Hafal Al Qur’an bukan jaminan menjadi orang baik, apalagi merasa paling baik. Banyak cerita dimasa kemudian yang menceritakan perjalanan orang yang hafal qur’an kemudian meninggal dalam keadaan tidak terhormat lantaran salah mengetahui agama dan beberapa faktor yang lain. Tulisan ini bukan untuk mengerdilkan para penghafal qur’an, terlebih menistakannya. Melainkan untuk waspada dan mengetahui wacana tantangan-tantangan yang terus dibisikkan oleh setan sang bandit. Contoh faktual ialah bagaimana Abdurrahman bin Muljam dengan berani dan angkuhnya membunuh Khalifah Ali bin Abi Tholib ra. Dan diantara kisah lain sebagaimana tersebut dalam kisah berikut:
Dalam sebuah ekspedisi perang ke wilayah Romawi. Diantara para tabi’in terdapat seorang perjaka yang andal baca Al Qur’an hingga tidak ada seorang pun di antara yang ikut dalam ekspedisi tersebut lebih banyak membaca al-Quran dari padanya, tidak pula dari ada yang lebih faqih darinya, dia melaksanakan puasa pada siang hari dan melakukan shalat malam tanpa henti.Di saat rombongan melewati sebuah benteng, pemuda tersebut keluar dari barisan pasukan dan berhenti di erat benteng tersebut. Pemuda tersebut hendak buang air. Dalam cerita, perjaka itu memandangi seorang perempuan Kristen yang juga sedang memandang kepadanya dari balik benteng.Pemuda itu lantas jatuh cinta kepada perempuan Katolik itu dan berkata kepada si perempuan dengan memakai bahasa Romawi, “Bagaimana caranya biar saya bisa mendapatkanmu?” Perempuan Nasrani itu menjawab, “Saat kau masuk ke dalam agama Katolik, maka kami akan membukakan pintu benteng untukmu dan aku menjadi milikmu.”Pemuda itu pun melakukannya (yakni murtad dan memeluk agama Nasrani) kemudian dibawa masuk ke dalam benteng.Tanpa kehadiran cowok tersebut rombongan ekspedesi terus berlalu menjalani peperangan (di kawasan lain) dengan hati yang berselimut kesedihan. Seakan-akan masing-masing orang di antara pasukan memandang bencana alam ini (yaitu kemurtadan pemuda itu) selaku petaka yang menimpa anak sendiri (hal itu dikarenakan mereka begitu menyayangi perjaka tersebut sehingga merasa duka atas kemurtadannya).Di waktu yang lain, para tabi’in kembali melaksanakan ekspedisi perang dan melewati benteng tersebut, sementara perjaka tersebut menatap rombongan dari atas benteng bareng kaum Nasrani. Maka kami pun berkata kepadanya, “Wahai Fulan, apa yang diperbuat oleh bacaan al-Quranmu? Apa yang diperbuat oleh ilmumu? Apa yang diperbuat oleh shalat dan shaummu?” Pemuda itu menjawab, “Ketahuilah oleh kalian! Sesungguhnya aku sudah lupa al-Quran seluruhnya! Tak ada yang kuingat darinya selain ayat QS. al-Hijr ayat 2-3.
Kisah diatas disadur dari Imam Ibn al-Jauzi dalam kitab Muntazham fi Tarikh Muluk wa al-Umam lewat jalan Imam al-Baihaqi sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا الْحُسَيْنِ بْنَ أَبِي الْقَاسِمِ الْمُذَكِّرَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ أَحْمَدَ بْنِ عَلِيٍّ الْجَوْهَرِيَّ، يَقُولُ: أَخْبَرَنِي أَبِي أَبُو الْعَبَّاسِ أَحْمَدُ بْنُ علي الْجَوْهَرِيِّ، قَالَ :قَالَ عَبْدَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ: خَرَجْنَا فِي سَرِيَّةٍ إِلَى أَرْضِ الرُّومِ، فَصَحِبَنَا شَابٌّ لَمْ يَكُنْ فِينَا أَقْرَأُ الْقُرْآنِ مِنْهُ، وَلا أَفْقَهُ مِنْهُ وَلا أَفْرَضُ، صَائِمٌ النَّهَارَ، قَائِمٌ اللَّيْلَ، فَمَرَرْنَا بِحِصْنٍ لَمْ نُؤْمَرْ أَنْ نَقِفَ عَلَى ذَلِكَ الْحِصْنِ، فَمَالَ الرَّجُلُ مِنَّا عَنِ الْعَسْكَرِ، وَنَزَلَ بِقُرْبِ الْحِصْنِ فَظَنَنَّا أَنَّهُ يَبُولُ، فَنَظَرَ إِلَى امْرَأَةٍ مِنَ النَّصَارَى تَنْظُرُ مِنْ وَرَاءِ الْحِصْنِ فَعَشِقَهَا، فَقَالَ لَهَا بِالرُّومِيَّةِ: كَيْفَ السَّبِيلُ إِلَيْكِ؟ قَالَتْ: حِينَ تَتَنَصَّرُ، وَنَفْتَحُ لَكَ الْبَابَ وَأَنَا لَكَ، قَالَ: فَفَعَلَ، فَأُدْخِلَ الْحِصْنَ، قَالَ :فَقَضَيْنَا غَزَاتَنَا فِي أَشَدِّ مَا يَكُونُ مِنَ الْغَمِّ، كَانَ كُلُّ رَجُلٍ مِنَّا يَرَى ذَلِكَ بِوَلَدِهِ مِنْ صُلْبِهِ، ثُمَّ عُدْنَا فِي سَرِيَّةٍ أُخْرَى فَمَرَرْنَا بِهِ يَنْظُرُ مِنْ فَوْقِ الْحِصْنِ مَعَ النَّصَارَى، فَقُلْنَا: يَا فُلانُ، مَا فَعَلَ قِرَاءَتُكَ؟ مَا فَعَلَ عِلْمُكَ؟ مَا فَعَلَ صَلاتُكَ وَصِيَامُكَ؟ قَالَ: اعْلَمُوا أَنِّي نَسِيتُ الْقُرْآنَ كُلَّهُ، مَا أَذْكُرُ مِنْهُ إِلا هَذِهِ الآيَةَ رُبَمَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ كَانُوا مُسْلِمِينَ ٢ ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الأَمَلُ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ ٣ سورة الحجر آية ٢-٣
Imam al-Baihaqi dalam kitab Syu’ab al-Iman menutup cerita diatas sebagai berikut :
قَالَ الشَّيْخُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللَّهُ: هَكَذَا يَكُونُ حَالُ مَنْ تُدْرِكُهُ الشَّقَاوَةُ وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ، وَكَمَا تَقَدَّمَ ذِكْرُهُ يَكُونُ حَالُ مَنْ تُدْرِكُهُ السَّعَادَةُ، نَسْأَلُ اللَّهَ التَّوْفِيقَ وَالْعِصْمَةَ بِفَضْلِهِ
Artinya : Syaikh Ahmad –rahimahullah– berkata, “Demikianlah keadaan orang yang mendapati kemalangan, wal ‘iyadzu billah, dan sebagaimana pula telah berlalu penyebutan ihwal kondisi orang yang menemukan kemujuran, kami memohon taufiq terhadap Allah dan pengawalan dengan karunia-Nya.”
Kesalahan Ibnu Kastir wacana Kisah ‘Abdah bin Abdurrahim
Beberapa ulama’ mengkaitkan kisah ini pada ‘Abdah bin Abdurrahmim, sebagaimana cerita yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir kitab al-Bidayah wa an-Nihayah selaku berikut:
وفيها توفي عبدة بن عبد الرحيم قبحه الله. ذكر ابن الجوزي أن هذا الشقي كان من المجاهدين كثيرا في بلاد الروم، فلما كان في بعض الغزوات والمسلمون محاصروا بلدة من بلاد الروم إذ نظر إلى امرأة من نساء الروم في ذلك الحصن فهويها فراسلها ما السبيل إلى الوصول إليك ؟ فقالت أن تتنصر وتصعد إلي، فأجابها إلى ذلك، فما راع المسلمين إلا وهو عندها، فاغتم المسلمون بسبب ذلك غما شديدا، وشق عليهم مشقة عظيمة، فلما كان بعد مدة مروا عليه وهو مع تلك المرأة في ذلك الحصن فقالوا: يا فلان ما فعل قرآنك؟ ما فعل علمك؟ ما فعل صيامك؟ ما فعل جهادك؟ ما فعلت صلاتك ؟ فقال: اعلموا أني أنسيت القرآن كله إلا قوله (ربما يود الذين كفروا لو كانوا مسلمين ذرهم يأكلوا ويتمتعوا ويلهيهم الامل فسوف يعلمون) (الحجر: ٢-٣ )
Artinya: Pada tahun tersebut, ‘Abdah bin ‘Abd ar-Rahim wafat, biar Allah memburukkannya. Ibnul Jauzi sudah menyebutkan bahwa orang celaka ini dulunya tergolong golongan mujahidin yang banyak berjihad di negeri Romawi. Suatu waktu, dalam beberapa ekspedisi perang yang diikutinya, kaum Muslimin mengepung suatu kawasan yang berada di bawah kekuasan Romawi. Kala itu ia menyaksikan seorang wanita dari kelompok wanita-perempuan Romawi di benteng itu. Dia pun jatuh cinta dan menginginkan perempuan tersebut, kemudian menyurati perempuan itu (yang isinya), “Jalan apa yang mampu menyampaikanku kepadamu?” Perempuan itu membalas, “Kau masuk agama Nasrani kemudian naiklah untuk menemuiku.” Dia pun mendapatkan ajakan wanita itu (adalah masuk agama Kristen –pent). Maka dikala kaum Muslimin melaksanakan penyerangan, dia malah bersama dengan perempuan itu. Tentu saja hal itu menciptakan sedih dan sukar kaum Muslimin dengan kesedihan dan kesulitan yang berat. Beberapa waktu berlalu, kaum Muslimin melalui lagi (benteng tersebut) dan dia tampaksedang bersama dengan si perempuan di benteng itu. Maka mereka (kaum Muslimin) berkata kepadanya, “Wahai Fulan, apa yang diperbuat oleh bacaan al-Quranmu? Apa yang diperbuat oleh ilmumu? Apa yang diperbuat oleh shaummu? Apa yang diperbuat oleh jihadmu? Apa yang diperbuat oleh shalatmu?” Dia pun menjawab, “Ketahuilah oleh kalian! Sesungguhnya aku telah lupa al-Quran seluruhnya kecuali firman-Nya ini: Orang-orang yang kafir itu kadang-kadang (nanti di alam baka) menginginkan, kiranya mereka dulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat tindakan mereka).” (QS. al-Hijr: 2-3)
Mengkaitkan nama tabi’in ‘Abdah bin Abddurahim sebagai tokoh dalam kisah pilu diatas oleh Imam Ibnu Katsir ditentang oleh Ulama’ lainnya. Hal ini dikarenakan ‘Abdah sebagaimana informasi permulaan dari Ibnu Jauzi merupakan seseorang tabi’in yang menuturkan dongeng ini, bukan pelaku kisahnya. Ibnu Jauzi beropini bahwa ‘Abdah bin Abdurrahim merupaka spesialis agama dan mahir jihad.
عبدة بن عبد الرحيم .كان من أهل الدين والجهاد
Artinya : Abdah bin Abdurrahim, ia yakni mahir agama dan jihad.
Menguatkan tentang tokoh dalam kisah diatas bukan ‘Abdah bin ‘Abd ar-Rahim, Ibn Hajar berkata dalam kitab Tahdzib at-Tahdzib menceritakan ‘Abdah sebagai berikut,
عبدة بن عبد الرحيم بن حسان أبو سعيد المروزي روى عن بقية والنضر بن شميل وأبي معاوية والمحاربي والفضل بن موسى السيناني … وعنه البخاري في كتاب الأدب والنسائي وأبو حاتم وأبو زرعة الدمشقي وعبد الله بن أحمد بن حنبل وابن أبي عاصم وموسى بن إسحاق الأنصاري وحرب بن إسماعيل وابن أبي الدنيا … قال أبو حاتم صدوق وقال عبد الله بن أحمد بن حنبل شيخ صالح وقال النسائي ثقة وقال في موضع آخر صدوق لا بأس به وقال أبو داود لا أحدث عنه وذكره بن حبان في الثقات وقال بن يونس قدم مصر وحدث بها ثم خرج إلي دمشق فمات بها سنة أربع وأربعين ومائتين قلت ووثقه مسلمة وذكر بن السمعاني أنه يقال له الباباني بموحدتين وبنون نسبة إلي موضع بمرو
Artinya: ‘Abdah bin ‘Abd ar-Rahim bin Hassan Abu Sa’id al-Marwazi, meriwayatkan dari Baqiyyah, an-Nadhr bin Syumail, Abu Mu’awiyah, al-Muharibi, al-Fadhl bin Musa as-Siyanani … dan yang meriwayatkan darinya adalah al-Bukhari di kitab al-Adab al-Mufrad, an-Nasa-i, Abu Hatim, Abu Zur’ah ad-Dimasyqi, ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Ibn Abi ‘Ashim, Musa bin Ishaq al-Anshari, Harb bin Isma’il, Ibn Abi ad-Dunya … Abu Hatim berkata, “Shaduq,” dan ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Syaikh Shalih,” dan an-Nasa-i berkata, “Tsiqah,” dan berkata pula di kawasan lain, “Shaduq, tidak apa-apa dengannya,” dan Abu Dawud berkata, “Aku tak meriwayatkan darinya,” dan Ibn Hibban menyebutkannya di kitab ats-Tsiqat. Ibn Yunus berkata, “Datang ke Mesir dan meriwayatkan hadits di sana, lalu pergi menuju Damaskus lalu wafat di sana pada tahun 244 Hijriyah.” Aku katakan, Maslamah menganggapnya tsiqah, dan Ibn as-Sam’ani menyebutkan bahwa dia diebut juga al-Babani, nisbat terhadap sebuah tempat di Marwa.