Viral di media sosial, laporan pemberian penanganan covid-19 dr sebuah partai politik. Setelah sebelumnya selama sekitar dua bulan foto-foto baksos & penyerahan pertolongan dr partai yg sama berseliweran di lini masa.
Banyak yg suka, mengapresiasi & men-share di akunnya. Mayoritasnya tak kaget karena memang pelayanan itu bukan hal yg baru. Namun ada pula yg mencibirnya. Ada yg menyebutnya riya’. Ada yg mengatakan pencitraan. Ada yg menganggap cuma upaya mencari bunyi.
Daftar Isi
Penyebab Menuduh Tidak Ikhlas
“Itu nggak nrimo, cuma untuk mencari suara.”
“Di dunia politik nggak ada yg tulus lapang dada, semua ada motifnya.”
Saya memaklumi orang yg menyampaikan demikian. Pertama, mungkin itu refleksi pengalamannya. Tatkala ia berbuat baik, senantiasa ingin mendapatkan imbalan. Tak mampu tulus. Tak mampu ikhlas. Maka siapa saja ia tuduh seperti dirinya; tak mungkin nrimo.
Jika ia biasa berbuat baik sebab mengharap ridha Allah, saya percaya ia mampu menyadari bahwa banyak orang mirip dirinya. Berbuat baik alasannya mengharap ridha Allah. Ataukah ia berpikir hanya dirinya yg mampu nrimo sedangkan orang lain tak bisa? Ini justru lebih bahaya. Masuk bab kesombongan. Takabbur.
Kedua, mungkin ia cacat pemahaman tentang politik. Ia menilai semua politik itu kotor. Mungkin alasannya ia tak pernah mencar ilmu politik Islam. Tidak pernah membaca Siyasah Syar’iyah. Tidak pernah tahu bagaimana Rasulullah, khulafaur rasyidin & para pemimpin Islam berpolitik.
Sebaik apa pun orang kalau masuk dunia politik dianggapnya kotor. Tak mampu lagi ikhlas sebagaimana orang ormas. Tak mampu lagi tulus mirip aktifis dakwah kampus.
Dalam tazkiyatun nafs, penyebab pertama itu diketahui dgn perumpamaan penyakit syahwat. Penyebab kedua dikenal dgn penyakit syubhat. Semua penyakit hati tak akan lepas dr dua penyebab ini.
Serahkan Niatnya pada Allah
Islam mengajarkan supaya kita menilai orang lain dr dhahirnya. Sebab kita tak bisa mengenali hatinya. Dalam Riyadhush Shalihin, Imam Nawawi rahimahullah membuat bab tersendiri, “Menjalankan hukum-aturan kepada manusia berdasarkan lahiriyahnya. Sedangkan keadaan hati mereka diserahkan pada Allah Ta’ala.”
Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu pernah diutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke kawasan Huraqah untuk berperang dgn suku Juhainah.
Ketika perang meletus, Usamah & seorang Anshar berhadapan dgn seorang laki-laki Juhainah. Tiba-tiba lali-laki itu mengucapkan laa ilaaha illallah. Orang Anshar tersebut menahan diri dr membunuhnya, namun Usamah menusuknya dgn tombak.
Ketika mendengar peristiwa itu, Rasulullah marah pada Usamah. “Bukankah ia sudah mengucapkan laa ilaaha illallah, kenapa kau-sekalian membunuhnya?”
“Wahai Rasulullah, ia mengucapkan itu semata-mata alasannya adalah takut senjata.”
“Mengapa kamu-sekalian tak belah saja hatinya sampai kau-sekalian mampu mengetahui, apakah ia mengucapkannya sebab takut saja atau tidak?”
Usamah sungguh menyesal. “Rasulullah mengulang-ulang ucapan tersebut sampai gue berharap seandainya gue masuk Islam hari itu saja,” kata Usamah tatkala meriwayatkan hadits itu.
Kita tak tahu hati seseorang. Karenanya kita cukup melihat lahiriyahnya saja. Jika seseorang atau sebuah institusi berbuat baik, jangan menuduhnya tak ikhlas. Apalagi jika seseorang atau institusi itu sudah biasa melakukan kebaikan-kebaikan itu.
Serahkan niatnya pada Allah. Karena apapun niatnya, ia akan menerima balasan sebagaimana yg ia niatkan.
Mukmin Bisa Ikhlas di Dunia Apapun
Saya termasuk orang yg percaya, seorang mukmin bisa ikhlas di dunia apa pun. Baik di dunia keluarga sebagai seorang suami atau ayah. Di dunia ekonomi selaku pedagang atau pebisnis. Di dunia kepenulisan sebagai penulis. Termasuk di dunia politik selaku politisi.
Saya tergolong orang yg percaya, seorang mukmin bisa tulus di dunia apa pun. Sebab ia terikat dgn perintah Allah: “…Dan janganlah ananda membelanjakan sesuatu melainkan alasannya mencari keridhaan Allah…” (QS. Al Baqarah: 272)
Tapi kenapa diumumkan bantuannya? Hingga orang-orang tahu jumlahnya puluhan milyar? Kita berbaik sangka, pertama, itu dlm rangka keterbukaan & akuntabilitas. Sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban publik.
Dari sahabat yg menjadi bendahara biasa di suatu DPD, saya tahu mereka tak asal tulis jumlah. Mereka sungguh-sungguh rapi pelaporannya & siap diaudit. Dan itu yg membuat orang percaya untuk menyalurkan sumbangan.
Akhir Ramadhan kemarin, seorang pengusaha di daerah saya menyumbang Rp 10 juta untuk pengadaan kendaraan beroda empat layanan partai tersebut. Pengusaha itu bukan pengurus & bukan kader, tetapi ia percaya dgn partai tersebut. Pasti amanah, tak akan dikorupsi.
Kedua, dgn diumumkan, bisa jadi itu fasilitas untuk mengajak orang lain berbuat kebaikan. Bukankah mengajak orang lain bersedekah akan menerima pahala sebagaimana pahala orang yg bersedekah tanpa menghemat pahala orang itu sedikitpun? Dan bukankah dgn semakin banyaknya infak, manfaat pinjaman akan makin luas & bertambah banyak orang teringankan bebannya?
Tak hanya itu, ia pula menjadi sarana fastabiqul khairat. Partai politik lain pun kesannya ikut berlomba-kontes menolong penanganan covid-19. Bukankah semakin banyak yg berbuat baik akan makin baik? Bukankah jauh lebih baik partai politik menolong rakyat dibandingkan dengan mengkhianati & menyengsarakan rakyat?
Dan yg perlu dikenali, tak semua sumbangan orang politik dicatat di laporan itu. Mengapa demikian? Karena saya sendiri menjadi saksi. 17 Ramadhan kemarin, seorang usahawan & istrinya tiba ke tempat tinggal. Ia menyerahkan tas kantong yg ternyata isinya duit Rp 50 juta. Bagian dr zakatnya untuk para dai, terutama yg terdampak covid-19.
Tak hanya itu. Saat seorang ustazah menceritakan kondisi binaannya yg tak punya lauk untuk berbuka, pasangan suami istri yg pula kader partai tersebut langsung gesit memperlihatkan pinjaman sembako. Bukan hanya untuk satu keluarga tetapi untuk puluhan keluarga di tempat itu. Yang seperti ini tak pernah dipublikasikan, pula tak dimasukkan dlm laporan. Mungkin dia pula tak suka kalau diceritakan. Lalu, masihkah ada yg menuduh tak ikhlas? [Muchlisin BK/Wargamasyarakat]