- Beriman terhadap ilmu Allah yang ajali sebelum segala sesuatu itu ada. Di antaranya seseorang harus beriman bahwa amal perbuatannya sudah dikenali (diilmui) oleh Allah sebelum dia melakukannya.
- Mengimani bahwa Allah sudah menulis takdir di Lauhul Mahfuzh.
- Mengimani masyi’ah (keinginanAllah) bahwa segala sesuatu yang terjadi yaitu alasannya kehendak-Nya.
- Mengimani bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu. Allah adalah Pencipta satu-satunya dan selain-Nya ialah makhluk termasuk juga amalan manusia.
Dalil dari tingkatan pertama dan kedua di atas yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Apakah kamu tidak mengenali bahwa sebenarnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bantu-membantu yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat gampang bagi Allah.” (QS. Al Hajj [22]: 70). Kemudian dalil dari tingkatan ketiga di atas adalah firman Allah (yang artinya), “Dan kamu tidak mampu menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali jika diharapkan Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 29). Sedangkan untuk tingkatan keempat, dalilnya yakni firman Allah (yang artinya), “Allah membuat kamu dan apa saja yang kamu perbuat.” (QS. Ash-Shaffaat [37]: 96). Pada ayat ‘Wa ma ta’malun (dan apa saja yang kau perbuat) memberikan bahwa tindakan manusia adalah ciptaan Allah.
Macam-Macam Takdir
Takdir itu ada 2 macam:
1). Takdir umum meliputi segala yang ada. Takdir ini dicatat di Lauhul Mahfuzh. Dan Allah sudah mencatat takdir segala sesuatu sampai hari akhir zaman. Takdir ini biasa bagi seluruh makhluk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah yaitu qalam (pena). Allah berfirman terhadap qalam tersebut, “Tulislah”. Kemudian qalam berkata, “Wahai Rabbku, apa yang hendak saya tulis?” Allah berfirman, “Tulislah takdir segala sesuatu yang terjadi hingga hari kiamat.” (HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud).
2). Takdir yang ialah detail dari takdir yang umum. Takdir ini berisikan:
(a) Takdir ‘Umri adalah takdir sebagaimana terdapat pada hadits Ibnu Mas’ud, di mana janin yang sudah ditiupkan ruh di dalam rahim ibunya akan ditetapkan perihal 4 hal: (1) rizki, (2) maut, (3) amal, dan (4) sengsara atau berbahagia.
(b) Takdir Tahunan yakni takdir yang ditetapkan pada malam lailatul qadar mengenai peristiwa dalam setahun. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada malam itu dijelaskan segala problem yang penuh pesan yang tersirat.” (QS. Ad Dukhan [44]: 4). Ibnu Abbas mengatakan, “Pada malam lailatul qadar, ditulis pada ummul kitab segala kebaikan, kejelekan, rizki dan maut yang terjadi dalam setahun.” (Lihat Ma’alimut Tanzil, Tafsir Al Baghowi)
Seorang muslim mesti beriman dengan takdir yang umum dan terang ini. Barangsiapa yang mengingkari sedikit saja dari keduanya, maka beliau tidak beriman kepada takdir. Dan bermakna ia sudah mengingkari salah satu rukun iman yang wajib diimani.
Salah Dalam Menyikapi Takdir
Dalam menanggapi takdir Allah SWT, ada yang mengingkari takdir dan ada pula yang terlalu berlebihan dalam menetapkannya. Yang pertama ini dikenal dengan Qodariyyah. Dan di dalamnya ada dua kelompok lagi. Kelompok pertama yaitu yang paling ekstrem. Mereka mengingkari ilmu Allah terhadap segala sesuatu dan mengingkari pula apa yang telah Allah tulis di Lauhul Mahfuzh. Mereka menyampaikan bahwa Allah memerintah dan melarang, tetapi Allah tidak mengenali siapa yang taat dan berbuat maksiat. Perkara ini gres saja dikenali, tidak didahului oleh ilmu Allah dan takdirnya. Namun kelompok mirip ini sudah musnah dan tidak ada lagi.
Kelompok kedua ialah yang menetapkan ilmu Allah SWT, namun menghapus masuknya tindakan hamba pada takdir Allah. Mereka menilai bahwa tindakan hamba adalah makhluk yang bangun sendiri, Allah tidak menciptakannya dan tidak pula menghendakinya. Inilah madzhab mu’tazilah.
Kebalikan dari Qodariyyah adalah kalangan yang berlebihan dalam memutuskan takdir sehingga hamba seperti dipaksa tanpa memiliki kemampuan dan ikhtiyar (perjuangan) sama sekali. Mereka menyampaikan bantu-membantu hamba itu dipaksa untuk menuruti takdir. Oleh sebab itu, kalangan ini dikenal dengan Jabariyyah.
Keyakinan dua kelompok di atas yaitu doktrin yang salah sebagaimana ditunjukkan dalam banyak dalil. Di antaranya adalah firman Allah (yang artinya), “(adalah) bagi siapa di antara kau yang akan menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak mampu mengharapkan (menempuh jalan itu) kecuali jika diinginkan Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At Takwir [81]: 28-29). Ayat ini secara tegas membantah pendapat yang salah dari dua kalangan di atas. Pada ayat, “(yakni) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus” merupakan bantahan untuk jabariyyah karena pada ayat ini Allah menetapkan adanya kehendak (opsi) bagi hamba. Makara manusia tidaklah dipaksa dan mereka berkehendak sendiri. Kemudian pada ayat berikutnya, “Dan kau tidak dapat mengharapkan (menempuh jalan itu) kecuali jika diinginkan Allah, Tuhan semesta alam” merupakan bantahan untuk qodariyyah yang mengatakan bahwa kehendak manusia itu berdiri sendiri dan diciptakan oleh dirinya sendiri tanpa tergantung pada kehendak Allah. Ini perkataan yang salah alasannya pada ayat tersebut, Allah mengaitkan keinginanhamba dengan kehendak-Nya.
Keyakinan yang Benar Dalam Mengimani Takdir
Keyakinan yang benar yakni bahwa semua bentuk ketaatan, maksiat, kekufuran dan kerusakan terjadi dengan ketetapan Allah sebab tidak ada pencipta selain Dia. Semua tindakan hamba yang bagus maupun yang buruk yakni tergolong makhluk Allah. Dan hamba tidaklah dipaksa dalam setiap yang ia lakukan, bahkan hambalah yang memilih untuk melakukannya.
As Safariny menyampaikan, “Kesimpulannya bahwa mazhab ulama-ulama terdahulu (salaf) dan Ahlus Sunnah yang hakiki ialah meyakini bahwa Allah menciptakan kemampuan, kehendak, dan tindakan hamba. Dan hambalah yang menjadi pelaku perbuatan yang ia kerjakan secara hakiki. Dan Allah menyebabkan hamba selaku pelakunya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya), “Dan kamu tidak mampu menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila diinginkan Allah” (QS. At Takwir [81]: 29). Maka dalam ayat ini Allah menetapkan hasrathamba dan Allah mengabarkan bahwa kehendak hamba ini tidak terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. Inilah dalil yang tegas yang diseleksi oleh Ahlus Sunnah.”
Sebagian orang ada yang salah paham dalam mengerti takdir. Mereka menyangka bahwa seseorang yang mengimani takdir itu hanya pasrah tanpa melakukan sebab sama sekali. Contohnya adalah seseorang yang meninggalkan istrinya berhari-hari untuk berdakwah keluar kota. Kemudian dia tidak meninggalkan sedikit pun harta untuk kehidupan istri dan anaknya. Lalu dia menyampaikan, “Saya pasrah, biarkan Allah yang hendak memberi rizki pada mereka”. Sungguh ini ialah suatu kesalahan dalam mengerti takdir.
Ingatlah bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengimani takdir-Nya, di samping itu Allah juga memerintahkan kita untuk mengambil alasannya adalah dan melarang kita bersantai. Apabila kita sudah mengambil alasannya, tetapi kita menerima hasil yang sebaliknya, maka kita dihentikan berputus asa dan bersedih alasannya hal ini sudah menjadi takdir dan ketentuan Allah. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersemangatlah dalam hal yang bermanfaat bagimu. Dan minta tolonglah pada Allah dan janganlah malas. Apabila kau tertimpa sesuatu, janganlah kau berkata: ‘Seandainya aku berbuat demikian, pasti tidak akan begini atau begitu’, tetapi katakanlah: ‘Qodarollahu wa maa sya’a fa’al’ (Ini sudah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat apa yang diharapkan-Nya) karena ucapan’seandainya’ akan membuka (pintu) setan.” (HR. Muslim)
Buah Beriman Kepada Takdir
Di antara buah dari beriman terhadap takdir dan ketetapan Allah yakni hati menjadi tenang dan tidak pernah gundah dalam menjalani hidup ini. Seseorang yang mengenali bahwa petaka itu yaitu takdir Allah, maka beliau yakin bahwa hal itu pasti terjadi dan tidak mungkin seseorang pun lari darinya.
Dari Ubadah bin Shomit, dia pernah menyampaikan pada anaknya, “Engkau tidak dikatakan beriman terhadap Allah sampai engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang jelek dan engkau harus mengetahui bahwa apa saja yang hendak menimpamu tidak akan luput darimu dan apa saja yang luput darimu tidak akan menimpamu. Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takdir itu demikian. Barangsiapa yang mati dalam kondisi tidak beriman mirip ini, maka ia akan masuk neraka.” (Shohih. Lihat Silsilah Ash Shohihah no. 2439)
Maka apabila seseorang memahami takdir Allah dengan benar, tentu beliau akan menanggapi segala musibah yang ada dengan tenang. Hal ini niscaya berbeda dengan orang yang tidak beriman pada takdir dengan benar, yang sudah barang pasti akan merasa duka dan gusar dalam menghadapi musibah. Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk tabah dalam menghadapi segala cobaan yang ialah takdir Allah.
Ya Allah, kami meminta kepada-Mu nirwana serta perkataan dan amalan yang mendekatkan kami kepadanya. Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka serta perkataan dan amalan yang mampu mengirimkan kami kepadanya. Ya Allah, kami memohon kepada-Mu, jadikanlah semua takdir yang Engkau tetapkan bagi kami adalah baik. Amin Ya Mujibbad Da’awat.
Sumber Rujukan Utama:
[1] Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, Syaikh Fauzan Al Fauzan
[2] Syarh Al Aqidah Al Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin