Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta Alam Kepada-Nya kita memohon bantuan dan berlindung dari segala kejahatan dan keburukan yang bersumber dari hawa nafsu. Shalawat serta salam supaya selalu dilimpahkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, kepada kelaurg, para teman dan setiap orang yang mengikuti risalah ia sampai hari akhir.
Kisah berikut ini yaitu penuturan dari imam Abu Hanifah. Pada zaman itu ada seorang ilmuwan besar yang sungguh terkenal. Sayangnya, ilmuwan berkebangsaan Romawi ini seorang ateis dan menolak mentah-mentah eksistensi Tuhan.
Ketika itu para ulama membisu saja dan tidak berupaya untuk menyadarkan si ilmuwan. Tentu saja tidak semua ulama diam, masih ada yang peduli dengan keberadaan tersebut. Hal ini bisa berbahaya jikalau membiarkan si ilmuwan mepengaruhi dogma umat. Ulama yang dimaksud ialah guru Abu Hanifah yang berjulukan Hammad.
Pada sebuah hari, orang-orang telah berkumpul di sebuah masjid. Si ilmuwan naik ke mimbar dan menantang siapa saja yang akan berdebat dengannya. Ada maksud tersembunyi di balik tantangan itu. Sesungguhnya beliau berniat menjatuhkan para ulama dengan argumen-argumen yang rasional.
Si ilmuwan kian congkak apalgi sesudah tantangannya tak bersambut. Dia menduga semua ulama itu pengecut sehingga tidak ada seorang pun yang berani menyambut tantangannya. Hal ini diperkuat dengan situasi di dalam masjid yang datang-tiba hening. Beberapa orang saling pandang, ada pula yang mengarahkan persepsi ke kawasan paling depan kawasan beberapa ulama duduk.
Sang perjaka menanti usang. Setelah yakin tak ada yang mau maju, barulah beliau bangun dan melangkah menuju mimbar.
“Saya Abu Hanifah, siap berdebat dengan anda,” Kata sang pemuda sambil memperkenalkan diri.
Semua mata pengunjung tertuju ke arah Abu Hanifah. mereka merasa heran melihat keberanian sang perjaka. Beberapa orang mengatakan salut kepada Abu Hanifah, si ilmuwan sendiri merasa heran menyaksikan keberanian Abu Hanifah. Akan namun pada umumnya hadirin bersikap sinis terhadap Abu Hanifah dan menyepelekan kemampuannya. Ada pula ysng mempertanyakan motif Abu Hanifah tampil ke depan. Apakah sekedar asal tampil, membuat sensasi atau mencari popularitas.
Wajah abu hanifah tetap damai. Beliau tidak terpengaruh oleh aneka macam bisikan yang ada, tergolong yang bernada miring sekalipun. Sikap Abu Hanifah sangat rendah hati. Dia menahan diri untuk mengatakan karena merasa masih terlalu muda, sementara di dalam masjid masih ada beberapa ulama senior. Dia sendiri berharap ada seorang ulama senior yang mau meladeni tantangan si ilmuwan. Sayang tidak ada seorangpun dari mereka yang akan naik ke mimbar.
‘Silahkan anda yang memulai,”ujar Abu Hanifah mempersilahkan dengan sopan.
“Tahun berapa Tuhan kamu dilahirkan?” tanya si ilmuwan.
“Allah tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan,”jawab Abu Hanifah.
“hmm, masuk akal jika dibilang Allah tidak melahirkan dan tidak pula dilahirkan. Lalu pada tahun berapa Dia ada?”
“Dia ada sebelum segala sesuatu ada,”tegas ABu Hanifah.
“Bisa diberikan pola konkret perihal hal ini?”
“Anda tau tentang perhitungan?” Abu Hanifah balik bertanya.
“Iya, aku tahu.”
“Angka berapa sebelum angka satu?”
“Tidak ada angka lain yang mendahului angka satu. Lalu mengapa anda gundah bahwa sebelum Allah itu tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Nya?”
“Baiklah. Sekarang, dimanakah Allah berada? Sesuatu yang berwujud niscaya membutuhkan tempat, bukan?” lanjut si ilmuwan.
“Anda tahu bentuk susu?” tanya Abu Hanifah.
“Iya, aku tahu,” jawab si ilmuwan.
“Apakah di dalam susu itu terdapat keju?”
“Ya, pasti”
“Kalau begitu, coba perlihatkan di mana tempat keju itu sekarang?”
“Jelas tidak ada tempat khusus. Keju itu bercampur dengan susu di seluruh bagiannya,” Jawab si ilmuwan dengan semangat.
“Nah, keju saja tidak mempunyai kawasan khusus di dalam susu. Tidak sepatutnya Anda meminta saya untuk memperlihatkan tempat Allah berada.”
“Tolong jelaskan Dzat Allah. APakah wujud Allah itu benda padat seperti watu, benda cair mirip susu, ataukah mirip gas?”
“Anda pernah mendampingi orang sakit yang akan meninggal dunia?”
“Pernah.”
“Awalnya, orang sakit itu bisa mengatakan dan mampu menggerakkan anggota badannya, bukan?”
“Ya, memang demikian halnya.”
“Tetapi, kenapa tiba-datang orang sakit itu diam tidak bergerak? Apa yang menyebabkan hal itu?”
“Jelas itu alasannya adalah ruh orang tersebut telah berpisah dari tubuhnya.”
“Sewaktu ruh itu keluar, apakah anda masih berada disana?”
“Saya masih disana.”
“coba Jelaskan, apakah ruh orang tersebut benda padat, cair atau gas?”
Wah, bila itu saya tidak tahu.”
“Anda sendiri tidak dapat membuktikan bentuk ruh, terlebih aku mesti menunjukan Dzat Allah yang menciptakan ruh.”
“Lazimnya, sesuatu itu memiliki arah. Kemanakah Allah menghadap wajah-Nya kini? tanya si ilmuwan lagi.
“Apabila anda menyalakan lampu, ke arah manakah cahaya lampu itu menghadap?”
“Cahayanya menghadap ke semua arah.”
“Lampu yang buatan insan saja seperti itu apalagi dengan Allah Sang Pencipta alam semesta. Allah adalah cahaya langit dan bumi.”
“Ada awal dan ada simpulan. Seorang masuk surga itu ada awalnya, tetapi kenapa tidak ada akibatnya? mengapa nirwana dan para penghuninya itu infinit infinit?” kata si ilmuwan melanjutkan pertanyaanya.
“Untuk hal itu, anda bisa membandingkannya dengan perhitungan angka. Angka itu ada mulanya, namun tidak ada hasilnya.”
“Terus bagaimana pula para penghuni nirwana itu makan dan minum tanpa buang hajat?
“Ini pernah anda alami ketika di dalam rahim ibu. Selama sembilan bulan anda makan dan minum tanpa pernah buang hajat. ANda baru baung air besar dan buang air kecil beberpa saat sehabis terlahir ke dunia.”
“Tolong jelaskan, bagaimana kenikmatan surga itu mampu terus meningkat tanpa ada habisnya!”
“Ada banyak hal semacam itu di dunia. Misalnya ilmu. Ilmu tidak akan habis atau berkurang saat dimanfaatkan, malah kian bertambah.”
“Jika segala sesuatu sudah ditakdirkan sebelum diciptakan, kemudian apa pekerjaan Allah sekarang?”
“Sejak tadi anda menjawab pertanyaan dari atas mimbar, sedangkan saya hanya menjawab dari atas lantai masjid ini. Kali ini untuk menjawab pertanyaan anda, aku mohon anda turun dari mimbar. Saya akan menjawab pertanyaan anda tasi dari mimbar.”
Kemudian si ilmuwan turun dari mimbar sementara itu Abu Hanifah naik ke mimbar.
“Saudara-kerabat, dari atas mimbar ini aku akan menjawab pertanyaan tadi. Bisa anda ulangi pertanyaannya?” tutur Abu Hanifah sesudah berada di atas mimbar masjid.
‘Apakah pekerjaan Allah kini?” kata si ilmuwan menyebutkan inti pertanyaannya.
“Pekerjaan Allah tentu saja berlawanan dari pekerjaan Makhluk. Ada pekerjaanya yang bisa dijelaskan, dan ada pula yang tidak bisa dijelaskan. Pekerjaan Allah sekarang adalah menurunkan orang kafir mirip anda dari atas mimbar, kemudian menaikkan seorang Mukmin ke atasnya. Seperti itulah gambaran pekerjaan Allah setiap waktu.”
Akhirnya, hadirin yang berada di masjid merasa puas dengan balasan-jawaban Abu Hanifah. Jelas, lugas, tegas dan gampang dipahami bahkan oleh orang awam sekalipun.
Sumber : Buku “Like Father Like Son” Penulis Mohamad Zaka Al Farisi