Buku berjudul “Tata Cara Bernapas yg Salah” tertonggok lemas di dlm kardus lusuh. Sekali lengau hinggap di kardus dekil itu, rondah-rondih hancur mirip diguncang lindu. Setelah belasan tahun tak dijamah—berpuluh-puluh tahun, malah, buku itu betul-betul rindu belaian; kasih sayang & desis suara yg berinjit keluar dr sarang saat dibaca.
“Saya sudah terlalu bau tanah,” bab satu bernama Jangan Berhenti Bernapas memulai percakapan antar bab. Dari bagian ke bab, aneka macam tingkahnya: ada yg tersedu-sedu, ada yg tertawa tak jelas seperti gila, ada yg bermenung panjang. Intinya, ada-ada saja.
“Tidak hanya kakak pertama yg sudah renta. Saya pula menua. Api, lekaslah jadikan kami bara,” jawab bagian sembilan yg berjudul Mulai Bernapas.
“Mulai Bernapas, kita cuma menanti. Cepat atau lambat binasalah kita. Tak ada yg akan mengenang kita. Kita cuma benda gaek yg sudah dilupakan. Bahkan, bendoro tak pernah melirik kita,” sambung bagian enam yg bernama Menghirup Sebelum Melepas.
“Sebaiknya kita dibantai saja. Jangan dibakar. Api terlalu panas. Lebih baik anak bedil menembus jantung. Hamba tak ingin dibakar. Cukuplah sunyi yg membakar hati kita. Kita memang hanya sekumpulan karakter lawas yg menjadi kata. Kata yg menempel menjadi kalimat. Kalimat yg bertali menjadi alinea. Menjadi bab & berubah menjadi berupa buku. Kita memang sudah menjadi benda purba. Tapi, purba bukan berarti tak memiliki kegunaan,” taklimat bab lima yg berjulukan Selama Masih Bernapas.
Suasana jadi lengang. Semua bagian bersemadi, masuk dlm anggapan & jiwa masing-masing. Tepat target taklimat Selama Masih Bernapas tentang lantai sanubari setiap bagian. Panjang renungan. Kesenyapan beranak cucu; usang sangat. Bahana arloji laksana instrumen melankolis yg sengaja dihadirkan dr paruh era delapan belas. Beranak-pinaklah buah fikiran semua bab.
Lemari, pajangan dinding, & benda-benda lain di ruang sempit itu pun ikut larut dlm kesenyapan. Senyap, seperti kembali pada ketiadaan. Hanya bahana arloji yg merajai senyap. Karena cuma ia yg tetap bersuara; menyayat-nyayat & sarat irama untuk mengenang masa kejatuhan bulan.
Dulu, buku Tata Cara Bernapas yg Salah ialah mahadewa yg dipuja. Bahan bacaan sakti mandraguna yg setiap bab di dalamnya adalah ilmu yg bermakna maharaja dr segala raja ilmu. Setiap jiwa yg membaca buku itu akan bergelora; sarat semangat hidup, berjuang menjangkau kehidupan yg penuh makna & berkhasiat bagi sesama. Buku itu bukan cuma sekedar rentetan kata. Tapi bak buah kehidupan yg jatuh sengaja dr nirwana.
Memang, setiap yg ada & berkuasa akan lapuk oleh hujan & lekang oleh panas. Dan balasannya, betul-betul dilupakan. Walau jasanya sebesar semesta. Toh, lambat laun hanya samar-samar yg terlintas dlm benak. Padahal, setiap bab buku itu memuat pesan kehidupan, sejarah yg sempat dihitamkan.
“Kita hanya debu penghabisan sebelum sapu menggasak. Kita tak ubahnya mite yang benar-benar lapuk. Tak lagi berkhasiat, lihatlah sampul kita yg penuh debu peninggalan perang kejayaan, & kita kalah,” ucap bab tujuh bernama Sampai Napas Terakhir, “betapa dipujanya saya dahulu. Disebut selaku bab paling menghidupkan semangat. Kita kalah, ah, tidak. Kita dilupakan. Lihatlah kini kerabat-saudara, kita tak disentuh, tak dibaca. Hanya tertanam di dlm kardus bau. Hanya dikunjungi hewan melata yg tiba untuk kencing.”
Semua bagian yg terdiri dr sembilan bab dlm buku itu, konsentrasi mendengar Sampai Napas Terakhir berorasi berapi-api. Bab tujuh itu memang mirip pemimpin tegas & adil. Bab tujuh ibarat pedang yg siap mengacungkan hati pembaca.
“Dulu kita bak dermaga ilmu yg patut dibaca, diingat, dijadikan simbol pengetahuan. Lihatlah manusia sekarang, enggan untuk menyentuh kita. Kita serupa barang haram yg hina-dina. Ah, sengsara sangat tamat dr penghabisan yg kita miliki,” ucap Menghirup Sebelum Melepas.
“Semampang kita akan dimusnahkan. Hanya timah panas yg patut mencabik kulit ini!” sabda Selama Masih Bernapas, kembali menghentak jiwa.
“Jikalau kita…..”
Jarum jam termaktub pada pukul empat dini hari. Semua kembali damai, senyap, lengang. Sang buku beserta isinya yg sedari pukul dua malam bercakap kembali diam. Hanya dua jam waktu untuk hidup. Dua jam; tak lebih, tak kurang. Kembali pada kekosongan. Membeku dlm kardus bangsai yg amis. Entah kapan akan dijamah oleh bendoro.
Di lain ruang nun jauh di bawah lantai; tepatnya tak niscaya tetapi, niscaya di bawah lantai. Sekompi cacing yg melata di bawah tanah, merasa muak. Kerena setiap tengah malam mesti mendengar rintihan ketidakadilan buku beserta isinya itu. Setelah genap sebulan, gerakan bawah lantai yg perhimpunan cacing merayap naik. Gerakan bawah lantai itu hendak menggerogoti buku Tata Cara Bernapas yg Salah. Merayap, membor tanah padat menuju lantai.
Segala cara dijalankan cacing-cacing melata yg muak. Sampai pula pada dini hari itu juga, mereka mendarat, menembus dinding pembatas. Tepat pukul empat dini hari. Semua cacing menggerogoti buku gaek dalam kardus itu.
Buku itu dicabik-cabik. Berdarah. Cacing-cacing tak memberi ampun. Buku hancur, koyak! Sekompi cacing mengerjakan misi yg sudah usang disusun dgn baik sangat, biar tak berbekas sama sekali. Dihabisi buku malang itu. Hilang rasa hewani cacing-cacing itu kepada buku.
Kejadian singkat tetapi memilukan itu menggambarkan kerusuhan & kemenangan bagi pihak cacing yg sudah keluar dr persembunyian gerakan bawah lantai berhasil. Buku itu benar-benar porak poranda. Hancur, & mati dlm kardus lusuh.
Tetapi, sebelum para cacing kembali ke peraduan. Entah roh baik atau roh jahat apa yg merasuki Pak Ijend sang pemilik buku. Disaksikannya sekompi cacing yg melahap buku itu. Ia muntab & lantas membabat habis sekumpulan cacing itu.
Perbuatannya bagai telah menyelamatkan buku. Tapi, apa lacur, buku itu musnah. Koyak. Mati! Buku yg sejatinya miliknya. Atau lebih tepatnya buku yg bahu-membahu jati dirinya. Yang selama ini ia kubur dlm kardus busuk & hancur dlm kardus itu oleh gerakan cacing bawah lantai. “Akulah pahlawan yg membantai cacing-cacing itu.” Pak Ijend membatin. Terukir senyum simpul di bibirnya. (*)