Beberapa hari ini gue mencicipi berulang kali napas berat menghantuiku. Rasanya, sungguh tak mengenakkan. Pahit. Aku melongok keluar jendela & melihat langit. Aku tersenyum. Seandainya langit seirama dgn situasi hati penduduk desa ini, pastinya tak akan ada matahari, awan, & langit biru. Terkadang, ada yg ingin gue tanyakan pada Dia, kenapa ia hingga hati mendamparkanku ke desa aneh ini?
Suara pintu terbuka.
“Sudah pulang, Bang?” tanyaku sambil menemani duduk di sampingnya.
Bang Isa tak menjawab. Air wajahnya betul-betul tak menandakan bahwa ia senang. Ya, paling tak ini yakni pemandangan yg senantiasa gue lihat dlm dua bulan terakhir.
“Bagaimana nasi yg kamu masak?” tanya Bang Isa bernada frustasi.
Aku terdiam sejenak. Jujur, gue malas membalas pertanyaannya. Tapi, balasannya gue tersenyum juga. Akhirnya gue menjawab juga. “Bagus. Tidak kedaluwarsa.”
Bang Isa menarik napas panjangnya. Senyumnya mengembang sedikit.
“Sepertinya, tak akan ada kejadian hari ini.”
Aku hanya mengamini.
Apa yg mampu kukatakan. Pada mulanya ini bukanlah desaku. Aku berada di desa ini gres setengah tahun tatkala gue menikah dgn Bang Isa. Siapa sangka, desa ini berlainan dgn apa yg gue terka saat pertama kali menginjak tanahnya. Desa ini asri dgn perkebunan-perkebunan milik penduduk desa yg bersungguh-sungguh tersenyum. Benar. Mereka pula sering mengirimiku & Bang Isa buah & sayuran dr hasil perkebunan mereka. Kala itu, Bang Isa pula masih dapat tertawa ramah. Rajin tersenyum pula mirip mereka.
Desa benar-benar berubah sejak ada nasi busuk & akhir hayat seorang guru yg dikenal baik hati. Aku memang pernah mendengar bahwa tatkala ada seseorang yg menanak nasi, kemudian nasi yg dimasaknya datang-datang menjadi bau. Maka, akan ada orang akrab yg meninggal. Namun, untuk perkara di desa ini, setiap ada nasi basi maka akan ada orang baik yg meninggal.
“Apa itu?”
Aku menengok spontan ke arah salah satu pedagang buah.
“Kau meminimalkan takarannya, Mang!” seru seorang ibu sambil membentak seorang pedagang buah yg terlihat mirip meminimalkan dosis timbangan buahnya.
Aku memandang pedagang buahnya. Luar biasa. Tidak ada urat menyesal atau takut sedikitpun di wajahnya. “Mau beli atau tidak? Saya cuma sedikit tak baik kepadamu,”
Aku melangkah pergi dr mereka berdua. Aku tak mau mengenali bagaimana kelanjutannya. Beginilah. Bukannya berlomba-lomba menjadi orang baik, tapi justru sebaliknya. Mereka tak mau menjadi tanda dr nasi kedaluwarsa berikutnya.
Kemudian, gue berhenti pada penjualbuah yg lain. Ia ialah seorang nenek yg renta renta.
“Nek, beli jeruk sekilo.”
Nenek bau tanah itu eksklusif menimbangnya. Aku membisu-diam mengamati. Tidak ada gejala kecurangan pada takaran timbangannya.
“Ada lagi, Cu?”
Aku menggeleng singkat.
“Ini untukmu,” kata nenek itu sambil menyerahkan setandan pisang.
“Untuk saya, Nek?” tanyaku ragu.
Setelah ia mengangguk, tak ada opsi selain menerimanya & berterima kasih. “Nenek sangat baik. Sekali lagi terima kasih.”
Ucapanku kali ini membuatnya tenang.
“Apa menurutmu Nenek baik, Cu?” Nenek itu menata susunan jeruk-jeruknya. “Tidak seperti yg lain, Nenek tak takut mati. Umur Nenek sudah nyaris delapan puluh tahun. Sudah patut mati. Setiap kali ada penduduk yg nasinya busuk, berharap itu tanda untuk Nenek, tetapi ternyata bukan.”
Aku terdiam. Ada pula orang yg seperti dirinya.
“Setiap orang pasti mati dgn atau tanpa mengambarkan nasi busuk. Jika Nenek bertahan mirip ini, ia akan menilai Nenek selaku orang baik,”
Nenek itu tersenyum. “Kau sepertinya tak takut menjadi orang baik. Apa kau pula ingin menjadi tanda nasi basi?”
Aku kagetdgn perkataan nenek itu. Sekali lagi, gue tak menamatkan penggalan ini. Aku hanya tersenyum kemudian pulang dgn membawa tomat & setandan pisang.
Aku tak terpengaruh dgn nasi kedaluwarsa itu. Sungguh?
Bang Isa pulang sesudah melayat ke rumah penduduk desa yg meninggal yg sebelumnya didahului adanya nasi bau oleh penduduk desa yg lain. Ia menatapku risau. Bang Isa seperti memikul beban berton-ton di atas pundaknya. Itu alasannya ia merasa bertanggung jawab sebagai kepala desa. Tapi, sekali lagi, itu bukanlah kewenangannya mengontrol permainan-Nya. Kekuasaan-Nya lebih jago. Hanya saja, kenapa ia mempermainkan fikiran & perasaan setiap orang mirip ini terhadap kematian & kehidupan?
“Apa desa ini harus dijual? Desa ini sudah dikutuk.”
Aku tak berkomentar.
Ya. Aku tak tahu. Tidak ada yg lebih tepat dr diam. Ini permainan-Nya & doaku yaitu supaya ia menghentikan permainan-Nya. Tatkala semuanya berhenti, Bang Isa akan menjadi orang yg dahulu gue kagumi yg tekun melantunkan ayat suci, yg wajah purnamanya bersinar alasannya bersungguh-sungguh berwudhu.
Seminggu berlalu, tak ada nasi penduduk yg diolah kemudian menjadi busuk. Namun, mereka percaya bahwa hal itu terjadi alasannya adalah sudah tak ada orang baik di desa ini. Iya. Penduduk desa menjadi orang-orang berwatak keras & bernafsu. Pencurian hasil kebun penduduk menjadi marak dilaksanakan oleh orang-orang desa ini sendiri. Sebab itu, banyak penduduk desa karam dlm kelaparan & kemiskinan. Sedangkan Bang Isa, ia justru bertambah resah alasannya adalah desanya menjadi desa kriminal & miskin.
“Kau mau ke mana, Ni? Di luar berbahaya.”
“Kemarin. kebun tetangga kita kecurian, Bang. Mereka mungkin sedang kesusahan.”
Bang Isa menggeleng.
“Mereka pernah memberi kita jagung rebus yg manis, Bang. Aku ingat, kau sungguh menyukainya.”
Bang Isa terdiam & terpaku di tempatnya.
“Bang, nasi busuk itu, kenapa tak menjadi tanda bagiku? Apa gue tak cukup baik?”
“Apa maksudmu? Jangan bicara yg abnormal-asing.”
Aku tersenyum simpul. “Bang, sejak ada kasus nasi kedaluwarsa itu, seluruhnya sedikit demi sedikit melepaskan jubah kebaikan. Mereka lupa kalau sebuah ketika semuanya pasti mati. Dan, yg bersama-Nya justru hanyalah orang-orang yg baik. Nasi kedaluwarsa yg bergulir sambung-menyambung seakan-akan mempermainkan kematian kita. Tapi, itu tak lain hanyalah terapi untuk menguji kita, Bang.”
Bang Isa menggenggam tanganku. Erat. Seperti anak yg cemas.
“Lalu. Lalu, apa yg harus gue lakukan, Ni?”
Kemudian, di dikala banyak penduduk desa mengikuti permainan-Nya, gue & Bang Isa mulai melawan alur permainan. Kami mulai membangun kembali keramahan desa ini dgn membantu tetangga & orang-orang yg hasil kebunnya dicuri. Kami tak menciptakan mereka semoga kembali ramah & tersenyum mirip dulu. Tapi, mereka melaksanakan itu atas kemauan sendiri sebab melihat kami ramah & tersenyum. Jelas, setiap orang di desa ini merindukan untuk tersenyum & berbuat baik seperti dulu. Sebelum masalah nasi bau memuncaki iman mereka.
Jubah kebaikan orang-orang desa ini mulai digunakan lagi setahap demi setahap. Uluran tangan yg satu ke tangan yg memerlukan yg lain, begitu seterusnya, menciptakan kebaikan merebak dgn gampang, mirip teralirkan angin. Pencurian pun memudar dgn sendirinya alasannya terkalahkan oleh kebaikan penduduk desa yg lain. Atau, sebab mereka yg melaksanakan pencurian lelah untuk menyakiti penduduk desa yg tinggal bareng mereka. Mungkin pula sebab mereka yakni orang baik. Hanya, alasannya adalah tak ingin menjadi tanda bagi nasi kedaluwarsa, mereka mengelak dgn tak menjadi orang baik. Lama-lama, mereka letih dgn tak menjadi diri mereka.
Begitu pula dgn Bang Isa. Ia kembali.
“Alhamdulillah. Desa ini, kembali seperti dulu Ni,” ucap Bang Isa semringah.
Aku mengangguk singkat sambil menyiapkan lauk pauk untuk sarapan.
“Tapi Ni, tatkala siapa pun kembali menjadi orang baik, kalau ada pertanda lagi. Bagaimana?”
Aku membuka tutup penanak nasi. Aku terdiam sesaat. Lalu gue tersenyum simpul.
“Berarti, kita harus terus & lebih menjadi orang yg baik. Waktu sebagai manusia memang terbatas & ia memberi mengambarkan. Tidak ada yg salah, Bang.”
Aku menengok ke arah Bang Isa yg membalas pernyataanku dgn senyumnya. Aku kembali mempesona napas panjang. Bagaimana tidak, gue melihat nasi basi di hadapanku.
Lagi-lagi, gue tak menamatkan serpihan ini. (*)