suka kekerasan, anti modernisasi, sesat, dan dibawa oleh nabi artifisial dan suka seksualitas. Oleh karena itu maka hasil tamat dari kajian Barat sering tidak ‘Objektif’ dan menyakiti hati umat Muslim.
Studi Islam yang dijalankan di Barat menyimpan segudang problematika yang perlu segera disikapi dan ditanggulangi. Salah satunya, masalah peneliti Barat atau Orientalis selaku Outsider dalam mengetahui Islam mempunyai dilema yang tidak remeh, mengingat kenyataan beberapa karangan beberapa Orientalis sungguh bermasalah berdasarkan kaca mata kaum Muslim. Muhammad Abdul-Rauf  mempersoalkan hal ini secara kritis. Walaupun beliau tidak memungkiri beberapa Orientalis yang fairminded yang berjasa dalam melaksanakan studi yang baik kepada Islam, seperti pembelaan Henri Corbin kepada Filsafat Islam di Persia, namun dia tidak bisa berkompromi dengan para peneliti luar yang melewati batas keimanan kaum Muslimin. Baginya, “Tapi akan berbahaya kalau, atas nama keilmiahan, asal undangan Islam diterangkan sebagai timbul dari fenomena ekonomi atau kultural. Apapun mampu dikatakan tentang Islam sehubungan dengan kawasan dan waktu di mana ia muncul, (tapi) keunikan dan klaim kebenarannya di hadapan para pemeluknya tidak mampu dijelaskan.”
Tuntutan keras Abdul-Rauf di atas menerangkan dibutuhkannya sebuah pendekatan gres yang lebih mencukupi dalam mengetahui Islam, mengingat sejarah sudah memberikan betapa semena-mena Islam dipandang oleh beberapa Orientalis alasannya selaku agama Islam tidak ditaruh sebagaimana mestinya. Hal ini mampu dilacak dari aneka macam stereotipe yang dilancarkan kepada Islam dengan alasan keilmiahan.
Di satu segi, seorang peneliti luar (Outsider) dituntut untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan valid perihal Islam yang mereka teliti, sesuai dengan pemaknaan dan penghayatan yang dialami oleh para para penganutnya (Insiders). Namun di segi yang lain, Outsiders itu juga mesti memberikan dan menginformasikan pengamatan mereka kepada khalayak (lazimnya penduduk Barat yang notabene belum banyak mengenal Islam) secara ilmiah dan menggunakan bahasa khalayak tersebut. Dari sini, telah nampak adanya keniscayaan bias kultural dalam proses komunikasi itu. Orang yang menerima berita dari observasi si peneliti luar itu pasti akan memahaminya melalui praasumsi-praasumsi budayanya.
Namun masalah kita di sini belum sejauh itu, ialah bagaimana sang peneliti itu sendiri menerima informasi yang memadai perihal Islam. Jawaban Solipsistik tentu tidak akan membuat puas kepada pertanyaan krusial ini, mengingat kadang kala orang luar justru lebih memahami kita daripada diri kita sendiri. Atau dengan kata lain, acap kali seorang Orientalis lebih mengetahui beberapa faktor Islam daripada orang Muslim sendiri tidak bisa dipungkiri. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sumbangsih orientalis dalam kajian-kajian keislaman sangat besar, misalnya dalam menawarkan dampak peradaban Islam kepada peradaban Eropa.
Berdasarkan pada hal-hal di atas, berdasarkan Abdur Rauf Para Sarjana Barat pengkaji Islam harus melepaskan ‘pra-fikiran’ tersebut dan menghiraukan pertimbangan dan suara umat muslim atas dirinya. Bahkan, menurutnya, untuk mengkaji Islam, khususnya terkait keimanan dan fatwa, para Sarjana Barat mesti memakai metode yang digunakan oleh Umat Islam atau dibiarkan begitu saja sebagaimana yang dibilang oleh umat Islam. Disini terlihat terang kritik metode Abdur Rauf atas tata cara studi Islam Barat,dari explanation ke emphatic atau understanding.
Selain itu, untuk membuat pemahaman komprehensif Barat atas Islam, Abdur Rauf juga menyarankan pada para sarjana dan umat muslim untuk mampu menyuarakan dirinya pada Barat dan berusaha untuk mengambil hal positif dari modernisasi serta tanpa meninggalkan tradisi Islam yang kaya. Hal ini, menurut hemat saya, ditujukan Abdur Rauf agar umat muslim mampu berdialog dengan peradaban Barat, bukannya sebaliknya sebagaima yang terjadi selama ini, ialah didekte dan diimajinasikan oleh Barat. Singkatnya, Abdur Rauf tidak menolak reformasi secara keseluruhan, tetapi harus disesuaikan konteks dan skup daerahnya.
Namun, Abdul Rauf juga berpandangan lebih hati-hati dalam menyaksikan masalah Outsider. Beliau tidak begitu saja menolak karya orientalis, bahkan kadang kala menerima pandangan-pandangan perihal Islam yang dikemukakan oleh beberapa orientalis, ia tidak begitu saja menyamaratakan karya-karya orientalis Barat. Baginya tidak semua karya orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, karena di antara mereka terdapat orientalis yang jujur (Fair-minded Orientalist). Rauf tidak menafikan adanya bias serta distorsi yang timbul dari golongan orientalis. Namun insiden seperti ini hanya terjadi jikalau orientalis yang menulis bersikap tidak jujur.
Asaf Hussain, sependapat dengan Abdul Rauf bahwa sebagian orientalis memang berniat untuk mendiskreditkan Islam. Beberapa di antaranya ialah Duncan Mac Donald yang secara eksplisit mengharapkan kehancuran Islam. Begitu juga dengan Guilbert de Nogent yang begitu tinggi keinginannya untuk menghancurkan Islam. Bahkan untuk tujuan ini, de Nogent secara terperinci-terangan merasa tidak perlu lagi memakai data untuk berbicara tentang Islam. Baginya berbicara apapun perihal Islam tetap sah adanya, alasannya siapapun bebas mengatakan tentang keburukan seseorang yang kejahatannya telah melebihi kejahatan apapun di dunia. Husain menilai bahwa orientalis seperti ini telah keluar dari akhlak akademik dan keilmuan, yang maksudnya tidak lain yaitu untuk mendiskreditkan Islam.
D. Ciri berpikir Insider & Outsider
Banyak ragam cara berpikir seseorang dalam meneliti dan  mengkaji sebuah kajian  (Agama) yang kaitannya dengan sesuatu yang berasal dari wilayahnya dalam hal ini penulis menyebutnya Insider, dan dari luar wilayahnya (Outsider). Seperti halnya paparan metodologis Russell T. McCutcheon dalam memahami Agama ialah sebuah konsep yang mampu dijadikan selaku pilihan untuk mengetahui Agama secara komprehensif multi dimensi. Paparan tersebut ialah sebuah konsep dialog antar umat beragama dalam mengetahui sebuah doktrin yang menjadi jalan hidup (Way Of Life). Sebagai orang luar (Outsider) kaitannya dengan kajian Islam, konsep metodologi tersebut tentu saja tidak berangkat dari suatu akidah, sebagaimana yang dilaksanakan oleh kebanyakan umat Islam (Insider), namun dari sebuah asumsi interpretasi yang dikaitkan dengan teori dan perspektif metodologi ilmu pengetahuan tertentu. Dengan memposisikan diri kita sebagai Insider dalam Islam, kita mesti mengakui bahwa umat Islam terkadang cenderung bersikap apriori kepada hal-hal yang berasal dari luar (Outsider) tanpa mengkajinya lebih mendalam terlebih dulu.
                                                              IV. KESIMPULAN
Dari beberapa pemaparan dan pandangan terhadap Outsider tersebut di atas, tampaknya para pengkaji peradaban Islam masih mesti mendefinisikan sikapnya yang lebih jelas, obyektif, dan konsisten kepada Outsider atau dengan kaum orientalis. Hal itu dikarenakan para sarjana keislaman terbaru sendiri kini ini banyak yang berbagi otoritas akademiknya menurut pengalaman akademik mereka dengan kaum orientalis atau dengan para sarjana Barat yang non-Muslim.
Abdul Rauf berpandangan lebih hati-hati dalam menyaksikan persoalan Outsider. Beliau tidak begitu saja menolak karya orientalis, bahkan adakala menerima pandangan-persepsi wacana Islam yang dikemukakan oleh beberapa orientalis., ia tidak begitu saja menyamaratakan karya-karya orientalis Barat. Baginya tidak semua karya orientalis mesti ditolak dan dianggap tidak memiliki kegunaan, karena di antara mereka terdapat orientalis yang jujur (Fair-minded Orientalist). Rauf tidak menafikan adanya bias serta distorsi yang muncul dari kalangan orientalis. Namun kejadian seperti ini cuma terjadi jika orientalis yang menulis bersikap tidak jujur.
Terlepas dari perdebatan tersebut, sebagai tamat dari pembahasan ini, penulis menyatakan rasa salut pada upaya serius para sarjana Barat yang membantu “kita” lebih banyak mencar ilmu tentang Islam. Melalui upaya yang melelahkan, banyak dari mereka sudah memberi kontribusi bermanfaat bagi pengetahuan kita tanpa menyalahi subtansi keilmuan Muslim, Nabi, atau makna al-Alquran. Orang-orang semacam itu memandang Muslim selaku masyarakat yang memiliki kebenaran tersendiri, tidak selaku subyek tendensi eksklusif dan kalangan atau hanya selaku obyek rasa ingin tahu. Akan namun, tidak menafikan juga adanya banyak sarjana Barat non-Muslim yang memang dengan sengaja mendiskreditkan umat Islam dikarenakan tendensi eksklusif atau kelompoknya, yang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang irit, politis, maupun kultural. Fenomena ini memberi argumentasi kita untuk senantiasa bersikap kritis kepada kaum orientalis dan karya-karyanya, yang secara tidak pribadi kita masih mampu menfaatkannya untuk dikaji lebih mendalam, salah satunya ialah pendekatan historis mereka terhadap duduk perkara-duduk perkara Islam.
                                                                
DAFTAR PUSTAKA
Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama ( Muhammadiyah University, 2001)
M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer , Arkola, Surabaya, 2001
M. Arfan Mu’ammar, Studi Islam Perspektif Insider / Outsider, Jogjakarta: Diva Press,Cet.ke2 2013
Kim knott. Insider/Outsider Perspectives dalam the Routledge Companion to the Study of religion, Edited by John R. Hinnels (London: Routledge  Taylor and Fancis Group, 2005)
Muhammad Abdul Rauf, Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point Of View dalam Richard C. Martin, “Approaches to Islam in Religious Studies“, USA: The University of Arizona Press.
Muhammad Abdul Rauf, “Interpretasi Orang Luar perihal Islam: Sudut Pandang Muslim” dalam Ricard C Martin (ed), Pendekatan Kajian,
[1] Rusdin, Problem Insider dan Outsider dalam Studi Agama Perspektif Russel T. McCutheon,(Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.9,No.2, Desember 2012) hal.186
[2]  Syafiq A. Mugni, Pengantar Berpikir Holistik dalam Studi Islam,dalam Studi Islam: Perspektif Insider/Outsider,ed. M. Arfan Mu’ammar, et. Al. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012),6.
[3] Ibid, hal 186
[4] M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer , Arkola, Surabaya, 2001, hal.261
[5] M. Arfan Mu’ammar, Studi Islam Perspektif Insider / Outsider, Jogjakarta: Diva Press,Cet.ke2 2013, hal.108
[6] Kim knott. Insider/Outsider Perspectives dalam the Routledge Companion to the Study of religion, Edited by John R. Hinnels (London: Routledge  Taylor and Fancis Group, 2005), hal.244
[7] Op.Cit, M.Arfan Mu’ammar, hal.109
[8] Muhammad Abdul Rauf, Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point Of View dalam Richard C. Martin, “Approaches to Islam in Religious Studies“, USA: The University of Arizona Press. hal. 182
[9] Ibid, hal. 193
[10] Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama ( Muhammadiyah University, 2001) hal. 238
[11] Muhammad Abdul Rauf, “Interpretasi Orang Luar perihal Islam: Sudut Pandang Muslim” dalam Ricard C Martin (ed), Pendekatan Kajian, hal. 237-248.