Sudah berapa banyak Islam menceritakan atau mengkisahkan, dongeng yang penuh dengan keteladanan tersebut mendidik serta mengajarkan kita, salah satu cerita yang benar ada dalam kitab suci islam, tetapi Kisah Teladan Islami ini yang penuh dengan pesan tersirat di bawah ini, hanya berasal dari lisan ke lisan, tetapi mampu juga di ambil pesan yang tersirat yang berguna bagi kita, biar kita mampu menjadi insan yang baik lagi baik. Ada empat dongeng contoh islami penuh pesan yang tersirat yang kami rangkum, sebagai berikut:
- Kisah seorang penebang pohon
- Kisah cerita cinta Laila dan Majnun
- Kalau jodoh pasti berjumpa kembali menurut islam
- Kisah cara nenek memungut daun
1). KISAH SEORANG PENEBANG POHON
Diceritakan, seorang pedagang kayu menerima lamaran seorang pekerja untuk menebang pohon di hutannya. Karena gaji yang dijanjikan dan kondisi kerja yang bakal diterima sangat baik, sehingga si kandidat penebang pohon itu pun berencana dan bertekad untuk bekerja sebaik mungkin.
Ketika hendak memulai pekerjaan, sang majikan memberikan suatu kapak dan menjelaskan lokasi kerja yang harus dituntaskan dengan target waktu yang telah diputuskan bagi si penebang pohon.
Hari pertama melakukan pekerjaan , beliau sukses merobohkan 8 batang pohon. Sore hari, mendengar hasil kerja si penebang, sang majikan terkesan dan memberikan pujian dengan lapang dada, “Hasil kerjamu sungguh hebat! Saya sungguh takjub dengan kemampuanmu menebang pohon-pohon itu. Belum pernah ada yang sepertimu sebelum ini. Teruskan melakukan pekerjaan mirip itu”.
Sangat termotivasi oleh kebanggaan majikannya, keesokan hari si penebang bekerja lebih keras lagi, tetapi ia cuma berhasil merobohkan 7 batang pohon. Hari ketiga, beliau bekerja lebih keras lagi, tetapi kesannya tetap tidak membuat puas bahkan mengecewakan. Semakin bertambahnya hari, semakin sedikit pohon yang sukses dirobohkan. “Sepertinya aku telah kehilangan kemampuan dan kekuatanku, bagaimana aku mampu mempertanggungjawab kan hasil kerjaku kepada majikan?” pikir penebang pohon merasa aib dan frustasi. Dengan kepala tertunduk dia menghadap ke sang majikan, meminta maaf atas hasil kerja yang kurang mencukupi dan mengeluh tidak mengetahui apa yang telah terjadi.
Sang majikan mendengarkandan mengajukan pertanyaan kepadanya, “Kapan terakhir kamu mengasah kapak?…”
“Mengasah kapak? Saya tak punya waktu untuk itu, saya sangat sibuk setiap hari menebang pohon dari pagi sampai sore dengan sekuat tenaga”. Kata si penebang.
“Nah, disinilah masalahnya. Ingat, hari pertama kamu kerja? Dengan kapak baru dan terasah, maka kau bisa dongeng-penebang-pohonmenebang pohon dengan hasil hebat. Hari-hari selanjutnya, dengan tenaga yang sama, menggunakan kapak yang sama namun tidak diasah, kamu tahu sendiri, akhirnya semakin menurun. Maka, sesibuk apapun, kamu mesti menyediakan waktu untuk mengasah kapakmu, agar saban hari bekerja dengan tenaga yang sama dan hasil yang optimal.
Sekarang mulailah mengasah kapakmu dan segera kembali melakukan pekerjaan !” perintah sang majikan. Sambil mengangguk-anggukan kepala dan mengucap terimakasih, si penebang berlalu dari hadapan majikannya untuk mulai mengasah kapak.
Istirahat bukan mempunyai arti berhenti,
Tetapi untuk menempuh perjalanan yang lebih jauh lagi
Sama mirip si penebang pohon, kita pun setiap hari, dari pagi sampai malam hari, seolah terjebak dalam rutinitas bersiklus. Sibuk, sibuk dan sibuk, sehingga kadang-kadang melupakan segi lain yang serupa pentingnya, yakni istirahat sejenak mengasah dan mengisi hal-hal baru untuk menambah pengetahuan, pengetahuan dan spiritual. Jika kita mampu mengendalikan ritme aktivitas mirip ini, niscaya kehidupan kita akan menjadi dinamis, berwawasan dan senantiasa baru !
2). KISAH CERITA CINTA LAILA DAN MAJNUN
Dikisahkan, Kepala suku Bani Umar di Arab memiIiki segala jenis yang diinginkan orang, kecuali satu hal, bahwaia tidak memiliki seorang anakpun. Tabib-tabib di desa itu merekomendasikan aneka macam macam ramuan dan obat, namun tidak sukses. Ketika semua perjuangan tampak tak berhasil, istrinya menyarankan supaya mereka berdua bersujud di hadapan Tuhan dan dengan tulus memohon terhadap Allah swt memperlihatkan anugerah kepada mereka berdua. “Mengapa tidak?” jawab sang kepala suku. “Kita sudah menjajal banyak sekali macam cara. Mari, kita coba sekali lagi, tak ada ruginya.”
Mereka pun bersujud kepada Tuhan, sambil berurai air mata dari relung hati mereka yang terluka. “Wahai Segala Kekasih, jangan biarkan pohon kami tak berbuah. Izinkan kami mencicipi manisnya menimang anak dalam pelukan kami. Anugerahkan terhadap kami tanggung jawab untuk membesarkan seorang manusia yang baik. Berikan kesempatan kepada kami untuk membuat-Mu besar hati akan anak kami.”
Tak lama kemudian, doa mereka dikabulkan, dan Tuhan menganugerahi mereka seorang anak pria yang diberi nama Qais. Sang ayah sungguh berbahagia, karena Qais dicintai oleh semua orang. Ia ganteng, bermata besar, dan berambut hitam, yang menjadi pusat perhatian dan kekaguman. Sejak awal, Qais sudah memberikan kecerdasan dan kemampuan fisik istimewa. Ia punya bakat luar biasa dalam mempelajari seni berperang dan memainkan musik, menggubah syair dan melukis.
Ketika telah sampaumur untuk masuk sekolah, ayahnya menetapkan membangun sebuah sekolah yang indah dengan guru-guru terbaik di Arab yang mengajar di sana, dan hanya beberapa anak saja yang mencar ilmu di situ. Anak-anak laki-laki dan perempuan dan keluarga terpandang di seluruh jazirah Arab mencar ilmu di sekolah baru ini.
Di antara mereka ada seorang anak wanita dari kepala suku tetangga. Seorang gadis bermata indah, yang mempunyai keelokan luar biasa. Rambut dan matanya sehitam malam; alasannya adalah alasan inilah mereka menyebutnya Laila-“Sang Malam”. Meski dia baru berusia dua belas tahun, telah banyak pria melamarnya untuk dinikahi, alasannya adalah-sebagaimana lazimnya kebiasaan di zaman itu, gadis-gadis sering dilamar pada usia yang masih sungguh muda, yaitu sembilan tahun.
Laila dan Qais ialah sobat sekelas. Sejak hari pertama masuk sekolah, mereka sudah saling tertarik satu sama lain. Seiring dengan berlalunya waktu, percikan ketertarikan ini semakin lama menjadi api cinta yang membara. Bagi mereka berdua, sekolah bukan lagi daerah belajar. Kini, sekolah menjadi daerah mereka saling berjumpa . Ketika guru sedang mengajar, mereka saling berpandangan. Ketika tiba waktunya menulis pelajaran, mereka justru saling menulis namanya di atas kertas. Bagi mereka berdua, tak ada sahabat atau kesenangan lainnya. Dunia kini hanyalah milik Qais dan Laila.
Mereka buta dan tuli pada yang lainnya. Sedikit demi sedikit, orang-orang mulai mengetahui cinta mereka, dan gunjingan-gosip pun mulai terdengar. Di zaman itu, tidaklah patut seorang gadis diketahui selaku target cinta seseorang dan telah niscaya mereka tidak akan menanggapinya. Ketika orang-bau tanah Laila mendengar bisik-bisik wacana anak gadis mereka, mereka pun melarangnya pergi ke sekolah. Mereka tak mampu lagi menahan beban malu pada masyarakat sekitar.
Ketika Laila tidak ada di ruang kelas, Qais menjadi sangat gusar sehingga dia meninggalkan sekolah dan menyelusuri jalan-jalan untuk mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya. Ia menggubah syair untuknya dan membacakannya di jalan-jalan. Ia cuma mengatakan perihal Laila dan tidak juga menjawab pertanyaan orang-orang kecuali jika mereka bertanya perihal Laila. Orang-orang pun tertawa dan berkata, “Lihatlah Qais, beliau kini telah menjadi seorang majnun, ajaib!”
Akhirnya, Qais diketahui dengan nama ini, yaitu “Majnun”. Melihat orang-orang dan mendengarkan mereka mengatakan membuat Majnun tidak tahan. Ia hanya ingin melihat dan bertemudengan Laila kekasihnya. Ia tahu bahwa Laila telah dipingit oleh orang tuanya di rumah, yang dengan bijaksana menyadari bahwa jika Laila dibiarkan bebas bepergian, beliau niscaya akan menjumpai Majnun.
Majnun menemukan sebuah daerah di puncak bukit erat desa Laila dan membangun suatu gubuk untuk dirinya yang menghadap rumah Laila. Sepanjang hari Majnun duduk-duduk di depan gubuknya, disamping sungai kecil berkelok yang mengalir ke bawah menuju desa itu. Ia berbicara kepada air, menghanyutkan dedaunan bunga liar, dan Majnun merasa yakin bahwa sungai itu akan menyampaikan pesan cintanya terhadap Laila. Ia menyapa burung-burung dan meminta mereka untuk melayang terhadap Laila serta memberitahunya bahwa dia erat.
Ia menghirup angin dari barat yang melalui desa Laila. Jika kebetulan ada seekor anjing kehilangan arah yang berasal dari desa Laila, ia pun memberinya makan dan merawatnya, mencintainya seolah-olah anjing suci, menghormatinya dan menjaganya hingga tiba saatnya anjing itu pergi kalau memang mau demikian. Segala sesuatu yang berasal dari kawasan kekasihnya dikasihi dan disayangi sama mirip kekasihnya sendiri.
Bulan demi bulan berlalu dan Majnun tidak memperoleh jejak Laila. Kerinduannya terhadap Laila demikian besar sehingga beliau merasa tidak bisa hidup sehari pun tanpa melihatnya kembali. Terkadang sahabat-sahabatnya di sekolah dahulu tiba mengunjunginya, namun dia mengatakan terhadap mereka cuma ihwal Laila, wacana betapa beliau sungguh kehilangan dirinya.
Suatu hari, tiga anak laki-laki, sahabatnya yang datang mengunjunginya demikian terharu oleh penderitaan dan kepedihan Majnun sehingga mereka bertekad membantunya untuk bertemukembali dengan Laila. Rencana mereka sangat cerdik. Esoknya, mereka dan Majnun mendekati rumah Laila dengan menyamar sebagai perempuan. Dengan mudah mereka melalui perempuan-perempuan pembantu dirumah Laila dan berhasil masuk ke pintu kamarnya.
Majnun masuk ke kamar, sementara yang lain berada di luar berjaga-jaga. Sejak dia berhenti masuk sekolah, Laila tidak melakukan apapun kecuali memikirkan Qais. Yang cukup mengherankan, setiap kali ia mendengar burung-burung berkicau dari jendela atau angin berhembus semilir, ia memejamkan.matanya sembari membayangkan bahwa dia mendengar suara Qais didalamnya. Ia akan mengambil dedaunan dan bunga yang dibawa oleh angin atau sungai dan tahu bahwa seluruhnya itu berasal dari Qais. Hanya saja, ia tak pernah mengatakan kepada siapa saja, bahkan juga kepada teman-sobat terbaiknya, tentang cintanya.
Pada hari saat Majnun masuk ke kamar Laila, ia mencicipi kedatangan dan kedatangannya. Ia mengenakan busana sutra yang sungguh bagus dan indah. Rambutnya dibiarkan lepas tergerai dan disisir dengan rapi di sekitar bahunya. Matanya diberi celak hitam, sebagaimana kebiasaan wanita Arab, dengan bedak hitam yang disebut surmeh. Bibirnya diberi lipstick merah, dan pipinya yang kemerah-merahan terlihat menyala serta menampakkan kegembiraannya. Ia duduk di depan pintu dan menunggu.
Ketika Majnun masuk, Laila tetap duduk. Sekalipun telah diberitahu bahwa Majnun akan datang, ia tidak yakin bahwa pertemuan itu sungguh-sungguh terjadi. Majnun bangun di pintu selama beberapa menit, memandangi, sepuas-puasnya paras Laila. Akhirnya, mereka bersama lagi! Tak terdengar sepatah kata pun, kecuali detak jantung kedua orang yang dimabuk cinta ini. Mereka saling berpandangan dan lupa waktu.
Salah seorang perempuan pembantu di rumah itu menyaksikan teman-sobat Majnun di luar kamar tuan putrinya. Ia mulai curiga dan memberi kode terhadap salah seorang pengawal. Namun, dikala ibu Laila tiba menyelidiki, Majnun dan kawan-kawannya telah jauh pergi. Sesudah orang-tuanya bertanya terhadap Laila, maka tidak sukar bagi mereka mengetahui apa yang sudah terjadi. Kebisuan dan kebahagiaan yang terpancar dimatanya menceritakan segala sesuatunya.
Sesudah terjadi insiden itu, ayah Laila menempatkan para pengawal di setiap pintu di rumahnya. Tidak ada jalan lain bagi Majnun untuk menghampiri rumah Laila, bahkan dari kejauhan sekalipun. Akan tetapi kalau ayahnya berpikiran bahwa, dengan bertindak hati-hati ini dia mampu mengubah perasaan Laila dan Majnun, satu sama lain, sungguh ia salah besar.
Ketika ayah Majnun tahu tentang kejadian di rumah Laila, dia memutuskan untuk mengakhiri drama itu dengan melamar Laila untuk anaknya. Ia mempersiapkan suatu kafilah sarat dengan hadiah dan mengirimkannya ke desa Laila. Sang tamu pun disambut dengan sangat bagus, dan kedua kepala suku itu berbincang-bincang perihal kebahagiaan belum dewasa mereka. Ayah Majnun lebih dulu berkata, “Engkau tahu benar, kawan, bahwa ada dua hal yang sangat penting bagi kebahagiaan, adalah “Cinta dan Kekayaan”.
Anak lelakiku menyayangi anak perempuanmu, dan saya mampu memastikan bahwa aku mampu memberi mereka lumayan banyak uang untuk mengarungi kehidupan yang bahagia dan mengasyikkan. Mendengar hal itu, ayah Laila pun menjawab, “Bukannya saya menolak Qais. Aku yakin kepadamu, karena engkau pastilah seorang mulia dan terhormat,” jawab ayah Laila. “Akan namun, engkau tidak bisa menyalahkanku bila aku waspada dengan anakmu. Semua orang tahu perilaku abnormalnya. Ia berpakaian seperti seorang pengemis. Ia niscaya sudah usang tidak mandi dan iapun hidup bareng hewan-hewan dan menjauhi orang banyak. “Tolong katakan mitra, bila engkau punya anak wanita dan engkau berada dalam posisiku, akankah engkau menunjukkan anak perempuanmu terhadap anakku?”
Ayah Qais tak dapat membantah. Apa yang mampu dikatakannya? Padahal, dulu anaknya ialah pola utama bagi kawan-mitra sebayanya? Dahulu Qais adalah anak yang paling pintar dan berbakat di seantero Arab? Tentu saja, tidak ada yang dapat dikatakannya. Bahkan, sang ayahnya sendiri sulit untuk mempercayainya. Sudah usang orang tidak mendengar ucapan memiliki arti dari Majnun. “Aku tidak akan membisu berleha-leha dan menyaksikan anakku merusak dirinya sendiri,” pikirnya. “Aku harus melaksanakan sesuatu.”
Ketika ayah Majnun kembali pulang, ia menjemput anaknya, Ia menyelenggarakan pesta makan malam untuk menghormati anaknya. Dalam jamuan pesta makan malam itu, gadis-gadis tercantik di seluruh negeri pun dipanggil. Mereka pasti mampu mengalihkan perhatian Majnun dari Laila, pikir ayahnya. Di pesta itu, Majnun diam dan tidak mempedulikan tamu-tamu lainnya. Ia duduk di sebuah sudut ruangan sambil melihat gadis-gadis itu cuma untuk mencari pada diri mereka berbagai kesamaan dengan yang dimiliki Laila.
Seorang gadis mengenakan pakaian yang sama dengan milik Laila; yang yang lain punya rambut panjang mirip Laila, dan yang lainnya lagi punya senyum seperti Laila. Namun, tak ada seorang gadis pun yang betul-betul mirip dengannya, Malahan, tak ada seorang pun yang memiliki separuh kecantikan Laila. Pesta itu cuma memperbesar kepedihan perasaan Majnun saja kepada kekasihnya. Ia pun berang dan marah serta menyalahkan setiap orang di pesta itu karena berusaha mengelabuinya.
Dengan berurai air mata, Majnun menuduh orang-tuanya dan teman-sahabatnya selaku berlaku berangasan dan kejam kepadanya. Ia menangis sedemikian hebat hingga hasilnya jatuh ke lantai dalam kondisi pingsan. Sesudah terjadi petaka ini, ayahnya menetapkan semoga Qais diantaruntuk menunaikan ibadah haji ke Mekah dengan impian bahwa Allah akan merahmatinya dan membebaskannya dari cinta yang menghancurkan ini.
Di Makkah, untuk menyenangkan ayahnya, Majnun bersujud di depan altar Kabah, namun apa yang ia mohonkan? “Wahai Yang Maha Pengasih, Raja Diraja Para Pecinta, Engkau yang menganugerahkan cinta, aku cuma mohon terhadap-Mu satu hal saja,”Tinggikanlah cintaku sedemikian rupa sehingga, sekalipun aku binasa, cintaku dan kekasihku tetap hidup.” Ayahnya kemudian tahu bahwa tak ada lagi yang mampu ia kerjakan untuk anaknya.
Usai menunaikan ibadah haji, Majnun yang tak maulagi bergaul dengan orang banyak di desanya, pergi ke pegunungan tanpa memberitahu di mana beliau berada. Ia tidak kembali ke gubuknya. Alih-alih tinggal dirumah, beliau menentukan tinggal direruntuhan suatu bangunan bau tanah yang terasing dari penduduk dan tinggal didalamnya. Sesudah itu, tak ada seorang pun yang mendengar kabar perihal Majnun. Orang-tuanya mengantarsegenap teman dan keluarganya untuk mencarinya. Namun, tak seorang pun sukses menemukannya. Banyak orang berkesimpulan bahwa Majnun dibunuh oleh binatang-hewan gurun sahara. Ia bagai hilang ditelan bumi.
Suatu hari, seorang musafir melewati reruntuhan bangunan itu dan menyaksikan ada sesosok asing yang duduk di salah suatu tembok yang hancur. Seorang liar dengan rambut panjang sampai ke pundak, jenggotnya panjang dan berantakan, bajunya compang-camping dan kumal. Ketika sang musafir mengucapkan salam dan tidak beroleh jawaban, ia mendekatinya. Ia menyaksikan ada seekor serigala tidur di kakinya. “Hus” katanya, ‘Jangan bangunkan sahabatku.” Kemudian, ia mengedarkan pandangan ke arah kejauhan.
Sang musafir pun duduk di situ dengan tenang. Ia menanti dan ingin tahu apa yang hendak terjadi. Akhimya, orang liar itu mengatakan. Segera saja ia pun tahu bahwa ini yaitu Majnun yang populer itu, yang aneka macam macam sikap anehnya dibicarakan orang di seluruh jazirah Arab. Tampaknya, Majnun tidak kesusahan beradaptasi dengan kehidupan dengan hewan-binatang buas dan liar. Dalam kenyataannya, dia telah menyesuaikan diri dengan sangat baik sehingga lumrah-lumrah saja melihat dirinya sebagai bagian dari kehidupan liar dan buas itu.
Berbagai macam binatang terpesona kepadanya, karena secara naluri mengenali bahwa Majnun tidak akan mencelakakan mereka. Bahkan, hewan-binatang buas seperti serigala sekalipun percaya pada kebaikan dan kasih sayang Majnun. Sang musafir itu mendengarkan Majnun melantunkan berbagai kidung pujiannya pada Laila. Mereka mengembangkan sepotong roti yang diberikan olehnya. Kemudian, sang musafir itu pergi dan melanjutkan petjalanannya.
Ketika datang di desa Majnun, dia menuturkan kisahnya pada orang-orang. Akhimya, sang kepala suku, ayah Majnun, mendengar informasi itu. Ia mengundang sang musafir ke rumahnya dan meminta keteransran rinci darinya. Merasa sangat gembira dan senang bahwa Majnun masih hidup, ayahnya pergi ke gurun sahara untuk menjemputnya.
Ketika menyaksikan reruntuhan bangunan yang dilukiskan oleh sang musafir itu, ayah Majnun dicekam oleh emosi dan kesedihan yang hebat. Betapa tidak! Anaknya terjerembab dalam keadaan menyedihkan mirip ini. “Ya Tuhanku, aku mohon semoga Engkau menyelamatkan anakku dan mengembalikannya ke keluarga kami,” jerit sang ayah menyayat hati. Majnun mendengar doa ayahnya dan segera keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan bersimpuh dibawah kaki ayahnya, ia pun menangis, “Wahai ayah, ampunilah saya atas segala kepedihan yang kutimbulkan pada dirimu. Tolong lupakan bahwa engkau pernah mempunyai seorang anak, alasannya adalah ini akan meringankan beban kesedihan ayah. Ini sudah nasibku mencinta, dan hidup cuma untuk mencinta.” Ayah dan anak pun saling berpelukan dan menangis. Inilah pertemuan terakhir mereka.
Keluarga Laila menyalahkan ayah Laila karena salah dan gagal menangani suasana putrinya. Mereka yakin bahwa kejadian itu sudah mempermalukan seluruh keluarga. Karenanya, orangtua Laila memingitnya dalam kamamya. Beberapa sahabat Laila diizinkan untuk mengunjunginya, tetapi ia tak ingin ditemani. Ia berpaling kedalam hatinya, memelihara api cinta yang mengkremasi dalam kalbunya. Untuk mengungkapkan segenap perasaannya yang terdalam, ia menulis dan menggubah syair kepada kekasihnya pada cuilan-potongan kertas kecil. Kemudian, dikala beliau diperbolehkan menyendiri di taman, dia pun menerbangkan pecahan-pecahan kertas kecil ini dalam hembusan angin. Orang-orang yang memperoleh syair-syair dalam cuilan-serpihan kertas kecil itu membawanya kepada Majnun. Dengan cara demikian, dua kekasih itu masih mampu menjalin korelasi.
Karena Majnun sangat terkenal di seluruh negeri, banyak orang datang mengunjunginya. Namun, mereka cuma berkunjung sebentar saja, alasannya mereka tahu bahwa Majnun tidak kuat lama dikunjungi banyak orang. Mereka mendengarkannya melantunkan syair-syair indah dan memainkan serulingnya dengan sangat memukau.
Sebagian orang merasa iba kepadanya; sebagian lagi cuma sekadar ingin tahu wacana kisahnya. Akan tetapi, setiap orang bisa merasakan kedalaman cinta dan kasih sayangnya terhadap semua makhluk. Salah seorang dari hadirin itu yakni seorang ksatria gagah berani bernama ‘Amar, yang berjumpa dengan Majnun dalam perjalanannya menuju Mekah. Meskipun dia sudah mendengar dongeng cinta yang sungguh terkenal itu di kotanya, beliau ingin sekali mendengarnya dari lisan Majnun sendiri.
Drama cerita tragis itu membuatnya sedemikian pilu dan sedih sehingga dia bersumpah dan bertekad melaksanakan apa saja yang mungkin untuk mempersatukan dua kekasih itu, walaupun ini mempunyai arti menghancurkan orang-orang yang menghalanginya! Kaetika Amr kembali ke kota kelahirannya, Ia pun mengumpulkan pasukannya. Pasukan ini berangkat menuju desa Laila dan menggempur suku di sana tanpa ampun. Banyak orang yang terbunuh atau terluka.
Ketika pasukan ‘Amr hampir mengungguli peperangan, ayah Laila mengirimkan pesan kepada ‘Amr, “Jika engkau atau salah seorang dari prajuritmu mengharapkan putriku, aku akan menyerahkannya tanpa melawan. Bahkan, jikalau engkau ingin membunuhnya, saya tidak keberatan. Namun, ada satu hal yang tidak akan pernah mampu kuterima, jangan minta saya untuk memberikan putriku pada orang asing itu”. Majnun mendengar pertempuran itu sampai dia bergegas kesana. Di medan pertempuran, Majnun pergi ke sana kemari dengan bebas di antara para serdadu dan menghampiri orang-orang yang terluka dari suku Laila. Ia merawat mereka dengan sarat perhatian dan melakukan apa saja untuk meringankan luka mereka.
Amr pun merasa heran terhadap Majnun, saat dia meminta klarifikasi wacana mengapa beliau menolong pasukan lawan, Majnun menjawab, “Orang-orang ini berasal dari desa kekasihku. Bagaimana mungkin aku mampu menjadi lawan mereka?” Karena sedemikian bersimpati kepada Majnun, ‘Amr sama sekali tidak bisa mengerti hal ini. Apa yang dibilang ayah Laila wacana orang gila ini kesannya membuatnya sadar. Ia pun memerintahkan pasukannya untuk mundur dan secepatnya meninggalkan desa itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepada Majnun.
Laila makin merana dalam penjara kamarnya sendiri. Satu-satunya yang mampu beliau nikmati ialah berjalan-jalan di taman bunganya. Suatu hari, dalam perjalanannya menuju taman, Ibn Salam, seorang aristokrat kaya dan berkuasa, menyaksikan Laila dan serta-merta jatuh cinta kepadanya. Tanpa menangguhkan -nunda lagi, ia segera mencari ayah Laila. Merasa letih dan sedih hati karena pertempuran yang gres saja menjadikan banyak orang terluka di pihaknya, ayah Laila pun menyetujui perkawinan itu.
Tentu saja, Laila menolak keras. Ia mengatakan kepada ayahnya, “Aku lebih bahagia mati ketimbang kawin dengan orang itu.” Akan tetapi, tangisan dan permohonannya tidak digubris. Lantas beliau mengunjungi ibunya, tetapi sama saja keadaannya. Perkawinan pun berlangsung dalam waktu singkat. Orangtua Laila merasa lega bahwa seluruh ujian berat kesannya berakhir juga.
Akan tetapi, Laila menegaskan terhadap suaminya bahwa beliau tidak pernah bisa mencintainya. “Aku tidak akan pernah menjadi seorang istri,” katanya. “Karena itu, jangan membuang-buang waktumu. Carilah seorang istri yang lain. Aku yakin, masih ada banyak wanita yang mampu membuatmu bahagia.” Sekalipun mendengar kata-kata cuek ini, Ibn Salam percaya bahwa, sesudah hidup bersamanya sementara waktu larnanya, pada hasilnya Laila niscaya akan menerimanya. Ia tidak inginmemaksa Laila, melainkan menunggunya untuk datang kepadanya.
Ketika kabar tentang perkawinan Laila terdengar oleh Majnun, beliau menangis dan meratap selama berhari-hari. Ia melantunkan lagu-Iagu yang demikian menyayat hati dan mengharu biru kalbu sehingga semua orang yang mendengarnya pun ikut menangis. Derita dan kepedihannya begitu berat sehingga binatang-hewan yang berkumpul di sekelilinginya pun turut bersedih dan menangis. Namun, kesedihannya ini tak berlangsung lama, sebab tiba-tiba Majnun merasakan kedamaian dan ketenangan batin yang aneh. Seolah-olah tak terjadi apa-apa, beliau pun terus tinggal di reruntuhan itu. Perasaannya terhadap Laila tidak berubah dan malah menjadi makin lebih dalam lagi.
Dengan sarat ketulusan, Majnun menyampaikan ucapan selamat terhadap Laila atas perkawinannya: “Semoga kalian berdua selalu berbahagia di dunia ini. Aku cuma meminta satu hal sebagai tanda cintamu, janganlah engkau lupakan namaku, sekalipun engkau telah menentukan orang lain sebagai pendampingmu. Janganlah pernah lupa bahwa ada seseorang yang, walaupun tubuhnya hancur berkeping-keping, hanya akan memanggil-manggil namamu, Laila”.
Sebagai jawabannya, Laila mengirimkan suatu anting-anting selaku tanda dedikasi tradisional. Dalam surat yang disertakannya, dia menyampaikan, “Dalam hidupku, saya tidak mampu melupakanmu barang sesaat pun. Kupendam cintaku demikian lama, tanpa mampu menceritakannya terhadap siapapun. Engkau memaklumkan cintamu ke seluruh dunia, sementara aku membakarnya di dalam hatiku, dan engkau membakar segala sesuatu yang ada di sekelilingmu” . “Kini, saya mesti menghabiskan hidupku dengan seseorang, padahal segenap jiwaku menjadi milik orang lain. Katakan kepadaku, kasih, mana di antara kita yang lebih dimabuk cinta, engkau ataukah saya?.
Tahun demi tahun berlalu, dan orang-renta Majnun pun meninggal dunia. Ia tetap tinggal di reruntuhan bangunan itu dan merasa lebih kesepian dibandingkan dengan sebelumnya. Di siang hari, beliau mengarungi gurun sahara bareng teman-teman binatangnya. Di malam hari, ia memainkan serulingnya dan melantunkan syair-syairnya kepada banyak sekali hewan buas yang sekarang menjadi satu-satunya pendengarnya. Ia menulis syair-syair untuk Laila dengan ranting di atas tanah. Selang beberapa lama, alasannya terbiasa dengan cara hidup asing ini, dia mencapai kedamaian dan ketenangan sedemikian rupa sehingga tak ada sesuatu pun yang mampu mengganggu dan mengganggunya.
Sebaliknya, Laila tetap setia pada cintanya. Ibn Salam tidak pernah berhasil mendekatinya. Kendatipun ia hidup bareng Laila, ia tetap jauh darinya. Berlian dan hadiah-hadiah mahal tak bisa menciptakan Laila berbakti kepadanya. Ibn Salam sudah tidak mampu lagi merebut akidah dari istrinya. Hidupnya serasa pahit dan tidak berguna. Ia tidak menemukan ketenangan dan kedamaian di rumahnya. Laila dan Ibn Salam yaitu dua orang asing dan mereka tak pernah mencicipi hubungan suami istri. Malahan, ia tidak mampu membuatkan kabar ihwal dunia luar dengan Laila.
Tak sepatah kata pun pernah terdengar dari bibir Laila, kecuali jika dia ditanya. Pertanyaan ini pun dijawabnya dengan sekadarnya saja dan sungguh singkat. Ketika hasilnya Ibn Salam jatuh sakit, dia tidak kuasa bertahan, alasannya hidupnya tidak menjanjikan impian lagi. Akibatnya, pada sebuah pagi di musim panas, beliau pun meninggal dunia. Kematian suaminya sepertinya makin mengaduk-ngaduk perasaan Laila. Orang-orang mengira bahwa ia berkabung atas akhir hayat Ibn Salam, padahal sebetulnya ia menangisi kekasihnya, Majnun yang hilang dan sudah usang dirindukannya.
Selama beberapa tahun, beliau menampakkan tampang tenang, acuh tak acuh, dan hanya sekali saja beliau menangis. Kini, beliau menangis keras dan usang atas perpisahannya dengan kekasih satu-satunya. Ketika masa berkabung usai, Laila kembali ke rumah ayahnya. Meskipun masih berusia muda, Laila terlihat bau tanah, remaja, dan bijaksana, yang jarang dijumpai pada diri perempuan seusianya. Sementara api cintanya kian membara, kesehatan Laila justru memudar alasannya beliau tidak lagi memperhatikan dirinya sendiri. Ia tidak mau makan dan juga tidak tidur dengan baik selama menginap-malam.
Bagaimana beliau bisa mengamati kesehatan dirinya kalau yang dipikirkannya hanyalah Majnun semata? Laila sendiri tahu betul bahwa ia tidak akan mampu bertahan lama. Akhirnya, penyakit batuk parah yang mengganggunya selama beberapa bulan pun menggerogoti kesehatannya. Ketika Laila meregang nyawa dan sekarat, dia masih menimbang-nimbang Majnun. Ah, jikalau saja beliau mampu berjumpa dengannya sekali lagi untuk terakhir kalinya! Ia cuma membuka matanya untuk memandangi pintu jika-jika kekasihnya datang. Namun, ia sadar bahwa waktunya telah habis dan beliau akan pergi tanpa sukses mengucapkan salam perpisahan terhadap Majnun. Pada sebuah malam di ekspresi dominan hambar, dengan matanya tetap menatap pintu, beliau pun meninggal dunia dengan tenang sambil bergumam, Majnun…Majnun. .Majnun.
Kabar perihal ajal Laila menyebar ke segala penjuru negeri dan, tak usang lalu, berita maut Lailapun terdengar oleh Majnun. Mendengar kabar itu, dia pun jatuh pingsan di tengah-tengah gurun sahara dan tetap tak sadarkan diri selama beberapa hari. Ketika kembali sadar dan siuman, dia secepatnya pergi menuju desa Laila. Nyaris tidak sanggup berlangsung lagi, beliau menyeret tubuhnya di atas tanah. Majnun bergerak terus tanpa henti sampai tiba di kuburan Laila di luar kota. Ia berkabung dikuburannya selama beberapa hari.
Ketika tidak didapatkan cara lain untuk merenggangkan beban penderitaannya, per1ahan-lahan dia menaruh kepalanya di kuburan Laila kekasihnya dan meninggal dunia dengan damai. Jasad Majnun tetap berada di atas kuburan Laila selama setahun. Belum hingga setahun perayaan kematiannya saat segenap sahabat dan saudara menziarahi kuburannya, mereka memperoleh sesosok jasad terbujur di atas kuburan Laila. Beberapa sahabat sekolahnya mengenali dan mengenali bahwa itu yakni jasad Majnun yang masih segar seolah gres mati kemarin. Ia pun dikubur di samping Laila. Tubuh dua kekasih itu, yang kini bersatu dalam keabadian, kini bersatu kembali.
Konon, tak lama setelah itu, ada seorang Sufi bermimpi menyaksikan Majnun hadir di hadapan Tuhan. Allah swt membelai Majnun dengan penuh kasih sayang dan mendudukkannya disisi-Nya.Lalu, Tuhan pun berkata terhadap Majnun, “Tidakkah engkau aib memanggil-manggil- Ku dengan nama Laila, sesudah engkau meminum anggur Cinta-Ku?”
Sang Sufi pun berdiri dalam keadaan bingung. Jika Majnun diperlakukan dengan sangat baik dan penuh kasih oleh Allah Subhana wa ta’alaa, ia pun bertanya-tanya, lantas apa yang terjadi pada Laila yang malang? Begitu pikiran ini terlintas dalam benaknya, Allah swt pun mengilhamkan tanggapan kepadanya, “Kedudukan Laila jauh lebih tinggi, karena dia menyembunyikan segenap belakang layar Cinta dalam dirinya sendiri.”
Wa min Allah at Tawfiq
Diambil dari Negeri Sufi ( Tales from The Land of Sufis )
Tentang Penulis Laila Majnun, Syaikh Sufi Mawlana Hakim Nizhami qs :
Syaikh Hakim Nizhami qs merupakan penulis sufi ternama diabad pertengahan sebab dua roman cinta yang menyayat hati, ialah Laila & Majnun serta Khusrau & Syirin. Kisah murung Laila & Majnun , dimana Majnun yang memiliki arti “Tergila-aneh akan Cinta”, alasannya adalah cintanya yang tak sampai pada Laila, hasilnya menjadikannya ajaib. Kisah cinta ini dibaca selamaberabad- kala, ratusan tahun jauh sebelum Romeo & Julietnya Wiliam Shakespeare sehingga Kisah Laila & Majnun populer sebagai cerita cintanya Persia.
Syaikh Nizhami qs adalah seorang Syaikh Sufi, dan yang dimaksud “kekasih” dalam aneka macam kisahnya bergotong-royong yakni perwujudan Allah swt. Syaikh Nizhami hidup dari tahun 1155 M – 1223 M, beliau lahir dikota Ganje di Azerbaijan. Ia telah menempuh jalan sufi semenjak masa mudanya, dan dia diajar oleh Nabi Khidir as, Sang Pembimbing Misterius dan ia dilindungi 99 Nama Allah Yang Maha Indah ( Asmaul Husna).
Syaikh Nizhami qs sungguh menguasai banyak sekali macam ilmu, mirip matematika, filsafat, Hukum Islam, dan kedokteran. Banyak karyanya ialah pelajaran tersembunyi bagi pemeluk tariqah sufi dan penempuh jalan spiritual. Karya Syaikh Nizhami qs populer karena bahasanya yang halus. Karya Laila dan Majnun bahu-membahu berupa sajak berirama sebanyak 4500 syair sajak, yang diketahui dengan sebutan Matsnawi. Sebagaimana umumnyaterjadi pada para Syaikh Sufi, yang tertinggal dari Syaikh Nizhami qs ialah anutan-pedoman sufi yang sungguh tinggi, yang mengingatkan para penempuh jalan spiritual tentang kefanaan hidup didunia ini.
3). KALAU JODOH PASTI BERTEMU KEMBALI MENURUT ISLAM
“Kalau memang jodoh, pasti bertemu kembali berdasarkan islam”
Untaian-untaian kalimat diatas tersebut selalu terngiang di hati ini. Untaian kata-kata dari Ibu aku dikala saya kehilangan sesuatu milik aku yang sungguh bermakna. Saat ini, di hari Minggu sore, saya sudah melaksanakan “something stupid” tanpa aku sadari.
Saya kehilangan dompet saya beserta isinya: uang yang tak sedikit (alasannya habis mampu bonus dari kantor), 2 kartu ATM, 1 kartu KTM, KTP, STNK, kartu Jamsostek, dan kartu-kartu keanggotaan yang lain. Bagaimana bisa hilang? Tanpa niatan buruk, Kakak aku ingin meminjam motor aku beserta STNK aku di dalam dompet. Kalau SNTK saya dipinjam, aku sering kali lupa memintanya kembali, padahal abang-kakak saya, satu tinggal di Jakarta Barat dan satu lagi sedang ditugaskan dan tinggal di Makasar. Entah mengapa, abang aku itu menenteng STNK saya sekaligus dompet beserta isinya lengkap.
Alhasil, jam 16.30, beliau pulang dengan membawa kabar bila dompet saya hilang terjatuh di jalan. Saya yang mendengarnya pribadi berucap istighfar, dan… “Innalillahi. .. ”, “Allahuakbar”. … Semua “identitas” saya ada di situ. Saya melaporkan ke kantor Polisi dan memblokir kartu ATM saya. Otak aku sulit berpikir, air mata ini terus mengalir saja.
Saya berpikir lalu, “apa aku kurang berinfak?” sehingga semua ini teguran Allah untuk aku? Di rumah, saya menghitung-hitung “hak” orang lain itu yang telah aku keluarkan bulan ini. Ternyata, sama sekali tidak ada problem. Berarti, cita-cita saya cuma satu: “Kalau halal, niscaya kembali….”
Sebelumnya, saya pernah mengalami hal-hal serupa: milik saya yang berharga hilang. Saat Sekolah Dasar, aku belum mempunyai simpanan untuk membeli apa-apa, penghapus “Stedler” aku yang “mahal”, hilang di sekolah. Saya pulang sambil menangis. Ibu saya menenangkan saya, sambil berkata “bila halal, niscaya kembali… ” Dua hari kemudian, penghapus itu kembali aku peroleh (meskipun sepertinya habis dipakai orang).
Sewaktu kuliah, saya melakukan pekerjaan “part time” dan dari hasil kerja saya, aku berbelanja HP baru seharga Rp1.500.000, 00. Entah, saat di angkot di depan Mal Depok, ada tiga orang pencuri HP akan mengambil HP saya, aku istighfar, sambil berdoa “Ya, Allah, saya membelinya dengan duit halal. ” Kemudian, pencuri itu tertangkap tangan dan HP saya kembali.
Saat sobat aku memberi aku saputangan kucing dari Jepang sebagai kado, terjatuh di kampus dan aku mencarinya tiga hari tidak ketemu, aku lapang dada sambil berucap: jika barang itu halal, niscaya kembali. Keesokan harinya, Office Boy kampus, menghampiri aku untuk memberi tahu jikalau beliau sudah menemukannya. Sulit diketahui di kampus yang luas itu. Alhamdulillah.
Hal-hal serupa juga terjadi untuk yang lainnya, bahkan untuk “orang” lho (maksudnya??). Allah memang hebat, sesuai janjinya. Allahuakbar, terima kasihku tak terhingga, Ya Rabb.
Sudah empat jam semenjak kehilangan dompet itu, hati ini terus menangis sambil “menanti” kabar. Saya membaca Al-Waqi’ah dan Yaasin supaya otak dan hati ini damai. Semakin usang tidak ada kabar, hati ini pasrah, ikhlas. Hilang tidak apa-apa. Jika harus kehilangan seluruhnya, aku akan bekerja lagi dan mulai dari awal. Kepunyaan saya, toh, Allah yang memilikinya jua. Jika diambil untuk suatu “nasihat”, aku ikhlas sebab memang tidak ada niatan jelek. Saya mulai menimbang-nimbang untuk mengorganisir semua surat-surat keesokan harinya. Bibir ini jadi tersenyum terus menimbang-nimbang apa yang sudah terjadi.
Jam 9 malam, Ibu sedikit berteriak mengundang saya yang sudah letih dan hendak “menidurkan” fikiran aku. Rupanya, ada dua orang laki-laki yang menemukan dompet aku. Mereka mengembalikannya lengkap dengan isi-isinya. Alhamdulillah, Ya, Rabb. Satu kesepakatan lagi telah terpenuhi. Saya memberi uang saku terhadap kedua orang laki-laki itu, tidak banyak cuma Rp50.000, 00. Semoga Allah yang membalas mereka lebih dari aku.
Satu lagi yang aku pelajari dari kata-kata ibu aku: “jikalau halal, niscaya kembali….”Maafkan hamba-Mu, Ya, Rabb, sebab sudah melaksanakan banyak kesalahan tanpa disadari. Amin.
4). KISAH CARA NENEK MEMUNGUT DAUN
Dahulu di suatu kota di Madura, ada seorang nenek tua penjual bunga cempaka. Ia memasarkan bunganya di pasar, sehabis berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, beliau pergi ke masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melaksanakan salat Zhuhur. Setelah membaca wirid sekedarnya, dia keluar masjid dan membungkuk-bungkuk di halaman masjid.
Ia menghimpun dedaunan yang berceceran di halaman masjid. Selembar demi selembar dikaisnya. Tidak satu lembar pun ia lewatkan. Tentu saja agak lama beliau membersihkan halaman masjid dengan cara itu. Padahal matahari Madura di siang hari sungguh menyengat. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.
Banyak pengunjung masjid jatuh iba kepadanya. Pada suatu hari Takmir masjid memutuskan untuk membersihkan dedaunan itu sebelum wanita renta itu datang.
Pada hari itu, dia datang dan eksklusif masuk masjid. Usai salat, dikala dia ingin melakukan pekerjaan rutinnya, beliau terkejut. Tidak ada satu pun daun terserak di situ. Ia kembali lagi ke masjid dan menangis dengan keras. Ia mempertanyakan mengapa daun-daun itu sudah isapukan sebelum kedatangannya. Orang-orang menerangkan bahwa mereka kasihan kepadanya. “Jika kalian kasihan kepadaku,” kata nenek itu, “Berikan peluang kepadaku untuk membersihkannya.”
Singkat cerita, nenek itu dibiarkan menghimpun dedaunan itu seperti biasa. Seorang kiai terhormat diminta untuk menanyakan kepada perempuan itu mengapa beliau begitu antusiasmembersihkan dedaunan itu. Perempuan bau tanah itu mau menjelaskan sebabnya dengan dua syarat: pertama, cuma Kiai yang menyimak rahasianya; kedua, rahasia itu dihentikan disebarkan ketika beliau masih hidup. Sekarang ia sudah meninggal dunia, dan Anda dapat mendengarkan belakang layar itu.
“Saya ini perempuan ndeso, pak Kiai,” tuturnya. “Saya tahu amal-amal saya yang kecil itu mungkin juga tidak benar saya jalankan. Saya mustahil selamat pada hari akhirat tanpa syafaat Kanjeng Nabi Muhammad. Setiap kali aku mengambil selembar daun, saya ucapkan satu salawat kepada Rasulullah. Kelak jikalau saya mati, aku ingin Kanjeng Nabi menjemput aku. Biarlah semua daun itu bersaksi bahwa aku membacakan salawat kepadanya.”