Dari Balik Jendela | Cerpen Ahmad Sastra


Oleh: Ahmad Sastra


Hari-hari terus berlalu, melalui setiap kejadian & asa. Senja terus berubah meski tak selalu memberi arti bagi hati yg sudah mati. Mentari pagi terus berulang, menyapa jiwa-jiwa hamba nan hening. Tak terasa, Pak Mahmud sudah sepekan menghuni rumah pengobatan sederhana milik Abah Sudarma. Rumah bilik yg jauh dr perkampungan penduduk. Memasuki pintu gerbang yg sarat pepohonan, udara segar eksklusif menyambutnya. Apalagi, jikalau malam tiba, dgn penerangan sederhana, bilik Abah Sudarma terlihat bersahaja, tetapi sepi. Hanya sesekali nyanyian jangkrik memecah sunyi & rintihan sakit para pasien menyentuh hati.

Abah Sudarma, sosok bersahaja & rendah hati itu menghabiskan nyaris seluruh masa tuanya dgn memberikan pengobatan tradisional bagi pasien-pasien yg telah lanjut usia. Dengan hati nrimo & sabar tanpa berharap upah, Abah Sudarma tak pernah letih mengobati para pasien usia senja yg tak bermateri. Kebanyakan pasien yaitu mereka yg tak berkemampuan harta. Senyum senantiasa tampak dr tampang keriput Abah Sudarma setiap kali pasien menghampiri biliknya.

Saking sederhananya, bilik Abah Sudarma cuma mempunyai satu jendela menghadap ke belakang rumahnya. Meski begitu, bilik Abah tetap terasa sejuk sebab angin pagi bisa menelusur celah-celah bilik bambu yg menyebar di nyaris seluruh sudut biliknya. Di samping jendela ditaruh meja pasien yg sudah bisa duduk untuk menerima udara yg lebih banyak. Sebab, kebanyakan pasien cuma bisa terbaring lemah karena penyakit yg diderita & usia yg semakin senja.

*****


Dua orang pasien yg mempunyai penyakit serius menempati kamar yg sama di bilik pengobatan Abah Sudarma. Pasien yg satu, sebut namanya Pak Mahmud, & pasien lainnya, Pak Rahmat. Setiap menjelang siang, Pak Mahmud dibolehkan duduk selama satu jam supaya cairan yg ada di paru-parunya cepat hilang & tempat tidurnya terletak di sebelah jendela satu-satunya di kamar itu. Sedangkan, Pak Rahmad cuma dapat berbaring di atas punggungnya saban hari. Kedua pasien yg sudah berumur senja ini mengatakan tentang istri, keluarga, rumah tangga, pekerjaan masa kemudian, kondisi negara, & keterlibatan mereka dlm berbagai aktivitas di masyarakatnya sesudah keduanya telah memasuki masa pensiun.

Pak Mahmud adalah mantan satpam sebuah perusahaan milik asing yg bergerak di bidang penambangan minyak bumi. Sementara, Pak Rahmad adalah pensiunan PNS yg ditugaskan sebagai guru Sekolah Dasar di kawasan terpencil. Keduanya tak lagi mendapat jaminan hari renta yg memadai meski sekadar untuk memenuhi kebutuhan keluarga, terlebih untuk membiayai penyakitnya yg kian menjadi.

Setiap siang, tatkala Pak Mahmud yg bersahabat jendela duduk, ia menghabiskan waktunya bercerita pada Pak Rahmad, teman sekamarnya, ihwal semua yg beliau lihat dr balik jendela. Mendengar setiap cerita Pak Mahmud, hati Pak Rahmad selama satu jam hidup dlm dunia yg lebih luas & penuh kebahagiaan. Dunia yg selama ini beliau rindukan mampu beliau bayangkan dr setiap kata yg terucap dr Pak Mahmud.

  Jakarta Tidak Gemerlapan | Cerpen Seno Gumira Adjidarma

Indahnya bumi nan luas dr balik jendela gubuk Abah hanyut dlm perasaan & pikiran Pak Rahmat. Terbentang luas sawah-sawah dgn padi yg mulai menguning.

Rumah-rumah penduduk tertata sederhana, tapi indah berdiri berbaris di balik persawahan. Sungai kecil, jernih, mengalir memasuki celah-celah pematang sawah. Burung- burung kecil beterbangan di antara pepohonan yg berjajar mengelilingi persawahan.

Sesekali terlihat belum dewasa kampung berlarian bermain layang-layang di sepanjang pematang yg berkelok-kelok. Tampak para petani beristirahat memakan makanan di gubuk-gubuk kecil sambil menikmati semilir angin bertiup. Suasana yg sungguh dirindukan oleh Pak Rahmat pada hari tuanya, namun apa daya ketentuan Tuhan berkata lain. Pensiunan guru SD itu harus berbaring tak berdaya, tanpa harta & sebatang kara. dia bersyukur menerima kawan dekat yg gres dikenalnya, sudi menghibur dgn nrimo.

Meski terbata-bata & terkadang tak sistematis, setiap perumpamaan kisah Pak Mahmud mengalir tanpa beban. Energi ketulusan begitu besar lengan berkuasa berembus dr setiap kalimat dr lisan Pak Mahmud. Meski cuma mantan tukang parkir, kebaikan hatinya memberikan gairah & semangat hidup bagi Pak Rahmat yg kini usianya genap 65 tahun. Sementara, Pak Mahmud sendiri usianya telah nyaris mendekati 72 tahun. Meski usia sudah senja, tak tampak capek & unek-unek, tetapi semangat & optimisme terus mengalir dr verbal Pak Mahmud.

Gairah hidupnya mengalahkan usia senjanya. Energi inilah yg sudah menghidupkan kembali jiwa Pak Rahmat untuk secepatnya sembuh & menjalani sisa hidupnya lebih berarti & berkarya. Tebersit dlm angan, kelak jika telah sembuh, mantan guru bahasa Indonesia ini akan berkisah & bercerita untuk orang-orang di kampungnya supaya hidup mesti terus dijalani dgn optimisme meski ujian & ujian akan terus mendera. Sebab, ganjalan terbaik pun tak akan pernah menjadi penyelesaian atas permasalahan hidup. Meski hidup pada zaman kini semuanya serba mahal, pekerjaan sukar, pemerintah korup, kehidupan karut-marut, tapi lebih baik menyalakan lilin untuk menghalau gelap daripada menghardik gelap yg tak kunjung pergi.

Tak terasa air mata mengalir di pipi Pak Rahmat, terharu bercampur senang. Dengan memejamkan mata, membayangkan indahnya panorama di balik jendela itu, rasa sakit yg menderanya, perlahan menghilang seiring cerita yg terus mengalir dr ekspresi Pak Mahmud. Semangat & gairah hidup tumbuh kembali sesudah dua tahun ditinggal mati istri tercintanya.

*****

Suatu petang menjelang Maghrib, bacaan shalawat mengalun syahdu dr mushala nan jauh diujung desa. Belum sempat berucap, Pak Mahmud sudah terlebih dahulu menggambarkan apa yg terjadi di pamatang sawah kali ini. Seolah dia tahu bahwa Pak Rahmat begitu penasaran ingin segara menerima lanjutan cerita. Serombongan penduduk yg terdiri atas kaum bapak, ibu, & beberapa anak-anak dgn busana rapi berbaris memanjang menapaki pematang sawah menuju mushala tetangga desa untuk menunaikan shalat Maghrib berjamaah.

  Laki-laki yang Menyeret Sebuah Pintu | Cerpen Yudhi Herwibowo

Dengan obor kecil di depan & di belakang barisan, rombongan jamaah itu melangkah cepat dgn sesekali bercengkerama & tersenyum. Entah apa yg sedang mereka perbincangkan. Alangkah indahnya kalau kesehatan yg diberikan Allah dipakai untuk melangkah ke tempat tinggal Allah. Sebab, berapa banyak insan yg diberikan kesehatan justru dipakai untuk bermaksiat.

Mereka kurang mensyukuri kesehatan yg diberikan Allah kepadanya. Tak lupa, Pak Mahmud pula menggambarkan sinar mentari kemerahan menunjukan akan secepatnya meninggalkan bumi untuk selanjutnya malam akan segera tiba.

Sore itu merangkat begitu cepat. Setelah melaksanakan shalat Maghrib & Isya dgn dibantu oleh Pak Sudarma, pemilik bilik pengobatan, sayup-sayup bunyi Pak Mahmud menghilang menyisihkan senyum mengembang mengirimkan tidur Pak Rahmat. Malam itu, mata Pak Rahmat begitu berat hingga tertidur & lupa memberikan ucapan maaf & terima kasih pada Pak Mahmud sebagaimana senantiasa beliau kerjakan usai mendapat hiburan dongeng & kisah yg dituturkan oleh Pak Mahmud. Damai & bahagia tampak dr wajah Pak Rahmat dlm tidurnya malam itu. Sementara, di balik senyum pengirim tidur untuk Pak Rahmat, Pak Mahmud sedang menahan sakit yg tak terkira.

*****

Mentari pagi nyaris menyapa …

Tidak seperti biasanya, pagi itu tubuh Pak Rahmat begitu ringan & beberapa anggota tubuh sudah bisa digerakkan yg sebelumnya hampir sekujur tubuh tak bisa digerakkan. Seperti biasa, sehabis melakukan tayamum, Pak Rahmat melaksanakan shalat Subuh meski cuma dgn kedipan mata & sedikit gerakan tangan selaku tanda gerakan shalat. Seperti biasa juga, usai shalat Subuh, Pak Rahmat tak lupa menyapa sahabat baiknya yg sedang duduk lebih permulaan di meja tidur akrab jendela itu. Siapa lagi kalau bukan Pak Mahmud.

Namun, ada yg aneh pagi ini. Lelaki 72 tahun itu tak tampak duduk bersender di jendela. Tak tampak senyum menyambut setiap Pak Rahmat bangun tidur. Tak terdengar sapa “assalamualaikum, Saudaraku” yg terucap lembut dr mulutnya. Tak terdengar lantunan shalawat & zikir menemani terbitnya mentari pagi. Tak terlihat lagi guratan wajah tanda penuaan, namun higienis bercahaya itu. Bahkan, tak terdengar lagi ucapan yg senantiasa diucapkan “ada pemandangan mempesona dr balik jendela ini, dengarkan ya Pak Rahmat mudah-mudahan terhibur.”

  Jaket Ayah | Cerpen Eep Saefulloh Fatah

Sebelum semua teka-teki itu terjawab, masuklah Pak Sudarma mengabarkan bahwa tadi malam sekitar 24.00 WIB, Pak Mahmud telah meninggal dunia dgn damai & tadi sehabis shalat Subuh, jenazahnya sudah dimakamkan oleh keluarganya di kampung halaman. Karena khawatir terusik kesehatannya, Abah Sudarma sengaja tak membangunkan Pak Rahmat yg terlihat tidur lelap. Seketika, Pak Rahmat terbangun & duduk. Air mata kembali menetes di pipi untuk kedua kali. Sedih & rindu terasa besar lengan berkuasa di hati Pak Rahmat.

Namun, semua sudah berlalu. Sebagaimana pesan Pak Mahmud, hidup mesti tetap dijalani. Masalah mesti tetap dihadapi. Keadaan mesti tetap disikapi. Sebab, seberat ujian yg dihadapi, masih banyak orang yg tak lebih mujur dibandingkan diri kita. Kebahagiaan ialah saat mensyukuri deretan karunia yg Allah berikan, bukan saat mengharapkan apa yg tak dimiliki. Kata-kata itu begitu besar lengan berkuasa terngiang di telinga Pak Ramat.

Berkat motivasi dr Pak Mahmud, kini Pak Rahmat sudah bisa duduk & menggerakkan badannya. Betapa bahagianya bila dirinya pula bisa menyaksikan eksklusif indahnya pemandangan dr balik jendela bilik Abah Sudarma itu. Setelah minta izin, maka dgn dipapah, jadinya Pak Rahmat bisa berbaring di atas meja rawat bersahabat jendela yg sebelumnya ditempati oleh Pak Mahmud.

Dengan agak payah, hasilnya Pak Rahmat bisa pula mendekatkan kepalanya ke jendela sebab tak sabar ingin menyaksikan panorama indah di balik jendela itu. Betapa terkejutnya hati Pak Rahmat. Ternyata, dr balik jendela tak ada apa-apa kecuali sepetak ladang tak tergarap milik Abah Sudarma yg dipenuhi oleh rumput-rumput liar tak beraturan.

Kepada Abah Sudarma, Pak Rahmat bercerita panjang tentang apa yg telah dikerjakan Pak Mahmud kepadanya selama ini. Apa bahwasanya tujuan Pak Mahmud melaksanakan semua ini pada dirinya.

“Sebenarnya Pak Mahmud itu tak bisa melihat sama sekali. dia mengalami kebutaan setelah mengalami kecelakaan setahun setelah tak lagi bertugas selaku satpam, mungkin Pak Mahmud ingin membesarkan jiwa Pak Rahmat,” kata Abah.

“Mahabesar Allah, muliakan teman dekat terbaik hamba ya Allah,” batin Pak Rahmat.

Air mata kembali membasahi pipinya. (*)

Ahmad Sastra Peminat sastra Islam, ketua Forum Lingkar Pena Bogor Raya tahun 2000. Dosen literasi di pesantren mahasiswa Ulil Al baab Bogor. Telah menulis lebih dr 20 buku fiksi & nonfiksi.