اَلْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى،
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الَّذِيْ أَنْعَمَ عِبَادَهُ كَثِيْرَةً لَا تُحْصَى وَلَا تُسْتَقْصَى.
وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِدَنَا وَمَوْلَانَا محمدًا ﷺ قَائِدُ الْأَنْبِيَاءِ وَالْوَرَى.
اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا محمدٍ أَشْرَفِ عِبَادِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلِى يَوْمِ الْقِيَامَةِ،
أما بعد : فَيَا اَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ، أُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ.
قال الله تعالى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم، سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ.
Ma’asyiral pengunjung, jamaah Jumat hafidhakumullah,
Pada kesempatan yang mulia ini, di tempat yang mulia ini, kami berwasiat kepada eksklusif kami sendiri dan juga kepada para hadirin sekalian, marilah kita selalu memajukan takwa kita terhadap Allah subhanahu wa ta’ala dengan senantiasa berusaha melakukan perintah-perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Semoga perjuangan takwa kita mampu menyebabkan karena kita kelak pada waktu dipanggil Allah subhanahu wa ta’ala, kita meninggalkan dunia ini dalam keadaan husnul khatimah, amin ya Rabbal ‘alamin.
Hadirin hafidhakumullah,
Ketahuilah bahwa Allah adalah sang pencipta (khaliq) alam raya. Kita semua diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Antara Allah dan kita, mempunyai dimensi yang berbeda. Dimensi di sini tidak mempunyai arti ruang dan daerah, tetapi dimensi dalam arti esensi.
Analogi untuk mendekatkan nalar kita, contohnya kita selaku manusia dengan jin, masing-masing memiliki dimensi yang berlainan. Tapi jin di sini masih memerlukan daerah, ruang dan waktu. Allah tidak perlu itu semua. Allah tidak memerlukan apa pun.
Allah berada pada dimensi dewa, kita berada pada dimensi insani. Kita diberikan epilog (hijab) antara Allah dan kita. Bukan alasannya Allah jauh dengan kita yang mengakibatkan kita tidak mampu melihat Allah. Allah sangat dekat dengan kita bahkan lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Kita tidak bisa menyaksikan Allah alasannya kita mempunya hijab sehingga kita tidak bisa mengakses dimensi Allah. Walaupun demikian, Allah tetap bisa secara sarat memantau kita semua.
Allah menciptakan semua hamba baik dari kelompok jin maupun insan dengan tujuan untuk menyembah kepada-Nya. Dalam menyampaikan kehendak-Nya, Allah mendelegasikan para Nabi yang di antaranya ialah Nabi Muhammad ﷺ untuk menyampaikan risalah ilahiyah. Hikmahnya, manusia yang berada pada dimensi yang penuh hijab dan tidak sama dengan dimensi Tuhan, bisa menjadi tahu atas apa yang diharapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala lewat mediator utusan-Nya.
Contohnya yakni bagaimana Allah menyuruh umat Muhammad untuk melakukan ibadah shalat lima waktu. Kita sebagai insan tidak akan mampu mengerti atas apa yang diharapkan oleh Allah tersebut tanpa melalui rasul (delegasi Allah) yang memberikan gosip-informasi penting. Barulah lalu kita menjadi tahu bahwa misalnya Allah menghendaki kita sebagai umat insan diperintah secara wajib untuk melakukan shalat lima waktu.
Kewajiban shalat lima waktu ini dimulai sesudah Nabi Muhammad ﷺ di-isra’-kan dari Masjidil Haram, kota Makkah menuju Masjidil Aqsha, Palestina, lalu di-mi’raj-kan dari Masjidil Aqsha menuju Sidratil Muntaha.
Perjalanan malam Nabi Muhammad ini merupakan perjalanan yang mengagumkan. Betapa tidak? Jika kita sehari-sehari mengungkapkan syukur menggunakan kalimat alhamdulillah, menerima petaka dengan innalillah, di dalam suatu hal yang mengagumkan, kita disyariatkan untuk membaca subhanallah. Di dalam Al-Qur’an, pada kisah isra’ mi’raj ini Allah berfirman memakai kata subhana sebagaimana yang tertera pada ayat pertama surat al-Isra’:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya: “Maha Suci Allah, yang sudah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang sudah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS al-Isra’: 1).
Pada kalimat سُبْحَانَ الَّذِي, Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan, kalimat subhâna di sini memberikan saking agungnya Allah ta’ala. Hanya Allah saja yang mampu melaksanakan Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Palestina dan Palestina sampai langit ke-7 cuma dalam waktu tidak hingga satu malam. Bahkan dalam satu riwayat mengisahkan, sehabis Nabi Muhammad melakukan isra’ mi’raj, daerah tidurnya masih hangat dan tempayan bekas Nabi melaksanakan wudhu tadi belum hingga kering. Ini adalah keajaiban yang hebat. Hanya Allah yang mampu melaksanakan yang mana bumi dan seisinya di bawah kendali-Nya. Keajaiban yang mencengangkan tersebut sangat cocok bila memakai kata subhana.
Tentang subhana, Ibnu Katsir mengatakan:
يُمَجِّدُ تَعَالَى نَفْسَهُ، وَيُعَظِّمُ شَأْنَهُ، لِقُدْرَتِهِ عَلَى مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ أَحَدٌ سِوَاهُ، فَلَا إِلَهَ غَيْرُهُ
Artinya: “Allah ta’ala mengagungkan Dzat-Nya sendiri, mengagungkan kondisi-Nya, alasannya kekuasaan-Nya atas sesuatu yang tidak mampu dilaksanakan semua orang selain Dia. Tiada Tuhan selain Dia.” (Abul Fida’ Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, [Dar Thayyibah: 1999], juz 5, hlm. 5).
Ats-Tsa’labi menyatakan bahwa kalimat subhana memiliki arti kalimat ta’ajjub. Beliau menuturkan :
وَيَكُوْنُ سُبْحَانَ بِمَعْنَى التَّعَجُّب
Artinya: “Subhana di ayat ini mempunyai arti suatu keajaiban yang fantastis.” (Tafsir Ats-Tsa’labi, juz 6, hlm. 54).
Banyak juga ulama yang menjelaskan, subhana pada ayat ini mempunyai makna penyucian dari segala kekurangan. Apabila dalam menjajaki kesanggupan Allah dalam memperjalankan Nabi Muhammad pada malam hari dengan acuan nalar yang terbatas sehingga Allah dianggap tidak bisa, maka Allah disucikan dari pikiran yang mirip demikian ini.
Hadirin,
Dalam isra’ mi’raj, apakah hanya ruh Nabi ataukah ruh dan jasadnya sekaligus? Ulama berlawanan pertimbangan .
Menurut dominan ulama, Nabi di-isra’-kan mencakup ruh dan jasad sekaligus. Hal ini berdasarkan apabila yang di-isra’-kan hanya ruh saja, mempunyai arti Nabi Muhammad sama dengan mimpi. Jika isra’ cuma suatu mimpi saja, maka hal tersebut tidak merupakan peristiwa hebat yang hingga Allah menggunakan ungkapan subhana pada ayat di atas. Yang menciptakan fenomenal pada acara isra’ mi’raj Nabi itu keajaiban perjalanan dengan ruang yang besar, namun waktunya sedemikian singkat. Ini yang hebat itu.
Hadirin hafidhakumullah,
Pada kalimat selanjutnya, أَسْرَى بِعَبْدِهِ Allah tidak menyandarkan kalimat subhâna dengan lafadz Allah, tetapi dengan asra, kebesaran Allah yang melaksanakan di waktu malam terhadap hamba-Nya. Di sini Allah juga tidak menyebut Nabi Muhammad dengan menyebut namanya, tapi malah menyifati Nabi Muhammad yang diperjalankan di waktu malam menggunakan istilah عَبْدِهِ “hamba-Nya”.
Kenapa Allah lebih menentukan memberi label Nabi Muhammad cuma dengan predikat “hamba” padahal ini ialah kejadian yang fenomenal? Sebagian mufassir mirip Imam Al-Qusyairi mengatakan, cuma “hamba” yang mengetahui posisinya sebagai hamba yang bisa mengerti kebesaran Tuhannya. Sehingga bila Tuhan melakukan apa pun, meskipun tidak masuk nalar di otak hambanya, beliau mampu mengerti bahwa bagi Tuhan yang posisinya tidak sama dengan hamba, bisa melakukan hal yang seolah tidak mungkin di mata hambanya tersebut.
Sebagian ulama menyatakan, peniadaan status Nabi Muhammad selaku Nabi yang prestise di sini semoga Nabi Muhammad tidak memiliki sifat ujub. Sebagian ulama lain lagi mengungkapkan, hal ini untuk mengagungkan Allah semata dan selaku bentuk tawadhu’ Nabi Muhammad.
Hadirin hafidhakumullah,
Perjalanan Nabi pada isra’ mi’raj bukan atas inisiatif dan kemauan dia, namun murni atas kehendak Allah “yang menjalankannya”. Oleh alasannya itu, masuk logika atau tidak, bagi seorang hamba mesti mengedepankan posisinya selaku hamba dan mengagungkan ketuhanan Allah yang bisa melaksanakan apa saja dan hamba tersebut menomorduakan akalnya yang serba terbatas.
Kalau kita menengok sejarah, memang orang Arab waktu itu tidak seluruhnya dengan mudah mengetahui isra’ mi’raj Nabi Muhammad dengan landasan akal saja. Mungkin, jika dilogikakan hari ini, di saat dunia sudah banyak kedigdayaan teknologi, kita akan bisa mendekatkan pikiran ke arah sana. Dahulu, dikala isra’ mi’raj ini berjalan, masyarakat terlampau jauh untuk menganalogikannya. Bagaimana jarak antara Makkah hingga Palestina yang panjangnya sekitar 1.500 km itu cuma ditempuh dalam waktu sungguh singkat?
Di dunia modern ini, jarak yang sedemikian jauh, jikalau ditempuh dengan naik unta atau kuda mampu berminggu-ahad, kita bisa meringkasnya dengan pesawat yang mungkin hanya memerlukan waktu sekitar tiga jam saja. Lebih bersahabat lagi, bagaimana jika kita membayangkan teori jalannya cahaya. Pada hari ini, kita di Indonesia bila akan ke Amerika menggunakan pesawat bisa menghabiskan sepanjang hari baru hingga di sana.
Namun bagaimana dengan kecepatan teknologi telepon atau Whatsapp? Pada detik ini kita mengantarpesan baik gambar, tulisan atau bunyi, detik itu pula hingga ke sana. Dengan akal apa pun, mungkin hal mirip ini tidak akan masuk pada logika orang di zaman Nabi Muhammad. Oleh alasannya adalah itu, dalam masalah agama meskipun agama itu banyak yang rasional, tetapi kita tetap mesti memposisikan otak kita di belakan penghambaan kita terhadap Allah.
Perjalanan malam Nabi Muhammad yang fenomenal itu menciptakan suatu perintah shalat lima waktu dengan dongeng yang cukup panjang. Yang perlu kita garisbawahi di sini, shalat adalah sebuah perintah yang melalui momen sakral, fenomenal. Oleh sebab itu kita harus malu jika sampai meninggalkan shalat.
Kita selalu mengenang dan merayakan sesuatu dalam rangka mengingat momen-momen penting dan fenomenal dalam hidup kita. Kita lahir, suatu hal fenomenal dalam hidup kita, kita rayakan itu. Momen menikah yang fenomenal, kita kenang itu. Lalu Nabi Muhammad pernah mengalami sebuah insiden fenomenal dari Allah. Dalam insiden fenomenal tersebut, Allah mengharuskan kita semua untuk menjalankan shalat lima waktu.
Dengan demikian, shalat lima waktu bukanlah hal yanga sepele seperti kita beli kudapan, kita sarapan pagi, tidak. Tapi sebuah pekerjaan yang ditugaskan oleh Tuhan lewat perjalanan fenomenal untuk mendapatkan tugas tersebut. Pada hari ini, ketika kita mengerjakan shalat, kita sedang melakukan perintah Tuhan yang sangat besar nilainya. Itu bermakna bahwa shalat bukan hal yang mampu kita kesampingkan.
Mari kita jaga shalat kita. Harapan kita, kelak, saat kita meninggalkan dunia ini, dalam kondisi menetapi akidah Islam, tidak meninggalkan shalat. Kita meninggal dunia dalam keadaan husnul khatimah, amin ya Rabbal alamin.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَجَعَلَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاِت وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. إِنَّهُ هُوَ البَرُّ التَّوَّابُ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ.
أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيْم، بسم الله الرحمن الرحيم، وَالْعَصْرِ (١) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (٢) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (٣) وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرّاحِمِيْنَ.
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي إلىَ رِضْوَانِهِ.
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا.
أَمَّا بَعْدُ، فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءِ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِينْ، وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَائَكَ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.
اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَسُوْءَ اْلفِتَنِ وَاْلمِحَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خَآصَّةً وَعَنْ سَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ.
رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ.
عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَالْمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ.