Dongeng Terakhir untuk Jingga | Cerpen Mufti Wibowo

JINGGA yakni bocah perempuan periang. ia menghabiskan banyak waktunya di taman. Halaman rumah yg ditumbuhi aneka macam tumbuhan bunga dlm pot, pohon-pohon buah yg rindang, & permadani hijau rumput yg menutupi permukaan tanahnya. Jingga menamai taman itu surga sebagaimana dongeng yg senantiasa didengar sebelum tidur dr ayahnya.

Pada hari libur atau final pekan, di taman itu, Jingga sering memanggil anak-anak seusianya untuk bermain sebebasnya. Keriuhan bawah umur yg bermain itu baru akan rampung ketika langit jingga di arah barat memberi aba-aba. Atau ketika suara lembut seorang ibu menyebut nama anak perempuannya, “Jingga.” Itu pula menjadi membuktikan permainan mesti diakhiri & mereka akan berhamburan ke pintu rumah masing-masing. Biasanya, di tengah-tengah permainan, seorang perempuan yg berparas peri membagikan permen atau kue. Kalau sudah begitu, keriuhan mereka akan menjadi. Benar-benar situasi surga.

Sore itu, wajah bersungut-sungut Jingga yg menyambut ibunya yg hendak menjemput. Di sebuah toko boneka, Jingga bercerita pada ibunya bahwa ia bertikai paham dgn gurunya. ia tak sepakat tokoh kancil dlm dongeng adalah antagonis, pencuri.

Tentu saja, Jingga sudah menghafal cerita dlm dongeng kancil itu model ayahnya. Menurut versi ayahnya, kancil tak pernah mencuri. Kancil berhak mengambil semua kuliner yg tersedia di hutan daerah tinggalnya. Petani itulah yg menghancurkan rumah kancil untuk dijadikan kebun & rumah.

*****

“Jingga mulai sering menyebut namamu dlm obrolan kami maupun dlm igauan. Kalian bisa menghabiskan simpulan pekan ini bareng ?” Itu pesan bunyi yg dikirim perempuan itu sesudah dua kali panggilannya tak terjawab.

Selang dua jam kemudian, ponsel perempuan itu berdering. Panggilan dr laki-laki itu.

“Aku baru terbang. Aku akan datang, lusa. Apa ia baik-baik saja?”

“Dia anak yg berakal & kuat. ia mampu mengingat dgn baik semua apa yg pernah didengarnya. Tariklah kata-katamu tentang kancil dlm dongeng itu. Atau, ia akan terus berseteru dgn gurunya di sekolah.”

Lelaki itu tertawa renyah, di kepalanya berkelebat kenangan malam-malamnya bersama anak perempuannya dgn dongeng-dongeng yg ia karang sendiri. Tiba-tiba ia mencium aroma segar dr rambut anaknya yg dahulu selalu ia cium sesudah dongengnya sukses menidurkan bocah perempuannya itu. ia merasa bahwa insiden-kejadian itu baru terjadi beberapa ketika lalu. Tapi, sekarang ia mendengar bahwa anaknya telah bersekolah. Lebih dr itu, anaknya yg masih junior tersebut sudah berseteru dgn gurunya. Sebentar lagi anak itu pula akan tahu bahwa dunia sesungguhnya sungguh rawan dgn perseteruan.

  Menjelang Kematian Dulkarim | Cerpen Guntur Alam

Termasuk, ayah & ibunya yg saling berseteru sebelum akhirnya ayahnya menghilang dr rumah mereka. Bahkan, Jingga mesti kehilangan dongeng-dongeng indah dr ayahnya.

“Kamu masih di sana, apa ananda mendengar?”

“Ya,” jawab laki-laki itu seketika tersadar dr lamunannya.

“Dia akan senang jikalau ananda menciptakan kejutan.”

“Apa?”

“Jemputlah ia di sekolah.”

*****

Itu yakni perjumpaan pertama laki-laki tersebut dgn anak perempuannya sesudah setengah tahun. Dari jarak kurang dr lima meter, ia cuma mampu mematung ketika kembali melihat anak perempuannya dlm seragam sekolah. Matanya berkaca-kaca saat menyaksikan anak itu sedang tampil di depan kelas untuk menyanyi. Seorang guru perempuan mengagetkannya dgn menyampaikan bahwa bunda Jingga telah menginformasikan bahwa Jingga akan dijemput ayahnya. Juga, itu adalah kejutan. Guru tersebut meminta ia menunggu alasannya adalah tiba lebih singkat lima belas menit.

Saat mereka melepas rindu, Jingga tiba-tiba ingin melepaskan pelukannya pada laki-laki itu.

“Ada apa, Sayang?”

“Apa Ayah tak membawa sesuatu untukku?”

“Kamu akan memilihnya sendiri nanti.”

“Tanpa ibu?”

“Kamu harus mengajaknya kalau ananda masih menggunakan popok atau minum ASI,” kata laki-laki itu, seakan lupa bahwa anaknya gres berusia empat tahun.

“Apa ananda tak merindukan ayah?”

“Rindu, tetapi tak sebanyak yg Ayah kira.”

Lelaki itu tersipu ketika mendengar jawaban mengagetkan tersebut timbul dr bocah yg bahkan belum genap lima tahun.

“Oke, ayahlah yg bantu-membantu sangat merindukanmu. Boleh kan ayah meminta peluk & ciuman rindu darimu, Sayang?”

Bocah itu berparodi, memandang dgn fokus ke langit-langit seakan ingin memecahkan suatu teka-teki. Itu gaya khas ibunya, laki-laki tersebut tentu sangat mengenal.

Lelaki itu terkejut tatkala seorang pramugari mengantar kopi yg ia pesan. Dengan kesopanan yg luar biasa, pramugari itu meminta maaf karena mengira dirinya terlalu lambat sehingga laki-laki itu hingga tertidur. Rupanya, pertemuan dgn Jingga hanya terjadi dlm mimpinya.

  Suara di Bandara | Cerpen Budi Darma

“Anda baik-baik saja?” kata pramugari bermata sipit itu.

Lelaki itu terlihat memaksakan diri tersenyum untuk menjawab kegelisahan pramugari. Si pramugari pergi setelah memutuskan akan kembali lagi dgn menenteng aspirin yg lelaki itu minta. ia menolak ketika ditawari untuk mendapatkan perawatan medis. ia menjelaskan, hanya ada watu yg masuk ke kepalanya sehingga terasa berat.

*****

Setelah aspirin itu bekerja di tubuhnya, laki-laki tersebut kembali tertidur. Penerbangan masih sekitar dua setengah jam lagi setelah transit sekali. ia senantiasa mengalami hal semacam itu bila menempuh perjalanan lebih dr dua jam.

Jingga tak pernah tahu kenapa semenjak hari itu ia akan tidak senang malam untuk selama-lamanya. Dada & kepalanya sarat dgn kecemasan & cemas yg cekam. Hari itu hanya sehari sesudah ulang tahunnya. Malam perayaan ulang tahunnya ialah malam terakhir ia mendengar dongeng pengirim tidur dr ayahnya.

“Jingga minta maaf ya, Yah.”

“Untuk apa, Sayang?”

“Jingga bandel, nggak nurut Ayah, malas gosok gigi sebelum tidur. Ayah janji ya dongengin Jingga setiap hari?”

“Malam ini Jingga sudah gosok gigi?”

Dengan manja, ia menggelengkan kepala. Lalu, ia tertawa, memperlihatkan barisan giginya, namun segera ditutup dgn telapak tangan kanannya.

Lelaki itu menggeliat, berlagak galak mirip singa, mengaum untuk menggertak mangsanya.

Jingga bergelak, lalu pergi dgn berlari, memekik ibunya yg entah di mana.

Lelaki itu mendengar samar bunyi bocah tersebut sedang mengatakan dgn ibunya. Lelaki itu tak bisa membayangkan apa yg terjadi malam sebelumnya mirip yg mantan istrinya ceritakan. Jingga gres tidur dikala larut demi menunggu kedatangannya untuk mendongeng. Jingga menolak dikala ibunya akan menggantikan ayahnya untuk mendongeng. Badan Jingga mendadak demam malam itu. Sepanjang tidurnya, ia mengigau menyebut-nyebut ayah.

Sebelumnya, laki-laki itu senantiasa mendongeng sebagai pengirim tidur Jingga sejak usia anak itu belum genap tiga tahun. Suara anak & ibunya yg sedang bergurau lesap begitu saja di indera pendengaran laki-laki itu. Sesuatu di dada laki-laki itu mendesak, napasnya secara tiba-tiba sesak, air mata mengalir begitu saja.

  Padang Beton | Cerpen Artie Ahmad

Setelah gemuruh di dada & kepala luruh reda, laki-laki itu mendekat pada anak perempuan yg tengah dlm pangkuan ibunya tersebut. Sebelum berbicara apa pun, laki-laki itu mengubah posisi berdirinya menjadi merangkak. “Mari, Tuan Putri, kuda siap mengantar Tuan Putri menggosok gigi sebelum membawamu pergi ke negeri dongeng.”

Bocah itu meluncurkan badan dr pangkuan ibunya ke punggung kuda. “Berangkat!”

Keduanya tak melihat wanita itu menangis di hadapan rak-rak buku & meja kerjanya.

“Kemarin Ayah pergi ke mana?”

“Ayah tak pergi, Sayang.”

“Bohong, kata Ibu…”

“Ssst. Ayah akan beri tahu, namun ini belakang layar kita saja.”

“Ibu tahu?”

“Tidak, cuma Jingga & ayah.”

Jingga diam beberapa detik sebelum mengangguk oke.

“Jika suatu malam ayah tak ada untuk mendongeng, itu mempunyai arti ayah sedang menjelma rembulan yg mendongeng untuk bintang-bintang kecil yg kesepian di langit sana.”

“Benarkah?”

Lelaki itu mengangguk niscaya.

“Tapi, gue takut sendirian dikala malam, Yah.”

Lelaki itu lalu berjalan ke arah jendela kaca. “Kamu tak perlu takut, ananda bisa melihat ayah setiap saat dgn membuka tirai jendela. Dari sana, ayah akan mengawasimu.”

Seorang pramugari membangunkannya yg tertidur hampir dua jam sehabis menelan aspirin.

“Anda baik-baik saja?” tanya pramugari dgn verbal wajah yg tak setenang dikala ia menunjukkan aspirin dua jam kemudian. Lelaki itu tak mampu menyaksikan dgn konsentrasi objek-objek yg ada di sekitarnya. ia menerka pusing di kepala pula menjadi penyebab mual di lambungnya.

“Apa ini alasannya adalah obat itu yg sedang melakukan pekerjaan ?”

“Tidak, Tuan. Ini turbulensi. Silakan pakai pelampung.”

“Di mana?” Intonasinya berganti.

“Mari saya bantu, Tuan.”

“Yang mana?”

“Jingga, Tuan.”

“Itu warna yg indah.”

“Sangat anggun,” kata pramugari itu sembari menolong lelaki tersebut memasang pengait pelampungnya.

“Jingga ialah nama putriku. ia sungguh menggemari dongeng. Aku menempuh penerbangan lima jam ini demi mendongeng untuknya.”

“Dongeng? Aku pun menyukainya.”

“Dongeng kancil, bukan pencuri.”

Pramugari itu tersenyum & mengangkat kedua bahunya. “Mau kan Tuan mendongeng untukku selaku pengantar tidur kita di dasar maritim nanti?”

Bunga Pustaka, 2019