Menjadi anak kesembilan dari 14 bersaudara adalah anugerah yg terindah dari Sang Penyayg. Namun di ketika usiaku menjelang 20 tahun, keputusan besar yg hendak kuambil membalikkan kehidupanku.
Aku terlahir dari keluarga yg cukup mampu di desaku. Bahkan bundaku menyediakan seorang tangan kanan rumah tangga untuk setiap anaknya. Ayah bundaku seorang penjualyg cukup berhasil saat itu.
Namun Allah SWT memberi ujian yg cukup berat. Di dikala aku ingin meneruskan sekolahku, tepat sesudah lulus SMEA ternyata ayahku mengalami kebangkrutan. Satu per satu sawah yg dimiliki ayahku habis terjual untuk membiayai keluarga kami.
Untuk meringankan beban hidup keluarga, maka ayah memberi pilihan kepadaku untuk menuntaskan periode lajangku. Aku berusaha taat pada perintah orang tuaku, aku tak mau membuat ayah duka & berusaha meringankan beban beliau. Maka saya bersedia untuk menikah.
Kali ini yg agak berat yakni calon suamiku adalah opsi ayahku, sementara aku telah punya opsi sobat dekat ketika itu. Karena sekali lagi saya tak ingin mengecewakan ayahku, maka aku terima perjodohan ini dgn niat beribadah. Birrul walidain.
Dua insan insan bertemu dgn latar belakang yg sungguh berlainan bagai langit & sumur. Calon suamiku berselisih sepuluh tahun dari aku, berasal dari keluarga yg tak bisa, bahkan kalau boleh dikatakan sangat tak bisa.
Ketika semua kelima kakakku dikumpulkan oleh ayahku, untuk dimintai masukan terkait dgn perjodohanku, maka salah satu abang laki-laki memberi argumentasi mengapa dia baiklah.
“Ayah. Saya selaku abang sungguh baiklah jikalau adik Ami ini menikah dgn Amir opsi ayah. Dahulu sekali saat Amir masih usia 13 tahun pernah melakukan sesuatu yg berdasarkan saya, dia ialah seorang yg sangat bertanggung jawab & jujur. Saat itu Amir se&g bermain bola bersama sahabat-temannya di halaman rumah kami. Tiba-tiba alasannya ten&gan bolanya maka salah satu kaca jendela kami pecah”
“Sementara belum dewasa lainnya berlari ketakutan, Amir justru mendekat, menemui kami pemilik rumah itu & meminta maaf bahkan sanggup mengganti kaca itu dgn rentang waktu tertentu karena kekurangan finansial”
Maka akhirnya saya menikah dgn pilihan ayahku atas kesepakatan kakak-kakakku.
Ketika aku harus mengikuti suami pindah ke kota lain & mendiami rumah yg sudah dibeli suami ketika sebelum kami menikah, saya cukup kaget, sekaligus duka. Rumah ini berlantai tanah & berdinding anyaman bambu. Benar-benar berbeda 180 derajat dgn rumah ayahku yg luas serta berhias dinding ukiran jati.
Hampir saja aku memutuskan untuk pulang saja ke rumah orang tuaku, andai saja pesan ayahku tak kuperhatikan.
“Kelak jikalau kamu menikah maka taatilah perintah suamimu, ikuti semua keinginannya walau harus bertempat tinggal di lubang rumah semut”
Ayah saya ingin taat kepadamu; dulu, kini & hingga kematian memisahkan kita. [DwiKap, menjelang 50 tahun ijab kabul bapak ibuku tersayg]
***
Bersambung ke
Akhirnya Aku Mencintai Suami Pilihan Ayahku
***