I. PENDAHULUAN
Jangan melalaikan bagian dari negara kesatuan republik indonesia yang menyimpan banyak hal menarik. Hingga banyak peneliti ternama berusaha mengenali sejarah dan budaya yang ada. Contoh saja suku jawa dan segala peradaban yang meningkat di dalamnya. Namun asing, jika seseorang yang mengaku dirinya orang jawa merasa “pekewuh” jika dijadikan objek penelitian. Ada beberapa alasan yang fundamental, mengapa kita perlu mengenali budaya jawa.
Pertama, seperti modern ini yaitu keterasingan penduduk jawa kepada nilai-nilai yang ada pada jawa itu sendiri. Tidak wajar jikalau kita tahu perihal dunia yang luas ini dengan segala hiruk-pikuknya tetapi kita melewatkan kearifan dan kehalusan jawa.
Kedua, lebih bersifat teoritis, etika falsafi kala sekarang hampir secara pribadi dikembangkan pada latar belakang penghayatan moral, bukan penghayatan pada sebuah sistem dari yang cukup berlainan akan dapat menolong memecahkan duduk perkara pada kala kini.
Kepercayaan dan persepsi hidup orang jawa, ialah sebuah tema menarik yang perlu dikaji sebab menampung banyak hal yang kurang diperhatikan akan namun nilai persepsi hidup ini dianggap selaku kebudayaan aneh yang kita adopsi dari agama, suku atau bahkan bangsa lain.
Dalam masyarakat jawa lazimnya ada juga kebiasaan-kebiasaan yang sering dilaksanakan utamanya pada penduduk islam terutama. Hal ini tidak lepas dari peran agama yang di anut oleh masyarakat jawa itu sendiri, tradisi-tradisi itu di pertahankan sebab sudah terinternalisasi dari nenek moyang pada jaman dulu saat fatwa islam belum masuk.
II. RUMUSAN MASALAH
Untuk lebih memfokuskan pembahasan tema kali ini, maka kami buat rumusan dilema.
1. apa dan bagaimana iktikad orang jawa ?
2. ritual apa saja yang ada dalam masyarakat jawa ?
III. PEMBAHASAN
A. Kepercayaan Orang Jawa
“Kepercayaan” berasal dari kata “yakin” ialah gerakan hati dalam menerima sesuatu yang logis dan bukan logis tanpa sebuah beban atau keraguan sama sekali kepercayaan ini bersifat murni. Kata ini mempunyai kesamaan arti dengan akidah dan agama akan tetapi memiliki arti yang sangat luas.
Kepercayaan-doktrin dari agama hindu, budha, maupun doktrin dinamisme dan animisme itulah yang dalam proses perkembangan islam berinterelasi dengan akidah-iman dalam islam.[1]
“Orang Jawa” ialah orang yang berpenduduk orisinil jawa tengah dan jawa timur yang berbahasa jawa atau orang yang bahasa ibunya yaitu bahasa jawa.
Membahas perihal iman orang jawa sangatlah luas dan mencakup aneka macam faktor yang bersifat magic atau ghaib yang jauh dari jangkauan kekuatan dan kekuasaan mereka. Masyarakat jawa jauh sebelum agama-agama masuk, mereka sudah meyakini adanya dewa yang maha esa dengan banyak sekali istilah diantaranya yakni “gusti kang murbeng dumadi” atau ilahi yang maha kuasa yang dalam seluruh proses kehidupan orang jawa pada waktu itu selalu berorientasi pada tuhan yang maha esa. Jadi, orang jawa telah mengenal dan mengakui adanya tuhan jauh sebelum agama masuk ke jawa ribuan tahun yang lalu dan sudah menjadi tradisi hingga ketika ini yaitu agama kejawen yang merupakan tatanan “pugaraning urip” atau tatanan hidup berdasarkan pada budi pekerti yang luhur.
Keyakinan kepada tuhan yang maha esa pada tradisi jawa diwujudkan berdasarkan pada sesuatu yang kasatmata, riil atau kesunyatan yang kemudian direalisasikan pada sistem hidup dan hukum konkret dalam kehidupan penduduk jawa, supaya hidup selalu berjalan dengan baik dan bertanggung jawab
Kejawen yakni sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dibilang agama yang terutama yang dianut di pulau jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di jawa.
Agama kejawen bantu-membantu adalah nama suatu kalangan keyakinan-keyakinan yang mirip satu sama lain dan bukan sebuah agama yang teratur mirip agama islam atau agama kristen.
Ciri khas dari agama kejawen yaitu adanya perpaduan antara animisme, agama hindu dan budha. Namun dampak agama islam dan agama kristen. Nampak bahwa agama ini adalah suatu keyakinan sinkretisme.
Pengamatan Geetz ihwal mojokuto terkait profesi penduduk lokal. Penggolongan penduduk berdasarkan persepsi penduduk mojokuto menurut iman, profesi, etnis dan pandangan politik dan di temukannya tiga inti struktur sosial ialah desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan abangan, santri dan priyayi.
1. Varian Abangan
Struktur sosial desa biasanya diasosiasikan kepada para petani, pengrajin dan buruh kecil yang sarat dengan tradisi animisme upacara slametan, akidah kepada makhluk halus, tradisi pengobatan, sihir dan menunjuk kepada seluruh tradisi keagamaan abangan
Bagi sistem keagamaan jawa slametan, merupakan hasil tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja mendatangkan semua yang datang dan ruh yang gaib untuk menyanggupi setiap hajat orang atas suatu peristiwa yang ingin diperingati, ditebus atau dikuduskan.
Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan : 1) yang berkisar krisis kehidupan 2) yang berafiliasi dengan contoh hari besar islam namun mengikuti penanggalan jawa 3) yang terkait dengan intregasi desa 4) slametan untuk kejadian yang hebat yang ingin dislameti. Kesemuanya betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku social dan menimbulkan keseimbangan emosional individu karena telah dislameti.
2. Varian Santri
Mojokuto yang bangun pada pertengahan simpulan kurun ke-19, jamaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang biasa. Sementara mereka yang berisikan kelas pedagang dan banyak petani timbul dari utara jawa menimbulkan varian santri. Perbedaan yang menonjol antara abangan dan santri ialah bila abangan tidak acuh terhadap keyakinan dan kesengsem pada upacara. Sementara santri lebih memiliki perhatian kepada kepercayaan dan mengalahkan aspek ritual islam yang menipis.
Untuk mempertahankan doktrin santri, mereka mengembangkan teladan pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (teladan santri tradisional), adu dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik islam tradisional) dan sistem sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Kemudian memunculkan varian pendidikan gres dan upaya santri memasukan pelajaran doktrin padasekolah negeri.
3. Varian Priyayi
Dalam kebudayaan jawa, ungkapan priyayi atau berdarah biru merupakan satu kelas sosial yang mengacu terhadap golongan ningrat. Suatu golongan tertinggi dalam penduduk sebab mempunyai keturunan dari keluarga kerajaan.
Kelompok ini menunjuk pada bagian hinduisme lanjutan dari tradisi keraton hindu-jawa. Sebagai halnya keraton, maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan watak yang halus, seni tinggi dan mistisme intuitif dan kesempatansosialnya yang menyanggupi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.
Kepercayaan-iman religius para abangan merupakan adonan khas penyembahan bagian-komponen alamiah secara animis yang berakar dalam agama-agama hinduisme yang semuanya sudah ditumpangi oleh fatwa islam.[2]
B. Ritual Masyarakat Jawa
Sejak jaman permulaan islam, aneka macam tradisi-tradisi yang dibirkan berlanjut namun spirit (jiwa dan semangatnya) diubah atau diadaptasi dengan nilai-nilai islam, seperti sistem perkawinan masyarakat Arab pra-islam banyak yang dilestarikan sekaligus diislamkan bab pada dasarnya. Ini yang oleh sementara hebat antrophologi budaya disebut selaku “islamisasi tradisi” atau “islamisasi budaya”[3]
Dalam masyarakat jawa ada ritual atau tradisi yang dipertahankan misalnya dalam agama islam sendiri terdapat tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, haul dan sebagainya. Kegiatan tersebut tidak lepas dari dogma-iktikad yang dianut oleh sebagian masyarakat jawa utamanya masyarakat yang beragama islam.
Tahlilan di lingkungan masyarakat islam
Tahlil itu berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan, artinya membaca kalimah la ilaha illallah. Di penduduk jawa sendiri meningkat pengertian bahwa setiap ada konferensi yang ada di dalamnya dibaca kalimah itu biasanya dikerjakan di masjid, mushola, rumah, atau lapangan.
Ziarah kubur atau mendatangi makam
Kebiasaan yang masih banyak kita lihat dan masih dipertahankan oleh masyarakat islam jawa adalah ziarah kubur. Sudah menjadi pemandangan biasa di penduduk bila tidak kamis sore kadang jumat pagi.[4] Hal ini dikerjakan sebab sejak agama islam belum masuk ke jawa penduduk jawa pun melaksanakan ziarah kubur namun masih dalam kepercayaan hindu-budha.
Haul
Kata “haul” berasal dari bahasa Arab, artinya setahun. Peringatan haul bermakna perayaan genap satu tahun. Biasanya peringatan-peringatan seperti ini kebanyakan dilaksanakan oleh penduduk islam jawa, gema haul akan lebih terasa dahsyat apabila yang meninggal itu seorang tokoh kharismatik, ulama besar atau pendiri suatu pesantren. Rangkaian acaranya umumnya dapat beraneka ragam , adapengajian, tahlil akbar, mujahadah, musyawarah.[5]
IV. KESIMPULAN
Sebelum agama-agama masuk beribu-ribu tahun lalu orang jawa mempercayai adanya ilahi yang diwujudkan lewat hal-hal yang nyata yang disebut agama kejawen ialah perpaduan antara animisme, agama hindu dan budha. Namun efek agama islam dan agama kristen, nampak agama ini adalah sebuah kepercayaan sinkretisme.
Secara garis besar, orang jawa memiliki tujuan yang sama yaitu meraih kebahagiaan lahir dan batin lewat tepo seliro, unggah ungguhnya, menghormati orang lain dan selalu hidup berdampingan demi tercapainya tatanan penduduk yang serasi.
V. PENUTUP
Demikianlah makalah ini sukses kami susun dengan segenap pemberian dari berbagai pihak, namun tentu masih banyak kelemahan yang perlu adanya sumbangsih dari sahabat-sahabat seperjuangan. Terima kasih kiranya kami ucapkan atas segala partisipasinya sobat-teman demi menambah wawasan dan pembuka wacana baru bagi kita semua.
Amin.
DAFTAR PUSTAKA
- Astianto, Meni, Filsafat Jawa, Yogyakarta: Warta Pusaka, 2006
- Fattah, Abdul, Tradisi Orang-Orang NU, Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2006.
- Hasan, Tholhah, Aswaja Dalam presepsi Dan Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press, 2003.
- Jamil, Abdul dkk, Islam & Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2002.
- Muchtarom, Zaini, Islam Di Jawa Dalam Perspektif Santri Dan Abangan, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.
[1] H. ridin sofwan, Islam & Kebudayaan Jawa. Hal. 123
[2] Zaini Muchtarom, Islam di Jwa dalam Perspektif Santri dan Abangan. Hal,57
[3] Muhammad Tholhah Hasan, Aswaja Dalam Presepsi Dan Tradisi NU. Hal,210
[4] H. Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-Orang NU. Hal,184
[5] Ibid.,hal,270