Puisi bukan lagi sebuah bentuk karya sastra yang kaku dan sarat tolok ukur. Puisi dalam pengertian modern yaitu puisi yang bebas.
Puisi merupakan aktualisasi verbal dan ungkapan jiwa penulisnya. Oleh sepembahasan itu, semua orang mampu membuat puisi, walaupun pasti tetap ada bentuk khas suatu puisi selaku ukuran tolok ukur yang membedakannya dengan bentuk karya sastra lainnya.
Artinya setiap orang mampu menggunakan sarana-fasilitas kepuitisan mirip rima, irama, diksi, dan yang lain untuk mengintensitaskan ekspresi dan pengalaman jiwanya, bukan membuatnya syarat pengikat.
Berikut beberapa contoh puisi:
“Maghrib Musim Panas”
Magrib musim panas
Sunyi dan mati
Daunan tak satu menari
Sejauh mata menatap
Kosong merata
Padang ilalang lengang
Sungai blumei tak beriak
Sumur mati
Tanah kering tak berseri
Di kaki bukit
Di bawah pohon renta
Daunan kering merata
Mentari turun ke beting senja
Dengung kumbang pulang ke sarang
Dan jengkrik yang mengerik
Pilu mengisahkan
Musim panas yang panjang
(Karya : Bertino Vulkan)
“Dzikir”
Hening malam hening diriku
Merasuklah engkau
Menyatu dalam dzikir
Dalam nada-nada terakhir
Engkau Alif keesaan
Hilang segalanya
Diriku tiada
Hening malam hening diriku
Menyatu dalam cipta
Rasa
Dan ruh yang senang
Dalam nur
(Karya : Bertino Vulkan)
“LADANG HIJAU”
Dari bukit ke bukit turun
Hijau menghampar
Derai deru daun bambu
Sebelah timur batas ladangku
Kacang kuning jua berbulu
Tanah hitam yang longgar subur
Dan gatal daun jagung
Goresan-goresan pedih merangkum
Harapan hasil tahun ke tahun
Mengambang merangsang
Hari depan dalam ciptaan
(Karya : Bertino Vulkan)
Sebagai suatu karya sastra, puisi tetap mesti mempunyai kemampuan menampung segala komponen yang berhubungan dengan kesastraan. Setidaknya ada tiga faktor yang perlu diamati untuk mengerti hakikat puisi. Tiga faktor tersebut, yaitu: sifat seni, kepadatan, dan mulut tidak pribadi.